BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pendahuluan 1. Orientasi Pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

PENGANTAR SUMBERDAYA PESISIR DAN PULAU-PULAU KECIL. SUKANDAR, IR, MP, IPM

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN WILAYAH PESISIR KABUPATEN DEMAK TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

BAB I PENDAHULUAN. pada pulau. Berbagai fungsi ekologi, ekonomi, dan sosial budaya dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

BAB I PENDAHULUAN. mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, seperti

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

MAKALAH PEMBAHASAN EVALUASI KEBIJAKAN NASIONAL PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DAN LINGKUNGAN HIDUP DI DAERAH ALIRAN SUNGAI 1) WIDIATMAKA 2)

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDAHULUAN. beradaptasi dengan salinitas dan pasang-surut air laut. Ekosistem ini memiliki. Ekosistem mangrove menjadi penting karena fungsinya untuk

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

Oleh. Firmansyah Gusasi

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

i:.l'11, SAMBUTAN PENGANTAR... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR KOTAK... GLOSARI viii xii DAFTAR SINGKATAN ...

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

BAB I PENDAHULUAN. pesat pada dua dekade belakangan ini. Pesatnya pembangunan di Indonesia berkaitan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

No baik hayati berupa tumbuhan, satwa liar serta jasad renik maupun non-hayati berupa tanah dan bebatuan, air, udara, serta iklim yang saling

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang. Pertambahan penduduk merupakan faktor utama pendorong bagi upaya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SUMBER DAYA HABIS TERPAKAI YANG DAPAT DIPERBAHARUI. Pertemuan ke 2

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

adalah untuk mengendalikan laju erosi (abrasi) pantai maka batas ke arah darat cukup sampai pada lahan pantai yang diperkirakan terkena abrasi,

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

Modul 1. Hutan Tropis dan Faktor Lingkungannya Modul 2. Biodiversitas Hutan Tropis

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

BAB III METODE PENELITIAN

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki kawasan pesisir sangat luas,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi negara yang sedang berkembang

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 21 TAHUN 2009 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH KABUPATEN JOMBANG

BAB I PENDAHULUAN. yang disebutkan di atas, terdapat unsur-unsur yang meliputi suatu kesatuan

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Penataan Ruang. Kawasan Budidaya, Kawasan Lindung dan Kawasan Budidaya Pertanian

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan pesat di seluruh wilayah Indonesia. Pembangunan-pembangunan

ADLN - Perpustakaan Universitas Airlangga BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

5.2 Pengendalian Penggunaan Lahan dan Pengelolaan Lingkungan Langkah-langkah Pengendalian Penggunaan Lahan untuk Perlindungan Lingkungan

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

Orientasi adalah usaha peninjauan untuk menentukan sikap (arah, tempat, dan sebagainya) yang tepat dan benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989).

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Mahluk hidup memiliki hak hidup yang perlu menghargai dan memandang

P E N J E L A S A N A T A S PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 16 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH PROVINSI MALUKU

INDIKASI LOKASI REHABILITASI HUTAN & LAHAN BAB I PENDAHULUAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kawasan perkotaan di Indonesia cenderung mengalami permasalahan

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENDAHULUAN. karena Indonesia merupakan negara kepulauan dengan garis pantai mencapai

BAB I PENDAHULUAN. Model Genesi dalam Jurnal : Berkala Ilmiah Teknik Keairan Vol. 13. No 3 Juli 2007, ISSN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 73 TAHUN 2013 TENTANG RAWA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Hutan sebagai sebuah ekosistem mempunyai berbagai fungsi penting dan strategis bagi kehidupan manusia. Beberapa fungsi utama dalam ekosistem sumber daya hutan adalah fungsi ekonomis, ekologis dan sosial budaya. Fungsi ekonomi sumber daya hutan adalah sebagai sumber pakan, bahan bangunan, tempat tinggal, bahan perdagangan dan manfaat lainnya. Fungsi ekologis antara lain sebagai penyerap karbondioksida (carbon sequester) dan gas-gas beracun lainnya, melindungi dari gas-gas akibat adanya efek rumah kaca hutan, menjaga keseimbangan sumber daya air sepanjang musim, dan juga pencipta iklim mikro yang sesuai untuk berbagai kehidupan hayati. Pendahuluan 1

Fungsi sosial ekosistem hutan berupa manfaat yang tidak hanya dirasakan oleh masyarakat yang ada di hutan akan tetapi juga masyarakat di luar kawasan hutan. Ekosistem hutan juga berperan membentuk aneka ragam budaya masyarakat akibat interaksi manusia dengan alam yang memungkinkan munculnya teknologi tepat guna setempat, bahasa, jenis pangan, dan seni. Oleh karena itu kondisi ekosistem hutan yang sehat akan memperkuat daya dukung bagi berbagai proses kehidupan manusia di sekitarnya. Pulau Bintan dan pulau-pulau kecil di Kabupaten Lingga seperti Pulau Singkep, Pulau Lingga, Pulau Sebangka, dan beberapa pulau lainnya memiliki posisi strategis bagi perkembangan Asia Tenggara. Kawasan ini terletak di jalur perlintasan perdagangan ramai yang menghubungkan beberapa negara. Posisi strategis ini membutuhkan kondisi ekosistem dan daya dukung kehidupan manusia yang sehat. Mengingat fungsi strategis hutan bagi penyangga kehidupan manusia, maka ekosistem hutan di kawasan Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga berperan sangat penting untuk mendukung pembangunan yang pesat. Sehingga kelangsungan peran strategis kepulauan ini akan sangat ditentukan oleh keberadaan ekosistem hutannya. Penyediaan lingkungan yang sehat dan nyaman merupakan faktor pendukung proses kehidupan manusia di kawasan Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga. Penyediaan Air, udara dan lingkungan yang sehat merupakan faktor-faktor utama pendukung keberlangsungan kehidupan manusia. Beberapa kriteria lingkungan hidup yang baik bagi kehidupan manusia adalah tersedianya sumber air yang sehat, layak untuk dikonsumsi, terdapat habitat hunian yang sehat, dan tersedia udara yang segar dan sehat. Selain itu, juga untuk keperluan lingkungan lainnya, seperti tersedianya lahan pertanian yang layak untuk aneka usaha pertanian, perkebunan, kehutanan, dan gatra usaha lain. Memiliki ekosistem hutan yang sehat adalah cara paling murah dan sederhana untuk menyediakan lingkungan yang ideal bagi kawasan Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga. Kondisi ekosistem yang baik akan menciptakan ekosistem yang baik pula dalam suatu keseluruhan ekosistem lingkungan kehidupan di Pulau Bintan dan Kepulauan Lingga. Salah satu contoh yang penting adalah peran hutan bagi penyediaan air di kota Tanjung Pinang di Pulau Bintan. Dinamika kota ini sebagai buffer Singapura akan terhenti apabila supply air bersih tidak lagi dapat disediakan oleh hutan di Pulau Bintan. Pendahuluan 2

Proses penyediaan ekosistem hutan yang baik tidak terlepas dari berbagai kendala dan permasalahan dalam pengelolaannya. Fenomena menyusutnya kawasan hutan, dan degradasi akibat konversi lahan jelas akan memberi dampak buruk bagi kelestarian ekosistem. Hal ini juga terjadi di kawasan Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga. Dua faktor utama penyebab kemunduran ini adalah jumlah penduduk yang meningkat secara cepat dari waktu ke waktu disertai dengan intensitas pembangunan yang terus meningkat di Pulau Bintan dan Pulau Lingga. Hal tersebut yang menjadi landasan bagi penataan pemanfaatan hutan pulau-pulau tersebut (Telepta,2001). Pulau-pulau kecil seperti halnya Pulau Bintan dan pulau-pulau di Kabupaten Lingga memiliki keunikan dan keunggulan dari segi keaslian, keragaman dan kekhasan sumber daya alam dan ekosistem. Akan tetapi kawasan ini juga memiliki banyak permasalahan dari segi keterbatasan sumber daya alam khususnya air bersih, kondisi sosial ekonomi penduduk, isolasi daerah, ancaman bencana alam, keterbatasan infrastruktur dan kelembangaan. Potensi pulau-pulau kecil sering kurang mendapat perhatian yang memadai dari pemerintah dan swasta dalam usaha meningkatkan pertumbuhan ekonomi rakyat karena pertimbangan-pertimbangan perspektif ekonomi yang kurang menguntungkan (Telepta,2001) Beberapa peneliti seperti halnya Dahuri (1998), Sugandhy (1998), Yudhohusodo (1998), Sriwidjoko (1998), Solomon,S.M. dan Forbes, D.L. (1999); mengidentifikasi masalah-masalah yang ada pada pulau-pulau kecil sebagai akibat kondisi biogeofisik pulau-pulau tersebut adalah keberadaan penduduk maupun ekosistem alam pulau tersebut dan beberapa masalah yang utama adalah : 1. Secara ekologis pulau-pulau kecil amat rentan terhadap pemanasan global, angin topan dan gelombang tsunami. Erosi pesisir disebabkan kombinasi faktor-faktor tersebut terbukti sangat progresif dalam mengurangi garis pantai kepulauan kecil. Akibatnya adalah penurunan jumlah makhluk hidup, hewan-hewan maupun penduduk yang mendiami pulau tersebut. 2. Pulau-pulau kecil diketahui memiliki sejumlah spesies-spesies endemik dan keanekaragaman hayati yang tipikal yang bernilai tinggi, apabila terjadi perubahan lingkungan pada daerah tersebut, maka akan sangat mengancam keberadaan keanekaragaman hayati dan fungsi ekologisnya. 3. Untuk pulau kecil yang letaknya jauh dari pusat pertumbuhan, pembangunannya tersendat akibat sulitnya transportasi dan SDM. Pulau ini tetap bisa dikembangkan akan tetapi diperlukan biaya yang lebih besar untuk pengembangannya. Pendahuluan 3

4. Pulau-pulau kecil memiliki daerah tangkapan air yang sangat terbatas sehingga ketersediaan air tawar merupakan hal yang memprihatinkan. Untuk kegiatan pengembangan seperti pariwisata, industri dan listrik tenaga air akan sangat terbatas. 5. Pengelolaan pulau-pulau kecil belum terintegrasi dengan pengelolaan daerah pesisir. Hal lain yang sering menjadi masalah adalah keterbatasan pemerintah daerah dan kurangnya dana untuk mengembangkan pulau-pulau sekitarnya. 6. Sampai saat ini belum ada klasifikasi menyangkut keadaan biofisik, sosial ekonomi terhadap pulau-pulau kecil yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pengelolaan atas alokasi sumber daya alam agar lebih efektif. Adanya beberapa perubahan tersebut akan memberi dampak baik secara langsung ataupun tidak langsung terhadap biota dan habitatnya. Apabila kerusakan lingkungan terus terjadi maka flora dan fauna akan terancam dan terus menurun yang selanjutnya akan mengurangi keanekaragaman hayati pada pulau-pulau kecil tersebut. Bila hal ini terjadi maka pada suatu saat pulau-pulau tersebut tidak akan layak untuk dihuni. Oleh karena itu harus ada perencanaan yang baik untuk tercapainya pembangunan yang berkelanjutan di pulau-pulau tersebut. Kegiatan ORIENTASI PRA REKONSTRUKSI KAWASAN HUTAN DI PULAU BINTAN DAN KABUPATEN LINGGA dalam rangka mengetahui tentang kondisi luasan, tata batas kawasan hutan sehingga dapat diketahui luas potensi riil setiap tipe hutan, potensi keanekaragaman hayati, penaksiran keadaan kualitas tipe hutan (kesehatan hutan), penaksiran tingkatan kehidupan vegetasi setiap tipe hutan (tingkatan pioneer, perkembangan dan klimaks), kemungkinan konversi untuk tataguna lahan lainnya. Atau berkaitan dengan fungsi tataguna lahan lainnya (pertanian, perkebunan, pariwisata alam, pemukiman, dan kaitannya terkini. Dengan adanya pemahaman potensi ini diharapkan segala aspek pemanfaatan ekosistem sumber daya hutan tetap dapat dipertanggungjawabkan kelestariannya. Kelestarian ini haruslah terjadi secara simultan dan integrative. Meskipun suatu sumber daya hutan itu ditujukan untuk fungsi produksi, fungsi fungsi perlindungan harus tetap ada, demikian juga sebaliknya. Pengetahuan tentang potensi ekosistem sumber daya hutan secara riil, jelas akan bermanfaat untuk mendukung pengembangan pembangunan di segala bidang di kawasan Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga. Oleh karena itu kajian ini perlu Pendahuluan 4

dilaksanakan, untuk sedini mungkin mencegah terjadinya proses degradasi ekosistem sumber daya hutan dengan metode dan proses yang benar. Keterkaitan semua pihak dalam pengelolaan sumber daya hutan diharapkan dapat memberikan manfaat seluas-luasnya untuk kepentingan bersama dan untuk generasi mendatang. Terlebih kawasan Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga merupakan kawasan strategis sebagai pusat perdagangan, industri di kawasan Asia Tenggara. Tentusaja hal ini akan berdampak pada daya dukung lingkungan pulau-pulau kecil tersebut. Kepulauan Riau secara biogeografis merupakan formasi geologis yang terjadi berjutajuta tahun silam, sehingga membentuk isolasi geografis yang unik. Keterisolasian ini akan menambah keanekaragaman organisme yang hidup di pulau tersebut serta dapat juga membentuk kehidupan unik. Hal inilah yang menyebabkan tingkat keendemikan spesies di pulau-pulau kecil memiliki proporsi yang tinggi dibandingkan dengan pulau kontinent. Kebudayaan yang muncul sebagai pengaruh geografis juga menentukan masa depan ekosistem di pulau-pulau tersebut. 1.2. Ruang Lingkup Kegiatan Berkaitan dengan ketersediaan dana anggaran pada Tahun Anggaran 2006 ini, lingkup pekerjaan difokuskan pada: 1. Cakupan Substansi Menyangkut potensi tipe hutan yang ada dan persebaran lokasinya (luasanya) di Pulau Bintan, Lingga dan Singkep. Dari hasil informasi sekunder dan primer yang didapatkan, guna memprediksi kecenderungan yang terjadi, konteks permasalahannya dan pemanfaatan yang memungkinkan dalam kaitannya dengan upaya pengembangan wilayah Pulau Bintan, Lingga dan Singkep 2. Cakupan Areal Keseluruhan kawasan administratif yang ada di Pulau Bintan, Lingga dan Singkep. 3. Cakupan Temporal Kejadian perkembangan tahun terakhir dan tahun-tahun sebelumnya diharapkan mencakup proses kejadian pada kawasan-kawasan hutan di Pulau Bintan, Lingga dan Singkep. Hal ini bermanfaat untuk menggambarkan prospek kehidupan wilayah pulau-pulau tersebut yang bakal mempengaruhi tata kelola sumber daya hutan yang ada. Pendahuluan 5

4. Cakupan Kedalaman Studi Atas ketentuan besaran dana yang dialokasikan, kedalaman studi berada pada amatan kualitatif terhadap eksistensi, kecenderungan perkembangan dan prospek masa depan, ditunjang dengan amatan kuantitatif tentang besaran jenis yang ada, luasan areal, sebaran lokasi, dan usaha-usaha yang dilakukan terkait potensinya yang ada pada saat ini. Sebagai catatan, perlu ditekankan bahwa pada studi kali ini tidak dilakukan pengukuran yang bersifat eksploratif tentang potensi besaran produksi tegakan hutan dan yang bertalian dengan detail pengusahaan hutan. 1.3. Maksud dan Tujuan 1.3.1. Maksud: Maksud kegiatan Orientasi pra Rekonstruksi Kawasan Hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga adalah untuk menyusun arahan pengelolaan hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga 1.3.2. Tujuan: 1. Mengukur dan memetakan kawasan hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga. 2. Memetakan wilayah-wilayah hutan sesuai potensi dan rehabilitasinya. 3. Mengetahui cara penanganan konservasi dan rehabilitasi kawasan mangrove yang tingkat kerusakannya makin kritis akibat penebangan dan peruntukan lain seperti perumahan, tambak ataupun industri. 4. Untuk mengambil tindakan dalam penataan ekosistem hutan berkaitan dengan sumberdaya alam lainnya (misal dengan pertambangan, pemukiman, pertanian, perikanan, kepariwisataan, dan pengembangan wilayah). 5. Tindakan pengelolaan ekosistem hutan dalam berbagai keperluan pembangunan. 6. Rencana penataan dan pemanfaatan ekosistem sumberdaya hutan yang berkelanjutan, baik pemanfaatan maupun sumberdayanya. 1.4. Output Hasil utama yang di harapkan dalam kegiatan ini adalah laporan berisikan: 1. Data dan peta tentang luas serta sebaran kawasan hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga 2. Arahan pengelolaan kawasan hutan di Pulau Bintan dan Kabupaten Lingga. Pendahuluan 6