TINJAUAN PUSTAKA. fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Aghnita Septiarti, 2014 Studi Deskriptif Sikap Mental Penduduk Miskin

Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia

Kemiskinan dan Kesenjangan di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. untuk melihat keberhasilan pembangunan suatu negara. Setiap negara akan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan. Kemiskinan telah membuat pengangguran semakin bertambah banyak,

I. PENDAHULUAN. masalah kompleks yang telah membuat pemerintah memberikan perhatian khusus

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. masalah klasik dan mendapat perhatian khusus dari negara-negara di dunia.

Oleh : Muhlisin, S.E., M.Si.

PENDAHULUAN. Latar Belakang. Keterbelakangan menurut Chamber (1987) ialah rasa tidak berdaya

Bab 1. Pendahuluan. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Determinan kemiskinan..., Roy Hendra, FE UI, Universitas Indonesia

I. PENDAHULUAN. Proses pembangunan memerlukan Gross National Product (GNP) yang tinggi

BAB 12. PENANGGULANGAN KEMISKINAN KELUARGA DI INDONESIA. Oleh: Herien Puspitawati Tin Herawati

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang. Pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan merupakan indikator penting untuk

BAB I PENDAHULUAN. oleh si miskin. Penduduk miskin pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan dasar hidup sehari-hari. Padahal sebenarnya, kemiskinan adalah masalah yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tingkat Kemiskinan Jawa Barat Maret 2015

I. PENDAHULUAN. Secara konsepsional, pembangunan yang telah dan sedang dilaksanakan pada

BAB 2 LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. terakhir. Pertumbuhan Indonesia hanya mencapai 5,8% pada tahun 2013 dan turun

BAB I PENDAHULUAN. kemiskinan yang akurat dan tepat sasaran. Data kemiskinan yang baik dapat

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Kemiskinan merupakan suatu kondisi bukan hanya hidup dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seorang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok seperti pangan, sandang,

BAB I PENDAHULUAN. negara di dunia, terutama negara sedang berkembang. Secara umum

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. terutama sejak terjadinya krisis ekonomi dan moneter pada tahun 1997.

I. PENDAHULUAN. Sub sektor perikanan menjadi salah satu sub sektor andalan dalam

STRATEGI PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MISKIN PERKOTAAN BERBASIS KELEMBAGAAN LOKAL STUDI KASUS DI KELURAHAN CURUG MEKAR, KOTA BOGOR RISNA WIDIASTUTI

BAB II LANDASAN TEORI. Dalam bab II ini menguraikan tentang pandangan teoritis mengenai. Kemiskinan merupakan masalah kemanusiaan yang telah lama

BAB I PENDAHULUAN. Dalam bab ini membahas secara berurutan tentang latar belakang

BPS PROVINSI JAWA BARAT

TINGKAT KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2014 SEBESAR 15,00 PERSEN RINGKASAN

Kemiskinan di Indonesa

II. TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR. ahli dan lembaga-lembaga yang berkaitan dengan penelitian ini.

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dalam bangsa, yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi, perubahan

I. PENDAHULUAN. perubahan besar dalam struktur sosial, sikap-sikap mental yang sudah terbiasa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Astri Khusnul Khotimah, 2014 Studi Deskripsi Kemiskinan di Kota Bandung

BAB I PENDAHULUAN. bangsa di dunia. Kemiskinan pada umumya ditandai oleh rendahnya tingkat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, DAN HIPOTESIS. Penelitian yang dilakukan Saputro (2010) tentang Faktor-faktor yang

I. PENDAHULUAN. Kemiskinan adalah masalah bagi negara-negara di dunia terutama pada negara yang

KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

PENCAPAIAN TARGET PEMBANGUNAN: KEMISKINAN, GINI RASIO, PENGANGGURAN DAN INDEKS PEMBANGUNAN MANUSIA

TINGKAT KEMISKINAN DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA MARET 2013 SEBESAR 15,43 PERSEN RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH SEPTEMBER 2012

I. PENDAHULUAN. Pengembangan sumberdaya manusia merupakan proses untuk. ini juga merupakan proses investasi sumberdaya manusia secara efektif dalam

- 1 - BAB I PENGUATAN REFORMASI BIROKRASI

PEMERINTAH KABUPATEN PEMALANG

TINGKAT KEMISKINAN JAWA BARAT SEPTEMBER 2015

BAB I PENDAHULUAN. bermartabat. Kemiskinan menurut PBB didefenisikan sebagai kondisi di mana

I. PENDAHULUAN. perubahan dengan tujuan utama memperbaiki dan meningkatkan taraf hidup

STUDI PEMETAAN KEMISKINAN DI KOTA SEMARANG

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA SEPTEMBER 2016 RINGKASAN

I. PENDAHULUAN. kemiskinan struktural, dan kesenjangan antar wilayah. Jumlah penduduk. akan menjadi faktor penyebab kemiskinan (Direktorat Jenderal

BAB II LANDASAN TEORI. Tabel 2.1. Jumlah dan persentase penduduk miskin di Indonesia tahun

I. PENDAHULUAN. miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan. Beberapa

Gambar Perkembangan Kemiskinan di Indonesia,

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. penduduk miskin, kepada tingkatan yang lebih baik dari waktu ke waktu.

BAB I PENDAHULUAN. baru dan merangsang perkembangan kegiatan ekonomi dalam daerah tersebut

Bab I. Konsep Kemiskinan dan Pengertian Kemiskinan. A. Konsep Kemiskinan

BAB IV KONDISI SOSIAL EKONOMI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara yang berkembang,yang memiliki ciri ciri negara

Indeks Pembangunan Manusia

BAB I PENDAHULUAN. Fenomena kemiskinan perdesaan bukan merupakan suatu gejala yang baru.

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2016 RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH MARET 2017

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI JAWA TENGAH BULAN SEPTEMBER 2011

KEMISKINAN PROVINSI SULAWESI UTARA SEPTEMBER 2015

Kemiskinan sangat identik dengan beberapa variabel berikut ini:

Persoalannya sama namun dimensinya berbeda.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Kemiskinan merupakan hal klasik yang belum tuntas terselesaikan terutama

POTENSI SUMBER DAYA MANUSIA DI WILAYAH DESA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Dalam penelitian ini, peneliti ingin mengkaji tentang faktor-faktor yang

BAB II TEORI DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. dilakukan oleh para peneliti terdahulu. Alitasari (2014), teknik analisis yang

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGAH SEPTEMBER 2016

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Perikanan Tangkap Definisi perikanan tangkap Permasalahan perikanan tangkap di Indonesia

PROFIL KEMISKINAN DI INDONESIA MARET 2009

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa berada di garda terdepan. Pembangunan manusia (human development)

TINGKAT KEMISKINAN DI INDONESIA TAHUN 2007

PANGAN DAN GIZI SEBAGAI INDIKATOR KEMISKINAN

Gambar 2 Metode Penarikan Contoh

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penelitian terdahulu yang berkaitan dengan yang akan diteliti.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia merupakan negara yang memiliki jumlah penduduk yang sangat

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI SELATAN NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENANGGULANGAN KEMISKINAN

I. PENDAHULUAN. orang miskin khususnya di perdesaan terpuruk di bawah garis kemiskinan.

PROFIL KEMISKINAN DI SULAWESI TENGGARA MARET 2017 RINGKASAN

PROFIL KEMISKINAN DI PROVINSI NTT MARET 2010

BAB II KAJIAN PUSTAKA

MENGUKUR PENDAPATAN DAN KEMISKINAN MULTI-DIMENSI: IMPLIKASI TERHADAP KEBIJAKAN

Transkripsi:

27 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kemiskinan Masyarakat miskin adalah masyarakat yang tidak memiliki kemampuan untuk mengakses sumberdaya sumberdaya pembangunan, tidak dapat menikmati fasilitas mendasar seperti pendidikan, sarana dan prasarana transportasi, (Makmun, 2003). Berikut adalah beberapa karakteristik kemiskinan : 1. Dinas Sosial, (2005) : kemiskinan adalah pertama, mereka yang sama sekali tidak mempunyai sumber mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan. Kedua, mereka yang sudah mempunyai mata pencaharian tetapi tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar yang layak bagi kemanusiaan. Ketiga, mereka yang termasuk kelompok marginal yang berada disekitar garis kemiskinan. 2. BKKBN : Pertama, tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya. Kedua, seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari. Ketiga, seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk dirumah, bekerja, sekolah dan bepergian. Keempat, bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah. Kelima, tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan. 3. BPS : Suatu kondisi seseorang yang hanya dapat memenuhi makanannya kurang dari 2.100 kalori perkapita per hari. 4. Bank Dunia : Keadaan tidak tercapainya kehidupan yang layak dengan penghasilan $2/hari.

28 2.1.2. Aspek Kemiskinan Empat dimensi pokok kemiskinan (lokal maupun nasional) menurut Makmun (2003) pertama, kurangnya kesempatan (lack of opportunity), kedua rendahnya kemampuan (low of capabilities), ketiga kurangnya jaminan (low-level of security) keempat ketidakberdayaan (low of capacity or empowerment). Selanjutnya Narhetali (2003) mengutip hasil penelitian tentang kemiskinan yang dilakukan Yeates dan Mc. Laughin (Bank Dunia, 2000) yang menyatakan bahwa orang miskin mempunyai penekanan yang berbeda dari pembuat kebijakan tentang hal-hal yang dipersepsi sebagai dimensi kemiskinan. Selain tingkat pendapatan, konsumsi, pendidikan dan kesehatan, kaum miskin juga menekankan faktor psikologis seperti kepercayaan diri, ketidakberdayaan (powerlessness) serta pengucilan fisik dan sosial sebagai sumber kemiskinan. Dengan demikian secara jelas terlihat bahwa bagi orang, kelompok, komunitas, masyarakat miskin, ternyata peningkatan pendapatan bukanlah satu-satunya hal yang amat penting, tetapi perlakuan humanis penuh harga diri, self-respect juga merupakan sesuatu yang amat bernilai. Sumardjo (2003) mengatakan bahwa terdapat dua kategori kondisi masyarakat yaitu kategori kondisi fenomena kehidupan masyarakat miskin karena ketidakmampuannya meraih aset usaha produktif, yang kedua kondisi fenomena kehidupan masyarakat miskin karena ketidakberdayaannya secara ekonomi, fisik atau ketidakberdayaan mental atau kategori the poorest of the poor. Sumodiningrat (2002) menyebutkan bahwa masyarakat miskin secara umum dapat ditandai oleh ketidakberdayaan/ketidakmampuan (powerlessness).

29 Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan tersebut menumbuhkan perilaku miskin yang bermuara pada hilangnya kemerdekaan untuk berusaha dan menikmati kesejahteraan secara bermartabat. Ciri-ciri orang miskin menurut Salim, (1980) yaitu umumnya tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal atau keterampilan; tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri; tingkat pendidikan rata-rata rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar; kebanyakan tinggal di perdesaan, umumnya menjadi buruh tani atau pekerja kasar diluar pertanian; kebanyakan yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak mempunyai keterampilan (skill) atau pendidikan. Meskipun banyak terminologi mengenai kemiskinan, tetapi secara umum dapat dinyatakan bahwa istilah kemiskinan selalu menunjuk pada sebuah kondisi yang serba kekurangan. Kondisi serba kekurangan tersebut bisa diukur secara objektif, dirasakan secara subjektif, atau secara relatif didasarkan pada perbandingan dengan orang lain, sehingga melahirkan pandangan objektif, subjektif dan relatif tentang kemiskinan. Menurut Nurkse (1953) menjelaskan bahwa aspek-aspek kemiskinan penduduk yang meliputi aspek sosial, ekonomi, psikologi dan politik. Aspek sosial terutama disebabkan oleh terbatasnya interaksi sosial dan penguasaan informasi. Aspek ekonomi tampak pada terbatasnya pemilikan faktor produksi, upah rendah daya tawar petani rendah, rendahnya tingkat tabungan dan lemah mengantisipasi peluang-peluang kesempatan berusaha yang ada.

30 Berdasarkan aspek psikologi, kemiskinan terjadi terutama akibat rasa rendah diri, fatalisme, malas dan rasa terisolir. Sedangkan dari aspek politik terkait dengan kecilnya akses terhadap berbagai fasilitas dan kesempatan, diskriminatif, posisi lemah dalam proses pengambilan keputusan. Soemardjo (2003) menyampaikan salah satu cara mengidentifikasi kemiskinan adalah metode garis kemiskinan yaitu suatu tolok ukur yang menunjukkan ketidakmampuan penduduk melampaui ukuran garis kemiskinan atau suatu ukuran yang didasarkan pada kebutuhan atau pengeluaran konsumsi minimum, misalnya konsumsi pangan dan konsumsi nonpangan (perumahan, pakaian, pendidikan, kesehatan, transportasi, barang-barang dan jasa). Tabel 1 memberikan contoh bahwa ukuran tersebut terdiri atas makanan dan bukan makanan perkotaan pada garis total Rp 175.324 Sejalan pada batasan yang dikemukakan UNDP 1997 dalam Cox, (2004) bahwa seseorang dikatakan miskin jika tingkat pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan. Tabel 1. Garis Kemiskinan, Jumlah dan Persentase Penduduk Miskin, 2006 Daerah/Tahun Garis Kemiskinan (Rp/Kapita/Bln) Makanan Bukan Makanan Total Jumlah Penduduk Miskin (juta) Persentase Penduduk miskin Perkotaan Februari 2005 103.992 46.807 150.799 12.40 11.37 Maret 2006 126.527 48.797 175.324 14.29 13.36 Perdesaan Februari 2005 84.014 33.245 117.259 22.70 19.51 Maret 2006 103.180 28.076 131.256 24.76 21.90 Kota+Desa

31 Februari 2005 91.072 38.036 129.108 35.10 15.97 Maret 2006 114.619 38.228 152.847 39.05 17.75 Sumber : BPS, 2006 2.1.3. Ragam, Macam dan Pembedaan atas Kemiskinan Nurkse (1953) membedakan kemiskinan menjadi tiga pengertian. Pertama, Kemiskinan Absolut dimana hasil pendapatannya berada di bawah garis kemiskinan, tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum (pangan, sandang, kesehatan, papan). Kedua, Kemiskinan Relatif dimana seseorang yang telah hidup diatas garis kemiskinan namun masih berada di bawah kemampuan masyarakat sekitarnya. Dan ketiga, Kemiskinan Kultural yang berkaitan erat dengan sikap seseorang atau sekelompok masyarakat yang tidak mau berusaha memperbaiki tingkat kehidupannya sekalipun ada usaha dari pihak lain yang membantunya. Max Neef dalam Zikrullah (2000), mengungkapkan sekurang-kurangnya ada enam macam kemiskinan yang perlu dipahami oleh pihak-pihak yang menaruh perhatian terhadap penanganan kemiskinan, yaitu : a. Kemiskinan Subsitensi, penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal; b. Kemiskinan Perlindungan, lingkungan buruk, (sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah; (c) kemiskinan pemahaman, kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran akan

32 hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan terbatasnya kesadaran akan hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan; c. Kemiskinan Partisipasi, tidak ada akses dan kontrol atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas; d. Kemiskinan Identitas, terbatasnya pembauran antara kelompok sosial, terfragmentasi dan e. Kemiskinan Kebebasan, stress, rasa tidak berdaya, tidak aman baik ditingkat pribadi maupun komunitas. Hendrakusumaatmaja (2002) berpendapat bahwa gejala kemiskinan dapat dicirikan oleh tiga hal. Pertama, rendahnya penguasaan aset dimana skala usaha tidak efisien dan mengakibatkan produktivitas menjadi rendah. Kedua, rendahnya kemampuan masyarakat untuk meningkatkan kepemilikan atau penguasaan aset dan ketiga, rendahnya kemampuan dalam mengelola aset. 2.1.4. Faktor-Faktor Kemiskinan Akar kemiskinan di Indonesia tidak hanya harus dicari dalam budaya malas bekerja keras. Keseluruhan situasi yang menyebabkan seseorang tidak dapat melaksanakan kegiatan produktifnya secara penuh harus diperhitungkan. Faktor faktor kemiskinan adalah gabungan antara faktor internal dan faktor eksternal. Korupsi yang menyebabkan berkurangnya alokasi anggaran untuk suatu kegiatan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat miskin juga termasuk faktor eksternal. Faktor eksternal misalnya kebijakan pembangunan yang keliru temasuk dalam faktor eksternal serta korupsi yang menyebabkan berkurangnya alokasi

33 anggaran untuk suatu kegiatan pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat miskin juga termasuk faktor eksternal. Makmun (2003) berpendapat faktor kemiskinan secara internal lebih banyak melibatkan faktor sumberdaya manusianya. Sulekale (2003) menambahkan dengan faktor keterbatasan wawasan, kurangnya keterampilan, kesehatan yang buruk dan etos kerja yang rendah. Lantas secara eksternal, kemiskinan merupakan kondisi yang lebih kompleks karena satu dengan yang lainnya saling mempengaruhi misalnya etos kerja yang rendah dari penduduk asli dihadapkan pada etos kerja tinggi penduduk pendatang apabila dalam prosesnya mengalami interaksi fungsional dan berkepanjangan akan memunculkan gejala kemiskinan. Isu kemiskinan yang berkenaan dengan hal ini adalah terjadinya kesenjangan penguasaan aset ekonomi antara pendatang dengan penduduk asli (Namba, 2003). Faktor-faktor internal juga dapat dipicu munculnya oleh faktor eksternal. Kesehatan masyarakat yang buruk adalah pertanda rendahnya gizi masyarakat. Rendahnya gizi masyarakat adalah akibat dari rendahnya pendapatan dan terbatasnya sumber daya alam. Selanjutnya, rendahnya penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi adalah akibat dari kurangnya pendidikan. Hal yang terakhir ini juga pada gilirannya merupakan akibat dari kurangnya pendapatan. Kurangnya pendapatan merupakan akibat langsung dari keterbatasan lapangan kerja. Krisis ekonomi berimplikasi pada turunnya investasi, Putus Hubungan Kerja (PHK) naik akibat faktor produksi mengalami efisiensi, kerugian PHK adalah daya beli turun karena tidak ada pendapatan, maka dampak terbesar adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM) turun (faktor internal). Rupiah turun

34 berimplikasi pada penurunan produksi barang (faktor eksternal). Dan seterusnya begitu, berputar-putar dalam proses saling terkait. 2.1.5. Kategori Waktu dalam Konteks Kemiskinan Makmun (2003) menyatakan bahwa kemiskinan dapat bersifat : 1. Persistent Poverty yakni kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun umumnya menimpa wilayah yang memiliki sumber daya alam yang kritis dan atau terisolasi; 2. Cyclical Poverty yakni kemiskinan yang mengikuti pola siklus ekonomi secara keseluruhan; 3. Seasonal Poverty yakni kemiskinan musiman seperti yang terjadi pada usaha tani tanaman pangan dan nelayan; 4. Accidental Poverty yakni kemiskinan karena terjadinya bencana alam atau dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan suatu masyarakat. 2.2. Pemberdayaan Pemberdayaan (empowerment) merupakan konsep yang lahir sebagai bagian dari perkembangan alam pikiran masyarakat dan kebudayaan barat, utamanya Eropa. Pranaka dan Moeljarto (1996) berpendapat bahwa konsep pemberdayaan mulai tampak ke permukaan sekitar dekade 1970-an, dan terus berkembang sepanjang dekade 1980-an hingga 1990-an atau akhir abad ke-20.

35 Pemberdayaan masyarakat sebagai strategi pembangunan digunakan dalam paradigma pembangunan yang berpusat pada manusia. Perspektif pembangunan ini menyadari betapa pentingnya kapasitas manusia dalam rangka meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal atas sumber daya materi dan nonmaterial melalui redistribusi modal atau kepemilikan. Sebagai suatu strategi pembangunan, pemberdayaan didefinisikan sebagai kegiatan membantu klien untuk memperoleh daya guna mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan, terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri dari lingkungannya (Payne, 1997). Ife (1995) memberikan batasan pemberdayaan sebagai upaya penyediaan kepada orang-orang atas sumber, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan mereka, menentukan masa depannya dan untuk berpartisipasi di dalam dan mempengaruhi kehidupan komunitas mereka. Bersinggungan dengan hal tersebut Sutrisno (2000) menjelaskan dalam perspektif pemberdayaan, masyarakat diberi wewenang untuk mengelola sendiri dana pembangunan baik yang berasal dari pemerintah maupun dari pihak lain, disamping mereka harus aktif berpartisipasi dalam proses pemilihan, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan. Perbedaannya dengan pembangunan partisipatif adalah keterlibatan kelompok masyarakat sebatas pada pemilihan, perencanaan, pelaksanaan program, sedangkan dana tetap dikuasai oleh pemerintah.