PRINSIP PENCEGAHAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PRINSIP KEBEBASAN BERLAYAR DI WILAYAH SELAT

dokumen-dokumen yang mirip
NAVIGASI. Pengertian Lintas (Art. Art. 18 LOSC) SELAT SELAT REZIM HAK LINTAS. Dalam arti geografis: Dalam arti yuridis: lain.

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

Wilayah Negara Dalam Hukum Internasional

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

PENGATURAN HUKUM HAK LINTAS DAMAI MENURUT KONVENSI HUKUM LAUT 1982 DAN IMPLEMENTASINYA DI INDONESIA 1 Oleh: Monica Carolina Ingke Tampi 2

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Hukum Laut Indonesia

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ANALISIS UNDANG-UNDANG KELAUTAN DI WILAYAH ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL ASING DALAM MELAKSANAKAN LINTAS DAMAI MELALUI PERAIRAN INDONESIA.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Laut yang pada masa lampau didasari oleh kebiasaan dan hukum

HAK LINTAS DAMAI (RIGHT OF INNOCENT PASSAGE) BERDASARKAN UNITED NATION CONVENTION ON THE LAW OF THE SEA Oleh: Akbar Kurnia Putra 1 ABSTRAK

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

PELANGGARAN HAK LINTAS DI WILAYAH UDARA INDONESIA OLEH PESAWAT MILITER ASING

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1996 TENTANG PERAIRAN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN SUMBER-SUMBER IKAN DI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF ANTAR NEGARA ASEAN

TUGAS HUKUM LAUT INTERNASIONAL KELAS L PERMASALAHAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

Mengingat ketentuan-ketentuan yang relevan dari Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang Hukum Laut tanggal 10 Desember 1982,

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN NASIONAL TERKAIT DENGAN PENETAPAN INDONESIA SEBAGAI NEGARA KEPULAUAN. Oleh : Ida Kurnia*

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

No b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat; c. desentralis

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

BAB 2 DASAR TEORI 2.1 Pembagian Wilayah Laut

BAB II PENGATURAN ILLEGAL FISHING DALAM HUKUM INTERNASIONAL. Dalam definisi internasional, kejahatan perikanan tidak hanya pencurian

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PEMBAGIAN ZONA MARITIM BERDASARKAN KONVENSI HUKUM LAUT PBB (UNCLOS 82)

1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

KONVENSI PERSERIKATAN BANGSA BANGSA TENTANG HUKUM LAUT BAB VII LAUT LEPAS BAB IX LAUT TERTUTUP ATAU SETENGAH TERTUTUP.

KEDAULATAN NEGARA PANTAI (INDONESIA) TERHADAP KONSERVASI KELAUTAN DALAM WILAYAH TERITORIAL LAUT (TERRITORIAL SEA) INDONESIA

UU 9/1997, PENGESAHAN TREATY ON THE SOUTHEAST ASIA NUCLEAR WEAPON FREE ZONE (TRAKTAT KAWASAN BEBAS SENJATA NUKLIR DI ASIA TENGGARA)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

SE)ARAH HUKUM laut INTERNASIONAl 1. PENGATURAN KONVENSI HUKUM laut 1982 TENTANG PERAIRAN NASIONAl DAN IMPlEMENTASINYA DI INDONESIA 17

Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, Dengan persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan (archipelagic

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

ini tentunya tidak terdapat perairan pedalaman namun dalam keadaan-keadaan

BAB I PENDAHULUAN. dan dalam lingkungan wilayah yang dibatasi oleh garis-garis perbatasan


BAB I PENDAHULUAN. makhluk hidup bersama dengan berbagai jenis benda tidak

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2008 TENTANG WILAYAH NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Bentuk: UNDANG UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 17 TAHUN 1985 (17/1985) Tanggal: 31 DESEMBER 1985 (JAKARTA)

Perkembangan Hukum Laut Internasional

Undang Undang No. 6 Tahun 1996 Tentang : Perairan Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum internasional 4. Kedaulatan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA

I. RENCANA KEGIATAN PEMBELAJARAN MINGGUAN (RKPM) MINGGU 5. A. TUJUAN AJAR: Dapat menjelaskan evolusi batas maritim nasional di Indonesia

STATUS PULAU BUATAN YANG DIBANGUN DI DALAM ZONA EKONOMI EKSKLUSIF TERHADAP PENETAPAN LEBAR LAUT TERITORIAL DAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF

HAK DAN KEWAJIBAN KAPAL DAN PESAWAT UDARA ASING MELAKUKAN LINTAS DI ALUR LAUT KEPULAUAN INDONESIA SKRIPSI

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

II. TINJAUAN PUSTAKA

I PENDAHULUAN. Hukum Internasional mengatur tentang syarat-syarat negara sebagai pribadi

PERSETUJUAN TRANSPORTASI LAUT ANTARA PEMERINTAH NEGARA-NEGARA ANGGOTA ASOSIASI BANGSA-BANGSA ASIA TENGGARA DAN PEMERINTAH REPUBLIK RAKYAT TIONGKOK

2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647);

IUU FISHING DI WILAYAH PERBATASAN INDONESIA. Oleh Prof. Dr. Hasjim Djalal. 1. Wilayah perbatasan dan/atau kawasan perbatasan atau daerah perbatasan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

PENERAPAN UNCLOS 1982 DALAM KETENTUAN PERUNDANG UNDANGAN NASIONAL, KHUSUSNYA ZONA EKONOMI EKSKLUSIF INDONESIA. Oleh : Ida Kurnia * Abstrak

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. sebuah keberhasilan diplomatik yang monumental. Perjuangan Indonesia

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2004 TENTANG

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1962 TENTANG LALU LINTAS LAUT DAMAI KENDARAAN AIR ASING DALAM PERAIRAN INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). PBB sebagai suatu organisasi yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori

BAB SYARAT TERBENTUKNYA NEGARA

INSTRUKSI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1975 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Ambalat adalah blok laut seluas Km2 yang terletak di laut

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493]

SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT BAB I KETENTUAN UMUM. Bagian I Ruang Lingkup Penerapan Hukum

PERSETUJUAN ANGKUTAN UDARA ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH UKRAINA PASAL I PENGERTIAN-PENGERTIAN

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

The Exclusive Economic Zone. Batas/Delimitasi ZEE. Definisi Umum ZONA MARITIM

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

Transkripsi:

Nellyana Roesa dan M. Putra Iqbal No. 58, Th. XIV (Desember, 2012), pp. 377-389. PRINSIP PENCEGAHAN DALAM HUBUNGANNYA DENGAN PRINSIP KEBEBASAN BERLAYAR DI WILAYAH SELAT INTERNATIONAL LAW OF THE SEA REGARDING PREVENTION PRINCIPLE IN RELATION TO THE FREEDOM PRINCIPLE OF SAILING IN STRAITS Oleh: Nellyana Roesa dan M. Putra Iqbal *) ABSTRACT International law of the sea has ruled that a coastal state and foreign ship have a right to and certain power in straits including Indonesia towards the Malaka Strait. It is one of the straits used as international shipping lane. UNCLOS 1982 admits that there is a transit passage right for foreign vessels shipping over the strait and it cannot be called by Indonesia as a coastal state directly faces the strait. In several matters, the passage is a border for the acknowledgement of Indonesia sovereignty over its territory. On the other side, international law provides the right for foreign vessels to have a passage without getting permission from Indonesia. However, a coastal state is also acknowledged its right to defend the sea from damage. The prevention principle is one of the reasons that can be justified by the state to maintain and protect the sea from damage caused by the using of the sea, by the passage right. Keywords: Prevention Principle, International Law of the Sea. A. PENDAHULUAN Membahas tentang definisi selat didalam bidang hukum laut, dari segi pengertian ada tiga batasan yang diberikan oleh para ahli terhadap selat. Pertama selat sebagai suatu konsepsi linguistic yaitu selat dilihat sebagai sebuah jalan yang sempit dan kecil sebagai sebuah jalan masuk menuju ke bagian laut yang lebih luas. 1 Kedua selat sebagai suatu konsepsi geografis yaitu untuk dapat memenuhi persyaratan sebagai sebuah selat, ada empat point yang harus terpenuhi. 2 Keempat point tersebut adalah merupakan bagian dari laut, merupakan penyempitan dari bagian laut yang lebih luas, memisahkan dua bagian daratan, dan menghubungkan dua bagian laut. Sedangkan batasan terakhir terhadap definisi selat yaitu selat sebagai suatu konsepsi yuridis. Ini berarti walaupun secara fisik selat merupakan bagian dari laut, akan tetapi tidak semua wilayah laut yang secara geograpis dianggap sebagai selat merupakan selat dalam konsepsi yuridis. 3 Akan tetapi didalam Konvensi Hukum Laut Internasional 1982/ United Nation on the Law of the Sea Convention 1982 *) Nellyana Roesa, SH.,LL.M dan M. Putra Iqbal, SH.,LL.M adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh. 1 Etty R. Agoes, Konvensi Hukum Laut 1982: Masalah Pengaturan Hak Lintas Kapal Asing, Abardin, Bandung, 1991, hlm. 17. ISSN: 0854-5499

No. 58, Th. XIV (Desember, 2012). Prinsip Pencegahan dalam Hubungannya dengan Prinsip Kebebasan Berlayar Nellyana Roesa dan M. Putra Iqbal (UNCLOS) tidak diberikan definisi dari selat secara khusus. Didalam UNCLOS, ketika membahas mengenai selat UNCLOS merujuk kepada pengertian selat secara umum yaitu perairan sempit yang menghubungkan dua perairan yang lebih luas. 4 Menyangkut Selat Malaka, batasan-batasan pengertian seperti yang dikemukan oleh para ahli bidang hukum laut tidak diragukan lagi telah terpenuhi. Begitu juga dengan batasan yang dipakai oleh UNCLOS. Dengan begitu pengaturan UNCLOS mengenai selat sebagaimana dapat ditemukan didalam Pasal 37 berlaku bagi Selat Malaka. Didalam Pasal 37 UNCLOS disebutkan bahwa pada selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, menghubungkan satu bagian dari laut lepas atau zona ekonomi ekslusif dengan bagian lain dari laut lepas atau zona ekonomi eklusif maka pada selat tersebut akan berlaku ketentuan transit passage atau hak lintas transit. Dalam praktik pelaksanaan hak lintas transit, kapal-kapal terikat kepada ketentuan UNLCOS. Untuk dapat dikatakan sebagai implementasi dari hak lintas transit, pelayaran melalui Selat Malaka harus bersifat terus menerus atau berlanjut dan cepat atau efisien. Meskipun begitu, kapal tersebut diperkenankan untuk singgah di pelabuhan yang dilewatinya serta jika kapal bertujuan untuk masuk atau meninggalkan negara pantai yang berbatasan dengan Selat Malaka seperti Singapura atau Malaysia misalnya maka diperbolehkan. 5 Disamping dalam pelayaranya kapal berkewajiban melaksanakan ketentuan yang telah disebutkan diatas, kapal yang melewati Selat Malaka juga mempunyai kewajiban lain terkait dengan pelaksanaan hak lintas damai. Kewajiban tersebut adalah pertama melanjutkan pelayaran tanpa penundaan disebagaian atau seluruh bagian Selat Malaka. Kedua, menahan diri dari ancaman atau penggunaan kekuatan bersenjata yang mengancam kedaulatan, integritas territorial atau kemerdekaan politik dari negara yang berbatasan dengan Selat Malaka dalam hal ini Indonesia contohnya, dan menahan diri dari hal-hal yang melanggar prinsip-prinsip hukum internasional sebagaimana yang telah diatur dalam Piagam PBB. Ketiga, menahan diri dari semua bentuk 2 Ibid. 3 Ibid. 4 Churchill,R.R.and Lowe, A.V., The Law of the Sea, Juris Publishing, Manchester. 1999, hlm. 102. 378

Nellyana Roesa dan M. Putra Iqbal No. 58, Th. XIV (Desember, 2012). pelayaran normal seperti melempar sauh dan berhenti sebentar, kecuali insiden yang bersifat force majeure. Dan empat, kapal berkewajiban untuk mematuhi ketentuan lain dari UNCLOS. 6 Seperti telah dibahas sebelumnya, hak lintas transit ini merupakan bentuk kompromi antara negara-negara pantai yang diakui kedaulatannya atas wilayah lautnya dengan negara lain yang berkepentingan. Oleh karena itu dapat dikatakan disamping menjamin hak-hak dari negara lain untuk mengunakan selat sebagai jalur pelayaran, UNCLOS juga menjamin hak-hak dari negara pantai. Hak-hak ini terutama menyangkut aspek pengakuan kedaulatan dari negara pantai. Didalam UNCLOS hak-hak negara pantai seperti Indonesia diakui didalam Pasal 42. Hak-hak yang diberikan kepada Indonesia mencakup kekuasaan untuk menetapkan peraturan mengenai hak lintas transit. Akan tetapi hak tersebut terbatas hanya kepada empat aspek. Pertama menyangkut keselamatan pelayaran dan pengaturan lalu lintas di laut. Kedua, menyangkut pencegahan, pengurangan, dan pengendalian pencemaran dengan melaksanakan ketentuan hukum internasional tentang pembuangan minyak, limbah minyak dan bahan-bahan beracun lainnya. Ketiga, terkait dengan kapal-kapal ikan, Indonesia dapat mengeluarkan peraturan terkait dengan pelestarian ikan serta tatacara penyimpanan alat penangkapan ikan. Dan terakhir, menyangkut ketentuan tentang menaikan atau menurunkan dari kapal setiap komoditi, mata uang atau orang yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan Indonesia. 7 Sementara itu, implementasi dari prinsip pencegahan dalam bidang hukum laut dapat diartikan sebagai sebuah dasar kerangka hukum serta kewenangan bagi negara pantai seperi Indonesia untuk melakukan pengawasan terhadap semua kapal yang berada diwilayah lautnya. Terkait dengan tingginya tingkat kejahatan baik criminal ataupun terkait dengan terorisme di Selat Malaka, kenyataan ini dipandang sebagai sebuah kemungkinan timbulnya ancaman terhadap keselamatan lingkungan wilayah laut Indonesia terutama di sekitar Selat Malaka. Tidak tertutup kemungkinan adanya tindakan kejahatan ataupun terorisme yang akan membahayakan keselamatan 5 Lihat Pasal 38 Konvensi Hukum Laut 1982/Law of the Sea Convention 1982 (LOSC). 6 Lihat Pasal 39 Konvensi Hukum Laut 1982/Law of the Sea Convention 1982 (LOSC). 7 Lihat Pasal 41 Konvensi Hukum Laut 1982/Law of the Sea Convention 1982 (LOSC). 379

No. 58, Th. XIV (Desember, 2012). Prinsip Pencegahan dalam Hubungannya dengan Prinsip Kebebasan Berlayar Nellyana Roesa dan M. Putra Iqbal pelayaran. Kapal-kapal kargo yang mengangkut minyak misalnya, jika terjadi sabotase atau apapun bentuk kejahatan yang pada akhirnya berakibat rusaknya kapal sehingga menumpahkan minyak yang dibawa ke laut dan mencemari laut adalah salah satu bentuk kepedulian yang dapat melandasi penegakan prinsip pencegahan oleh LANAL Sabang. Kemampuan untuk mencegah timbulnya hal-hal seperti yang diperkirakan diatas yang bedasarkan prinsip pencegahan merupakan dasar wewenang pihak LANAL Sabang untuk bertindak. Akan tetapi disamping mempunyai kewenangan pihak LANAL Sabang disisi yang lain juga memiliki kewajiban selain untuk menjaga keamanan wilayah Selat Malaka juga kewajiban untuk tidak menghalang-halangi semua kapal yang melewati Selat Malaka. Ini berarti prinsip pencegahan tidak boleh digunakan untuk membatasi hak-hak dari kapal berbendera asing untuk memakai jalur Selat Malaka sebagai rute pelayarannya. Dari dua kenyataan yang dibahas sebelumnya, yaitu hak kapal untuk menggunakan Selat Malaka sebagai bentuk dari hak transit serta hak pemerintah Indonesia untuk mengunakan prinsip pencegahan, penyeimbangan implementasi hak-hak para pihak sangat berperan guna mencegah timbulnya sengketa. Pemerintah Indonesia tentu tidak ingin mendapat citra negative dari pelaksanaan prinsip pencegahan ini akan tetapi juga tidak menginginkan terjadinya masalah sebagai akibat dari lemahnya pengawasan lalu lintas pelayaran di Selat Malaka. UNCLOS sebagai sebuah kerangka hukum internasional telah mengatur tentang hak dan kewajiban dari negara pantai terhadap kapal. Menyangkut perlindungan lingkungan laut oleh negara pantai terhadap resiko yang disebabkan oleh pelayaran internasional diatur dalam bagian XII UNCLOS. Lebih lanjut, perlindungan ini juga dapat ditemui didalam bagian II dan V terutama menyangkut dengan hak dan kewajiban dari negara didalam laut territorial, zona tambahan dan zona ekonomi eklusive (EEZ). Para ahli berpendapat bahwa dasar yurisdiksi sebuah negara pantai terhadap kapal-kapal asing tergantung kepada kombinasi dari dua hal. Kedua hal ini adalah pertama kepatuhan dari kapal 380

Nellyana Roesa dan M. Putra Iqbal No. 58, Th. XIV (Desember, 2012). terhadap aturan teknis internasional dan kedua zona laut tempat kapal berlayar. 8 Menyangkut dengan prinsip pencegahan, maka dapat dipastikan bahwa tidak tercakup oleh kedua hal diatas. Prinsip pencegahan merupakan hal yang timbul dari intrepretasi terhadap hukum internasional. Ketika sebuah kapal kargo berlayar di Selat Malaka untuk menentukan berlaku tidaknya hukum Indonesia terhadap kapal tersebut maka akan ditentukan oleh dua hal diatas. Dengan kenyataan ini, terhadap kapal yang berpotensi menimbulkan ancaman atau resiko terhadap lingkungan laut Indonesia akan tetapi tidak berada dibawah yurisdiksi hukum Indonesia, maka alternatitive lain diperlukan guna melakukan pengaturan-pengaturan yang diperlukan. Dengan melakukan interpretasi hukum dan juga mengadopsi hal-hal baru yang berkembang dibidang lain dari hukum internasional, seperti halnya prinsip pencegahan yang pada awalnya dikenal didalam bidang hukum lingkungan internasional, sebuah alternative akhirnya ditemukan. Alternative ini seperti dikemukakan sebelumnya bersifat mengatasi kebuntuan-kebuntuan dalam hal kapal yang tidak berada dalam yurisdiksi sebuah negara pantai seperti Indonesia. Prinsip pencegahan mengajukan sebuah pendekatan formal terhadap manajemen resiko. Hal ini dilakukan pertama sekali dengan mengidentifikasi resiko, kemudian melakukan penilaian terhadap resiko tersebut dan dilanjutkan dengan melakukan tindakan-tindakan yang adequate untuk meminimalisir atau menghilangkan resiko tersebut. Ketika sebuah ancaman atau resiko tidak dapat dibuktikan dengan bukti secara ilmu pengetahuan, maka seperti dikemukakan sebelumnya Prinsip 15 dari Rio Declaration menyatakan tindakan pencegahan tetap sepatutnya dilakukan. 9 Akan tetapi, untuk mencegah timbulnya penyimpangan dari ketentuan hukum internasional akan lebih baik jika implementasi prinsip pencegahan ini didukung oleh adanya bukti yang mencukupi tentang adanya ancaman atau resiko terhadap kemungkinan kerusakan laut sebelum sebuah tindakan diambil. Bukti-bukti ini dapat diperoleh dari penggunaan inovasi teknologi didalam bidang keselamatan pelayaran dan juga bidang perlindungan lingkungan laut. Atau dengan mengadopsi langkah-langkah 8 Lihat Sage, Benedicte, Precautionary Coastal States Jurisdiction, Ocean Development & International Law Journal, (2006), Vol. 37. 9 Ibid. 381

No. 58, Th. XIV (Desember, 2012). Prinsip Pencegahan dalam Hubungannya dengan Prinsip Kebebasan Berlayar Nellyana Roesa dan M. Putra Iqbal yang telah dilakukan oleh negara-negara maju yang sangat mengoptimalkan penggunaan teknologi sebagai sebuah cara mendeteksi adanya ancaman atau resiko. B. PEMBAHASAN 1. Prinsip Pencegahan dalam Hubungan Prinsip Kebebasan Berlayar di Selat Dalam hukum laut internasional pengaturan tentang rezim Selat mendapatkan perhatian khusus, terkait dengan fungsi beberapa selat sebagai jalur pelayaran dan transportasi internasional. UNCLOS merupakan konvensi internasional yang mengatur secarakomprehensif terkait penggunaan wilayah laut. Terkait pengaturan Selat, pasal 34 menyatakan : Pengaturan mengenai selat dalam konvensi ini berlaku untuk selat yang digunakan untuk pelayaran/navigasi internasional, yaitu yang menghubungkan sebuah bagian laut lepas dengan bagian laut lepas lainnya, atau menguhubungkan sebuah zona ekonomi ekslusif dengan bagian zona ekonomi ekslusif lainnya. 10 Dalam sejarah perkembangan hukum laut internasional, ada 2 rezim besar yang saling bersebrangan dalam hal kepentingan penggunaan wilayah laut, yaitu rezim negara pantai dan rezim negara dengan kekuatan pelayaran. Hakikat dari perbedaan kedua rezim tersebut sangat jelas. Konsepsi international straits bertolak dari pangkal pikiran bahwa selat tersebut berstatus internasional, walaupun mengakui adanya kepentingan-kepentingan negara pantai yang bersangkutan dan perlu diperhitungkan. Misalnya, dalam soal-soal pencegahan pencemaran laut. Namun, dalam konsepsi ini, klausul yang lebih diutamakan adalah kepentingan pelayaran internasional yang tidak bolah terganggu, bukan kepentingan negara pantai. Sebaliknya, konsepsi straits used for international navigation bertolak pangkal dari pikiran bahwa selat-selat tersebut menjadi bagian dari perairan nasional negara tepinya yang hanya secara kebetulan dipergunakan bagi pelayaran internasional. Karena itu, pertimbangan yang penting harus diberikan kepada kepentingan negara pantai, walaupun kepentingan pelayaran internasional harus tetap dipertimbangkan dan diperhatikan secara seimbang. Konsep straits used for international 10 Pasal 34 Konvensi Hukum laut Internasional 1982. 382

Nellyana Roesa dan M. Putra Iqbal No. 58, Th. XIV (Desember, 2012). navigation inilah yang kemudian diterima dalam Konvensi Hukum Laut 1982, Part III pasal 34-45. Konsepsi innocent passage menekankan pertimbangan tentang pentingnya pemeliharaan kepentingan negara pantai karena, menurut hukum internasional yang ada waktu itu ( Geneva Convention, 1958), pelayaran kapal-kapal asing melalui laut wilayah harus innocent terhadap negara pantai. Misalnya, kapal selam harus berlayar di permukaan air. Sebaliknya, konsepsi free transit menekankan perlunya kapal, termasuk kapal perang dan kapal selam untuk secara bebas dapat melewati perairan selat itu. Jika konsepsi free transit diterima, kapal selam, misalnya, akan dapat berlayar melalui selat itu di bawah permukaan air, sedangkan kapal terbang militer akan dapat terbang dengan bebas di atas selat-selat tersebut. 11 Selat Malaka menjadi penting dalam perdebatan di Konferensi Hukum Laut mengenai selat secara umum. Karena peran Indonesia dalam memperjuangkan haknya sebagai Negara pantai di wilayah tersebut. Ada 2 komisi yang bertugas untuk membahas rezim hukum yang akan berlaku bagi selat-selat yang dipakai bagi pelayaran internasional, yaitu Sub-komite II dari United Nations seabed Committee dan Komite II Konferensi Hukum Laut. Setelah berbagai pertemuan, perundingan, dan konsultasi berjalan selama beberapa tahun antara negara-negara selat dan negara-negara maritim, akhirnya, tercapailah rezim kompromi dari kedua pandangan tersebut. Salah satu rezim yang dimaksud adalah rezim transit passage sebagaimana yang dirumuskan dalam Konferensi Hukum Laut 1982, pasal 34-45. Menurut rezim kompromi ini, kedaulatan wilayah ( sovereignty ) negara pantai atas wilayah lautnya di selat yang dipergunakan bagi pelayaran internasional, termasuk kewenangan atas air, udara, dasar laut dan tanahnya diakui secara resmi, dan bahwa rezim transit passage yang akan diberlakukan bagi selatselat yang digunakan bagi pelayaran internasional itu tidak akan mempengaruhi pelaksanaan soverenitas atau yurisdiksi negara pantai atas perairan tersebut, baik atas udara maupun dasar lautnya (pasal 34 ayat 1 UNCLOS, 1982). Ketentuan ini sangat penting artinya karena dengan demikian, sepanjang yang berhubungan dengan Indonesia, hal tersebut merupakan pengakuan atas 11 http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=22&itemid=33 383

No. 58, Th. XIV (Desember, 2012). Prinsip Pencegahan dalam Hubungannya dengan Prinsip Kebebasan Berlayar Nellyana Roesa dan M. Putra Iqbal soverenitas (kedaulatan) wilayah Indonesia atas Selat Malaka dan Selat Singapura yang merupakan bagian dari wilayah Indonesia. 12 Sebaliknya, di selat yang dipakai bagi pelayaran internasional, Seperti Selat Malaka, rezim pelayaran yang diberlakukan bukanlah rezim innocent passage seperti ketetapan bagi laut Indonesia lainnya, tetapi rezim transit passage, yaitu rezim pelayaran yang memberikan kebebasan untuk lewat bagi kapal-kapal pengangkut dan kapal-kapal terbang asing untuk berkomunikasi dari bagian laut bebas atau Zone Ekonomi Eksklusif ( ZEE) ke laut bebas atau ZEE lainnya (pasal 38 ayat 2 UNCLOS). Kebebasan yang diakui itu hanyalah kebebasan untuk lewat dengan disertai syarat-syarat yang ditetapkan dalam Konvensi (pasal 39 UNCLOS)., meliputi : Keharusan untuk lewat dengan segera ( proceed without delay through or over the straits); Keharusan untuk tidak mengambil tindakan yang dapat merupakan ancaman atau mempergunakan kekerasan terhadap kedaulatan, integritas wilayah, atau kemerdekaan politik negara selat tersebut; Keharusan untuk tidak melakukan tindakan-tindakan yang tidak ada hubungannya dengan keperluan untuk lewat secara terus-menerus dan secara cepat dengan cara-cara yang normal (normal mode); dan Keharusan untuk mematuhi ketentuan-ketentuan lainnya yang ditetapkan dalam Konvensi bagi kapal-kapal yang lewat atau kapal-kapal terbang yang sedang transit. Syarat-syarat tersebut diatas merupakan bukti bahwa keinginan kebebasan berlayar bagi Negara-negara yang mempunyai kekuatan dan kemampuan navigasi internasional. Selain mengakomodir prinsip kebebasan berlayar, UNLOS juga memberikan kewenangan tertentu bagi Negara pantai untuk membuat dan menerapkan aturan mengenai hak lintas transit. 13 Kewenangan tersebut terdiri dari pembuatan aturan mengenai keselamatan dan pengaturan lau lintas laut sepanjang yang berhubungan dengan penetapan alur laut dan Trafic Separation Scheme (TSS) yang berguna untuk menjamin keselamatan pelayaran di wilayah selat. Dalam hal perlindungan 12 Ibid. 384

Nellyana Roesa dan M. Putra Iqbal No. 58, Th. XIV (Desember, 2012). lingkungan laut, negara pantai juga diberikan kewenangan untuk melakukan pencegahan dan pengontrolan pencemaran laut dengan melaksanakan aturan-aturan internasional yang berlaku yang berhubungan dengan pembuangan minyak dan bahan-bahan yang berbahaya lainnya. Selain itu, Negara pantai juga diberikan kewenangan untuk melakukan usaha untuk mencegah kapal-kapal ikan asing lewat menangkap ikan pada waltu lewat serta usaha untuk mencegah pelanggaran aturanaturan pabean, keuangan, imigrasi, dan kesehatan Negara pantai Poin penting lainnya adalah adanya ketentuan pasal 43 UNCLOS 1982, dimana Negaranegara pemakai selat untuk membantu Negara pantai dalam meningkatkan keselamatan dan perlindungan lingkungan laut di selat-selat tersebut. Pencemaran lingkungan laut di wilayah selat dengan ritme pelayaran yang tinggi di dominasi oleh pencemaran dari kapal-kapal yang melewati wilayah selat. Dengan adanya perjanjian kerja sama ini akan membantu Negara pantai, yang terkena dampak pencemaran lingkungan dari kegiatan pelayaran yang dilakukan oleh Negara lain. Seiring dengan tercapainya rezim kompromi ini, berarti rezim hukum internasional melalui selat tersebut telah diselesaikan. Rezim ini juga menjadi solusi dari masalah yang dihadapi Indonesia di selat Malaka, walaupun tidak seluruhnya mengakomodir keingan Indonesia, setidaknya kesepakatan tersebut memberikan jaminan pada kepentingan Indonesia. Diantara kepentingan utama Indonesia itu adalah pengakuan kedaulatan Indonesia di wilayah Selat Malaka Singapora, pengakuan terhadap hak kapal asing yang melewati wilayah Selat tidak mempengaruhi pelaksanaan wewenang dan kedaulatan Indonesia atas kekayaan alam di wilayah selat, dan yang tidak kalah pentingnya adalah kewenangan yang diberikan pada Indonesia untuk membuat aturan-aturan dalam hal menjaga keselamatan pelayaran dan lalu lintas di selat serta menjaga kepentingan-kepentingan lainnya. Akan tetapi disisi lain, ada konsekuensi lain yang harus dirterima Indonesia, diantaranya sebagai negara pantai, Indonesia tidak berwenang melarang dan menghalang-halangi kapal-kapal asing yang hanya lewat dan tidak boleh mengambil tindakan yang semena-mena atas kapal-kapal 13 pasal 42 ayat 1 UNCLOS 1982. 385

No. 58, Th. XIV (Desember, 2012). Prinsip Pencegahan dalam Hubungannya dengan Prinsip Kebebasan Berlayar Nellyana Roesa dan M. Putra Iqbal yang lewat. Selain itu Indonesia juga tidak boleh mensyaratkan kapal perang negara asing untuk memeinta izin atau memberitahukan terkebih dahulu bila ingin berlayar di wilayah selat, serta meminta kapal selam untuk berlayar diatas permukaan laut. Dan dari segi kepraktisan, Indonesia tidak begitu mempersoalkan hal tersebut diatas. 2. Prinsip Pencegahan (Precautionary Principle) dalam Hukum Internasional Precautionary principle ini diadopsi pertama kali dalam United Conference on Environmet and Development (UNCED) di Rio de Jeneiro pada tahun 1992, yang lebih dikenal dengan Rio Declaration 1992. Prinsip ke 15 dalam Deklarasi Rio 1992 ini dijelaskan : in order to protect the environment, the precautionaty approach shall be widely applied by states according to their capabilities. Where there are threats of serious or irreversible damage, lack of full scientific certainty shall not be used as a reason for postponing cost-effective measures to prevent environmental degradations 14 Secara umum, prinsip ini menyatakan bahwa guna melindungi lingkungan hidup, setiap negara hendaknya dapat menerapkan pendekatan yang bersifat pencegahan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Apabila muncul ancaman mengenai timbulnya kerusakan yang serius dan tidak dapat diperbaiki, maka kelangkaan data atau kemampuan ilmiah tidak boleh dijadikan alasan penundaan upaya pencegahan terhadap timbulnya kerusakan lingkungan hidup yang sebenarnya dapat dilakukan oleh negara yang bersangkutan. UNCLOS 1982, sebagai konvensi hukum laut yang telah diterima secara luas oleh Negaranegara didunia, juga mengatur secara khusus perihal perlindungan lingkungan laut. Dalam Bab XII tentang perlindungan dan pelestarian Lingkungan Laut, pasal 192 menyatakan bahwa Negaranegara berkewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut. Hal ini juga berlaku terhadap wilayah selat, yang merupakan salah satu wilayah laut sebuah Negara. 14 http://www.unep.org/documents.multilingual/default.asp?documentid=78&articleid=1163 386

Nellyana Roesa dan M. Putra Iqbal No. 58, Th. XIV (Desember, 2012). Lebih lanjut UNCLOS juga mengatur bahwa Negara-negara mempunyai hak berdaulat untuk melakukan eksploistasi sumber daya alam yang didasarkan pada kebijakan lingkungan dan sesuai dengan kewajiban mereka untuk melindungi dan melestarikan linkungan laut. 15 Secara lebih rinci, UNCLOS juga mengatur tentang tindakan-tindakan yang harus diambil oleh Negara-negara untuk mencegah dan mengurangi serta mengendalikan pencemaran lingkungan laut yang disebabkan oleh penggunaan wilayah laut tersebut. Diantaranya adalah melakukan kerja sama dalam hal penggunaan tekhnologi serta melakukan riset terkait masalah yang dihadapi. 16 Kerja sama ini dapat dilakukan secara regional maupun global, karena disadari adanya kesulitan dalam melaksanakan ketentuan-ketentuan hukum UNCLOS, terutama bagi Negara-negara berkembang yang belum mampu secara ekonomi maupun teknologi. Seluruh tindakan dan kebijakan yang dihasilkan dalam proses kerja sama tersebut bukan merupakan sebuah pelanggaran terhadap ketentuan UNLOS serta ketentuan-ketentuan hukum internasional lainnya. 17 C. PENUTUP Berdasarkan penjelasan pada bagian sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Pertama, hak lintas transit merupakan ketentuan yang diatur dalam UNCLOS 1982 yang memberikan hak kepada kapal asing untuk melakukan pelayaran dan penerbangan di wilayah selat, sesuai dengan ketentuan dalam hukum internasional. Keberadaan hak lintas transit dalam hukum laut internasional, sebagaimana tercantum dalam UNCLOS 1982 merupakan sebuah ketentuan yang mengakomodir aspirasi dan kepentingan negara kapal dalam menggunakan wilayah selat. Kedua, sebagai salah satu negara kepulauan, Indonesia mempunyai selat yang telah ditetapkan sebagai selat yang digunakan sebagai jalur pelayaran internasional. Oleh karena itu Hak lintas transit juga diatur dalam UU no 6 tahun 1996 tentang Wilayah Perairan Indonesia. Ketiga, prinsip Pencegahan (Precautionary Principle) merupakan prinsip dalam hukum internasional yang ditemukan dalam Deklarasi Rio 1992. 15 Pasal 193 UNCLOS 1982. 387

No. 58, Th. XIV (Desember, 2012). Prinsip Pencegahan dalam Hubungannya dengan Prinsip Kebebasan Berlayar Nellyana Roesa dan M. Putra Iqbal Keempat, berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UNCLOS 1982, pelaksanaan hak kapal asing diwilayah selat, dalam hal ini adalah hak lintas transit di selat Malaka dapat dilakukan sejalan dengan upaya perlindungan lingkungan laut melalui penegakan prisip pencegahan. Dimana negara pantai dan negara kapal mempunyai kewajiban yang sama dalam pelaksanaan perlindungan wilayah laut. DAFTAR PUSTAKA Agoes, Etty R. 1991, Konvensi Hukum Laut 1982: Masalah Pengaturan Hak Lintas Kapal Asing, Abardin, Bandung. Birnie & Boyle, 2002, International law & the Environment, 2nd Edition, Cambridge Press. Churchill,R.R.and Lowe, 1999, A.V., The Law of the Sea, Juris Publishing, Manchester. Mauna, Boer, 2005, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, PT. Alumni, Bandung. Sodik, Didik Mohammad, 2011, Hukum Laut Internasional dan pengaturannya di Indonesia, PT.Refika Aditama, Bandung. http://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=22&itemid=33 http://www.unep.org/documents.multilingual/default.asp?documentid=78&articleid=1163 http://www.dishidros.go.id/buletin.html Phillipe Sands, 2003, Priciples of International Environmental Law, 2nd Edition, Cambridge Press. Sage, Benedicte, Precautionary Coastal States Jurisdiction, Ocean Development & International Law Journal, (2006), Vol. 37. Syamsuhardi, Bethan, 2008, Penerapan Prinsip-prinsip Hukum Pelestarian Fungsi Lingkungan Hidup Dalam Aktivitas Industri Nasional ; Sebuah Upaya penyelamatan Lingkungan Hidup dan Kehidupan Antar Generasi, Alumni Bandung. Konvensi & Deklarasi Konvensi Hukum Laut 1982 (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS 1982) Rio Declaration on Environment and Development (1992) Undang-undang Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 Tentang Wilayah Perairan Indonesia. 16 Pasal 194 (1) (2) UNCLOS 1982. 17 Pasal 197 UNCLOS 1982. 388

Nellyana Roesa dan M. Putra Iqbal No. 58, Th. XIV (Desember, 2012). Undang-undang Nomor 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU-PLH), 389