BAB I PENDAHULUAN. ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kelancaran sarana telekomunikasi akan menunjang

BAB I PENDAHULUAN. adalah, kendaraan bermotor roda empat (mobil). kendaraan roda empat saat ini

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

BAB II PERJANJIAN DAN WANPRESTASI SECARA UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN PENGATURAN MENURUT KUH PERDATA. A. Pengertian Perjanjian dan Asas Asas dalam Perjanjian

Berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tersebut, maka salah satu cara dari pihak bank untuk menyalurkan dana adalah dengan mem

BAB I PENDAHULUAN. signigfikan terhadap sistem ekonomi global dewasa ini. Teknologi telah

HUKUM PERJANJIAN & PERIKATAN HUBUNGAN BISNIS ANDRI HELMI M, SE., MM.

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin pesat, dan untuk itu masyarakat dituntut untuk bisa mengimbangi

BAB III TINJAUAN TEORITIS. dapat terjadi baik karena disengaja maupun tidak disengaja. 2

BAB II TINJAUAN MENGENAI PERLINDUNGAN HUKUM BAGI TERTANGGUNG DAN SYARAT-SYARAT PERJANJIAN ASURANSI BERDASARKAN KUHD

BAB I PENDAHULUAN. perhatian yang serius ialah lembaga jaminan. Karena perkembangan ekonomi akan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian adalah peristiwa seseorang berjanji kepada seorang lain atau dua orang

BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. Perjanjian menurut pasal 1313 KUH Perdata adalah suatu perbuatan dengan

BAB II PENGIKATAN JUAL BELI TANAH SECARA CICILAN DISEBUT JUGA SEBAGAI JUAL BELI YANG DISEBUT DALAM PASAL 1457 KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA

Dokumen Perjanjian Asuransi

BAB III TINJAUAN PUSTAKA

istilah perjanjian dalam hukum perjanjian merupakan kesepadanan Overeenkomst dari bahasa belanda atau Agreement dari bahasa inggris.

II. TINJAUAN PUSTAKA. Perjanjian merupakan sumber terpenting yang melahirkan perikatan, perikatan

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 11

BAB II PERJANJIAN JUAL BELI MENURUT KUHPERDATA. antara dua orang atau lebih. Perjanjian ini menimbulkan sebuah kewajiban untuk

Prosiding Ilmu Hukum ISSN: X

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Pemanfaatan pembangkit tenaga listrik, baru dikembangkan setelah Perang Dunia I, yakni dengan mengisi baterai untuk menghidupkan lampu, radio, dan ala

BAB II PERJANJIAN PADA UMUMNYA. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan

BAB III TINJAUAN TEORITIS. Dalam Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan, bahwa Tiap-tiap perikatan dilahirkan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, WANPRESTASI DAN LEMBAGA PEMBIAYAAN KONSUMEN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KERJASAMA. 2.1 Pengertian Perjanjian Kerjasama dan Tempat Pengaturannya

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupannya mempunyai bermacam-macam kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat menyebabkan bertambahnya populasi kendaraan pribadi yang merupakan faktor penunjang

TEKNIK PENYUSUNAN KONTRAK

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN. tertulis atau dengan lisan yang dibuat oleh dua pihak atau lebih, masing-masing

URGENSI PERJANJIAN DALAM HUBUNGAN KEPERDATAAN. Rosdalina Bukido 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Manusia di dalam kehidupan mempunyai bermacam-macam kebutuhan dalam hidupnya.

seperti yang dimaksud dalam ketentuan Undang-Undang tentang definisi dari kredit ini sendiri

BAB I PENDAHULUAN. nilai strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara. Lembaga. Perubahan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan,

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 51. Grafindo Persada, 2004), hal. 18. Tahun TLN No. 3790, Pasal 1 angka 2.

BAB III TINJAUAN TEORITIS TENTANG PERJANJIAN

BAB I PENDAHULUAN. Sebagian besar masyarakat tidak memahami apa itu klausula baku,

Dengan adanya pengusaha swasta saja belum dapat memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini antara lain karena perusahaan swasta hanya melayani jalur-jalur

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Asuransi dan Pengaturan Asuransi. sehingga kerugian itu tidak akan pernah terjadi.

BAB III KLAUSULA BAKU PADA PERJANJIAN KREDIT BANK. A. Klausula baku yang memberatkan nasabah pada perjanjian kredit

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN, JAMINAN DAN GADAI. politicon). Manusia dikatakan zoon politicon oleh Aristoteles, sebab

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

BAB III TINJAUAN YURIDIS MENGENAI KLAUSULA BAKU DALAM PERJANJIAN KARTU KREDIT BANK MANDIRI, CITIBANK DAN STANDARD CHARTERED BANK

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan dilakukan manusia sudah berabad-abad. Pembangunan adalah usaha untuk

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GADAI

BAB I PENDAHULUAN. dengan pelaku usaha yang bergerak di keuangan. Usaha keuangan dilaksanakan oleh perusahaan yang bergerak di bidang

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan laju pertumbuhan ekonomi Negara Kesatuan Republik Indonesia dari

BAB I PENDAHULUAN. macam kegiatan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Untuk dapat memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. berinteraksi dengan alam kehidupan sekitarnya. 1. ketentuan yang harus dipatuhi oleh setiap anggota masyarakat.

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Manusia dalam kehidupannya sehari-hari memiliki kebutuhankebutuhan

KEDUDUKAN HUKUM DARI M.O.U DITINJAU DARI HUKUM KONTRAK

Hukum Perikatan Pengertian hukum perikatan

BAB II ASPEK HUKUM TENTANG MEMORANDUM OF UNDERSTANDING DAN PERJANJIAN

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS SUBROGASI DAN PERJANJIANASURANSI

BAB I PENDAHULUAN. dilaksanakannya dalam sebuah perjanjian yang di dalamnya dilandasi rasa

BAB I PENDAHULUAN. berwujud perjanjian secara tertulis (kontrak). berjanji untuk melakukan suatu hal. 1

BAB I. mobil baru dengan banyak fasilitas dan kemudahan banyak diminati oleh. merek, pembeli harus memesan lebih dahulu ( indent ).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam perkembangan kebutuhan manusia pada umumnya dan pengusaha

BAB I PENDAHULUAN. jenis dan variasi dari masing-masing jenis barang dan atau jasa yang akan

II. TINJAUAN PUSTAKA. kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut. Pendapat lain menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, undang-undang yang mengatur asuransi sebagai sebuah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan bangsa dan mewujudkan pembangunan nasional.dalam poladasar

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sejarah perkembangan kehidupan, manusia pada zaman apapun

Undang-Undang Merek, dan Undang-Undang Paten. Namun, pada tahun waralaba diatur dengan perangkat hukum tersendiri yaitu Peraturan

BAB I PENDAHULUAN. material dan spiritual berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 dan pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. mendesak para pelaku ekonomi untuk semakin sadar akan pentingnya

BAB II PERJANJIAN ASURANSI DAN BENTUK-BENTUK PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERJANJIAN ASURANSI

BAB III PERLINDUNGAN KONSUMEN PADA TRANSAKSI ONLINE DENGAN SISTEM PRE ORDER USAHA CLOTHING

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

PELAKSANAAN PERJANJIAN ANTARA AGEN DENGAN PEMILIK PRODUK UNTUK DI PASARKAN KEPADA MASYARAKAT. Deny Slamet Pribadi

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN, PERJANJIAN BAKU DAN KREDIT BANK Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukumnya

BAB I PENDAHULUAN. risiko yang mungkin dapat menggangu kesinambungan usahanya. 1. kelancaran aktifitas dalam dunia perdagangan pada umumnya.

Asas asas perjanjian

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

BAB II LANDASAN TEORI

A. Perlindungan Hukum yang dapat Diperoleh Konsumen Terhadap Cacat. Tersembunyi yang Terdapat Pada Mobil Bergaransi yang Diketahui Pada

TINJAUAN PUSTAKA. Istilah asuransi berasal dari bahasa Belanda Verzekering atau Assurantie. Oleh

ASAS KEBEBASAN BERKONTRAK DALAM PERJANJIAN BAKU 1 Oleh: Dyas Dwi Pratama Potabuga 2

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Subekti, perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada

BAB I PENDAHULUAN. makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Hal tersebut

SKRIPSI ASURANSI JIWA. (Studi Tentang Pelaksanaan Link Assurance di PT. Prudential Life Surakarta)

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN PENGANGKUTAN. Menurut R. Djatmiko Pengangkutan berasal dari kata angkut yang berarti

AKIBAT HUKUM DARI PERJANJIAN BAKU (STANDART CONTRACT) BAGI PARA PIHAK PEMBUATNYA (Tinjauan Aspek Ketentuan Kebebasan Berkontrak) Oleh:

sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 1792 Bab XVI Buku III Kitab

II. TINJAUAN PUSTAKA. yaitu Verbintenis untuk perikatan, dan Overeenkomst untuk perjanjian.

BAB I PENDAHULUAN. akan berkaitan dengan istri atau suami maupun anak-anak yang masih memiliki

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN DAN WANPRESTASI. Perjanjian atau persetujuan merupakan terjemahan dari overeenkomst,

BAB I PENDAHULUAN. bahwa kata bank berasal dari bahasa Italy banca yang berarti bence yaitu suatu

I. PENDAHULUAN. Kehadiran bank sebagai penyedia jasa keuangan berkaitan dengan kepentingan

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keadaan yang tidak kekal merupakan sifat alamiah yang

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI PERJANJIAN. dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari

BAB I PENDAHULUAN. khusus (benoemd) maupun perjanjian umum (onbenoemd) masih berpedoman

1.1 LATAR BELAKANG PERMASALAHAN

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kehidupan dan kegiatan manusia, pada hakikatnya mengandung berbagai hal yang menunjukkan sifat hakiki dari kehidupan itu sendiri. Sifatsifat hakiki yang dimaksud di sini adalah suatu sifat tidak kekal yang selalu menyertai kehidupan dan kegiatan manusia pada umumnya. Sifat tidak kekal termaksud selalu meliputi dan menyertai manusia, baik ia sebagai pribadi, maupun ia dalam kelompok atau dalam bagian kelompok masyarakat dalam melaksanakan kegiatan-kegiatannya. Problem yang dihadapi manusia adalah kemungkinan kematian yang terjadi terlalu dini. Kematian ini merupakan hal yang pasti, namun masalah waktu atau kapan kematian itu datang adalah suatu hal yang tidak dapat ditentukan oleh manusia. Salah satu cara untuk mengurangi risiko tersebut di atas yaitu dengan mengalihkan atau melimpahkan kepada risiko tersebut pihak atau badan usaha lain. Yang dimaksud pihak atau badan usaha lain itu ialah suatu lembaga yang menjamin sekiranya timbul suatu peristiwa yang tidak diinginkan, lembaga ini dikenal dengan apa yang disebut asuransi. Salah satu jenis asuransi yang dikenal sekarang ini adalah asuransi jiwa. Pada asuransi jiwa yang dipertanggungkan ialah yang disebabkan oleh kematian (death). Kematian tersebut mengakibatkan hilangnya pendapatan seseorang atau suatu keluarga tertentu.

Risiko yang mungkin timbul pada asuransi jiwa terutama terletak pada unsur waktu (time), oleh karena sulit untuk mengetahui kapan seseorang meninggal dunia. Untuk memperkecil risiko tersebut, maka sebaiknya diadakan pertanggungan jiwa. Lembaga perasuransian, sama halnya dengan lembaga perbankan, akan dipercaya apabila dapat memberikan jaminan kepercayaan kepada masyarakat. Perusahaan asuransi harus benar-benar dapat memberikan jaminan bahwa dana yang dikumpulkan akan dikembalikan di kemudian hari sesuai dengan hak nasabah. Masyarakat harus dapat diyakinkan bahwa perusahaan asuransi akan dapat memenuhi kewajibannya untuk membayar ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh masyarakat tertanggung. Asuransi adalah perjanjian ganti rugi antara tertanggung dan penanggung yang aktanya disebut polis asuransi. Kontrak asuransi sangat spesifik karena hanya ditandatangani oleh penanggung (perusahaan asuransi), tetapi mengikat pihak tertanggung. Isi perjanjian umumnya disusun oleh perusahaan asuransi menjadi sesuatu yang baku atau standar. Isi kontrak asuransi di samping memuat bahasa-bahasa hukum, juga sangat teknis dan spesifik, di mana pada umumnya sangat sulit untuk memahami isi polis asuransi. Jangankan pihak tertanggung, banyak pelaku dalam perusahaan perasuransian juga kurang memahami isi kontrak. Dalam bisnis asuransi, ada beberapa prinsip asuransi yang harus diterapkan baik oleh perusahaan asuransi maupun oleh masyarakat tertanggung. Setidaknya prinsip dimaksud antara lain adalah prinsip insurable

interest, prinsip utmost good faith, prinsip indemnity, prinsip proximate cause, dan prinsip kontribusi dan subrogasi. Definisi dari prinsip utmost good faith (UGF) menyebutkan bahwa si tertanggung harus memberitahukan semua fakta material dengan benar, lengkap, serta sukarela atas obyek pertanggungan, baik diminta maupun tidak diminta. Sebaliknya, perusahaan asuransi pun dituntut harus menunjukkan itikad baiknya kepada si tertanggung. Sangat sering terjadi kesalahpahaman atas penerapan prinsip ini dalam bisnis asuransi. UGF seolah-olah hanya menjadi kewajiban si tertanggung, di mana si penanggung tidak perlu menunjukkan itikad baiknya kepada penanggung. 1 Banyak penanggung mengklaim bahwa tertanggung tidak melaksanakan itikad baik (breach of utmost good faith), sehingga klaim asuransi yang diajukan ditolak oleh perusahaan asuransi. Dalam banyak kasus, sering sekali niat baik tertanggung untuk melakukan sesuatu berkaitan dengan klaim asuransi menjadi bumerang karena ternyata tindakan itu melanggar ketentuan kontrak. Di sisi lain si tertanggung tidak mengetahui bahwa niat baik itu ternyata menjadi tidak baik, yang pada akhirnya menjadi gray area timbulnya konflik dari tuntutan ganti rugi. Menjadi kewajiban si penanggung untuk menjelaskan semua hal yang berkaitan dengan kontrak asuransi, termasuk sebelum dimulai kontrak. Apabila si penanggung tidak menjelaskan hak dan kewajiban si tertanggung, maka penanggung telah melanggar prinsip utmost good faith. Karena itu, ia 1 www.kompas.com

dapat dituntut dan harus bertanggung jawab atas ganti rugi yang diderita tertanggung. Dewasa ini perjanjian atau kontrak antara penanggung dan tertanggung hampir selalu menggunakan perjanjian atau kontrak yang berbentuk baku (polis). Penggunaan perjanjian baku ini dilakukan agar transaksi-transaksi jasa dapat dilakukan secara efisien dan praktis tanpa adanya hambatan sebagai akibat terjadinya tawar menawar sebelum menutup suatu perjanjian. Dalam perjanjian baku, klausula-klausula dalam perjanjian telah ditetapkan secara sepihak oleh penanggung sehingga, klausula-klausula tersebut cenderung lebih mengutamakan hak-hak penanggung dibandingkan hak-hak tertanggung dan kewajiban-kewajiban penanggung. Salah satu kewajiban tertanggung atau pembeli polis adalah membayar premi dalam waktu-waktu tertentu yang disepakati. Karena latar belakang dan tempat tinggal yang beraneka ragam, perusahaan biasanya menggunakan jasa dari sejumlah petugas lapangan atau yang disebut agen untuk mengutip premi. Salah satu tugas penagih premi adalah mencari calon pembeli polis. Para petugas penagih premi biasa disebut juga agen asuransi jiwa. Para agen asuransi jiwa inilah yang selalu berusaha mempengaruhi setiap orang secara persuasif untuk membeli polis yang ditawarkan oleh perusahaan asuransi jiwa dengan meningkatkan pemahaman dan kesadaran calon tertanggung tentang manfaat dari produk asuransi jiwa.

Para agen asuransi jiwa dalam menjual produk (polis) harus bicara sejujur-jujurnya, agar para calon pembeli polis tidak mengalami kekecewaan setelah membeli produk tersebut. 2 Dalam melakukan kegiatannya para agen asuransi jiwa ini selalu bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi jiwa. Sepanjang agen asuransi jiwa tersebut telah diberi kuasa untuk itu, segala tindakannya menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi jiwa yang bersangkutan. Sering terjadi bahwa ada uang pembayaran premi konsumen kepada petugas penagih premi/karyawan asuransi (agen) yang tidak disetor ke perusahaan. Hal ini mengakibatkan dilakukannya pemutihan polis asuransi tertanggung dengan kondisi yang baru. Artinya premi yang tidak disetor agen tersebut dianggap bahwa tertanggung tidak melakukan pembayaran premi. Hal ini sangat merugikan tertanggung, dengan demikian premi yang akan dibayarkan menjadi lebih tinggi dari sebelum dilakukannya pemutihan tersebut. Apabila tertanggung menerima klausul baru tersebut pengeluaran tertanggung akan bertambah per bulan atau per tahun, dan ia berada pada posisi yang sangat dirugikan. Padahal ini disebabkan kelalaian petugas penagih premi (agen asuransi) karena lupa atau disengaja tidak menyetorkan uang premi tersebut kepada perusahaan asuransi. Sebaliknya kekurangan tersebut dibebankan kepada tertanggung. Menurut Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, petugas penagih premi (agen 2 Djoko Prakosa dan I Ketut Murtika, Hukum Asuransi Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 2000, hlm. 307.

asuransi) baik secara perseorangan maupun badan hukum, bertindak untuk dan atas nama perusahaan asuransi. Atas dasar ketentuan Undang-undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian, sudah seharusnya pihak asuransi tidak melakukan pemutihan terhadap premi milik tertanggung, karena tidak terbayarnya premi bukan karena kesalahan tertanggung, akan tetapi dikarenakan kelalaian atau kesalahan agen asuransi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penulis tertarik melakukan penelitian dengan judul, Perlindungan Hukum Terhadap Tertanggung Akibat Perbuatan Agen Yang Tidak Menyerahkan Uang Premi Pada Perusahaan Asuransi Di Yogyakarta. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut, maka yang menjadi permasalahan dalam penulisan hukum ini adalah: Bagaimana perlindungan hukum terhadap tertanggung akibat perbuatan agen pada beberapa perusahaan asuransi di Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap tertanggung akibat perbuatan agen pada beberapa perusahaan asuransi di Yogyakarta.

2. Untuk mengetahui penyelesaian akibat perbuatan agen yang lalai dalam menyetorkan uang pembayaran polis dari tertanggung kepada perusahaan asuransi. D. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Perjanjian Istilah perjanjian, sebagai terjemahan dari agreement dalam bahasa Inggris, atau overeenkomst dalam bahasa Belanda. 3 Di samping itu, ada juga istilah yang sepadan dengan istilah perjanjian, yaitu istilah transaksi yang merupakan terjemahan dari istilah Inggris transaction. Namun demikian, istilah perjanjian adalah yang paling modern, paling luas dan paling lazim digunakan, termasuk pemakaiannya dalam dunia bisnis. Perjanjian adalah suatu kesepakatan (promissory agreement) di antara 2 (dua) atau lebih pihak yang dapat menimbulkan, memodifikasi, atau menghilangkan hubungan hukum. Ada juga yang memberikan pengertian sebagai suatu serangkaian perjanjian di mana hukum memberikan ganti rugi terhadap wanprestasi dari kontrak tersebut, dan oleh hukum, pelaksanaan dari kontrak tersebut dianggap merupakan suatu tugas yang harus dilaksanakan. Pasal 1313 K.U.H.Perdata memberikan definisi perjanjian adalah: Suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. 3 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm. 9.

Menurut Subekti, perjanjian merupakan terjemahan dari kata overeenkomst. 4 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, menerjemahkan istilah overeenkomst dengan pengertian persetujuan. 5 Menurut Setiawan, overeenkomst berasal dari kata overeenkomen yang berarti setuju ataupun sepakat, karena itulah dipergunakannya istilah persetujuan untuk menerjemahkan istilah overeenkomst. 6 Berdasarkan rumusan perjanjian yang telah dikemukakan tersebut, maka pengertian perjanjian itu mempunyai unsur-unsur yang dapat diuraikan sebagai berikut: a. Ada dua pihak atau lebih Para pihak yang disebutkan itu adalah subyek pada perjanjian yang dapat berupa manusia pribadi atau badan hukum. Untuk dapat membuat perjanjian tersebut harus mampu atau wenang melakukan perbuatan hukum seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang. b. Ada kesepakatan diantara para pihak Kesepakatan yang dimaksud adalah yang bersifat tetap, artinya tidak termasuk tindakan-tindakan pendahuluan untuk mencapai adanya persetujuan atau kesepakatan. Persetujuan ini dapat diketahui dari penerimaan tanpa syarat atas suatu tawaran yang berarti apa yang ditawarkan pihak yang satu diterima oleh pihak lainnya. c. Ada tujuan yang akan dicapai 4 Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa Jakarta, 1985, hlm. 1. 5 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perutangan, Sumur Bandung, Bandung, 1989, hlm. 1. 6 Setiawan, Pokok-pokok Hukum Perjanjian, Bina Cipta, Bandung, 1987, hlm.2.

Tujuan para pihak mengadakan perjanjian adalah agar memenuhi kebutuhan pihak-pihak, oleh karena itu di dalamnya harus ada tujuan yang akan dicapai. Tujuan tersebut tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilan dan tidak dilarang oleh undang-undang. d. Ada prestasi yang harus dilaksanakan Dalam suatu perjanjian, para pihak disamping memperoleh hak dibebani pula dengan kewajiban-kewajiban yang berupa suatu prestasi. Prestasi merupakan suatu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pihak-pihak sesuai persyaratan atau syarat-syarat perjanjian, misalnya penjual berkewajiban menyerahkan barang yang telah dijualnya. Tidak ada kesatuan pendapat mengenai pengertian perjanjian, namun apabila diperhatikan dengan sesama, maka pada dasarnya perjanjian merupakan suatu hubungan hukum berdasarkan kesepakatan antara dua pihak atau lebih yang saling mengikatkan dirinya untuk menimbulkan suatu akibat hukum tertentu. Kedua belah pihak atau lebih tersebut terikat karena kesepakatan yang mereka lakukan untuk melaksanakan tujuan yang termaksud dalam perjanjian yang mereka buat. 7 2. Asas-asas Perjanjian 7 Ibid, hlm. 96.

Dalam hukum perjanjian juga terdapat beberapa asas yang mendasari berlakunya suatu perjanjian. Untuk lebih jelasnya mengenai asas hukum yang dimaksud dalam perjanjian ini, satu persatu dapat dijelaskan sebagai berikut: a. Asas Konsensualitas Asas ini berkaitan dengan saat lahirnya suatu perjanjian. Asas ini menyatakan bahwa perjanjian sudah lahir pada saat tercapainya kata sepakat diantara para pihak mengenai unsur-unsur pokoknya. Soedikno Mertokusumo mengemukakan sebagai berikut: Untuk adanya perjanjian harus ada dua kehendak yang mencapai kata sepakat atau konsensus. Tanpa kata sepakat tidak mungkin ada perjanjian, tidak menjadi soal apakah kedua kehendak itu disampaikan secara lisan atau tertulis. Bahkan dengan bahasa isyarat atau membisu sekalipun dapat terjadi perjanjian asal ada kata sepakat. 8 b. Asas Kebebasan Berkontrak Menurut asas ini, hukum perjanjian memberikan peluang kepada masyarakat untuk menentukan isi perjanjian, bentuk maupun obyek dari perjanjian tersebut. Kebebasan berkontrak haruslah memperhatikan batasan-batasan tertentu seperti diatur dalam Pasal 1337 K.U.H.Perdata yang intinya memberikan batasan yaitu tidak dilarang oleh undangundang, tidak bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum. 8 Ibid, hlm. 96.

Asas kebebasan berkontrak ini juga dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) K.U.H.Perdata yang menyatakan: Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. c. Asas Kekuatan Mengikat Perjanjian Pengertian asas kekuatan mengikat perjanjian ini adalah para pihak yang telah mengadakan perjanjian tersebut, masing-masing terikat dengan ketentuan yang terdapat di dalam perjanjian yang telah diadakan tersebut. Soedikno Mertokusumo mengemukakan sebagai berikut: Para pihak haruslah melaksanakan apa yang mereka sepakati sehingga perjanjian itu berlaku sebagai undang-undang. Ini berarti bahwa kedua belah pihak wajib mentaati dan melaksanakan perjanjian. Asas kekuatan mengikat ini berhubungan dengan akibat perjanjian dan dikenal sebagai Pacta Sunt Servanda, sudah selayaknya bahwa sesuatu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dipatuhi pula oleh kedua belah pihak. 9 d. Asas Kepribadian Pasal 1315 dan 1340 K.U.H.Perdata mengatur bahwa, pada dasarnya suatu perjanjian hanya mengikat kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut. Asas ini dinamakan asas kepribadian suatu perjanjian, sedangkan pihak-pihak di sini maksudnya adalah, siapa saja yang tersangkut dalam perjanjian, yaitu kreditur dan debitur. Terhadap asas kepribadian tersebut terdapat suatu pengecualian yang disebut janji guna 9 Soedikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengatar, Liberty, Yogyakarta, 1989, hlm. 97.

pihak ketiga, yaitu bahwa dalam suatu perjanjian dimungkinkan adanya hak pihak ketiga yang adanya sejak pihak ketiga itu menyatakan kesediaannya menerima prestasi tersebut, seperti diatur dalam Pasal 1317 K.U.H.Perdata. Menurut Setiawan, janji untuk pihak ketiga adalah, Janji yang oleh para pihak dituangkan dalam suatu perjanjian dimana ditentukan bahwa para pihak ketiga akan memperoleh hak atau suatu prestasi. 10 e. Asas Itikad Baik Asas itikad baik ini merupakan asas yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian. Di dalam asas ini ditentukan bahwa suatu perjanjian haruslah dilaksanakan dengan itikad baik, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) K.U.H.Perdata. Pengertian asas itikad baik di dalam hukum perjanjian adalah, bahwa pelaksanaan suatu perjanjian harus berjalan sebagaimana mestinya, sesuai dengan ukuran obyektif masyarakat. Hal ini untuk menjamin kepastian hukum, sebab dengan adanya pelaksanaan perjanjian secara baik dan benar, tidak akan terjadi suatu penyimpangan terhadap suatu perjanjian. 3. Syarat-syarat Sahnya Perjanjian Pasal 1320 K.U.H.Perdata menyebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 (empat) syarat, yaitu: a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 10 Setiawan, op.cit., hlm. 35.

b. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. c. Adanya hal tertentu. d. Suatu sebab yang halal. Keempat syarat tersebut merupakan syarat mutlak di dalam perjanjian yang harus dipenuhi oleh para pihak apabila ingin perjanjian yang dibuatnya sah. Tidak dipenuhinya keempat syarat tersebut akan berakibat perjanjian itu batal atau dapat dibatalkan. Hal ini tergantung pada syarat mana dari keempat syarat tersebut yang tidak dipenuhi, karena keempat syarat tersebut dapat digolongkan menjadi 2 (dua) bagian, yaitu: a. Syarat subyektif, adalah syarat yang menyangkut subyek dari suatu perjanjian atau syarat yang melekat pada subyek-subyek yang mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian. Apabila syarat ini tidak dipenuhi maka akibat hukumnya perjanjian ini dapat dibatalkan. Termasuk syarat subyektif adalah syarat sepakat yang mereka mengikatkan diri dan adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian. b. Syarat obyektif, adalah suatu syarat yang menyangkut obyek perjanjian itu sendiri. Apabila syarat ini tidak dipenuhi maka akibat hukum dari perjanjian itu adalah batal demi hukum. Termasuk syarat obyektif adalah syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Pengertian perjanjian dapat dibatalkan ini adalah perjanjian yang telah ada tetap terus berjalan selama belum ada atau tidak diadakan pembatalan, pembatalan hanya dapat dilakukan oleh hakim pengadilan atas permintaan yang berhak meminta pembatalan, berbeda dengan pengertian batal demi

hukum. Apabila perjanjian batal demi hukum, maka maksudnya perjanjian itu sejak semula dianggap tidak pernah ada, dengan demikian perjanjian itu menjadi batal tanpa campur tangan dari hakim. Adanya perbedaan dapat dibatalkan dan batal demi hukum ini menurut Subekti merupakan suatu sistem logis dan dapat dianut di mana-mana, dan lebih lanjut beliau mengemukakan bahwa, Sistem tersebut logis karena tidak dipenuhinya syarat subyektif tidak dapat dilihat oleh hakim dan karenanya harus diajukan kepadanya oleh yang berkepentingan, sedangkan hal tidak dipenuhinya syarat obyektif seketika dapat dilihat oleh hakim. 11 4. Hak dan Kewajiban Para Pihak Pendukung dalam suatu perjanjian sekurang-kurangnya harus ada 2 (dua) orang yang disebut subyek perjanjian. Masing-masing orang menduduki tempat yang berbeda, satu orang menjadi kreditur yang berhak atas prestasi dan orang lainnya sebagai debitur yang wajib memenuhi prestasi. Pihak-pihak dalam perjanjian dapat berupa manusia pribadi (persoon) atau lembaga/badan hukum (rechtspersoon). Subyek perjanjian harus mampu dan wenang melakukan tindakan hukum seperti yang ditetapkan oleh undang-undang. Sesuai dengan teori dan praktek hukum, yang dapat menjadi kreditur atau debitur adalah terdiri dari: a. Individu sebagai person. 1) Manusia tertentu (persoon). 2) Badan Hukum (rechtspersoon). 11 Subekti, op.cit., hlm. 26.

b. Seseorang sebagai individu atas keadaan atau kedudukan tertentu bertindak untuk atau atas nama orang tertentu. c. Seseorang sebagai individu yang menggantikan kedudukan debitur semula, baik atas dasar bentuk perjanjian maupun atas ijin dan persetujuan kreditur. Hak dan kewajiban para pihak adalah merupakan isi dari perjanjian itu sendiri. Isi perjanjian didasarkan atas azas kebebasan berkontrak, yaitu para pihak bebas untuk menentukannya. Pada hakekatnya hak disatu pihak adalah merupakan kewajiban pihak lain, dengan kata lain prestasi yang merupakan hak dari kreditur adalah merupakan kewajiban bagi debitur untuk memenuhinya. Jadi baik kreditur maupun debitur sama-sama berorientasi pada satu hal yaitu prestasi, karena kreditur berhak atas prestasi dan debitur berkewajiban untuk memenuhi prestasi atau melaksanakan prestasi. 5. Wanprestasi dan Overmacht Dalam Perjanjian Perjanjian yang dibuat dengan sah menimbulkan perikatan atau hak dan kewajiban bagi para pihak yang membuatnya. Dalam suatu perjanjian ada kalanya terjadi wanprestasi, yang artinya menurut Soedikno Mertokusumo, adalah: tidak memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan, baik perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena undang-undang. 12 12 Ibid, hlm. 73.

Tidak dipenuhinya kewajiban itu selain karena wanprestasi dapat juga karena keadaan memaksa (overmacht), atau peristiwa yang terjadi diluar kemampuan debitur, sehingga debitur tidak mempunyai kesalahan. Bentuk wanprestasi ada 4 (empat), yaitu: a. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali, artinya debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya yang telah disanggupi untuk dipenuhi dalam suatu perjanjian. b. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan. c. Debitur memenuhi prestasi, tetapi tidak tepat waktunya. d. Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan. Mengetahui sejak kapan debitur itu dalam keadaan wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perikatan itu ditentukan pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu ditentukan pelaksanaan pemenuhan prestasi, maka ketentuan Pasal 1238 K.U.H.Perdata menyatakan sebagai berikut: Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Alasan kedua tidak dapat dipenuhinya kewajiban adalah keadaan memaksa (overmacht), akibatnya ada salah satu pihak yang dirugikan. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan dimana tidak dapat dipenuhinya prestasi oleh debitur karena terjadi suatu peristiwa yang bukan karena

kesalahannya. Peristiwa dimana tidak dapat diketahui atau tidak dapat diduga akan terjadi pada waktu membuat perjanjian. 13 Unsur-unsur yang terdapat dalam keadaan memaksa: a. Tidak dapat dipenuhinya prestasi karena suatu peristiwa yang memusnahkan atau membinasakan benda yang menjadi obyek perjanjian. b. Tidak dapat dipenuhinya suatu prestasi karena suatu peristiwa yang menghalangi perbuatan debitur. c. Peristiwa yang tidak dapat diketahui atau diduga akan terjadi pada waktu membuat perikatan atau perjanjian baik oleh debitur maupun oleh kreditur, bukan karena kesalahan pihak-pihak khususnya debitur. Sifat keadaan memaksa ada 2 (dua): a. Overmacht yang bersifat absolute (mutlak) ialah suatu keadaan dimana prestasi sama sekali tidak dapat dipenuhi, maka perikatan tersebut terhenti sama sekali. b. Overmacht yang bersifat relatif ialah suatu keadaan dimana kewajiban berprestasi terhentikan untuk sementara dan akan timbul lagi setelah keadaan memaksa berhenti. 6. Berakhirnya Perjanjian Hapusnya perjanjian pada umumnya adalah jika tujuan dari suatu perjanjian itu telah tercapai. Dengan demikian isi perjanjian yang telah mereka buat bersama itu telah dilaksanakan dengan baik oleh mereka. Beberapa macam cara hapusnya perjanjian, yaitu apabila: 13 Setiawan, op.cit., hlm. 27.

a. Masa berlakunya perjanjian yang telah disepakati sudah terpenuhi. b. Pada saat masa berlakunya perjanjian belum berakhir para pihak sepakat mengakhirinya. c. Adanya penghentian oleh salah satu pihak dalam perjanjian dengan memperhatikan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku setempat. d. Waktu berakhirnya suatu perjanjian ditentukan dengan batas waktu maksimal oleh undang-undang. e. Adanya putusan hakim karena adanya tuntutan pengakhiran perjanjian dari salah satu pihak. f. Di dalam undang-undang atau perjanjian itu sendiri ditentukan bahwa dengan adanya suatu peristiwa tertentu maka perjanjian akan berakhir. 14 7. Perjanjian Asuransi Asuransi atau disebut juga pertanggungan, pengertian yuridisnya dapat ditemui dalam Pasal 246 KUHD, yang berbunyi sebagai berikut: Asuransi atau pertanggungan adalah suatu persetujuan (perjanjian) dengan mana seorang penanggung mengikat dirinya dengan seorang tertanggung dengan menerima suatu premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena suatu kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin akan dideritanya karena suatu peristiwa yang tak tertentu. Molengraaf dalam buku karangan Mashudi dan Chidir Ali mendefinisikan asuransi langsung sebagai asuransi kerugian. Menurutnya pengertian asuransi kerugian adalah, persetujuan dengan mana satu pihak 14 Ibid, hlm. 106.

penanggung, mengikatkan diri terhadap pihak lain yaitu tertanggung, untuk mengganti kerugian yang dapat diderita oleh tertanggung karena terjadinya suatu peristiwa yang telah ditunjuk, dan yang belum tentu serta kebetulan, dengan mana pula tertanggung berjanji untuk membayar premi. 15 Berdasarkan pengertian asuransi di atas, maka ada beberapa unsur yang terkandung dalam perjanjian asuransi, yaitu adanya suatu perjanjian, adanya subyek hukum, adanya premi, adanya ganti rugi, dan adanya peristiwa tak tentu. 16 Unsur asuransi yang pertama adalah adanya suatu perjanjian. Di dalam perjanjian asuransi ditentukan bahwa perjanjian asuransi harus dibuat dalam bentuk tertulis, dalam istilah asuransi perjanjian ini dituangkan dalam bentuk akta yang disebut polis asuransi. Unsur perjanjian asuransi yang kedua adalah adanya subyek hukum. Dalam asuransi subyek hukumnya ada dua, yaitu tertanggung dan penanggung. 17 Unsur ketiga dari perjanjian asuransi adalah adanya premi. Dorhout Mess dalam bukunya Mashudi dan Chaidir Ali berpendapat bahwa, seorang penanggung tidak akan mengambil alih risiko-risiko orang lain hanya berdasar rasa peri kemanusiaan saja, tetapi sebagai kontra prestasi dimintanya pembayaran premi dari tertanggung. 18 Premi itu harus dinyatakan dalam 15 Mashudi dam Chidir Ali, Hukum Asuransi, Mandar Madju, Bandung, 1995, hlm. 30. 16 Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 67. 17 Ibid, hlm. 68. 18 Mashudi dan Chidir Ali, op.cit., hlm. 54.

bentuk polis. Polis adalah akta yang ditanda-tangani penanggung yang berfungsi sebagai alat bukti dalam asuransi. 19 Dalam asuransi ada suatu istilah yang disebut premi restorno. Premi restorno adalah pengembalian dari premi yang telah diterima oleh penanggung atau peniadaan kewajiban tertanggung untuk membayar premi berdasarkan nilainya, hilangnya atau tidak terjadinya risiko. 20 Unsur keempat dalam perjanjian asuransi adalah adanya ganti rugi. Kewajiban penanggung adalah memberikan ganti rugi kepada tertanggung dalam hal terjadi peristiwa yang diisyaratkan dalam perjanjian asuransi. Besarnya ganti rugi ini telah ditentukan sebelumnya dalam polis asuransi. Unsur terakhir dari perjanjian asuransi adalah adanya peristiwa tidak tentu. Peristiwa tak tentu ini tidak dapat diketahui kapan akan terjadi. Di sini peristiwa apa yang dimaksud dijelaskan di dalam polis asuransi. Misalnya peristiwa kecelakaan, kebakaran, kehilangan, kebanjiran, kegagalan panen dan sebagainya. E. Metode Penelitian Untuk mendapatkan data dan pengolahan yang diperlukan dalam rangka penyusunan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian hukum empiris sebagai berikut: 19 Sri Rejeki Hartono, Hukum Asuransi dan Perusahaan Asuransi, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hlm. 11. 20 Abdulkadir Muhammad, Pengantar Hukum Pertanggungan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1994, hlm. 82.

1. Objek Penelitian Perlindungan hukum terhadap tertanggung akibat perbuatan agen pada beberapa perusahaan asuransi. 2. Subjek Penelitian a. Pimpinan Kantor Cabang Asuransi Jiwa Manulife Financial dan Allianz. b. Agen asuransi pada beberapa perusahaan asuransi. c. Tertanggung yang dirugikan atas perbuatan agen asuransi. 3. Sumber Data a. Data primer, yaitu data yang didapat langsung dengan subyek penelitian. b. Data sekunder adalah berupa data yang diperoleh dari penelitian kepuatakaan (library research) yang terdiri atas: a. Bahan hukum primer, dalam hal meliputi: K.U.H.Perdata, K.U.H.D dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian. b. Bahan hukum sekunder, adalah bahan yang digunakan sebagai pelengkap bahan hukum primer, berupa buku-buku, literatur, dokumen-dokumen, maupun makalah-makalah yang berkaitan dengan obyek penelitian. 4. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara secara bebas terpimpin berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah disiapkan.

5. Metode Pendekatan Metode yang dilakukan oleh penulis adalah yuridis normatif, yang mana dalam melakukan pada objek penelitian lebih menitikberatkan pada aspekaspek yuridis, yang dimana dalam melakukan analisa data-data yang diperoleh dari objek penelitian dengan menggunakan asas-asas hukum, teori-teori hukum serta ketentuan perundang-undangan. 6. Metode Analisis Data Data yang telah terkumpul dianalisis secara deskriptif kualitatif, yaitu menganalisa hasil penelitian dengan menggambarkan hubungan yang ada antara hasil penelitian yang diperoleh tersebut untuk memaparkan dan menjelaskan suatu persoalan, sehingga sampai pada suatu kesimpulan. F. Sistematika Penulisan BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi uraian tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II TINJAUAN TENTANG PERJANJIAN PERTANGGUNGAN DAN ASURANSI JIWA Bab ini berisi uraian pengertian perjanjian, pengertian risiko, pengertian asuransi dan unsur-unsurnya, pengaturan asuransi, asasasas dalam asuransi, serta asuransi jiwa.

BAB III PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP TERTANGGUNG AKIBAT PERBUATAN AGEN PADA BEBERAPA PERUSAHAAN ASURANSI DI YOGYAKARTA Bab ini berisi pembahasan mengenai Perlindungan hukum terhadap tertanggung akibat perbuatan agen pada beberapa perusahaan asuransi dan penyelesaian akibat perbuatan agen yang lalai dalam menyetorkan uang pembayaran polis dari tertanggung kepada perusahaan asuransi. BAB IV PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran.