BAB I PENDAHULUAN. salah satu specialized agency dari PBB yang merupakan organisasi

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. penderitaan yang diakibatkan oleh peperangan. dengan Pernyataan Umum tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of

BAB I PENDAHULUAN. antara Negara Penerima dengan United Nations High Commissioner for

BAB II UNITED NATION HIGH COMISSIONER FOR REFUGEES (UNHCR) DAN PENANGANAN MASALAH PENGUNGSI

merupakan masalah klasik yang telah menjadi isu internasional sejak lama. Sudah berabad-abad negara menerima dan menyediakan perlindungan bagi warga

BAB I PENDAHULUAN. dibanding dengan subyek-subyek hukum internasional lainnya 1. Sebagai

DAFTAR PUSTAKA. Budi, Winarno, (2001), Isu-Isu Global Kontemporer, Yogyakarta: Bentang Pustaka.

PENERAPAN PRINSIP NON REFOULEMENT TERHADAP PENGUNGSI DALAM NEGARA YANG BUKAN MERUPAKAN PESERTA KONVENSI MENGENAI STATUS PENGUNGSI TAHUN 1951

JURNAL PERANAN UNHCR TERHADAP PERLINDUNGAN PENGUNGSI ROHINGYA DI ACEH INDONESIA

JURNAL. ( Studi Kasus Eks Pengungsi Timor Timur) Diajukan Oleh : MARIANUS WATUNGADHA

BAB I PENDAHULUAN. federal/serikat. Pemerintah pusat memegang kekuasaan penuh tetapi. etnis, golongan dan ras yang berbeda-beda maka penyelenggaraan

PENULISAN HUKUM / SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. melakukan mobilisasi atau perpindahan tanpa batas yang menciptakan sebuah

BAB I PENDAHULUAN. korban dari klaim hak milik bersama dengan segala akibatnya, disia-siakan,

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan interaksi masyarakat internasional. Dalam perkembangan hukum

DAFTAR PUSTAKA. Ardhiwisastra, Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional Bunga Rampai, Bandung: Alumni.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap negara di dunia memiliki cita-cita dan tujuan utama untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Setiap negara pada prinsipnya mempunyai kedaulatan penuh atas

BAB I PENDAHULUAN. Pernyataan ini tercantum dalam Universal Declaration of Human Rights (UDHR)

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah di Negara sendiri membuat penduduk menjadi tidak nyaman dan

PENEGAKAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejarah perjuangan rakyat Timor Leste adalah sejarah perjuangan

BAB I PENDAHULUAN. Konflik bersenjata atau dalam bahasa asing disebut sebagai armed conflict

BAB I PENDAHULUAN. Migrasi merupakan salah satu kekuatan sejarah yang telah membentuk dunia.

TANGGUNG JAWAB NEGARA TERHADAP PENGUNGSI (REFUGEE) DALAM HUKUM INTERNASIONAL FITRIANI / D

BAB I PENDAHULUAN. ganda, sementara itu terdapat juga negara-negara yang menerapkan sistem

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. memberi perlindungan dan mencari solusi jangka panjang bagi pengungsi, UNHCR telah menempuh upaya-upaya khususnya:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

RechtsVinding Online Pengaturan Orang Asing Pencari Suaka dan Pengungsi di Indonesia serta Peraturan yang Diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. satu dengan negara lainnya untuk saling memenuhi kebutuhan masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia menurut Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sejak terjadinya gelombang reformasi di Arab yang diawali dari

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP KASUS PENGUSIRAN PENCARI SUAKA DI AUSTRALIA MENURUT HUKUM INTERNASIONAL SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat internasional.permasalahan pengungsimenjadi perhatian khusus

BAB I PENDAHULUAN. hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. 1. merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam Undang-

BAB I PENDAHULUAN. membedakan ideologi, sistem politik, sistem sosialnya. Maksud memberikan

SUAKA DAN HUKUM PENGUNGSI INTERNASIONAL

PERLINDUNGAN PENGUNGSI SURIAH KORBAN GERAKAN NEGARA ISLAM IRAK AN SURIAH DI NEGARA-NEGARA EROPA. Oleh : Nandia Amitaria

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2005 TENTANG PENGESAHAN INTERNATIONAL COVENANT ON ECONOMIC, SOCIAL AND CULTURAL RIGHTS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pada zaman globalisasi dewasa ini tanpa disadari kita telah membuat nilainilai

BAB I PENDAHULUAN. memonitoring aktivitas nuklir negara-negara di dunia, International Atomic. kasus Iran ini kepada Dewan Keamanan PBB.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Perang atau konflik bersenjata merupakan salah satu bentuk peristiwa yang

BAB I PENDAHULUHAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) adalah melindungi

URGENSI PENANGANAN PENGUNGSI/MIGRAN ILEGAL DI INDONESIA SEBAGAI NEGARA TRANSIT BERDASARKAN KONVENSI TENTANG STATUS PENGUNGSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 37 TAHUN 1999 TENTANG HUBUNGAN LUAR NEGERI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dewasa ini rasanya cukup relevan untuk membicarakan masalah polisi

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga

Lampiran 1. Daftar Pertanyaan dan Jawaban atas Wawancara yang Dilakukan Kepada Beberapa Narasumber:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

PRINSIP NON-REFOULEMENT DAN PENERAPANNYA DI INDONESIA. Jun Justinar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

HAK ASASI MANUSIA DAN PENGUNGSI. Lembar Fakta No. 20. Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia merupakan makhluk ciptaan Tuhan dan berkedudukan sama di

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. negara-negara lain yang yang diderita oleh banyak orang di negara-negara lain

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan. memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara.

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. sama-sama hidup dalam suatu ruang yaitu globus dan dunia. 1 Globalisasi yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. dan membantu kelompok yang sangat rentan ini.

BAB I PENDAHULUAN. (born) human beings has inherent dignity and is inviolable (not-to be-violated),

BAB I PENDAHULUAN. tidak boleh menyimpang dari konfigurasi umum kepulauan. 1 Pengecualian

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan sebuah negera besar dengan posisi strategis tepat

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Potensi ruang angkasa untuk kehidupan manusia mulai dikembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Negara merupakan sekumpulan orang yang secara permanen. tertentu, memiliki pemerintahan, dan kedaulatan.

BAB I PENDAHULUAN. kurangnya kualitas sumber daya manusia staf Lembaga Pemasyarakatan, minimnya fasilitas dalam Lembaga Pemasyarakatan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Kehidupan bangsa Indonesia tidak bisa luput dari masalah hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

JURNAL TINJAUAN HUKUM MENGENAI ALASAN BELUM DISAHKANNYA (AKSESI) KONVENSI JENEWA TAHUN 1951 DAN PROTOKOL NEW YORK TAHUN 1967 OLEH INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN Y ANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

Pendahuluan. Utama, Jakarta, 2000, p Hadi, dkk., pp

BAB I PENDAHULUAN. mengikat maka Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Kedudukan

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. dalam diri manusia. Sebagai hak dasar yang dimiliki oleh setiap manusia, hak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap Negara dapat dipastikan harus selalu ada kekuatan militer untuk

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan tanpa kecuali. Hukum merupakan kaidah yang berupa perintah

BAB I PENDAHULUAN. 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-iii. Dalam Negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Timor Leste atau Timor Timur (sebelum merdeka) yang bernama resmi Republik

BAB I PENDAHULUAN. menyejajarkan atau menyetarakan tingkat hidup dan masyarakat tiap-tiap bangsa

PEMERINTAH PROVINSI PAPUA

THE REASON OF INDONESIA NOT RATIFIED REFUGEE CONVENTION 1951 AND LEGAL PROTECTION FOR REFUGEES IN INDONESIA

BAB 1 PENDAHULUAN. perairan yang sangat luas. Kondisi wilayah ini dikenal dengan Archipelago State atau

BAB I PENDAHULUAN. telah membentuk dunia yang tanpa batas, karena itu negara-negara tidak

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia sebagai Negara Kepulauan yang memiliki struktur

BAB I PENDAHULUAN. negara dimana wilayah daratnya berbatasan dengan laut. menimbulkan kerenggangan hubungan dan apabila berlarut-larut akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah

BAB I PENDAHULUAN. dan pelaksanaan HAM lebih banyak dijadikan objek power game diantara blokblok

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. yang memiliki derajat yang sama dengan yang lain. untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran. Dalam Pasal 2 Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. Law adalah Equality before the Law. Asas ini dituangkan dalam peraturan

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) adalah salah satu specialized agency dari PBB yang merupakan organisasi internasional yang bersifat universal dan Sui Generis. 1 Bersifat universal dan Sui Generis berarti organisasi ini memiliki karakteristik yang khusus yaitu mengenai pengungsi dan keberadaanya sebagai organisasi internasional tidak dibatasi oleh ruang dan waktu. Komisi Tinggi PBB untuk urusan pengungsi ini bermarkas di Jenewa, Swiss. Badan ini didirikan pada tanggal 14 Desember 1950, bertujuan untuk melindungi dan memberikan bantuan kepada pengungsi berdasarkan permintaan sebuah pemerintahan atau PBB untuk kemudian mendampingi para pengungsi tersebut dalam proses pemindahan tempat menetap mereka ke tempat yang baru. 2 Badan ini diberi mandat untuk memimpin dan mengkoordinasikan langkah-langkah internasional untuk melindungi pengungsi dan menyelesaikan permasalahan pengungsi di seluruh dunia. Tujuan utamanya adalah untuk melindungi hak-hak 1 Atik Krustiyati, 2010, Penanganan Pengungsi Di Indonesia, Penerbit Brilian Internasional, Surabaya, hlm. 73. 2 http://id.wikipedia.org/wiki/komisi_tinggi_perserikatan_bangsa Bangsa_untuk_Urusan_ Pengungsi, 20 Agustus 2011

2 pengungsi. Badan ini memastikan setiap pengungsi mendapatkan hak untuk memperoleh perlindungan. 3 Demi menjalankan tugas-tugasnya secara efektif dalam menanggulangi masalah pengungsi oleh UNHCR maupun subyek hukum internasional lainya, terdapat beberapa instrument hukum yang mengatur tentang pengungsi yaitu: 1. Konvensi Tahun 1951 Tentang Status Pengungsi (The 1951 Convention Relating Status of Refugees) dan Protokol tahun 1967 Tentang Status Pengungsi (Protocol Relating to the Status of Refugees 1967). Konvensi Tentang Status Pengungsi Tahun 1951 dan Protokol Tahun 1967 tersebut mengandung tiga ketentuan yaitu; a) Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan definisi siapa saja yang tidak termasuk dalam pengertian pengungsi, b) Ketentuan yang mengatur tentang status hukum pengungsi termasuk hak-hak dan kewajiban-kewajiban pengungsi di negara dimana mereka menetap, c) Ketentuan lain yang berkaitan dengan penerapan instrumen pengungsi baik dari sudut prosedur administratif maupun diplomatik. 3 Ibid

3 2. Instrumen lain yang mendukung: a) The Convention Relating to the Status of Stateless Persons (1954) yang mengatur tentang orang-orang yang tidak memiliki warga negara. b) The Convention on the Reduction of Statlessness (1961) mengatur tentang pengurangan terhadap jumlah orangorang yang tidak memiliki warga negara pihak dengan memberikan status kewarganegaraan terhadap anakanak mereka yang lahir di negara itu. c) The Fourth Geneva Convention Relative to the Protection of Civillian Persons in Time of War (1949) mengatur tentang perlindungan terhadap penduduk sipil pada waktu perang. d) The 1967 Unatied Nations Declaration on Territorial Asylum (1967) bertujuan memelihara perdamaian dan keamanan internasional, mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa dan untuk menyelesaikan masalah-masalah internasional dalam bidang ekonomi, sosial, budaya atau yang bersifat kemanusiaan. Aturan-aturan hukum tersebut dibuat semata-mata untuk memberikan perlindungan dan kepastian hukum bagi setiap subyek hukum. Pembentukan aturan-aturan hukum disusun sedemikian rupa sehingga

4 sesuai dengan kebutuhan dari subyek hukum tersebut dan untuk menunjang pelaksanaan aturan-aturan hukum tersebut diadakan pula penegakan terhadap pelaksanaan aturan-aturan hukum tersebut. Penegakan dan pelaksanaan hukum saja tidaklah maksimal tanpa memahami betul prinsip-prinsip hukum pengungsi yang ada karena prinsip-prinsip inilah sebagai roh dalam melaksanakan ketentuan yang ada. Prinsip itu tidak dapat disimpangi berlakunya oleh kekuatan hukum internasional yang berlaku atau yang ditetapkan kemudian dan juga tidak dapat diubah oleh prinsip hukum internasional yang tidak sama sifatnya. 4 Salah satu prinsip yang menentukan isi ketentuan hukum internasional yang berlaku dalam penanganan pengungsi adalah prinsip non refoulement. Prinsip non Refoulement adalah suatu prinsip dimana tak satu orang pengungsi pun boleh dipulangkan kembali ke suatu negara di mana kehidupan atau kebebasannya akan terancam atas dasar perbedaan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau keyakinannya akan haluan politik tertentu, atau dimana didapati alasan untuk mempercayai bahwa dia akan menghadapi bahaya untuk mendapat siksaan. 5 Prinsip inipun telah diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional (international customary law). Dalam arti, negara yang belum menjadi pihak (state parties) dari Konvensi Pengungsi 1951 wajib menghormati prinsip non refoulement ini. 6 4 F. Sugeng Istanto, 1994, Hukum Internasional, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, Hlm. 13 5 Lihat pasal 33 ayat (1) Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi 6 http://kajianhukumislam.multiply.com/journal/item/1, 20 Agustus 2011

5 Meskipun telah memiliki aturan-aturan dan prinsip-prinsip hukum yang mengatur tentang pengungsi namun permasalahan pengungsi masih belum dapat diselesaikan secara maksimal. Misalnya terlantarnya pengungsi, adanya perlakuan semena-mena terhadap pengungsi dan kurangnya perlindungan terhadap hak-hak pengungsi sebagai pencari suaka. Penanganan pengungsi Timor Leste oleh pemerintah Indonesia pasca jajak pendapat tahun 1999 adalah salah satu contoh permasalahan penanganan pengungsi yang belum dilakukan secara optimal. Hingga kini, ratusan hingga ribuan pengungsi masih hidup dalam kondisi tidak layak di Nusa Tenggara Timur dan perbatasan disekitarnya. Padahal, tragedi politik itu sudah hampir 11 tahun berlalu. 7 Arus pengungsi Timor Timur bermula sebelum diadakan jajak pendapat akhir 1998 sebagai antisipasi dari kekerasan yang terjadi. Kemudian semakin bertambah setelah hasil jajak pendapat tanggal 30 Agustus 1999 diumumkan pada 4 September 1999 oleh pimpinan United Nations Assistence Mission to East Timor (UNA-MET), Ian Martin, yang sebelumnya telah diumumkan oleh Sekretaris Jendral Kofi Annan di New York. Hasil jajak pendapat tersebut: 21,5% pemilih memilih otonomi luas, dan 78,5% menolak dan menginginkan kemerdekaan bagi Timor Timur. 8 Setelah pengumuman ini, milisi pro-integrasi melakukan kekerasan, merampas harta benda dan membakar rumah-rumah penduduk, serta 7 http://www.batukar.info/news/hampir 11 tahun sebagian pengungsi timtim belum hiduplayak, 23 Maret 2011 8 http://www.org/peace/etimor99/etimor.htm, 20 Agustus 2011

6 menyerang staf dan tempat kerja UNAMET, serta petugas-petugas atau pekerja-pekerja kemanusiaan di seluruh Timor Timur. Dalam peristiwa ini banyak penduduk yang terbunuh dan sebanyak 500.000 orang diungsikan dari rumahnya, dan sekitar separuh jumlah penduduk Timor Timur meninggalkan daerah itu dengan paksa. 9 Data lain menyebutkan lebih dari 200.000 penduduk baik karena melarikan diri maupun dipaksa untuk keluar wilayah Timor Timur dan menjadi pengungsi di Timor Barat dan dibagian wilayah Indonesia yang lain. Sejak bulan oktober 1999, proses repatriasi (pemulangan) pengungsi di Timor Barat dan bagian wilayah Indonesia yang lain berada dibawah sponsor UNHCR dan International Organisation for Migration (IOM). Puncaknya tanggal 14 Oktober 1999 pemerintah Indonesia dan UNHCR menanda-tangani suatu Memorandum of Understanding (MOU) mengenai proses pemulangan. 10 Dalam Konvensi tahun 1951 tentang Status Pengungsi telah diatur adanya prinsip pengungsi tidak dapat dipulangkannya secara paksa yang disebut dengan prinsip non refoulement. Namun kadang kala kendala yang dihadapi oleh para pengungsi Timor Leste adalah negara yang belum menjadi peserta Konvensi tahun 1951 ataupun Protokol tahun 1967. 11 Sehingga tidak jarang kehadiran pengungsi Timor Leste di negara persinggahan (transit), atau negara tujuan, dipulangkan secara paksa. 9 Ibid 10 Achmad Romsan, 2003, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional, Sanic Offset, Bandung, hlm. 193. 11 Ibid., hlm 17

7 Perlakuan seperti itu jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional yang diakui oleh bangsa yang beradab. Kewajiban internasional yang melekat kepada setiap negara yang menganggap mereka adalah bagian dari masyarakat internasional, terlepas apakah negara itu menjadi anggota dari organisasi internasional seperti Perserikatan Bangsa- Bangsa, atau anggota organisasi internasional lainya, ataupun peserta atau bukan dari sebuah konvensi internasional untuk memperlakukan secara manusiawi. Berdasarkan uraian tersebut di muka, melalui serangkaian penelitian, peneliti bermaksud untuk mengetahui penerapan asas non refoulement terkait pengungsi Timor Leste di Indonesia, maka peneliti merumuskan penelitian ini dengan judul: PENERAPAN ASAS NON REFOULEMENT DALAM KONVENSI JENEWA 1951 BERKAITAN DENGAN PENGUNGSI TIMOR LESTE DI INDONESIA (PASCA REFERENDUM TAHUN 1999). B. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini adalah bagaimanakah penerapan asas Non Refoulement oleh pemerintah Indonesia dalam menangani pengungsi Timor Leste pasca referendum tahun 1999?

8 C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif: a. Untuk mengetahui bagaimanakah penerapan asas Non Refoulement oleh pemerintah Indonesia dalam menangani pengungsi Timor Leste pasca referendum tahun 1999. b. Untuk mengetahui perlindungan hukum yang diberikan bagi pengungsi Timor Leste apakah sudah sesuai dengan hukum pengungsi internasional atau belum. 2. Tujuan Subyektif : a. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan peneliti di bidang pengungsi yang termasuk dalam hukum internasional khususnya mengenai penerapan Asas Non Refoulement berkaitan dengan kasus pengungsi Timor Leste di Indonesia pasca referendum tahun 1999. b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

9 D. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini antara lain: 1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya dan hukum internasional mengenai pengungsi pada khususnya. 2. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan pemahaman bagi pihak-pihak terkait terhadap persoalan pengungsi serta diharapkan dapat menjadi acuan untuk digunakan bagi pihakpihak yang akan meneliti lebih jauh lagi tentang topik ini. E. Keaslian Penelitian Permasalahan hukum yang diteliti oleh peneliti dengan judul Penerapan Asas Non Refoulment dalam Konvensi Jenewa 1951 Berkaitan dengan Pengungsi Timor Leste di Indonesia (Pasca Referendum tahun 1999) merupakan karya asli penulis. Dalam penelitian ini, peneliti khusus meneliti penerapan asas non refoulement oleh pemerintah Indonesia dalam menangani pengungsi Timor Leste pasca referendum 1999. Peneliti dapat mempertanggungjawabkan secara ilmiah bahwa penelitian hukum normatif yang dilakukan peneliti ini adalah berbeda dengan penelitian-penelitian, makalah, jurnal, skripsi, thesis, disertasi, artikel, maupun uraian lain yang termuat dalam media cetak berkaitan dengan pengungsi maupun asas non refoulement yang dilakukan lebih

10 dahulu oleh pihak lain. Hal ini disebabkan peneliti melakukan penelitian yang mana kajian permasalahan difokuskan pada penerapan asas non refoulement terhadap pengungsi Timor Leste yang berada di Indonesia, yang mana penelitian tersebut belum pernah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan pencarian terhadap tema atau topik serupa yang dilakukan di Fakultas Hukum Atma Jaya Yogyakarta, peneliti tidak menemukan penulisan hukum yang bertema asas non refoulement namun peneliti menemukan 2 penulisan hukum yang berkaitan dengan Pengungsi Timor Leste di Indonesia, dimana dalam hal ini penulisan hukum yang ditemukan tersebut berbeda dengan penelitian yang peneliti lakukan baik dari kajian maupun permasalahan hukum yang diangkat. Peneliti dapat menjamin isi dari penulisan hukum yang peneliti kerjakan berbeda dengan kedua penulisan hukum yang berkaitan dengan Pengungsi Timor Leste di Indonesia. Peneliti bersedia menunjukan bahwa karya ini merupakan karya asli dari penulis dan bukan merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain. Adapun penulisan hukum yang mengulas tentang pengungsi Timor Leste di Indonesia tersebut adalah sebagai berikut: 1. Peranan Pemerintah Daerah Kabupaten Belu dalam Rangka Menangani Eks Pengungsi Timor Leste dalam Kaitanya dengan Pelaksanaan Tugas Pembantuan. Penulisan hukum ini diteliti oleh Raynanci Yonitha Serang, program kekhususan Hukum Kenegaraan, Pemerintahan dan Hubungan Internasional, dengan

11 nomor kepustakaan 0500009174-HK. Pada penulisan ini lebih meninjau peranan pemerintah daerah terkait tugas pembantuan eks pengungsi Timor Leste sedangkan peneliti lebih meninjau terkait penerapan asas non refoulement oleh pemerintah Indonesia terkait pengungsi Timor Leste pasca referendum. 2. Penyelesaian Konflik Penggunaan Tanah Untuk Tempat Penampungan Pengungsi Timor-Timur dalam Pelaksanaan Fungsi Sosial Hak Milik atas Tanah di Daerah Kabupaten Belu-NTT. Penulisan hukum ini diteliti oleh Irene Maria Taolin, program kekhususan Hukum Pertanahan, Pembangunan dan Lingkungan Hidup dengan nomor kepustakaan 0500006329-HK. Pada penulisan ini lebih meninjau fungsi sosial hak milik atas tanah guna penanganan pengungsi Timor Timur sedangkan peneliti lebih meninjau terkait penerapan asas non refoulement oleh pemerintah Indonesia terkait pengungsi Timor Leste pasca referendum. F. Batasan Konsep Dalam penulisan hukum dengan judul Penerapan Asas Non Refoulement dalam Konvensi Jenewa 1951 Berkaitan dengan pengungsi Timor Leste di Indonesia (Pasca Referendum Tahun 1999), penulis membatasi konsep penulisan ini sebagai berikut: 1. Pengungsi adalah orang yang karena ketakutan yang beralasan akan menerima penganiayaan karena alasan ras, agama,

12 kebangsaan, keanggotaanya di dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politiknya, berada di luar negaranya dan tidak dapat, dikarenakan ketakutan tersebut, atau tidak ingin untuk memperoleh perlindungan dari negara tersebut; atau seseorang yang tidak mempunyai kewarganegaraan dan berada di luar Negara tempatnya menetap sebagai akibat dari peristiwa tertentu, tidak dapat, atau dikarenakan ketakutannya tersebut, tidak ingin kembali ke negaranya. 12 2. Asas non refoulement adalah tidak diperbolehkan untuk mengusir ataupun mengembalikan pengungsi dalam bentuk apapun ke luar wilayahnya dimana keselamatan dan kebebasan mereka terancam karena alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial ataupun opini politik tertentu. 13 3. Pengungsi Timor Leste di Indonesia adalah orang-orang yang mengungsi ke Indonesia pasca Refrendum tahun 1999. Jadi yang dimaksud dengan Penerapan Asas non refoulement dalam Konvensi Jenewa 1951 Berkaitan dengan pengungsi Timor Leste di Indonesia adalah tanggung jawab Indonesia sebagai bangsa beradab di dalam menerapkan asas non refoulement terhadap pengungsi Timor Leste pasca referendum 1999. 12 Pasal 1 ayat (2) Protokol tanggal 31 Januari 1967 tentang Status Pengungsi 13 Pasal 33 Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi

13 G. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian: Dalam penyusunan penelitian hukum ini jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif merupakan penelitian kepustakaan yaitu penelitian terhadap data-data sekunder yang berfokus pada norma (law in the book). Dalam penelitian ini menggunakan data sekunder sebagai bahan hukum utama yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. 2. Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: a. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer yaitu bahan hukum yang mengikat secara yuridis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri: 1. Undang-Undang Dasar 1945, pasal 28 G ayat (2). 2. Konvensi tahun 1951 Tentang Status Pengungsi (The 1951 Convention Relating Status of Refugees) dan Protokol tahun 1967 Tentang Status Pengungsi (Protocol Relating to the Status of Refugees 1967) 3. Statuta United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) 4. Resolusi Majelis Umum PBB No. 1541/1960

14 5. UU No. 7 tahun 1976 tentang Pengesahan Penyatuan Timor Timur ke dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pembentukan Propinsi Daerah Tingkat I Timor 6. Tap MPR No. VI/MPR/1978 7. UU No 9 tahun 1992 tentang Imigrasi 8. UU No 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri 9. UU No 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia 10. UU No 1 tahun 1979 tentang Ekstradisi b. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum tidak mengikat yang dapat membantu memberi penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari buku, artikel, internet, surat kabar, majalah, tabloid, serta jurnal hukum. c. Bahan Hukum Tersier Selain bahan hukum primer dan sekunder, penelitian ini juga menggunakan bahan hukum tersier yang berupa Kamus Bahasa Inggris-Indonesia dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. 3. Metode pengumpulan data Dalam penelitian ini, pengumpulan data mempergunakan metode penelitian kepustakaan dan wawancara dengan berbagai sumber. Penulis melakukan pengumpulan data dengan jalan mengkaji bahan-bahan yang bersangkutan dengan masalah dalam

15 penelitian ini. Langkah-langkah yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan bahan kepustakaan. Studi kepustakaan yang dilakukan adalah untuk mencari pengertian-pengertian dan juga memperoleh pemahaman serta informasi mengenai kasus pengungsi Timor Leste dan penerapan asas non refoulement dalam Konvensi 1951 di Indonesia. Sedangkan wawancara dengan berbagai nara sumber penulis gunakan untuk memperoleh penjelasan serta informasi lebih mendalam mengenai pokok permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini. 4. Nara Sumber Nara sumber adalah subyek yang memberikan jawaban atas pertanyaan peneliti yang berupa pendapat hukum berkaitan dengan permasalahan hukum yang penulis teliti. Dalam penelitian ini, penulis melakukan wawancara dengan nara sumber dari berbagai instansi, guna mendukung penelitian yang diteliti penulis. Nara sumber yang dimaksud antara lain adalah: 1. Romo Andre Sugijopranoto, SJ selaku mantan Direktur Jesuit Refugee Service yang terlibat langsung dalam penanganan pengungsi di kamp-kamp perbatasan. 2. Romo Suyadi, SJ selaku Direktur Jesuit Refugee Service. 3. Bpk. Irfan Mujahid dari Direktorat Asia Timur Pasifik, Kementrian Luar Negeri Rapublik Indonesia

16 5. Lokasi Penelitian 1. Jesuit Refugee Service (JRS), berlokasi di Yogyakarta 2. Kementrian Luar Negeri Republik Indonesia, berlokasi di Jakarta Pusat 3. United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR), berlokasi di Jakarta Pusat 4. Kedutaan Besar Timor Leste di Indonesia, berlokasi di Jakarta Pusat 5. Perpustakaan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, berlokasi di Yogyakarta 6. Metode Analisis Data Jenis penelitian hukum ini adalah penelitian hukum normatif. Sehingga metode analisis data yang digunakan adalah metode penalaran deduktif, yaitu suatu prosedur penalaran yang bertolak dari proposisi umum yang kebenaranya telah diketahui atau diyakini dan berakhir pada suatu kesimpulan (pengetahuan baru) yang bersifat khusus. Dalam penalaran deduktif tersebut, peneliti melakukan proses deduksi terhadap asas non refoulement sebagai proposisi umum untuk menarik suatu kesimpulan khusus berupa bagaimanakah penerapan asas non refoulement berkaitan penanganan pengungsi Timor Leste di Indonesia.

17 H. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan hukum yang berjudul Penerapan Asas Non Refoulement dalam Konvensi Jenewa 1951 Berkaitan dengan Pengungsi Timor Leste di Indonesia (Pasca Referendum Tahun 1999) adalah sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan mengenai: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, tinjauan pustaka, batasan konsep, metode penelitian yang mana dalam metode ini akan diuraikan mengenai jenis penelitian, sumber data, metode pengumpulan data, narasumber, metode analisis, serta yang terakhir sistematika penulisan. BAB II PEMBAHASAN Dalam bab ini diuraikan mengenai tiga hal, yang pertama menyangkut Tinjauan Umum Mengenai Pengungsi Timor Leste, Tinjauan Umum Mengenai Asas Non Refoulement, dan Penerapan Asas Non Refoulement dalam Konvensi 1951 Berkaitan dengan Pengungsi Timor Leste di Indonesia. Pada sub bab pertama yaitu Tinjauan Umum Mengenai Pengungsi Timor Leste dijabarkan Pengertian Pengungsi, Hak dan Kewajiban Negara terhadap Pengungsi, dan Tahap Penetapan Status Pengungsi dan Berahkirnya Status Pengungsi. Adapun tinjauan umum ini dilengkapi dengan penjelasan mengenai Sebab-sebab Terjadinya Pengungsi Timor

18 Leste Pasca Referendum, yang mana berisi mengenai Sejarah Singkat Timor Leste, dan Pengungsi Timor Leste Pasca Referendum tahun 1999. Pada sub bab kedua yaitu Tinjauan Umum Mengenai Asas Non Refoulement, diuraikan mengenai Pengertian Asas Non Refoulement, Asas Non Refoulement sebagai Ius Cogens, Pengecualian Penerapan Asas Non Refoulement, dan Tanggung Jawab Negara Berkaitan dengan Asas Non Refoulement. Pada sub bab ketiga yaitu Penerapan Asas Non Refoulement dalam Konvensi 1951 Berkaitan dengan Pengungsi Timor Leste di Indonesia, diuraikan mengenai Upaya Indonesia dalam menerapkan Asas Non Refoulement Berkaitan dengan Pengungsi Timor Leste di Indonesia, dan Hambatan yang dialami Indonesia dalam Menangani Pengungsi Timor Leste. BAB III PENUTUP Pada bagian ini berisikan mengenai kesimpulan yang merupakan pernyataan singkat atas temuan penelitian yang merupakan jawaban atas rumusan masalah yang diangkat mengenai bagaimanakah penerapan asas non refoulement dalam Konvensi Jenewa 1951 berkaitan dengan pengungsi Timor Leste di Indonesia. Selain itu pada bagian ini pula diajukan beberapa saran berdasarkan temuan persoalan dalam penelitian hukum ini.