BAB IV ENDAPAN BATUBARA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

BAB V BATUBARA 5.1. Pembahasan Umum Proses Pembentukan Batubara Penggambutan ( Peatification

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan BAB IV

BAB IV EKSPLORASI BATUBARA

BAB IV ANALISA SUMBER DAYA BATUBARA

BAB V PEMBAHASAN 5.1 ANALISIS LINGKUNGAN PENGENDAPAN BATUBARA Analisis Pengawetan Struktur Jaringan dan Derajat Gelifikasi

BAB III ENDAPAN BATUBARA

BAB IV HASIL ANALISIS SAMPEL BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN. masalah yang berhubungan dengan ilmu Geologi. terhadap infrastruktur, morfologi, kesampaian daerah, dan hal hal lainnya yang

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB V EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA

Kecamatan Nunukan, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Timur

BAB III LANDASAN TEORI

DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN... 1

III.1 Morfologi Daerah Penelitian

Foto 3.5 Singkapan BR-8 pada Satuan Batupasir Kuarsa Foto diambil kearah N E. Eko Mujiono

BAB I PENDAHULUAN. melimpah. Salah satu sumberdaya alam Indonesia dengan jumlah yang

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

PERINGKAT BATUBARA. (Coal rank)

Prosiding Teknik Pertambangan ISSN:

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

A. JUDUL KAJIAN TEKNIS TERHADAP SISTEM PENIMBUNAN BATUBARA PADA STOCKPILE DI TAMBANG TERBUKA BATUBARA PT. GLOBALINDO INTI ENERGI KALIMANTAN TIMUR

By : Kohyar de Sonearth 2009

PROSPEKSI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH KELUMPANG DAN SEKITARNYA KABUPATEN MAMUJU, PROPINSI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI GEOLOGI DAN ENDAPAN BATUBARA DAERAH PASUANG-LUNAI DAN SEKITARNYA KABUPATEN TABALONG, KALIMANTAN SELATAN

Dasar Teori Tambahan. Pengadukan sampel dilakukan dengan cara mengaduk sampel untuk mendapatkan sampel yang homogen.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Permasalahan

BAB III TEORI DASAR. keterdapatannya sangat melimpah di Indonesia, khususnya di Kalimantan dan

Gambar 7.1 Sketsa Komponen Batubara

INVENTARISASI BATUBARA PEMBORAN DALAM DAERAH SUNGAI SANTAN-BONTANG KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH PRONGGO DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MIMIKA, PROVINSI PAPUA. SARI

BAB I PENDAHULUAN. potensi sumber daya energi yang cukup besar seperti minyak bumi, gas, batubara

KAJIAN POTENSI TAMBANG DALAM PADA KAWASAN HUTAN LINDUNG DI DAERAH SUNGAI MERDEKA, KAB. KUTAI KARTANEGARA, PROV. KALIMANTAN TIMUR

Geologi Daerah Perbukitan Rumu, Buton Selatan 19 Tugas Akhir A - Yashinto Sindhu P /

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB IV Kajian Sedimentasi dan Lingkungan Pengendapan

Geologi dan Potensi Sumberdaya Batubara, Daerah Dambung Raya, Kecamatan Bintang Ara, Kabupaten Tabalong, Propinsi Kalimantan Selatan

FORMULIR ISIAN DATABASE SUMBER DAYA BATUBARA

Geologi dan Studi Fasies Karbonat Gunung Sekerat, Kecamatan Kaliorang, Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur.

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB 1. PENDAHULUAN...

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

GEOLOGI DAN EKSPLORASI BATUBARA DAERAH ASAM-ASAM, KABUPATEN TANAH LAUT, KALIMANTAN SELATAN

Ciri Litologi

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang Penelitian

PENGANTAR GENESA BATUBARA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pada gambar di bawah ini ditunjukkan lokasi dari Struktur DNF yang ditandai

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

EKSPLORASI ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH BUNGAMAS, KABUPATEN LAHAT PROPINSI SUMATERA SELATAN

PROSPEKSI BATUBARA DAERAH AMPAH DAN SEKITARNYA KABUPATEN BARITO TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TENGAH

Seminar Nasional Sains dan Teknologi Terapan IV 2016 ISBN Institut Teknologi Adhi Tama Surabaya

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH BATUSAWAR DAN SEKITARNYA, KABUPATEN TEBO DAN BATANGHARI, PROVINSI JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui dan memahami kondisi geologi daerah penelitian.

BAB III TATANAN GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

JGP (Jurnal Geologi Pertambangan) 50

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

PENYELIDIKAN BATUBARA DAERAH UMUK DAN SEKITARNYA KABUPATEN MIMIKA, PROVINSI PAPUA

KABUPATEN NUNUKAN, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

PENYUSUNAN STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR (SOP) ANALISIS KIMIA PROKSIMAT BATUBARA

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

PENGKAJIAN CEKUNGAN BATUBARA DI DAERAH BAYUNG LINCIR, KABUPATEN MUSI BANYUASIN, PROPINSI SUMATERA SELATAN

BATUBARA DI DAERAH LONGIRAM DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI BARAT PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

Gambar Batubara Jenis Bituminous

Studi Kualitas Batubara Secara Umum

GEOLOGI DAERAH KLABANG

BAB V PEMBAHASAN. Analisis dilakukan sejak batubara (raw coal) baru diterima dari supplier saat

LINGKUNGAN PENGENDAPAN KAITANNYA DENGAN KUALITAS BATUBARA DAERAH MUARA UYA KABUPATEN TABALONG PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

Umur dan Lingkungan Pengendapan Hubungan dan Kesetaraan Stratigrafi

BAB II TINJAUAN UMUM

EVALUASI SUMBER DAYA BATUBARA BANKO TENGAH, BLOK NIRU, KABUPATEN MUARA ENIM, PROPINSI SUMATRA SELATAN TUGAS AKHIR

PENGKAJIAN CEKUNGAN BATUBARA DI DAERAH LUBUK JAMBI DAN SEKITARNYA, KABUPATEN INDRAGIRI HULU, PROPINSI RIAU

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

INVENTARISASI BATUBARA BERSISTIM DI DAERAH SUNGAI SANTAN DAN SEKITARNYA KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

SURVEI TINJAU ENDAPAN BATUBARA DI DAERAH TALANG KARANGAN DAN SEKITARNYA, KABUPATEN MUARA ENIM PROPINSI SUMATERA SELATAN

BAB II GEOLOGI CEKUNGAN TARAKAN

BAB I PENDAHULUAN. Hal 1

BAB IV SIKLUS SEDIMENTASI PADA SATUAN BATUPASIR

INVENTARISASI BATUBARA BERSISTEM DAERAH SENYIUR, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA DAN KABUPATEN KUTAI TIMUR, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR (LEMBAR PETA I816-24

Bab III Geologi Daerah Penelitian

Umur GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

PENYELIDIKAN BATUBARA DI DAERAH NUNUKAN TIMUR, KABUPATEN NUNUKAN, PROVINSI KALIMANTAN UTARA

PERHITUNGAN SUMBERDAYA BATUBARA BERDASARKAN USGS CIRCULAR No.891 TAHUN 1983 PADA CV. AMINDO PRATAMA. Oleh : Sundoyo 1 ABSTRAK

BAB IV PEMODELAN DAN PENGHITUNGAN CADANGAN ENDAPAN BATUBARA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB IV GEOMORFOLOGI DAN TATA GUNA LAHAN

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

Bab II Kondisi Umum Daerah Penelitian

BAB III GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN UMUM

berukuran antara 0,05-0,2 mm, tekstur granoblastik dan lepidoblastik, dengan struktur slaty oleh kuarsa dan biotit.

BAB 3 GEOLOGI DAERAH PENELITIAN

BAB IV STUDI SEDIMENTASI PADA FORMASI TAPAK BAGIAN ATAS

Transkripsi:

BAB IV ENDAPAN BATUBARA 4.1 Pembahasan Umum Batubara adalah batuan sedimen yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami proses fisika dan kimia dan mengakibatkan pengayaan pada kandungan karbon (Wolf, 1984 dalam Anggayana, 2002). Pembentukan batubara secara umum terbagi atas dua proses utama. Pembentukan batubara diawali dengan proses penggambutan (peatification) dari sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi pada lingkungan reduksi, kemudaian dilanjutkan dengan proses pembatubaraan (coalification) secara biologi, fisika dan kimia yang terjadi akibat pengaruh sedimen yang membebaninya (overburden), tekanan, temperatur dan waktu. Gambar 4.1 Proses terbentuknya batubara (Anggayana, 2002) Karakter batubara yang berbeda sangat bergantung terhadap jenis tumbuhan purba, lokasi tumbuh dan berkembang biak tumbuhan, lingkungan pengendapan tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta keadaan geologi daerah setempat. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (seam coal). 39

4.2 Pembentukan Batubara Proses pembentukan batubara secara umum terbagi atas dua bagian utama, yaitu: a. Proses Penggambutan (Peatification) Gambut adalah sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari tumpukan hancuran atau bagian dari tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam kondisi tertutup udara (di bawah air), tidak padat, memiliki kandungan air lebih dari 75% massa dan kandungan mineral lebih kecil dari 50% dalam kondisi kering (Wolf, 1984 dalam Anggayana, 2000). Proses penggambutan ini merupakan proses awal pembentukan batubara. Pada proses ini terjadi proses microbial dan biochemical. Oleh karena itu, factor utama dalam proses ini adalah kandungan miktoorganisme / bakteri. Mikroorganisme yang berperan juga sangat khusus yaitu mikroorganisme anaerob. Saat tumpukan sisa tumbuhan berada pada kondisi basah (di bawah air, tidak seluruhnya berhubungan dengan udara), sehingga kondisi oksigen yang cukup rendah, bakteri aerob tidak dapat hidup. Oleh karena itu, bakteri anaerob yang berkembang dan menguraikan sisa tumbuhan tersebut menjadi gambut. b. Proses Pembatubaraan (Coalification) Proses pembatubaraan adalah proses pembentukan batubara dari gambut yang telah terbentuk. Dengan kata lain, proses ini merupakan proses perkembangan gambut melalui lignit, subbituminous dan bituminous menjadi antrasit serta meta-antrasit (Anggayana, 2002). Jika lapisan gambut yang terbentuk, kemudian ditutupi oleh sedimen di atasnya, maka bakteri anaerob akan mati. Lapisan gambut tersebut akan mendapat peningkatan tekanan, peningkatan temperatur. Faktor yang mempengaruhi peningatan temperature ini antara lain pertambahan kedalaman, kehadiran intrusi, proses vulkanisme dan aktivitas tektonik. Reaksi pembentukan batubara adalah: 5(C 6 H 10 O 5 ) C 20 H 22 O 4 + 3CH 4 + 8H 2 O + 6CO 2 + CO Cellulose Lignit Gas Metan 40

Keterangan: Cellulose : Zat organik yang merupakan zat pembentuk batubara Kenaikan tekanan dan temperatur pada lapisan gambut cenderung akan menghasilkan lignit atau batubara muda. Hasil dari reaksi di atas juga menggambarkan terjadinya pelepasan air (H 2 O) dan gas karbondioksida (CO 2 ), gas metan (CH 4 ) dan gas karbon monoksida (CO). Selain itu terjadi peningkatan kepadatan batubara, kekerasan batubara, serta peningkatan kalori. Klasifikasi batubara berdasarkan asal tumbuhan pembentuk gambut (Sudarsono, 2000), yaitu: 1. Batubara Autochtone, batubara yang berasal dari tumbuhan yang tumbang di tempat tumbuhnya. Setelah tumbuhan mati dan belum mengalami transportasi lalu segera ditutupi oleh lapisan sedimen dan selanjutnya mengalami proses pembatubaraan. Jenis batubara yang terbentuk memiliki penyebaran yang cukup luas dan merata, kulaitasnya lebih baik karena kadar abu sedikit. 2. Batubara Allochtone, batubara yang berasal dari tumbuhan yang tertransportasi serta terendapkan di hilir sungai. Saat terakumulasi di suatu tempat, kemudian sedimen menutup sisa tumbuhan lalu mengalami proses pembatubaraan. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini memiliki penyebaran yang tidak luas, tetapi dijumpai di beberapa tempat. Kualitas batubara yang terbentuk relative kurang baik, karena banyak mengandung material pengotor yang tertransportasi bersama dengan sisa tumbuhan dan diendapkan bersama-sama sewaktu pengendapan batubara. 4.3 Lingkungan Pengendapan Batubara Kualitas dan kuantitas batubara sangat bergantung pada lingkungan pengendapan batubara. Lingkungan pengendapan batuabara yang berbeda dapat mengakibatkan variasi ketebalan penyebaran lateral, komposisi dan kualitasnya. Horne (1978) membagi klasifikasi lingkungan pengendapan utama batubara di daerah pantai, yaitu: 1. Lingkungan back barrier: Lingkungan ini menghasilkan karakter endapan batubara seperti lapisan batubara yang tipis, pola penyebaran yang memanjang sejajar sistem penghalang atau sejajar jurus lapisan, bentuk perlapisan berlembar karena 41

dipengaruhi tidal channel setelah pengendapan atau bersamaan dengan proses pengendapan, kandungan sulfur tinggi, sehingga kurang ekonomis untuk ditambang. Urutan stratigrafi pada lingkungan ini dicirikan oleh batulempung dan batulanau berwarna abu-abu gelap yang kaya akan material organik, kemudian ditutupi oleh lapisan tipis batubara yang tidak menerus atau zona sideritik dengan burrowing. Semakin ke arah laut akan ditemukan batupasir kuarsitik, sedangkan ke arah daratan terdapat batupasir greywacke dari lingkungan fluvial-deltaik. 2. Lingkungan lower delta plain: lingkungan ini menghasilkan karakter batubara seperti lapisan batubara tipis, kandungan sulfur bervariasi, pola sebaran umumnya sepanjang channel atau jurus pengendapan, bentuk lapisan ditandai oleh hadirnya splitting oleh endapan creavase splay, tersebar meluas cenderung memanjang jurus pengendapan, tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong channel bentuk lapisan batubara. Endapan pada daerah ini didominasi oleh urutan butiran mengkasar ke atas yang tebal. Pada bagian atasnya terdapat batupasir dengan struktur sedimen ripple mark. 3. Lingkungan transitional lower delta plain: Pada lingkungan ini ditandai dengan perkembangan rawa yang ekstensif. Karakter batubara pada lingkungan ini yaitu lapisan batubara yang tebal, kandungan silfur rendah, lapisan batuabra tersebar meluas dengan kecenderungan agak memanjang sejajar dengan jurus pengendapan. Splitting juga berkembang akibat channel kontemporer dan washout oleh aktivitas channel subsekuen. Batuan sedimen berbutir halus pada bagian bay fill sequences lebih tipis daripada di bagian lower delta plain. Pada zona ini terdapat fauna air payau dan laut dan banyak dijumpai burrowing. 4. Lingkungan upper delta plain-fluvial: Karakter batubara yang dihasilkan adalah lapisan batubara yang tebal, kandungan sulfur rendah, lapisan batubara terbentuk sebagai tubuh-tubuh pod-shaped pada bagian bawah dari dataran limpah banjir yang berbatasan dengan channel sungai bermeander. Penyebarannya meluas cenderung mamanjang sejajar kemiringan pengendapan, tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong channel atau sedikit yang menerus, bentuk batubara ditandai hadirnya splitting akibat channel kontemporer dan washout oleh channel subsekuen. 42

Urutan stratigrafinya didominasi oleh tubuh batupasir yang menerus untuk lingkungan backswamp, terdiri dari urutan batubara, batulempung dengan banyak fosil tumbuhan dan sedikit moluska air tawar, batulanau, batulempung serta batubara. Berdasarkan kontrol lingkungan pengendapannya, secara garis besar batubara yang tipis umumnya diendapkan pada lingkungan back barrier dan lower delta plain. Untuk endapan batubara yang tebal, umumnya diendapkan pada lingkungan transitional lower delta plain dan upper delta plain-fluvial. 4.4 Analisis Kualitas dan Klasifikasi Batubara Terdapat dua jenis analisis kualitas batubara yang utama, yaitu analisis proksimat dan analisis ultimat. Analisis proksimat umumnya dilakukan oleh perusahaan pertambangan dan pembeli batubara. Analisis proksimat digunakan untuk menentukan kelas (rank) batubara. Analisis proksimat terdiri atas empat parameter utama, yaitu kadar lengas (total moisture), kadar abu (ash content), zat terbang (volatile matter), dan karbon tertambat (fixed carbon). Lengas yang terdapat pada batubara dapat menempel di permukaan partikel batubara. Ada tiga jenis lengas, yaitu 1. Lengas bebas (free moisture), lengas yang menempel di permukaan batubara, berasal dari air hujan, air semprotan dan mudah menguap dalam kondisi laboratorium. 2. Lengas inheren (inheren moisture), lengas yang terdapat dalam kapiler dan dalam mineral. Lengas ini ini dapat terlepas bila dipanasi pada suhu 105 C - 110 C. 3. Lengas total (total moisture), jumlah lengas bebas ditambah dengan lengas inheren. Kadar abu didefiniskan sebagai residu anorganik yang terjadi setelah batubara dibakar pada suhu 815 o C dan dialirkannya udara secara lambat ke dalam tungku. Makin banyak mineral, makin tinggi kadar abunya. Zat terbang adalah bagian dari batubara yang menguap pada saat batubara dipanaskan tanpa udara (dalam tungku tertutup) pada suhu 950±25 o C. Karbon tertambat (fixed carbon) diperoleh dari 100% dikurangi dengan jumlah kadar lengas, kadar abu, dan zat terbang. 43

Analisis ultimat merupakan cara sederhana untuk menunjukkan unsur pembentuk batubara dengan mengabaikan senyawa kompleks yang ada dan hanya dengan menentukan unsur kimia pembentuk yang penting. Ada lima unsur utama yang membentuk batubara yaitu karbon, hydrogen, sulfur, nitrogen, oksigen, dan fosfor. Kandungan sulfur sangat umum dijumpai dalam endapan batubara, yaitu: 1. Pirit (FeS 2 ), terjadi dalam bentuk makrodeposit (lensa, vein, joint). 2. Sulfur Organik, jumlahnya 20 % - 80 % dari sulfur total. Secara kimia terikat dalam batubara. 3. Sulfur Sulfat, umumnya berupa kalsium sulfat dan besi sulfat dengan jumlah yang kecil. Rank (peringkat) digunakan untuk menyatakan tahapan yang telah dicapai oleh batubara dalam urutan proses pembatubaraan. Sebagai contoh, rank batubara di Amerika Serikat dan Indonesia menggunakan standarisasi dari ASTM (American Society for Testing Material). Tabel 4.1 Klasifikasi Rank Batubara (ASTM, 1981 dalam Wood et al., 1983) 44

4.5 Endapan Batubara daerah penelitian Pemetaan geologi yang dilakukan di Daerah Negeriagung, Lahat, Provinsi Sumatera Selatan memberikan hasil bahwa endapan batubara di daerah penelitian terdapat pada Satuan Batupasir. Satuan ini merupakan satuan pembawa batubara (coal bearing) dan berdasarkan kemiripan litologi, maka satuan ini disetarakan dengan Formasi Muara Enim (Pertamina-Beicip, 1992). Batubara yang ditemukan di daerah penelitian umumnya berupa sisipan, berwarna abu-abu kehitaman, kilap dull banded, gores abu-abu kehitaman, berat moderate, kekerasan moderate hard, struktur blocky banded, belahan subconchoidalirregular, dengan pengotor berupa pirit dan sulfur. Rekonstruksi penampang geologi dapat memberikan penyebaran vertikal suatu lapisan batuan. Penyebaran batubara di daerah penelitian sangat terbatas, karena jumlah singkapan yang sangat minimum dan keterbatasan melintasi daerah penelitian karena daerah penelitian termasuk dalam Kuasa Pertambangan (KP) Batubara. Perusahaan batubara yang terdapat di daerah penelitian diantaranya yaitu PT. Bara Alam Utama, PT. Bara Alam Selaras. Ketebalan batubara di daerah penelitian relatif tebal mencapai 3 meter - 4,8 meter dengan kemiringan 18-71 (landai-terjal). Pada daerah penelitian ditemukan empat titik singkapan batubara dengan pola jurus lapisan berarah relatif baratlaut-tenggara. Singkapan batubara dijumpai pada sungai Aek Serelo dan daerah Kuasa Pertambangan PT. Bara Alam Utama. Tabel 4.2 Data singkapan batubara daerah penelitian No. Seam Lokasi Pengamatan Kedudukan Lapisan Ketebalan 1 A SRL-7 N 108 E/18 4,5m 2 B SND-2 N 265 E /65 3,2m 3 B SNP-04 N269 E/71 3,1m 4 C SNP-04 N269 E/71 3m 5 C SNP-03 N273E/25 4,8m 45

Berdasarkan pola penyebaran singkapan batubara dan karakter lapisan batubara yang diamati di lapangan dan pemboran, disimpulkan bahwa di daerah penelitian ditemukan tiga lapisan (seam) batubara (Lampiran G-4) dengan variasi ketebalan antara 3, m 4,8m dengan urutan tua ke muda yaitu Seam A, Seam B dan Seam C. Semua seam batubara menjanjikan untuk dihitung jumlah sumberdayanya ditinjau dari segi ketebalan lapisannya (lebih dari 50 cm). 4.5.1 Seam Batubara A Batubara pada seam A ditemukan pada pada lokasi pengamatan singkapan SRL- 7 (Foto 4.1). Ketebalan batubara pada seam ini mencapai 4,5 m dengan ciri-ciri yaitu berwarna hitam kecoklatan, kilap dull banded, gores coklat kehitaman, berat moderate, kekerasan moderate hard, struktur blocky banded, belahan subconchoidal. Seam ini mempunyai kontak atas lapisan berupa batulempung, tetapi tidak ditemukan kontak dengan lapisan di bawahnya. Seam ini memiliki pengotor berupa sulfur dan pirit. Foto 4.1 Singkapan perlapisan batubara dengan batulempung pada lokasi SRL-7 (foto menghadap ke utara) 4.5.2 Seam Batubara B Batubara pada seam B ditemukan pada pada lokasi pengamatan singkapan SND- 2 dan SNP-04. Ketebalan batubara pada seam ini mencapai 3,2 m dengan ciri-ciri berwarna hitam kecoklatan, kilap dull banded, gores coklat kehitaman, berat moderate, 46

kekerasan moderate hard, struktur blocky banded, belahan subconchoidal-irregular. Seam ini mempunyai kontak atas dan kontak bawah lapisan berupa batupasir. Foto 4.2 Perlapisan batubara dengan batupasir pada lokasi SND-2 dekat daerah tambang PT. BAU (foto menghadap ke timur) 4.5.3 Seam Batubara C Batubara pada seam C ditemukan pada pada lokasi pengamatan singkapan SNP- 03 dan SNP-03. Ketebalan batubara pada seam ini mencapai 4,8 m dengan ciri-ciri berwarna abu-abu kehitaman, kilap dull banded, gores abu-abu kehitaman, berat moderate, kekerasan moderate hard, struktur blocky banded, belahan subconchoidalirregular. Seam ini mempunyai kontak atas lapisan berupa batupasir dan kontak bawah lapisan berupa batupasir. Foto 4.3 Perlapisan batubara dengan batupasir pada lokasi SNP-03 dekat daerah PT. BAU (foto menghadap ke utara) 47

Gambar 4.2 Pengukuran Stratigrafi detail pada singkapan SNP-04 yang menunjukkan seam B dan seam C 48

Data penyebaran singkapan batubara dari ketiga seam batubara di atas dapat direkonstruksi dari peta persebaran batubara (Lampiran G-4). Seri seam yang tidak lengkap pada suatu sayap menjadi salah satu kesulitan dalam interpretasi jumlah seam batubara. Seam A hanya ditemukan di bagian baratdaya daerah peneliian, sedangkan seam B dan seam C hanya ditemukan di bagian timurlaut daerah penelitian. Acuan dalam penentuan seam batubara hanya ditentukan oleh kesamaan ciri-ciri litologi batuan yang berada pada top dan bottom lapisan batubara. Berikut ini merupakan posisi seam batubara pada satuan batupasir (Gambar 4.3). Gambar 4.3 Posisi seam batubara di daerah penelitian pada Satuan Batupasir (warna kuning) Dari pola penyebaran seam batubara pada beberapa singkapan, pengukuran penampang stratigrafi dan ketebalan umum relatif tebal yaitu 3 4,8 m dan kadar sulfur yang sedikit (0,22%), lingkungan pengendapan dari endapan batubara daerah penelitian 49

diinterpretasikan berada di lingkungan upper delta plain-fluvial hingga transitional lower delta plain. Gambar 4.4 Lingkungan pengendapan batubara berdasarkan model lingkungan batubara (Modifikasi Horne, 1978) Analisis proksimat untuk menentukan kualitas batubara dilakukan pada seluruh sampel dari masing-masing seam batubara di daerah penelitian. Hasil analisis yang dilakukan pada laboratorium berada dalam basis pelaporan air dried basis (adb). Untuk klasifikasi rank ASTM digunakan basis pelaporan dry mineral matter free (dmmf). Pada basis adb, sampel batubara ditempatkan di udara terbuka, kadar lengasnya secara perlahan akan mencapai kesetimbangan dengan kelembaban udara. Analisis basis dmmf dapat memberikan gambaran mengenai komposisi organik murni. Rumus untuk mengubah basis adb menjadi basis dmmf yaitu: {(, ) } FC (dmmf) = [ (,, )] VM (dmmf) = 100 - FC (dmmf) 50

CV (dmmf) = Keterangan: {( ) } [ (,, )] FC VM M A S BTU = Fixed Carbon (Karbon tertambat) % (adb) = Volatile Matter (Zat Terbang) % (adb) = Moisture (Kadar Lengas) % (adb) = Ash (Abu) % (adb) = Sulphur (Sulfur) % (adb) = British Thermal Unit ; per pound = 1,8185 CV (adb) Hasil analisis proksimat tercantum dalam Lampiran E, dapat disimpulkan bahwa rank batubara daerah penelitian menurut klasifikasi ASTM termasuk dalam Sub Bituminous A. 4.6 Sumberdaya Batubara daerah penelitian Sumberdaya merupakan kekayaan alam yang diharapkan dapat dimanfaatkan dan dengan menggunakan parameter geologi tertentu dapat berubah menjadi cadangan apabila memenuhi kriteria layak tambang. Cadangan batubara merupakan sumberdaya yang telah diakui bentuk ukuran, penyebarannya, kuantitas, kualitas, dan ekonomis untuk ditambang. Dalam menghitung sumberdaya batubara ada empat metode yang umum digunakan, yaitu: 1. Metode Penampang 2. Metode Circular USGS 3. Metode Blok 4. Metode Poligon Pemakaian metode di atas disesuaikan dengan kualitas data, jenis data yang diperoleh dan kondisi lapangan serta metode penambangan (misalnya sudut penambangan). Karena minimnya data yang diperoleh pada daerah penelitian, yakni data yang digunakan dalam perhitungan hanya berupa data singkapan, dan kemudahan 51

perhitungan maka metode yang digunakan untuk perhitungan sumberdaya penelitian adalah metode circular USGS. Selain itu digunakan faktor koreksi 30% sebagai faktor pengontrol hasil perhitungan sumberdaya batubara sehingga hasil perhitungan menjadi lebih realistis. Secara umum, langkah-langkah yang digunakan untuk menghitung sumberdaya batubara dengan menggunakan metode circular USGS (Wood et. al., 1983) adalah sebagai berikut: 1. Pembuatan Peta Sebaran Batubara 2. Pembuatan lingkaran di setiap titik singkapan batubara (Gambar 4.4) dimana: a. Daerah yang berada pada jarak datar radius 0 400 m merupakan sumberdaya terukur (measured resources) b. Daerah yang berada pada jarak datar radius 400-1200 m merupakan sumberdaya tertunjuk (indicated resources) c. Daerah yang berada pada jarak datar radius 1200-4800 m merupakan sumberdaya terkira (inferred resources) 3. Berdasarkan radius lingkaran yang telah dibuat berdasarkan metode circular USGS (Wood et al., 1983) sebelumnya, maka akan didapat titik perpotongan pada tiap lingkaran, dimana hasil dari titik perpotongan tersebut akan menghasilkan luas daerah yang akan dihitung jumlah sumberdayanya. Gambar 4.5 Pembagian daerah sumberdaya dengan metode circular USGS (Wood et. al, 1983) 52

4. Rumus perhitungan jumlah sumberdaya batubara daerah penelitian mengacu pada metode circular USGS (Wood et al., 1983) dimana aturan perhitungan di atas berlaku untuk kemiringan lapisn batubara lebih kecil atau sama dengan 30 0, sedangkan untuk batubara dengan kemiringan lapisan lebih dari 30 0 aturannya adalah harga proyeksi radius lingkaran tersebut ke permukaan (Gambar 4.5) 5. Adapun rumus perhitungan adalah: a. Untuk dip (α) < 30 0 Sumberdaya = Luas area (m 2 ) x Tebal (m) x Berat Jenis (Ton/m 3 ) b. Untuk dip (α) > 30 0 Sumberdaya = Luas area (m 2 ) x Tebal (m) x cos α x Berat Jenis (Ton/m 3 ) Gambar 4.6 Pengaruh kemiringan lapisan batubara pada perhitungan sumberdaya (Wood et. al, 1983) Dengan menggunakan metode circular USGS tersebut, perhitungan sumberdaya dari daerah penelitian hanya dilakukan hingga perhitungan sumberdaya tertunjuk 53

dikarenakan struktur geologi daerah penelitian yang meliputi sesar mendatar dan luas daerah penelitian yang tidak terlalu luas, sehingga jika dilakukan perhitungan sumberdaya terkira akan menghasilkan jumlah yang tidak valid. Dari perhitungan yang dilakukan terhadap tiga seam yang terdapat di daerah penelitian (Lampiran G), diperoleh sumberdaya batubara terukur sebesar 2.059.824,3 ton dan sumberdaya batubara tertunjuk sebesar 6.533.388,1 ton. 4.7 Prospek dan Pengembangan Batubara Dari hasil penyelidikan pada daerah penelitian, ditemukan 4 singkapan batubara Dari data tersebut, lapisan batubara daerah penelitian dibagi dalam 3 lapisan, yaitu Seam A, Seam B, Seam C dengan ketebalan berkisar 3 4,8 m. Batubara tersebut hadir sebagai sisipan pada Satuan Batupasir yang disetarakan dengan Formasi Muara Enim. Prospek pengembangan batubara daerah penelitian masih harus dipertimbangkan. Seam A yang memiliki dip sebesar 18 dengan ketebalan 4,5m sangat ekonomis karena overburden yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan Seam B dan Seam C yang kemiringan lapisannya cukup besar. Nilai kalori batubara seam A juga cukup baik yaitu sebesar 5.962 Cal/gr (adb). Batubara dengan nilai kalori tersebut dapat digunakan untuk keperluan pembangkit listrik. Pertimbangan lain yang dapat dijadikan nilai ekonomis untuk eksploitasi yaitu untuk infrastruktur ke daerah penelitian. Seam A memiliki akses yang sulit karena berada dekat dengan sungai, sementara untuk seam B dan seam C telah dibangun jalan logging. 54