Kalau saya ditanya, tanpa tedeng aling-aling menyimpulan karya berita yang ditampilkan sebagian sebagian berselera rendah, tidak mendidik, melanggar Kode Etik Jurnalistik Diskusi kecil saya dengan M. Rudy Irfan selaku pimpinan salah satu bank nasional di Medan Rabu (28 Juli) menyimpulkan akan sulit menghilangkan tayangan ala di media massa, baik cetak maupun elektronik karena tayangan tak mendidik itu banyak peminatnya dan tinggi ratingnya. Mengapa mereka keranjingan tayangan jenis hiburan berselera rendah? Tidak lain karena tingkat pendidikannya memang belum menjangkau hal-hal yang lebih rasional dan bermanfaat bagi masa depan. Informasi atau tayangan tak mendidik yang saya maksud tidak saja terkait dengan berita dalam belaka, tapi juga menyangkut tayangan-tayangan lainnya, seperti film, sinetron, talk show, lawakan, kuis, dunia gaib dll yang topik dan narasumbernya kurang memberikan pencerahan atau tidak mencerdaskan masyarakat. Pasca dikeluarkannya tujuh fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat pada Selasa 27 Juli 2010 di Jakarta, pro dan kontra seputar tayangan tak mendidik ala kembali marak. Terutama di kalangan jurnalis dan organisasinya (PWI/AJI/Dewan Pers, dan KPI). Sudah cukup lama terjadi perdebatan, apakah tayangan berita ala termasuk karya jurnalistik (fakta) atau karya jurnalistik abal-abal karena non-faktual alias menjual gosip murahan belaka. Kalau saya ditanya, tanpa tedeng aling-aling menyimpulan karya berita yang ditampilkan sebagian sebagian berselera rendah, tidak mendidik, melanggar Kode Etik Jurnalistik. Lumayan kalau mereka mau bergabung dengan PWI/AJI sehingga bisa dibina untuk lebih memahami tugas dan tanggung jawab sebagai wartawan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pers No 40/1999. Sayangnya, sebagian awak infotainm ent memi lih jalan sendiri karena mereka dipekerjakan oleh pemilik rumah produksi, diberi target. 1 / 6
Wajar kalau mereka kurang memahami kode etik dan tahapan reporting sehingga cara kerjanya terlihat kasar dan brutal terhadap narasumber. Mereka cenderung menghalalkan segala cara, mengejar target berita versi mereka yang berarti menomorsatukan kepentingan pribadi untuk mendapatkan uang. Saya memahami tidak mudah bagi MUI membuat fatwa haram, khususnya bagi tayangan infota inment, karena harus melakukan kajian mendalam, melihat isinya dari berbagai aspek hukum dan kemajuan zaman sebelum membuat ijtihad berdasarkan acuan utamanya Al-Quran dan Al-Hadits. Dan tidak semua isi dalam tayangan tidak mendidik. Ternyata, kajian MUI sepakat memandang tayangan berita ala masuk dalam kategori ghibah. Sehingga MUI Pusat tak ragu memutuskan setiap pemberitaan, penyiaran dan penayangan aib orang, gosip, fitnah masuk dalam golongan haram. Berarti, yang menonton pun terkena larangan atau sanksi dosa. Konsekuensi dosa bagi pembuatnya maupun bagi yang membaca, mendengar, atau menontonnya. Sangat menarik mengkaji ketujuh fatwa itu:1. Membolehkan asas pembuktian terbalik dalam kasus hukum tertentu misalnya untuk pembuktian kekayaan seseorang yang diduga diperoleh secara tidak sah; 2. Membolehkan pilot yang sedang bertugas tidak berpuasa di bulan Ramadhan. Bagi yang terbang terus-menerus dapat mengganti puasa dengan fidyah, sementara yang temporer bisa mengganti dengan puasa di lain hari; 3. Mengharamkan kawin kontrak atau nikah wisata; 4. Operasi ganti kelamin diharamkan tanpa ada alasan alamiah dalam diri yang bersangkutan sesuai regulasi Kementerian Kesehatan. Pengharaman juga berlaku bagi tenaga medis yang melakukan. Namun MUI membolehkan penyempurnaan alat kelamin; 5. Mengharamkan donor sperma dan bank sperma. Namun bank air susu ibu dibolehkan; 6. Mengharamkan donor organ jika pendonor masih hidup. 2 / 6
Pendonor harus sudah meninggal, sukarela dan tidak komersial. Sementara donor organ binatang dibolehkan jika tak ada pilihan lain. 7. Mengharamkan pemberitaan, penyiaran dan penayangan aib orang. Pengecualian hanya demi kepentingan umum seperti untuk penegakan hukum. Tapi fatwa ketujuh yang akan saya bahas lebih lanjut. Tayangan Sampah Terkait dengan fatwa MUI Pusat mengharamkan berita ala yang senang membuka aib orang, publik kembali terkejut. Mudah-mudahan keterkejutan kali ini dibarengi dengan perubahan sikap. Artinya, tidak seperti yang lalu-lalu. Fatwa dianggap angin lalu. Sebelumnya, sejumlah ulama di pesantren sudah menyatakan hal serupa, tapi kurang didengar. Kita juga mengetahui adanya fatwa haram yang diputuskan pada Munas Alim Ulama NU di Surabaya tahun 2006 tapi gaung pro-kontranya juga hanya sebentar. Bahkan, belakangan ini semakin marak tayangan sejenis di media massa elektronik. Publik dijejali tayangan sampah yang kontennya berupa gosip, fitnah, pornografi, dan rumor yang tak jelas asal-usulnya. Hal-hal yang tak penting itu ditayangkan sejak pagi, siang, hingga malam hari. Sedangkan upaya pemberian sanksi tegas buat mereka yang terlibat di dalamnya, apakah oknum 3 / 6
wartawan, atau yang memproduksinya dan juga media televisinya belum terlihat sama sekali. Peran KPI dan pihak sensor sepertinya tidak jalan. Saya memang sejak lama membagi media massa dalam dua bagian. Media yang positif dan media negatif. Media massa cetak positif cukup berkembang. Mereka menjalankan fungsi pers; menyebarkan informasi secara profesional, mendidik, menjalankan sosial control, menghibur dll. Jumlah pembacanya sangat besar dibanding media massa negatif. Di media audio visual pun serupa saja. Selalu ada tayangan yang positif dan negatif. Informasi berita maupun hiburan yang positif cukup menonjol, namun informasi berita maupun tayangan hiburan yang negatif pun berkembang pesat. Complain masyarakat mengalir deras, namun tidak ada tindak lanjut, serba mengambang, karena masing-masing mempunyai argumentasi dan berusaha bisa tetap eksis. Rekan-rekan jurnalis mengategorikan tayangan tak mendidik itu sama dengan sampah tak berguna. Jadi harus dibersihkan dari ranah jurnalistik. Tapi, upaya melakukan pembersihan tidak semudah mengucapkannya. Masalahnya, tidak semua isi tayangan itu masuk jenis sampah, terkadang muncul juga liputan yang benar-benar menarik, informasinya dibutuhkan masyarakat, mendidik. Oleh karena itu, fatwa haram MUI Pusat tidak terbatas berita sampah di tayangan infotainme nt belaka, 4 / 6
tetapi semua media massa baik cetak (surat kabar, majalah, tabloid) maupun radio dan televisi, termasuk online yang isinya meresahkan masyarakat, menyangkut hal-hal yang sia-sia, apalagi dapat merusak keimanan, menjadikan keburukan atau aib orang sebagai bahan pembicaraan, menjadi gunjingan sehingga membuat masyarakat, khususnya wanita dan ibu-ibu, bahkan kaum lelaki juga ikut-ikutan menjadi tidak produktif. Penutup Kondisi yang awalnya biasa-biasa saja, di mana media massa menjadikan soft news atau feature sebagai pelengkap dan variasi atau hiburan, kini sudah berbalik menjadi menu utama sehingga sangat membahayakan masa dengan masyarakat, terutama sekali generasi muda. Justru itu kita mendukung fatwa MUI yang mengharamkan tayangan ala berita infortainment. Mencermati kondisi yang demikian, perkembangan media semakin meresahkan maka keputusan para ulama membuat fatwa haram terhadap berita ala wajib didukung semua elemen masyarakat. Sangat positif sebagai pesan moral. Fatwa haram MUI ini sangat tepat sesuai dengan ajaran Islam. Harapan kita tentunya masyarakat tidak menjadikan berita yang sarat dengan gosip, menyebarkan aib orang, fitnah dll yang tak berguna itu sebagai kebutuhan. Umat Islam perlu mematuhi fatwa meskipun dalam hukum positif bisa tidak mengikat. Tapi, semuanya itu terpulang pada masyarakat. Kuncinya ada di tangan pembaca, pendengar, dan pemirsa. Jangan mau dijadikan budak tayangan sampah. Kalau masyarakat tidak menonton tayangan sampah sejenis berita dipastikan stasiun televisi akan menghentikannya. Saya berharap rekan-rekan seprofesi mendukung penuh fatwa MUI melawan berita ala 5 / 6
sekaligus membersihkan tanyangan sampah. ***** ( Sofyan Harahap : Penulis adalah wartawan Waspada ) 6 / 6