BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah. Adanya perubahan Undang-Undang Otonomi daerah dari UU

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB I PENDAHULUAN. 22 Tahun 1999 yang diubah dalam Undang-Undang No. 32 Tahun tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan ekonomi ini menandakan pemerataan pembangunan di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki potensi pajak yang sangat

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

I. PENDAHULUAN. Tujuan pembangunan otonomi daerah adalah mempercepat pertumbuhan ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk

BAB 1 PENDAHULUAN. pembangunan senantiasa memerlukan sumber penerimaan yang memadai dan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam sistem negara kesatuan, pemerintah daerah merupakan bagian yang

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan perekonomian Indonesia akan diikuti pula dengan kebijakankebijakan

I. PENDAHULUAN. daerahnya sendiri dipertegas dengan lahirnya undang-undang otonomi daerah yang terdiri

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. berubah menjadi sistem desentralisasi atau yang sering dikenal sebagai era

BAB I PENDAHULUAN. yang merupakan revisi dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menyatakan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. Dengan dikeluarkannya undang-undang Nomor 22 Tahun kewenangan yang luas untuk menggunakan sumber-sumber keuangan

BAB I PENDAHULUAN. Konsekuensi dari pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi tersebut yakni

BAB I PENDAHULUAN. era baru dalam pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Pembiayaan

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional pada hakekatnya merupakan upaya dalam meningkatkan kapasitas

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemberian otonomi luas

I. PENDAHULUAN. pembangunan secara keseluruhan dimana masing-masing daerah memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. semua itu kita pahami sebagai komitmen kebijakan Pemerintah Daerah kepada. efisien dengan memanfaatkan sumber anggaran yang ada.

BAB I PENDAHULUAN. suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1999 yang disempurnakan dengan UU No. 12 Tahun 2008 tentang

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah pusat, dikarenakan tingkat kebutuhan tiap daerah berbeda. Maka

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Hal tersebut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH DI SURAKARTA. (Studi Empiris di Surakarta Tahun Anggaran )

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mengingat kebutuhan serta kompleksitas permasalahan yang ada saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. Suatu pemerintahan Daerah memiliki tujuan untuk membangun daerahnya dan

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah di Indonesia telah membawa

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi di dalam peraturan perundang-undangan telah

BAB 1 PENDAHULUAN. disebutanggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Baik untuk

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu bidang dalam akuntansi sektor publik yang menjadi

PENDAHULUAN. daerah yang saat ini telah berlangsung di Indonesia. Dulunya, sistem

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan rakyat, termasuk kewenangan untuk melakukan pengelolaan

BAB I PENDAHULUAN. Karena pembangunan daerah merupakan salah satu indikator atau penunjang dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan kewenangan yang diberikan oleh pemerintah pusat

I. PENDAHULUAN. Pelaksanaan pembangunan daerah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

BAB V PENUTUP. mengelola daerahnya, sehingga kebutuhan kebutuhan daerah dapat dipenuhi.

BAB I PENDAHULUAN. oleh setiap daerah di Indonesia, terutama Kabupaten dan Kota sebagai unit pelaksana

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Lahirnya kebijakan ekonomi daerah yang mengatur hubungan pemerintah

I. PENDAHULUAN. kehidupan baru yang penuh harapan akan terjadinya berbagai langkah-langkah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 03/PMK.07/2007 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. ekonomi juga merupakan indikator pencapaian pembangunan nasional. akan memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi.

BAB 1 PENDAHULUAN. otonomi daerah. Otonomi membuka kesempatan bagi daerah untuk mengeluarkan

BAB 1 PENDAHULUAN. adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dalam era globalisasi dan

BAB I PENDAHULUAN. dikenal sebagai kota pendidikan dan kota pariwisata dengan jumlah penduduk

BAB 1 PENDAHULUAN. implikasi pada pelimpahan wewenang antara pusat dan daerah dalam berbagai bidang.

BAB I PENDAHULUAN. baik dapat mewujudkan pertanggungjawaban yang semakin baik. Sejalan dengan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan

Tabel 3.1. Anggaran, Realisasi, dan Pelaksanaan Urusan Wajib

BAB I PENDAHULUAN. Pemerintah telah melakukan reformasi di bidang pemerintahan daerah dan

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan negara maupun daerah. sumber daya alamnya sendiri. Sumber dana bagi daerah antara lain terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN. daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya, kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. kapasitas fiskal yaitu pendapatan asli daerah (PAD) (Sidik, 2002)

BAB I PENDAHULUAN. berwewenang untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan adalah usaha menciptakan kemakmuran dan kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi tahun 1998 memberikan dampak yang besar dalam bidang

BAB I PENDAHULUAN. Keuangan pada tahun Pelaksanaan reformasi tersebut diperkuat dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

kenegaraan maupun kebijakan perekonomian. Pada era reformasi saat ini membawa perubahan paradigma sistem pemerintahan nasional, dari sistem

BAB I PENDAHULUAN. yang digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan prinsip

BAB I PENDAHULUAN. Pelaksanaan otonomi daerah yang dititikberatkan pada daerah. kabupaten dan kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah

BAB I PENDAHULUAN. Di era reformasi yang berdampak perubahan dalam undang-undang pajak

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Reformasi sektor publik yang disertai adanya tuntutan demokratisasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam menentukan nilai ekonomis aset dan potensi harta kekayaan. Di Indonesia,

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki wilayah yang luas, dalam menyelenggarakan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan pembangunan nasional sebagaimana tercantum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pengertian PAD dan penjabaran elemen-elemen yang terdapat dalam PAD.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tuntutan reformasi disegala bidang membawa dampak terhadap hubungan

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

BAB I PENDAHULUAN. tahun 1999 dan UU no. 25 tahun 1999 yang dalam perkembangannya kebijakan ini

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pemberlakuan otonomi daerah di Indonesia adalah

BAB I PENDAHULUAN. adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan

BAB 1 PENDAHULUAN. Pajak merupakan wujud partisipasi masyarakat dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian (Kuncoro, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat provinsi maupun tingkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan wujud partisipasi dari masyarakat dalam. pembangunan nasional. Pajak merupakan salah satu pendapatan

BAB I PENDAHULUAN. (Khusaini 2006; Hadi 2009). Perubahan sistem ini juga dikenal dengan nama

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan yang sentralisasi menjadi struktur yang terdesentralisasi dengan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Adanya perubahan Undang-Undang Otonomi daerah dari UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah menjadi UU No 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan UU No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah merupakan salah satu upaya pemerintah agar pelaksanaan otonomi daerah dapat berjalan dengan baik. Perubahan ini dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteran masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat. Otonomi seluas-luasnya yang diberikan kepada daerah diharapkan mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, serta potensi keanekaragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara umum, baik dalam UU No 22 dan 25 Tahun 1999 maupun UU No 32 dan 33 tahun 2004, dalam hal pelaksanaan otonomi daerah tersebut, terdapat empat elemen dasar yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah. Keempat elemen tersebut adalah desentralisasi politik, desentralisasi fiskal, desentralisasi administratif, dan desentralisasi ekonomi. Keempat elemen tersebut menjadi kewajiban daerah untuk mengelolanya secara efisien dan efektif 1

sehingga dengan demikian akan terjadi kemandirian atau kemampuan untuk melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik. Salah satu elemen yang diserahkan kepada daerah dalam UU tersebut adalah desentralisasi fiskal ( fiscal dezentralization) atau pelimpahan sebagian kewenangan dari pemerintah pusat kepada daerah dalam bidang keuangan. Adanya desentralisasi fiskal ini, diharapkan pemerintah daerah akan dapat melaksanakan fungsi-fungsinya secara lebih efektif dengan didukung oleh sumber-sumber keuangan yang memadai, baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), dana perimbangan maupun pendapatan lain yang sah. Di Indonesia, kemandirian keuangan daerah tidak berarti bahwa setiap tingkat pemerintahan daerah otonom harus dapat membiayai seluruh keperluannya dari penerimaan PAD. Kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah telah mengatur secara pasti pengalokasian dana perimbangan, yaitu dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Berkaitan dengan hal tersebut, Devas (1989 : 46) juga menyatakan bahwa pemerintah daerah tidak harus berdiri sendiri agar dapat memiliki tingkat otonomi yang berarti. Hal terpenting adalah wewenang di tepi, yang artinya memiliki penerimaan daerah yang cukup sehingga dapat mengadakan perubahan di sana-sini pada tingkat 2

jasa layanan yang disediakan. Untuk ini, mungkin dapat terealisasi jika 20% dari pengeluaran berasal dari sumber-sumber daerah. Akan tetapi, persoalan sumber daya keuangan yang tidak mencukupi ini bukan sekedar menyangkut otonomi daerah, melainkan juga menyangkut kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan tugas yang telah diberikan kepadanya. Selain itu, dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang terutama dititikberatkan pada pemerintah daerah kabupaten/kota tersebut, hingga saat ini kemampuan keuangan beberapa pemerintah daerah kabupaten/kota masih sangat tergantung pada penerimaan yang berasal dari pemerintah pusat. Hal ini disebabkan karena sumber dari PAD kabupaten/kota masih relatif sangat kecil dan proporsi PAD terhadap APBD di seluruh kabupaten/kota di Indonesia terus menurun. Ini menunjukkan betapa kecilnya sumber penerimaan yang dapat dihasilkan oleh pemerintah daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Untuk membawa daerah pada derajat ekonomi yang berarti dan mengarah pada kemandirian daerah, faktor kemampuan keuangan daerah merupakan parameter utama sebagai tolak ukur suatu daerah bisa dikatakan mampu berotonom dan mandiri. Kemampuan keuangan daerah merupakan salah satu bobot paling penting dalam penyelenggaraan otonomi ini, artinya daerah otonom memiliki kewenangan sendiri untuk menggali sumber bagi keuangan daerah, 3

mengelola dan menggunakan keuangan sendiri untuk membiayai penyelenggaraan pembangunan daerah. Oleh karena itu, setiap daerah dituntut harus dapat membiayai diri melalui sumber-sumber keuangan yang dikuasainya. Peranan pemerintah daerah dalam menggali dan mengembangkan potensi daerah sebagai sumber penerimaan daerah akan sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat di daerah. Sumber-sumber pendapatan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi menurut Undang-undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 157 dan pasal 5 Undang-undang Nomor 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, terdiri dari: (1) Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang meliputi hasil pajak daerah, hasil retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dan lain-lain PAD yang sah, (2) dana perimbangan serta (3) lain -lain pendapatan daerah yang sah. Pemerintah Daerah diharapkan meningkatkan PAD untuk mengurangi ketergantungan terhadap pembiayaan dari pusat, sehingga mampu meningkatkan otonomi dan keleluasaan daerah ( local discretion). Langkah penting yang harus dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan penerimaan daerah adalah menghitung potensi PAD riil yang dimiliki daerah dengan metode penghitungan potensi PAD yang sistematis dan rasional. Namun demikian, upaya 4

peningkatan kapasitas fiskal di daerah ( fiscal capacity) sebenarnya tidak hanya menyangkut peningkatan PAD tetapi juga menyangkut optimalisasi sumber-sumber penerimaan daerah. Berdasarkan UU No. 33 Tahun 2004, disebutkan bahwa salah satu sumber pendapatan daerah adalah dana perimbangan. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa dana perimbangan merupakan dana yang bersumber dari penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang dialokasikan kepada daerah untuk membiayai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Selanjutnya dana perimbangan diatur dalam PP No.104 Tahun 2000 tentang dana perimbangan, dana perimbangan ini bersumber dari (1) Bagi Hasil Pajak dan Penerimaan SDA, (2) Dana Alokasi Umum (DAU), (3) Dana Alokasi Khusus ( DAK). Sedangkan dana bagi hasil pajak terdiri dari (a) Pajak Perseorangan (PPh), (b) Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan (c) Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan bangunan (BPHTB). Dari beberapa macam dana perimbangan menurut PP No.104 Tahun 2010, salah satu dana perimbangan yang terbesar bagi daerah adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) karena penerimaan negara dari Pajak Bumi dan Bangunan dibagi dengan imbangan 10% (sep uluh persen) untuk pemerintah pusat dan 90% (sembilan puluh persen) untuk daerah. Hal ini mendorong daerah untuk berupaya meningkatkan penerimaan PBB sebagai salah satu cara untuk meningkatkan peneriman daerahnya. 5

Kabupaten Sleman merupakan daerah yang perekonomiannya masih berbasis pada sektor pertanian dan pariwisata sehingga penerimaan daerah banyak berasal dari pajak dan retribusi daerah. Salah satu sumber pendapatan di luar pajak dan retribusi daerah yang cukup potensial adalah penerimaan PBB yang di Kabupaten Sleman disebut sebagai Pajak Bumi Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB -P2) dan dikelola oleh Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda). Dari tahun ke tahun jumlah ketetapan Objek PBB-P2 di Kabupaten Sleman terus meningkat, hal ini dapat dilihat dari tabel berikut : Tabel 1. Data Perbandingan Jumlah Objek PBB-P2 Kabupaten Sleman dalam Tiga Tahun Terakhir Dirinci Per Kecamatan No Kecamatan Tahun 2010 2011 2012 1 Gamping 40.958 40.752 41.641 2 Godean 39.684 39.838 40.155 3 Moyudan 35.627 35.596 35.668 4 Minggir 32.572 32.612 33.195 5 Seyegan 34.816 34.857 34.961 6 Mlati 38.713 38.939 39.330 7 Ngaglik 44.084 44.421 45.115 8 Sleman 33.708 33.943 34.154 9 Tempel 32.614 32.741 33.418 10 Turi 28.850 27.019 29.151 11 Pakem 25.998 26.027 26.113 12 Depok 43.612 44.018 44.650 13 Berbah 25.602 25.685 26.307 14 Kalasan 41.480 41.675 42.074 15 Prambanan 29.273 29.082 29.131 16 Ngemplak 33.948 34.743 35.054 17 Cangkringan 22.117 22.126 22.162 Jumlah 583.656 584.074 592.279 Sumber : Dipenda Kabupaten Sleman, 2013 6

Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa selama tiga tahun terakhir jumlah objek PBB-P2 di Kabupaten Sleman terus mengalami peningkatan. Tentunya dengan adanya peningkatan jumlah objek PBB- P2 tersebut diikuti dengan meningkatnya jumlah ketetapan penerimaan PBB-P2. Walaupun selama tiga tahun terakhir jumlah ketetapan PBB- P2 / pokok massal terus meningkat, tetapi target penerimaannya masih belum mencapai 100%. Hal ini dapat dilihat dari data yang diperoleh dari Dipenda Kabupaten Sleman sebagai berikut : Tabel 2. Data Perbandingan Pokok Massal PBB Kabupaten Sleman No Tahun Pokok Realisasi Presentase Ketetapan 1 2010 58.361.035.097 38.361.829.927 65,73 % 2 2011 57.384.751.922 39.339.738.167 68,55 % 3 2012 67.994.194.434 46.754.235.247 68,76 % Sumber : Dipenda Kabupaten Sleman, 2013 Dari tabel tersebut dapat diketahui bahwa pada tahun 2011 jumlah pokok ketetapan/ pokok massal yang ditargetkan oleh Dipenda Kabupaten Sleman mengalami penurunan, hal ini disebabkan karena adanya erupsi gunung Merapi yang menyebabkan turunnya pendataan objek PBB. Akan tetapi pada tahun 2012 jumlah pokok massal meningkat secara signifikan. Selama tiga tahun terakhir jumlah realisasi penerimaan PBB-P2 di Kabupaten Sleman juga terus meningkat namun jika dipresentasekan realisasi penerimaan PBB-P2 selama tiga tahun 7

terakhir masih belum bisa mencapai 100%, hal tersebut dapat terjadi karena berbagai permasalahan. Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, mencatat tunggakan pajak bumi dan bangunan perkotaan dan perdesaan di wilayah setempat mencapai Rp98 miliar selama 10 tahun terakhir. Besarnya jumlah tunggakan tersebut selain karena memang banyak pemilik objek pajak yang belum melunasi, juga karena ada kesalahan-kesalahan dalam ketetapan PBB kurun waktu sebelumnya, ( jogja.antaranews.com,2012). Selain itu,kebanyakan tunggakan ini terjadi karena kesalahan pendataan pemilik objek pajak banyak data PBB yang masih diragukan atau pemilik tercatat di dua sertifikat ( solopos.com,2012).faktor lain yang menjadi penyebab belum lunasnya PBB antara lain ketetapan ganda, salah menetapkan dan pemilik bekerja di Jakarta. Hal-hal inilah yang menyebabkan PBB di Kabupaten Sleman hingga saat ini baru mencapai 59 persen dari total 592.000 NJOP (jogja.tribunnews.com.2012). Berdasarkan permasalahan-permasalahan tersebut, Dipenda Kabupaten Sleman telah menyusun berbagai strategi untuk meningkatkan penerimaan PBB-P2 dan strategi tersebut telah diterapkan selama tiga tahun terakhir. Akan tetapi setelah penerapan strategi tersebut, realisasi penerimaan PBB-P2 masih belum dapat mencapai 100% dari target walaupun mengalami peningkatan setiap tahunnya. Seperti strategi yang dilakukan Dipenda untuk mengatasi 8

permasalahan kurangnya kesadaran wajib pajak dalam membayar pajak tepat waktu, salah satu strategi yang telah dilakukan oleh Dipenda Kabupaten Sleman agar segera ada pelunasan PBB yakni petugas melakukan door to door untuk PBB yang nilai jual objek pajak (NJOP) tinggi seperti di atas Rp 2 juta. "Untuk yang NJOPnya kecil dilakukan dengan pekan pembayaran di dusun-dusun. Selain itu, ratusan spanduk yang berisi pesan pembayaran PBB tepat waktu juga di pasang pada lokasi strategis dan di kecamatan kata Kepala Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman, Samsidi, (tribunjogja.com,2012). Berbagai permasalahan tersebut mendorong peneliti untuk ingin menelaah lebih lanjut mengenai strategi yang dilakukan oleh Dipenda Kabupaten Sleman dalam rangka meningkatkan penerimaan Pajak Bumi Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB -P2) di Kabupaten Sleman sebab selama beberapa tahun terakhir penerimaan pajak dari sektor PBB-P2 belum dapat terealisasi sesuai dengan target yang diharapkan. Berdasarkan uraian diatas, peneliti ingin melakukan penelitian dengan judul Strategi Peningkatan Penerimaan Pajak Bumi Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB -P2) di Dinas Pendapatan Daerah Kabupaten Sleman. A. Identifikasi Masalah Berdasarkan uraian-uraian dalam latar belakang masalah tersebut, dapat diidentifikasi masalah yang dihadapi yaitu sebagai berikut : 9

1. Realisasi penerimaan PBB di Kabupaten Sleman selama 3 tahun terakhir masih belum mencapai target 100% padahal dari tahun ke tahun potensi pajak cenderung mengalami peningkatan. 2. Masih terjadi tunggakan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB -P2) berdasarkan akumulasi selama 10 tahun terakhir yang mencapai 98 milliar di Kabupaten Sleman. 3. Masih banyak pemilik objek pajak PBB-P2 di Kabupaten Sleman yang belum melunasi pajaknya tepat waktu. 4. Masih banyak terjadi kesalahan dalam ketetapan PBB-P2 kurun waktu sebelum ditetapkannya jumlah objek pajak. 5. Strategi yang dirumuskan Dipenda Kabupaten Sleman masih belum mampu meningkatkan tercapainya 100% realisasi penerimaan PBB- P2 selama tiga tahun terakhir. B. Batasan Masalah Mengingat adanya keterbatasan sumber daya yang dimiliki peneliti sekaligus agar penelitian dapat dilakukan secara lebih mendalam, maka tidak semua masalah yang telah diidentifikasi akan diteliti. Penelitian ini membatasi permasalahan yang akan dikaji terkait strategi yang dilakukan Dipenda untuk mengatasi permasalahan belum tercapainya realisasi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor pedesaan dan perkotaan di Kabupaten Sleman. 10

C. Rumusan Masalah Setelah melihat latar belakang yang ada dan agar dalam penelitian ini tidak terjadi kerancuan, maka penulis membatasi dan merumuskan permasalahan yang akan di angkat dalam penelitian ini.adapun rumusan masalah yang diambil adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana strategi untuk meningkatkan penerimaan Pajak Bumi Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB -P2) di Dipenda Kabupaten Sleman? 2. Faktor-faktor apa saja yang menghambat belum tercapainya strategi peningkatan penerimaan Pajak Bumi Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Dipenda Kabupaten Sleman? 3. Faktor-faktor apa saja yang dapat mendukung tercapainya strategi peningkatan penerimaan Pajak Bumi Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Dipenda Kabupaten Sleman? D. Tujuan Sebagaimana yang diuraikan dalam rumusan permasalahan, maka yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Mengetahui strategi untuk meningkatkan penerimaan Pajak Bumi Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB -P2) di Dipenda Kabupaten Sleman. 2. Mengetahui faktor-faktor yang menghambat belum tercapainya strategi peningkatan penerimaan Pajak Bumi Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Dipenda Kabupaten Sleman. 11

3. Mengetahui faktor-faktor yang dapat mendukung tercapainya strategi peningkatan penerimaan Pajak Bumi Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Dipenda Kabupaten Sleman. E. Manfaat Penelitian Setelah tercapainya tujuan penelitian maka penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut : 1. Manfaat Teoritis a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan/sumbangan pemikiran dan informasi serta kapustakaan untuk melakukan penelitian lanjutan terkait tema dan topik dalam penelitian ini. b. Diharapkan dapat menjadi media untuk mengaplikasikan berbagai teori yang dipelajari, sehingga akan berguna dalam pengembangan, pemahaman, penalaran, pengalaman dan membentuk pola pikir dinamis, sekaligus sebagai khasanah pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu administrasi negara. 2. Manfaat Praktis a. Bagi peneliti, penelitian ini sebagai sarana mengaplikasikan berbagai ilmu pengetahuan yang telah dipelajari sekaligus untuk menambah pengetahuan tentang manajemen strategis untuk instansi pemerintah sebagai syarat untuk mendapat derajat sarjana pada Ilmu Administrasi Negara. 12

b. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Kabupaten Sleman dalam mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan daerah khususnya PAD dari PBB-P2 untuk membiayai pelaksanaan otonomi daerah, dan mencoba memberikan alternatif pemecahan masalah yang dihadapi serta upaya-upaya untuk mengatasinya. c. Bagi masyarakat, memberikan pengetahuan dan wawasan kepada masyarakat mengenai kesadaran membayar pajak dan pengetahuan tentang kewajiban sebagai wajib pajak agar dapat meningkatkan penerimaan PBB-P2 di Kabupaten Sleman. 13