1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT PUNCAK PADA SUBDAS BEDOG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. R. Muhammad Isa

STUDI PERBANDINGAN ANTARA HIDROGRAF SCS (SOIL CONSERVATION SERVICE) DAN METODE RASIONAL PADA DAS TIKALA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN. tempat air hujan menjadi aliran permukaan dan menjadi aliran sungai yang

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. secara topografik dibatasi oleh igir-igir pegunungan yang menampung dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDUGAAN PARAMETER UPTAKE ROOT MENGGUNAKAN MODEL TANGKI. Oleh : FIRDAUS NURHAYATI F

BAB I PENDAHULUAN. Di bumi terdapat kira-kira sejumlah 1,3-1,4 milyard km 3 : 97,5% adalah air

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODOLOGI 3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2 Alat dan Bahan

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

HIDROSFER I. Tujuan Pembelajaran

SIMULASI PENGARUH SEDIMENTASI DAN KENAIKAN CURAH HUJAN TERHADAP TERJADINYA BENCANA BANJIR. Disusun Oleh: Kelompok 4 Rizka Permatayakti R.

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 39/Menhut-II/2009,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MODEL HIDROGRAF BANJIR NRCS CN MODIFIKASI

ESTIMASI DEBIT PUNCAK BERDASARKAN BEBERAPA METODE PENENTUAN KOEFISIEN LIMPASAN DI SUB DAS KEDUNG GONG, KABUPATEN KULONPROGO, YOGYAKARTA

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Karakteristik Hujan

Surface Runoff Flow Kuliah -3

BAB I PENDAHULUAN. karena curah hujan yang tinggi, intensitas, atau kerusakan akibat penggunaan lahan yang salah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDUGAAN EROSI DAN SEDIMENTASI PADA DAS CIDANAU DENGAN MENGGUNAKAN MODEL SIMULASI AGNPS (Agricultural Non Points Source Pollution Model)

BAB I PENDAHULUAN. hidrologi di suatu Daerah Aliran sungai. Menurut peraturan pemerintah No. 37

BAB V ANALISA DATA. Dalam bab ini ada beberapa analisa data yang dilakukan, yaitu :

Gambar 3.1 Peta lokasi penelitian Sub DAS Cikapundung

TINJAUAN PUSTAKA Siklus Hidrologi

Sungai dan Daerah Aliran Sungai

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA

ANALISIS LIMPASAN LANGSUNG MENGGUNAKAN METODE NAKAYASU, SCS, DAN ITB STUDI KASUS SUB DAS PROGO HULU

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Dalam daur hidrologi, energi panas matahari dan faktor faktor iklim

Oleh : PUSPITAHATI,STP,MP Dosen Fakultas Pertanian UNSRI (2002 s/d sekarang) Mahasiswa S3 PascaSarjana UNSRI (2013 s/d...)

MODEL PENANGGULANGAN BANJIR. Oleh: Dede Sugandi*)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. terus-menerus dari hulu (sumber) menuju hilir (muara). Sungai merupakan salah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TINJAUAN UMUM SUB-DAS CITARIK

2016 EVALUASI LAJU INFILTRASI DI KAWASAN DAS CIBEUREUM BANDUNG

PERTEMUAN II SIKLUS HIDROLOGI

BAB I PENDAHULUAN. topografi dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung air hujan

A. Latar Belakang Masalah

PENGENDALIAN OVERLAND FLOW SEBAGAI SALAH SATU KOMPONEN PENGELOLAAN DAS. Oleh: Suryana*)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan satu kesatuan ekosistem yang unsur-unsur

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan kawasan perkotaan yang terjadi seiring dengan semakin meningkatnya pertumbuhan penduduk pada

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil analisis mengenai dampak perubahan penggunaan lahan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam siklus hidrologi, jatuhnya air hujan ke permukaan bumi merupakan

ANALISIS LIMPASAN PERMUKAAN (RUNOFF) PADA SUB-SUB DAS RIAM KIWA MENGGUNAKAN METODE COOK

I. PENDAHULUAN. Kata kunci : Air Baku, Spillway, Embung.

Bab V Analisa dan Diskusi

, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-10

I. PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.2 Tujuan II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Daur Hidrologi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. utama dunia yaitu lempeng Eurasia, lempeng Indo-Australia dan lempeng. Indonesia juga merupakan negara yang kaya akan hasil alam.

PENDAHULUAN Latar Belakang

PENDUGAAN DEBIT PUNCAK MENGGUNAKAN WATERSHED MODELLING SYSTEM SUB DAS SADDANG. Sitti Nur Faridah, Totok Prawitosari, Muhammad Khabir

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penduduk akan berdampak secara spasial (keruangan). Menurut Yunus (2005),

ANALISIS POTENSI LIMPASAN PERMUKAAN (RUN OFF) DI KAWASAN INDUSTRI MEDAN MENGGUNAKAN METODE SCS

BAB III LANDASAN TEORI

JURNAL TEKNIK POMITS Vol. 1, No. 1, (2013) ISSN: Perencanaan Embung Bulung Kabupaten Bangkalan

PENDAHULUAN. Berdasarkan data Bappenas 2007, kota Jakarta dilanda banjir sejak tahun

BAB I PENDAHULUAN. Hujan memiliki peranan penting terhadap keaadaan tanah di berbagai

HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB IV HASIL PERHITUNGAN DAN ANALISA. Data hidrologi adalah kumpulan keterangan atau fakta mengenai fenomena

Limpasan (Run Off) adalah.

PENGENDALIAN VOLUME LIMPASAN AKIBAT PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN DENGAN KONSEP V = 0 DI DAS KALI KEDURUS HULU

STUDI MENGENAI KOEFISIEN ALIRAN SEBAGAI INDIKATOR KERUSAKAN LINGKUNGAN DI DAERAH ALIRAN SUNGAI DELI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

KONSEP PENGEMBANGAN SUMUR RESAPAN DI KAMPUNG HIJAU KELURAHAN TLOGOMAS KOTA MALANG

ABSTRAK Faris Afif.O,

BAB III METODE PENELITIAN

HASIL DAN PEMBAHASAN. Neraca Kebutuhan dan Ketersediaan Air. dilakukan dengan pendekatan supply-demand, dimana supply merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Gabungan antara karakteristik hujan dan karakteristik daerah aliran sungai

BAB II STUDI PUSTAKA

ANALISIS DEBIT BANJIR RANCANGAN BANGUNAN PENAMPUNG AIR KAYANGAN UNTUK SUPLESI KEBUTUHAN AIR BANDARA KULON PROGO DIY

I. PENDAHULUAN. Pengelolaan Sumber Daya Air (SDA) di wilayah sungai, seperti perencanaan

DAFTAR ISI. HALAMAN JUDUL... i. LEMBAR PERSETUJUAN... ii. PERNYATAAN... iii. LEMBAR PERSEMBAHAN... iv. KATA PENGANTAR... v. DAFTAR ISI...

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. peningkatan kebutuhan manusia akibat dari pertambahan jumlah penduduk maka

commit to user BAB I PENDAHULUAN

BAB II PENDEKATAN PEMECAHAN MASALAH. curah hujan ini sangat penting untuk perencanaan seperti debit banjir rencana.

STUDI PERENCANAAN BANGUNAN UTAMA EMBUNG GUWOREJO DALAM PEMENUHAN KEBUTUHAN AIR BAKU DI KABUPATEN KEDIRI

3 METODE PENELITIAN. Tempat dan Waktu Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Proses erosi karena kegiatan manusia kebanyakan disebabkan oleh

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. dalam Siswanto (2006) mendefinisikan sumberdaya lahan (land resource) sebagai

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki banyak sungai,

PENGARUH PERUBAHAN TATA GUNA LAHAN TERHADAP DEBIT LIMPASAN PADA SUB DAS SEPAUK KABUPATEN SINTANG KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Air merupakan sumber daya yang sangat penting untuk kehidupan

BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN

DAERAH ALIRAN SUNGAI

PETA SUNGAI PADA DAS BEKASI HULU

ANALISA PENINGKATAN NILAI CURVE NUMBER TERHADAP DEBIT BANJIR DAERAH ALIRAN SUNGAI PROGO. Maya Amalia 1)

ESTIMASI POTENSI LIMPASAN PERMUKAAN MENGGUNAKAN PENGINDERAAN JAUH DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI DAERAH ALIRAN SUNGAI SERANG

BAB I PENDAHULUAN. yang lebih baik. Menurut Bocco et all. (2005) pengelolaan sumber daya alam

Transkripsi:

1. BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Manusia sebagai makhluk hidup yang tidak akan pernah lepas dari kebutuhan hidup. Salah satu upaya yang dilakukan oleh manusia untuk memenuhi kebutuhan hidup adalah mengalihfungsikan penggunaan lahan hutan menjadi nonhutan (termasuk lahan pertanian dan non-pertanian). Pengalihfungsian lahan tidak terlepas dari pertumbuhan penduduk yang cukup intensif dari tahun ke tahun. Menurut BPS DIY (2012) dalam Rancangan Awal RKPD DIY (2015), jumlah penduduk di DIY dari tahun 1995 sampai dengan 2010 mengalami peningkatan dari jumlah 2.916.779 jiwa menjadi 3.457.491 jiwa. Peningkatan jumlah penduduk yang ada di DIY dapat digunakan sebagai informasi adanya potensi pertumbuhan penduduk di SubDAS Bedog karena terletak di Kecamatan Sleman. Pertumbuhan penduduk yang terjadi terus-menerus akan mempengaruhi perubahan luas lahan hutan maupun non-hutan (termasuk pertanian dan non-pertanian). Menurut Departemen Kehutanan (2009), penggunaan lahan hutan yang ada di SubDAS Bedog sejumlah 205,52 Ha, sedangkan penggunaan lahan non-hutan (termasuk pertanian maupun nonpertanian) yang ada di SubDAS Bedog sejumlah 8.000,15 Ha. Berdasarkan data BPS (2014), penggunaan lahan pertanian (sawah dan tegalan) di Kabupaten Sleman mengalami penurunan dari jumlah 29.091,93 Ha pada tahun 2010 menjadi 28.698 Ha pada tahun 2013. Perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non-pertanian yang terjadi di SubDAS Bedog sangat berpengaruh terhadap debit maksimum. Berdasarkan data BLH dan DPUP-ESDM DIY (2012) dalam Rancangan Awal RKPD DIY (2015), debit maksimum rerata bulanan Sungai Bedog tahun 2011 yang tercatat di Stasiun Pengamat Aliran Sungai Pijenan Bantul sejumlah 32,2 m 3 /dt. Debit maksimum rerata bulanan Sungai Bedog tahun 2012 mengalami peningkatan sejumlah 62,8 m 3 /dt. Peningkatan debit maksimum sungai di SubDAS Bedog dapat membuktikan adanya pengaruh dari pengalihfungsian penggunaan lahan. 1

1.2. Rumusan Masalah Perubahan penggunaan lahan hutan menjadi non-hutan (pertanian maupun non-pertanian) dapat mempengaruhi perubahan debit puncak di suatu DAS. Perubahan penggunaan lahan dipengaruhi oleh semakin meningkatnya jumlah penduduk di SubDAS Bedog. Penduduk yang datang dan ingin menetap pasti membutuhkan tempat untuk tinggal. Kebutuhan penduduk akan tempat tinggal maupun pekerjaan mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan hutan menjadi non-hutan (pertanian maupun non-pertanian). Perubahan penggunaan lahan yang terjadi terus-menerus akan menyebabkan peningkatan aliran permukaan. Peningkatan aliran permukaan dapat terjadi disebabkan oleh koefisien aliran penggunaan lahan yang mengalami perubahan. Koefisien aliran yang terjadi di penggunaan lahan hutan memiliki nilai lebih rendah dibandingkan dengan penggunaan lahan non-hutan (pertanian maupun non-pertanian). Koefisien aliran bernilai tinggi karena curah hujan yang meresap ke dalam tanah lebih sedikit dibandingkan dengan aliran permukaan yang terbentuk. Aliran permukaan dengan intensitas tinggi akan lebih cepat mengisi badan sungai yang ada di SubDAS Bedog sehingga potensi debit puncak yang ditimbulkan akan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan aliran permukaan yang berintensitas rendah. Aliran permukaan yang berintensitas rendah disebabkan banyaknya curah hujan yang meresap ke dalam tanah. Peningkatan aliran permukaan dari tahun ke tahun akan menyebabkan debit puncak dapat terbentuk dengan intensitas tinggi akibat perubahan penggunaan lahan hutan menjadi non-hutan (pertanian maupun nonpertanian). Penelitian ini dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan yang ada di SubDAS Bedog terkait peningkatan debit puncak akibat perubahan penggunaan lahan. Dari permasalahan diatas, maka rumusan masalah penelitiannya adalah: 1. Bagaimana perubahan penggunaan lahan yang terjadi dari tahun 1998-2013? 2. Bagaimana koefisien aliran yang terjadi dari tahun 1998-2013? 3. Bagaimana perubahan debit puncak yang terjadi akibat perubahan penggunaan lahan dari tahun 1998-2013? 2

Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah disampaikan, maka penelitian yang akan dilakukan ini berjudul PENGARUH PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN TERHADAP DEBIT PUNCAK PADA SUBDAS BEDOG DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah diatas, tujuan utama penelitian ini adalah: 1. Mengidentifikasi perubahan penggunaan lahan yang terjadi dari tahun 1998-2013. 2. Mengidentifikasi koefisien aliran yang terjadi dari tahun 1998-2013. 3. Menganalisis perubahan debit puncak akibat perubahan penggunaan lahan dari tahun 1998-2013. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat penting, baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoretis, manfaat dari penelitian ini adalah dapat memberikan suatu referensi/informasi untuk bidang ilmu pengetahuan yang sama maupun bidang ilmu pengetahuan yang berbeda, terutama yang berkaitan dengan perubahan penggunaan lahan maupun debit puncak. Secara praktis, penelitian yang dilakukan ini dapat bermanfaat bagi masyarakat yang ada di SubDAS Bedog untuk memahami pentingnya vegetasi sebagai media peresapan air hujan untuk mengurangi konsentrasi aliran permukaan dan sebagai evaluasi untuk pemerintah terkait kebijakan tata ruang wilayah yang sudah ditentukan dengan berdasarkan peraturan yang berlaku untuk keberlangsungan lingkungan hidup. 1.5. Tinjauan Pustaka 1.5.1. Daerah Aliran Sungai Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu cekungan yang mewadahi aliran sungai dengan batas berupa igir perbukitan sebagai penampung, penyimpan, dan penyalurkan aliran sungai dari hulu hingga mencapai satu keluaran tunggal/single outlet di bagian hilir (Gilman, 1993 dan Hasibuan, 2009). DAS 3

memiliki zonasi yang berbeda berdasarkan ketinggian/kemiringan lerengnya, antara lain zona hulu, tengah, dan hilir (Suprayogi et al., 2013). Daerah aliran sungai (DAS) memiliki beberapa bagian yang lebih kecil disebut dengan sub daerah aliran sungai (subdas). DAS maupun SubDASpada zona hulu memiliki lereng yang cenderung curam dibandingkan dengan zona tengah maupun hilir (Hasibuan, 2009). Kemiringan lereng yang cenderung curam akan banyak mengalami proses erosi karena adanya gaya gravitasi yang lebih berpotensi membawa material menuju zona tengah dan hilir melalui aliran sungai, sehingga zona hulu DAS lebih sering terjadi erosi dibandingkan zona tengah maupun hilir (Gilman, 1993). Daerah aliran sungai (DAS) pada zona tengah tidak mengalami proses erosi karena kemiringan lereng yang cenderung lebih landai dibandingkan zona hulu. Zona hilir pada DAS juga tidak mengalami proses erosi karena kemiringan lereng yang lebih datar, sehingga material endapan dari zona hulu banyak diendapkan pada zona hilir (Triatmodjo, 2008). Proses yang berbeda di zona hulu, tengah, dan hilir DAS menyebabkan perbedaan pola aliran sungai yang dapat terbentuk. Pola aliran sungai pada zona hulu lebih bercabang dibandingkan dengan zona tengah maupun hilir (Hasibuan, 2009). Percabangan sungai yang terbentuk pada zona bagian hulu DAS akibat tingginya intensitas hujan yang jatuh (Karunia, 2012). Alur sungai yang bercabang secara perlahan akan mengalami pemusatan akibat adanya perbedaan topografi yang semakin rendah (Isfandari et al., 2014). Pola aliran sungai di DAS maupun SubDAS dapat menyebabkan terbentuknya panjang sungai utama dan perbedaan kemiringan DAS maupun SubDAS dari zona hulu hingga hilir. Perbedaan panjang sungai utama di DAS mempengaruhi durasi hujan menjadi aliran dari zona hulu hingga hilir. Sungai utama yang lebih pendek akan lebih cepat mengalami konsentrasi aliran sungai dibandingkan dengan sungai utama yang cenderung lebih panjang (Wagener et al., 2004). Kemiringan DAS yang dapat terbentuk akibat perbedaan pola aliran sungai akan menyebabkan bentuk DAS menjadi berbeda. Bentuk DAS bulat akan 4

mengalami respon yang berbeda dengan bentuk DAS yang lebih sempit dan memanjang saat menerima hujan yang jatuh. Bentuk DAS bulat dan memanjang akan menimbulkan potensi debit puncak yang berbeda, yang mana proses hujan akan terjadi secara terus-menerus membentuk siklus (Davie, 2002). 1.5.2. Siklus Hidrologi Siklus hidrologi merupakan daur yang terjadi pada komponen hidrologi melalui proses penguapan (evaporasi) dari badan air oleh sinar matahari kemudian membentuk awan di atmosfer dan jatuh menjadi hujan, serta sebagian tertampung ke badan air, terserap dalam tanah, dan teruapkan kembali ke atmosfer (Indarto, 2010; Linsley et al., 1996). Siklus hidrologi dapat terjadi pada musim kemarau maupun penghujan. Masing-masing musim memiliki kontribusi yang berbeda mengenai intensitas evaporasi, presipitasi, dan komponen meteorologis lainnya. Siklus ini lebih sering terjadi pada musim penghujan karena angin yang bertiup cenderung lebih kencang dibandingkan saat musim kemarau. Selain karena kecepatan angin, juga dipengaruhi oleh letak secara astronomi dan intensitas suhu maupun kelembapan yang dapat mendukung hujan lebih dominan terbentuk (Tjasyono, 2004). Curah hujan merupakan jumlah butir hujan yang jatuh ke dalam DAS maupun SubDAS. Hujan yang jatuh pada musim penghujan dan kemarau memiliki intensitas berbeda. Intensitas hujan yang berbeda disebabkan oleh letak stasiun hujan yang berbeda ketinggian dari permukaan air laut di dalam DAS maupun sekelilingnya. Curah hujan yang tercatat oleh stasiun hujan dapat digunakan untuk mengetahui hujan yang ada di dalam DAS. Hujan wilayah di dalam DAS dapat diketahui dengan beberapa metode, yaitu Rerata Aljabar, Poligon Thiessen, dan Isohiet (Sosrodarsono dan Takeda, 1993 dalam Girsang, 2008). Perbedaan curah hujan yang jatuh dalam DAS dipengaruhi oleh musim yang sedang berlangsung. Curah hujan yang terjadi pada musim penghujan memiliki intensitas cenderung lebih tinggi dibandingkan pada saat musim kemarau. Curah hujan dengan intensitas tinggi akan mempercepat proses 5

peresapan air ke dalam tanah dibandingkan dengan intensitas rendah yang cenderung lebih melambat. Cepat dan lambatnya air hujan yang meresap ke dalam tanah dipengaruhi oleh kapasitas infiltrasi (Arsyad, 2010). Kapasitas infiltrasi dapat diidentifikasi berdasarkan tekstur maupun strukturnya. Secara garis besar, tekstur tanah dapat dibedakan menjadi tiga macam, diantaranya adalah debu, pasir, dan lempung. Kondisi tanah yang bertekstur lempung dapat menyebabkan aliran permukaan dengan intensitas lebih tinggi dibandingkan pasir maupun debu karena pori-pori tanah didalamnya berukuran besar sehingga tanah lebih mudah mengalami penjenuhan (Hanafiah, 2004). Penjenuhan tanah yang lebih cepat akan berpotensi menyebabkan peningkatan aliran permukaan. 1.5.3. Aliran Permukaan Aliran permukaan merupakan bagian dari limpasan (aliran) yang dapat terjadi di permukaan tanah akibat curah hujan yang jatuh dalam DAS. Aliran permukaan dapat terjadi apabila curah hujan yang jatuh sudah tidak bisa meresap ke dalam tanah (Triatmodjo, 2008). Tanah merupakan sebagian dari komponen DAS, yang dapat menentukan intensitas aliran permukaan. Komponen DAS lainnya yang berpengaruh terhadap intensitas aliran permukaan, yaitu sudut kemiringan, bentuk DAS, dan jenis vegetasi. (Sudarmadji, 2013). Sudut kemiringan DAS dipengaruhi oleh ketinggian dan jarak sungai utama antara zona hulu dengan hilir. Titik tinggi DAS yang lebih besar antara zona hulu dengan hilir dapat menyebabkan kecepatan aliran permukaan menjadi lebih cepat dibandingkan dengan kondisi DAS yang lebih datar. Intensitas aliran permukaan yang tinggi akan menyebabkan waktu konsentrasi DAS menjadi lebih singkat, sehingga aliran sungai yang terisi penuh oleh hujan menjadi lebih cepat (Davie, 2002). Intensitas aliran permukaan yang terbentuk di DAS dapat diketahui persentasenya dengan menggunakan koefisien aliran. Koefisien aliran merupakan persentase antara aliran permukaan dengan curah hujan yang jatuh di DAS. Koefisien aliran dapat diketahui melalui beberapa metode, yaitu Metode Hassing, Metode USGS, dan Metode Cook. Metode 6

Hassing menghitung koefisien aliran dengan mengetahui kondisi relief, jenis tanah, dan vegetasi (Wismarini et al., 2011). Metode USGS menghitung koefisien aliran berdasarkan tekstur tanah (Budiawan, 2012). Metode Cook menghitung koefisien aliran berdasarkan kondisi relief, infiltrasi tanah, vegetasi penutup lahan dan simpanan permukaan (Sudaryatno, 2002). Vegetasi penutup lahan merupakan salah satu parameter dari Metode Cook yang dapat diketahui melalui jenis penggunaan lahan yang ada di DAS. 1.5.4. Penggunaan Lahan Penggunaan lahan merupakan suatu lahan yang terbentuk pada wilayah tertentu akibat adanya campur tangan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Masing-masing penggunaan lahan memiliki peranan terhadap lingkungan yang berbeda. (As-Syakur, 2011). Penggunaan lahan berupa hutan menjadi salah satu penggunaan lahan yang paling bermanfaat untuk lingkungan karena dapat digunakan untuk menyangga curah hujan yang jatuh dari atmosfer ke dalam DAS (Miladan, 2009). Penggunaan lahan hutan yang beralihfungsi menjadi penggunaan lahan non-hutan (pertanian maupun non-pertanian) akibat peningkatan jumlah penduduk yang cukup signifikan dari waktu ke waktu. Peningkatan jumlah penduduk yang ada di suatu wilayah akan menyebabkan banyaknya kebutuhan hidup yang harus dipenuhi oleh masingmasing penduduk. Penggunaan lahan hutan dapat dimanfaatkan sebagian penduduk untuk memproduksi bahan kayu dan sejenisnya kepada penduduk lain agar semua kebutuhan hidupnya dapat terpenuhi (Seta, 1996). Perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi non-pertanian juga terjadi cukup signifikan dari waktu ke waktu akibat banyaknya permintaan sebagian penduduk untuk memiliki tempat tinggal. Pertambahan luas penggunaan lahan non-pertanian dapat meningkatkan intensitas aliran permukaan akibat sedikitnya curah hujan yang masuk meresap ke dalam tanah, sehingga koefisien aliran yang terbentuk juga semakin besar. Besarnya nilai koefisien aliran dapat memicu terbentuknya debit puncak yang semakin tinggi (Lee, 1988). 7

1.5.5. Debit Puncak Debit puncak merupakan suatu proses alam yang terjadi di DAS maupun subdas akibat adanya peningkatan aliran sungai. Peningkatan aliran sungai di DAS maupun subdas disebabkan adanya intensitas aliran permukaan yang tinggi akibat kurang maksimalnya tanah dalam meresapkan curah hujan (Triatmodjo, 2008). Masing-masing jenis tanah yang terbentuk akan sangat berpengaruh terhadap banyak dan sedikitnya curah hujan yang masuk ke dalam tanah. Penggunaan lahan yang terbentuk di DAS maupun subdas juga berperan penting dalam mengendalikan intensitas aliran permukaan agar tidak banyak terdistribusi langsung menuju badan sungai (Untari, 2012). Aliran permukaan yang masuk menuju badan sungai sangat dipengaruhi oleh waktu konsentrasi. Waktu konsentrasi merupakan sebuah parameter yang digunakan untuk mengetahui intensitas hujan dengan mempertimbangkan parameter fisik DAS maupun subdas (Triatmodjo, 2008). Parameter fisik DAS maupun subdas dapat dilihat berdasarkan bentuk. Bentuk DAS maupun subdas yang cenderung membulat akan mengalami peningkatan aliran permukaan yang lebih cepat dibandingkan bentuk DAS maupun subdas yang cenderung memanjang. Hal ini disebabkan karena banyaknya orde sungai pada DAS yang berbentuk bulat dibandingkan dengan DAS yang memanjang (Seyhan, 1990 dalam Suprayogi et al., 2013). Metode yang digunakan dalam pengukuran debit puncak dengan menggunakan intensitas hujan, koefisien aliran, dan luas DAS adalah Metode Rasional (Triatmodjo, 2008). 1.5.6. Metode Rasional Metode Rasional merupakan salah satu metode/cara yang dapat digunakan untuk mengetahui debit puncak suatu DAS maupun subdas (Hendrasarie, 2005). Parameter yang digunakan dalam penentuan Metode Rasional sebagai cara untuk mengetahui debit puncak, yaitu intensitas hujan (turunan dari curah hujan harian maksimum), koefisien aliran, dan luas DAS maupun subdas. Metode Rasional dapat digunakan dengan memperhatikan nilai intensitas hujan di dalam DAS 8

maupun subdas harus mendekati waktu konsentrasi aliran sungai yang terisi penuh oleh hujan dari hulu hingga hilir (Hadisusanto, 2011). Metode Rasional memiliki beberapa asumsi, selain menyamakan intensitas hujan dengan waktu konsentrasi DAS maupun subdas, luas DAS maupun subdas tidak mengalami perubahan selama hujan berlangsung, dan simpanan permukaan dianggap tidak ada/diabaikan (Wanielista, 1990 dalam Girsang, 2008). Parameter simpanan permukaan yang digunakan untuk mengukur koefisien aliran dengan Metode Cook diabaikan karena syarat/ketentuan dari Metode Rasional. Perhitungan pada Metode Rasional, selain menggunakan nilai intensitas hujan, koefisien aliran, dan luas menggunakan angka 0,2778. Angka 0,2778 digunakan untuk menyamakan satuan dari masing-masing parameter yang digunakan (Girsang, 2008). 1.5.7. Penelitian Sebelumnya Penelitian mengenai perubahan penggunaan lahan terhadap debit puncak merupakan salah satu topik yang cukup menarik karena berkaitan dengan adanya keterkaitan antara alihfungsi lahan dan potensi terjadinya banjir. Konversi lahan yang dapat memicu peningkatan debit puncak menjadi suatu permasalahan dalam penelitian ini. Banyak peneliti yang mencoba untuk melakukan penelitian ini untuk mencari solusi dari permasalahan yang berkaitan dengan potensi banjir akibat adanya alihfungsi lahan. Agar penelitian ini lebih menjelaskan secara mendalam, maka dilakukan pendataan mengenai penelitian sebelumnya yang didasarkan pada penelitian perubahan penggunaan lahan dan debit puncak. Penelitian mengenai debit puncak juga pernah dilakukan oleh Girsang (2008) dengan judul Analisis Curah Hujan Untuk Pendugaan Debit Puncak Dengan Metode Rasional Pada DAS Belawan Kabupaten Deli Serdang. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola distribusi frekuensi yang tepat pada DAS Belawan dan untuk menghitung debit puncak aliran sungai pada DAS Belawan dengan menggunakan Metode Rasional. Metode yang digunakan adalah Rasional. Hasil penelitian ini dapat menunjukkan adanya ketepatan pola distribusi 9

untuk DAS Belawan, hasil hujan rancangan maupun debit puncak yang beragam dari berbagai periode ulang, waktu konsentrasi, dan nilai koefisien limpasan. Penelitian yang hampir sama kajiannya juga dilakukan oleh Aviani (2010) dengan judul Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Debit Puncak Sub DAS Code Dengan Menggunakan Model Rasional Modifikasi. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui besarnya perubahan tata guna lahan yang terjadi pada tahun 1996-2006 yang mengakibatkan peningkatan koefisien aliran pada SubDAS Code dan mengestimasi besarnya debit puncak banjir tahun 1996 dan 2006 dengan menggunakan Metode Rasional yang telah dimodifikasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa SubDAS Code mengalami perubahan penggunaan lahan pada periode tahun 1996 dan 2006 meskipun tidak terlalu terlihat mencolok, terutama konversi lahan pertanian menjadi permukiman, dan terjadi peningkatan koefisien aliran yang menyebabkan debit puncak mengalami peningkatan dari tahun 1996 hingga 2006. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Pramono et al., (2010) dengan judul Penerapan Metode Rasional Untuk Estimasi Debit Puncak Pada Beberapa Luas Sub DAS. Tujuan penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang luas DAS yang paling sesuai untuk menerapkan Metode Rasional dari ketiga subdas yang terpilih. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan Metode Rasional untuk estimasi debit puncak di SubDAS Tapan dan Wuryantoro memberikan hasil yang melebihi (over estimate) dan di SubDAS Ngunut I memberikan hasil yang relatif sama dibandingkan dengan hasil pengukuran. Perbedaan tersebut adalah 185 %, -4 %, dan 615 % masing-masing untuk SubDAS Tapan, Ngunut I, dan Wuryantoro. Hasil selanjutnya adalah Metode Rasional untuk estimasi debit puncak memberikan hasil yang paling baik pada daerah datar, dimana hujan yang terjadi lebih merata. Pada subdas yang lebih kecil namun topografinya sangat curam maka curah hujannya tidak merata sehingga hasil estimasi ini banyak mengalami penyimpangan dibandingakan dengan hasil pengukuran. Hasil berikutnya adalah untuk menerapkan metode rasional di ketiga subdas perlu penyesuaian-penyesuaian. Indeks penyesuaian ini selain tergantung pada luas DAS juga tergantung pada besarnya curah hujan yang 10

menyebabkan banjir. Makin besar hujan maka indeks penyesuaian juga makin besar. Hasil terakhir menunjukkan penerapan metode rasional untuk SubDAS Tapan menggunakan indeks penyesuaian antara 0,22-0,36; SubDAS Ngunut I menggunakan indeks penyesuaian antara 1,04-3,91 dan SubDAS Wuryantoro antara 0,14-0,20. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Budiawan (2012) yang berjudul Pendugaan Debit Puncak Menggunakan Model Rasional dan SCS-CN (Soil Conservation Service-Curve Number) (Studi Kasus di Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran; Sub DAS Kali Madiun, DAS Solo). Tujuan penelitian ini adalah mengetahui perilaku debit puncak (Qp) di SubDAS Keyang, Slahung dan Tempuran, serta mengetahui keakuratan Model Rasional dan SCS-CN dalam menduga debit puncak di DAS yang berukuran besar. Hasil penelitian ini adalah kejadian debit tidak selalu dipengaruhi oleh kejadian hujan, debit puncak tidak selalu terjadi pada saat kejadian curah hujan maksimum, debit puncak lebih dipengaruhi oleh jumlah kumulatif kejadian hujan secara berturut-turut diseluruh DAS yang mempengaruhi kondisi kadar air tanah dan aliran permukaan, serta Metode SCS-CN (Soil Conservation Service-Curve Number) lebih sesuai dengan debit puncak pengukuran dibandingkan dengan Metode Rasional. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Palar et al., (2013) yang berjudul Studi Perbandingan Antara Hidrograf SCS (Soil Conservation Service) dan Metode Rasional Pada DAS Tikala. Tujuan penelitian ini adalah memberikan perbandingan debit limpasan antara perhitungan Hidrograf SCS dengan Metode Rasional dan memberikan gambaran yang lebih detail terkait ketepatan metode terhadap kondisi yang ada di lapangan. Hasil penelitian ini adalah terdapat perbedaan hasil perhitungan antara Metode Rasional dengan Hidrograf SCS dan metode yang sesuai adalah Hidrograf SCS tanpa dimensi. Tabel 1.1 berikut merupakan beberapa penelitian sebelumnya yang pernah dilakukan dan dijadikan sebagai referensi penelitian saya. 11

Tabel 1.1 Daftar Penelitian Sebelumnya yang Digunakan Sebagai Acuan Penelitian No. Peneliti Judul Lokasi 1. Febrina Girsang (2008) Analisis Curah Hujan Untuk Pendugaan Debit Puncak Dengan Metode Rasional Pada DAS Belawan Kabupaten Deli Serdang Penelitian DAS Belawan Kabupaten Deli Serdang Tujuan Metode Hasil Penelitian 1. Mengetahui pola distribusi frekuensi yang tepat pada DAS Belawan 2. Menghitung debit puncak aliran sungai pada DAS Belawan dengan menggunakan metode rasional Rasional 1. Pola distribusi yang tepat untuk DAS Belawan adalah distribusi Log Pearson Type III 2. Hujan rancangan berbagai periode ulang 1, 2, 5, 10, 20, 25, 30, 40, 50, 100, dan 200 tahun adalah sebesar 47,38 mm; 78,61 mm; 98,97 mm; 112,93 mm; 118,66 mm; 124,82 mm; 131,13 mm; 133,54 mm; 138,52 mm; 143,65 mm; 159,55 mm; dan 174,5 mm. 3. Waktu yang diperlukan oleh hujan untuk mengalir dari titik terjadi (hulu) sampai ke tempat keluaran DAS (hilir) atau disebut dengan waktu konsentrasi sebesar 10,60 jam. 4. Dari hasil penelitian diperoleh nilai koefisien limpasan (C) sebesar 0,2230 dengan kondisi fisik DAS Belawan baik. 12

2. Erika Nur Aviani (2010) Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Terhadap Debit Puncak Sub DAS Code Dengan Menggunakan Model Rasional Modifikasi Sub DAS Code, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta 1. Mengetahui besarnya perubahan tata guna lahan yang terjadi pada tahun 1996-2006 yang mengakibatkan peningkatan koefisien aliran pada Sub DAS Code. 2. Mengestimasi besarnya debit puncak banjir tahun 1996 dan 2006 dengan menggunakan model Rasional modifikasi. Rasional Modifikasi 5. Debit puncak DAS Belawan untuk berbagai periode ulang 1, 2, 5, 10, 15, 20, 25, 30, 40, 50, 100, dan 200 tahun sebesar 95,27 m3/s; 156,78 m3/s; 197,34 m3/s; 225,37 m3/s; 236,53 m3/s; 249,05 m3/s; 261,57 m3/s; 266,47 m3/dt; 276,27 m3/dt; 286,61 m3/dt; 318,19 m3/dt; dan 348,13 m3/dt. 1. Sub DAS Code mengalami perubahan penggunaan lahan pada periode tahun 1996 dan 2006. Adanya perubahan penggunaan lahan yang walaupun tidak terlalu terlihat mencolok, terutama konversi lahan pertanian menjadi permukiman sebesar 0,22 %, namun menyebabkan terjadi perubahan sifat tanggapan DAS, yaitu terjadinya peningkatan koefisien aliran sebesar 3,03 % dengan menggunakan metode Cook. 2. Berdasarkan hasil prediksi debit puncak dengan menggunakan metode rasional 13

3. Irfan Budi Pramono, Nining Wahyuningrum, dan Agus Wuryanta (2010) Penerapan Metode Rasional Untuk Estimasi Debit Puncak Pada Beberapa Luas Sub DAS Sub-sub DAS Tapan, Ngunut I, dan Wuryantoro, daerah Solo bagian hulu 1. Mendapatkan informasi tentang luas DAS yang paling sesuai untuk menerapkan Metode Rasional dari ketiga sub DAS yang terpilih Rasional modifikasi diketahui adanya peningkatan pada tahun 1996 hingga 2006 sebesar 13,43 m3/detik dengan pendekatan koefisien aliran metode Cook. Perubahan debit puncak ini disebabkan oleh terjadinya perubahan penggunaan lahan pertanian menjadi lahan permukiman yang mengakibatkan peningkatan koefisien aliran di Sub DAS Code. 1. Penerapan Metode Rasional untuk estimasi debit puncak di sub DAS Tapan dan Wuryantoro memberikan hasil yang melebihi (over estimate) dan di sub DAS Ngunut I memberikan hasil yang relatif sama dibandingkan dengan hasil pengukuran. Perbedaan tersebut adalah 185 %, -4 %, dan 615 % masingmasing untuk sub DAS Tapan, Ngunut I, dan Wuryantoro. 2. Metode rasional untuk estimasi debit puncak memberikan hasil yang paling 14

baik pada daerah datar, dimana hujan yang terjadi lebih merata. Pada sub DAS yang lebih kecil namun topografinya sangat curam maka curah hujannya tidak merata sehingga hasil estimasi ini banyak mengalami penyimpangan dibandingakan dengan hasil pengukuran. 3. Untuk menerapkan metode rasional di ketiga sub DAS perlu penyesuaian-penyesuaian. Indeks penyesuaian ini selain tergantung pada luas DAS juga tergantung pada besarnya curah hujan yang menyebabkan banjir. Makin besar hujan maka indeks penyesuaian juga makin besar. 4. Penerapan metode rasional untuk sub DAS Tapan menggunakan indeks penyesuaian antara 0,22-0,36, sub DAS Ngunut I menggunakan indeks penyesuaian antara 1,04-3,91, dan sub DAS Wuryantoro antara 0,14-0,20. 4. Soni Setia Pendugaan Debit Sub-sub DAS 1. Mengetahui perilaku Rasional dan SCS- 1. Perilaku debit dipengaruhi 15

Budiawan (2012) Puncak Menggunakan Model Rasional dan SCS-CN (Soil Conservation Service-Curve Number) (Studi Kasus di Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran; Sub DAS Kali Madiun, DAS Solo) Keyang, Slahung, dan Tempuran; Sub DAS Kali Madiun, DAS Solo debit puncak (Qp) di Sub-sub DAS Keyang, Slahung dan Tempuran 2. Mengetahui keakuratan model rasional dan SCS-CN dalam menduga debit puncak di DAS yang berukuran besar CN oleh perilaku hujan, namun kejadian debit pada hari tertentu tidak berhubungan linear dengan kejadian hujan pada waktu yang sama dengan kejadian debit. 2. Debit puncak (Qp) tidak selalu terjadi pada saat kejadian curah hujan maksimum. Qp lebih dipengaruhi oleh jumlah kumulatif kejadian hujan secara berturut-turut diseluruh DAS yang mempengaruhi kondisi kadar air tanah dan aliran permukaan. 3. Model rasional bersifat linear terhadap kejadian hujan sedankang model SCS-CN (Soil Conservation Service-Curve Number) tidak bersifat linear terhadap kejadian hujan, namun dipengaruhi oleh kadar air tanah, yang dipengaruhi oleh kejadian hujan berturut-turut, sehingga secara teoritas model SCS-CN dapat lebih baik menduga debit dan debit maksimum. 16

4. Model rasional dan model SCS-CN menghasilkan Qp dugaan yang bebeda jauh dengan Qp hasil pengukuran di Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran (KST) yang memiliki luas 103.157,88 ha, namun dari segi perilaku Qp dugaan dengan model SCS-CN lebih sesuai dengan Qp pengukuran. 5. Perbedaan nilai Qp dugaan menggunakan model SCS-CN dengan Qp hasil pengukuran di DAS yang sangat luas seperti Sub-sub DAS Keyang, Slahung, dan Tempuran (KST), diduga akibat curah hujan daerah hasil perataan curah hujan di 3 stasiun hujan tidak mewakili kejadian hujan yang merata di seluruh DAS, mengingat variasi ruang kejadian hujan harian di DAS tersebut besar, sehingga peluang terjadinya hujan harian secara merata di seluruh DAS yang luas adalah kecil. 5. Ronaldo Toar Studi DAS Tikala, 1. Memberikan Hidrograf SCS dan 1. Terdapat perbedaan hasil 17

Palar, L. Kawet, E.M. Wuisan, dan H. Tangkudung (2013) Perbandingan Antara Hidrograf SCS (Soil Conservation Service) dan Metode Rasional Pada DAS Tikala Provinsi Sulawesi Utara perbandingan debit limpasan antara hitungan hidrograf SCS dan hitungan Metode Rasional 2. Memberikan gambaran yang lebih detail terkait ketepatan metode terhadap kondisi yang ada di lapangan Rasional perhitungan dengan metode Rasional dan metode Hidrograf SCS. 2. Berdasarkan karakteristik DAS dan data-data yang tersedia, serta tataguna lahan pada kondisi saat pengamatan maka metode yang sesuai yaitu metode hidrograf SCS tanpa dimensi. 18

1.6. Kerangka Pemikiran Daerah aliran sungai (DAS) merupakan suatu ekosistem yang dapat terjadi secara baik maupun buruk. Hubungan makhluk hidup dengan lingkungan yang baik akan berdampak pada kondisi DAS yang cenderung lebih sehat (tidak mengalami bencana alam berkepanjangan). Kondisi DAS maupun subdas yang tidak sehat merupakan suatu ancaman karena potensi bencana akan terus terjadi secara terus-menerus. Kondisi DAS maupun subdas yang tidak sehat disebabkan adanya perubahan penggunaan lahan hutan menjadi non-hutan (pertanian maupun non-pertanian). Pengalihfungsian lahan yang dapat terjadi karena adanya peningkatan jumlah penduduk, yang mana masing-masing membutuhkan kebutuhan lahan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pengalihfungsian lahan yang kurang sesuai dengan peruntukannya akan menyebabkan potensi terjadinya debit puncak dengan intensitas yang lebih tinggi dari waktu sebelumnya. Analisis perubahan penggunaan lahan maupun debit puncak pada penelitian ini dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa instrumen penelitian. Analisis perubahan penggunaan lahan dari waktu ke waktu dapat diketahui menggunakan citra satelit dengan memperhatikan sistem informasi geografi yang ada di dalam DAS maupun subdas. Perubahan penggunaan lahan dari waktu ke waktu akan menyebabkan terjadi perubahan luas penggunaan lahan. Peningkatan debit puncak menjadi salah satu dampak dari adanya perubahan penggunaan lahan hutan menjadi non-hutan (pertanian maupun nonpertanian). Beberapa faktor yang mempengaruhi debit puncak adalah intensitas hujan, simpanan permukaan, relief/topografi, vegetasi penutup, dan luas DAS maupun subdas. Perubahan penggunaan lahan dapat berpengaruh terhadap potensi debit puncak yang terjadi di DAS maupun subdas. Penjelasan diatas dapat diilustrasikan melalui Gambar 1.1. 20

Ancaman terhadap subdas Bedog Kebutuhan lahan Tekanan penduduk Potensi perubahan penggunaan lahan Potensi perubahan debit puncak Analisis perubahan penggunaan lahan Analisis perubahan debit puncak Citra satelit Luas Infiltrasi Intensitas hujan Sistem informasi geografi Simpanan permukaan Vegetasi penutup Relief/topografi Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap debit puncak Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran 21