Dicky Tjandra Awal mula mengenal seni rupa Pengalaman berpameran dan karir seni rupa

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 4 KONSEP. 4.1 Landasan Teori. Landasan teori yang saya ambil untuk mengembangkan penyelesaian masalah pada. desain saya adalah:

2 Berkarya Seni Rupa. Bab. Tiga Dimensi (3D) Peta Materi. Di unduh dari : Bukupaket.com. Jenis Karya. Berkarya Seni Rupa 3 D.

KOMUNITAS BELANAK Awal terbentuk Komunitas Belanak Pengaruh adanya Komunitas Belanak untuk seniman-seniman Padang

PASAR SENI DI DJOGDJAKARTA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Latar Belakang Pengadaan Proyek Gambar 1.1. Diagram Kebutuhan Maslow

BAB I PENDAHULUAN. baru, maka keberadaan seni dan budaya dari masa ke masa juga mengalami

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penciptaan

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat cepat. Begitu pula dengan gaya hidup masyarakat yang juga

pribadi pada masa remaja, tentang kebiasaan berkumpul di kamar tidur salah seorang teman

BAB V KESIMPULAN. Pada bab ini penulis memaparkan kesimpulan berdasarkan perumusan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kota yang terkenal sebagai Kota Batik tersebut mengalami peningkatan dari tahun

BAB II GAMBARAN UMUM OBYEK PENELITIAN. sebagai kota pariwisata ini dilakukan di Jogja Gallery. Sebuah galeri seni yang

BAB III METODE PENCIPTAAN. keluar dari kegelisahan tersebut. Ide/gagasan itu muncul didorong oleh keinginan

BAB V PENUTUP. Kehadiran dan kepiawaian Zulkaidah Harahap dalam. memainkan instrumen musik tradisional Batak Toba, secara tidak

SEJARAH SUMBER TERBUKA: PEMETAAN PAMERAN SENI RUPA DI INDONESIA

Universitas Kristen Maranatha BAB 1 PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN Kusrianto, Adi Pengantar Desain Komunikasi Visual. Yogyakarta: Andi Offset halaman

BAB I PENDAHULUAN Potensi Kota Yogyakarta Sebagai Kota Budaya Dan Seni

BAB III GAGASAN BERKARYA

BAB I PENDAHULUAN. karya seni. Hal inilah yang mendasari adanya sebuah pameran seni. Dengan

BAB III METODE PENELITIAN A. LOKASI DAN SUBYEK POPULASI PENELITIAN. terdokumentasikan di sekretariat lomba, Kantor Bidang Pendidikan Dasar Dinas

PERANCANGAN INTERIOR PADA PUSAT KEBUDAYAAN BETAWI DIJAKARTA PROPOSAL PENGAJUAN PROYEK TUGAS AKHIR YULI HELVINA

GALERI SENI RUPA DI MEDAN BAB 1 PENDAHULUAN

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1.Latar Belakang Perancangan

MODUL SENI RUPA KELAS X TAHUN AJARAN BERKARYA SENI RUPA TIGA DIMENSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB V KESIMPULAN. Penelitian ini membuktikan bahwa seniman telah memiliki. kesadaran dalam mempresentasikan karya sebagai pertunjukan.

BEELAJAR MENCIPTAKAN RUANG MELALUI GAMBAR ANAK-ANAK Oleh: Taswadi. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. dan teknik yang berkaitan dengan komposisinya (analisis bentuk at au penataan

III. METODE PENCIPTAAN TOPENG SEBAGAI TEMA DALAM PENCIPTAAN KARYA SENI RUPA. A. Implementasi Teoritis

BAB V CATATAN PRODUKSI. kurang lebih 14 bulan yang dimulai pada awal agustus tahun 2014 dan terselesaikan

BAB II TINJAUAN UMUM PERPUSTAKAAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

SOLO FINE ART SPACE BAB I PENDAHULUAN

Simbol dan Repetisi bersama Albert Yonathan Febrina Anindita (F) berbincang dengan seniman Albert Yonathan (A)


BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Impressionisme adalah aliran seni yang pada mulanya melakukan

Semangat Menyebar Melalui Pertemanan

PAMERAN (EKSPRESI DAN APRESIASI SENI KRIYA)

PUSAT SENI RUPA KONTEMPORER NYOMAN GUNARSA DI YOGYAKARTA

BAB III STRATEGI DAN KONSEP VISUAL

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia, Sastra Indonesia, Pendidikan Bahasa Inggris, Sastra Inggris,

LEMBARAN SOAL TRYOUT UJIAN SEKOLAH. Hari/Tanggal : Waktu :

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bentuk ekspresi seniman memiliki sifat-sifat kreatif,

UPT Perpustakaan ISI Yogyakarta BAB V PENUTUP. Melalui uraian yang telah dijelaskan pada bab-bab sebelumnya, dapat

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

GALERI NASIONAL AANWIJZING SAYEMBARA DESAIN ARSITEKTUR. Penyelenggara : Badan Penghargaan dan Sayembara IAI Jakarta DESEMBER 2012.

Galeri Seni Lukis Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN. Pusat Seni Rupa di Yogyakarta dengan Analogi Bentuk Page 1

PUSAT SENI RUPA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. dikomunikasikan dan diapresiasi oleh masyarakat. Pameran juga merupakan sebuah kegiatan

DESKRIPSI KARYA SENI KRIYA BERJUDUL: PRADA

BAB I PENDAHULUAN. olehnya. Bahkan kesenian menjadi warisan budaya yang terus berkembang dan maju.

I. PENDAHULUAN. Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang heterogen atau majemuk, terdiri dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Nurysta Tresna Sundi, 2014 Kajian Visual Desain Pada Kaos Pariwisata Pantai Pangandaran

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan

LANDASAN PROGRAM PERENCANAAN DAN PERANCANGAN ARSITEKTUR SELASAR SENI INSTALASI SUNARYO SEMARANG

BAB I PENDAHULUAN Pengertian Judul

BAB IV TAHAPAN PEMBUATAN FILM DOKUMENTER

BAB 1 PENDAHULUAN. (Hasanuddin, 1996:1). Dimensi pertama, drama sebagai seni lakon, seni peran

Fungsi Apresiasi dan Kritik dalam Pendidikan Seni Rupa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penciptaan Adi Khadafi, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Pada era globalisasi saat ini, pendidikan menjadi sesuatu yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Patung dalam Seni Rupa Kontemporer Indonesia

RUMAH BUDAYA RUMATA Awal mula terbentuk Rumata

1.4 Metodologi Penelitian

Bagan 3.1 Proses Berkarya Penulis

MEDIA 2 DIMENSI. Disusun oleh: SAIFUL AMIEN

Bab IV. Konsep Desain

BAB I PENDAHULUAN. untuk terus meningkatkan kemampuannya dengan menuntut ilmu. Berbagai macam lembaga

BAB I GALERI SENI RUPA DI YOGYAKARTA

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. Perkembangan era globalisasi saat ini telah membawa kemajuan ilmu

BAB 1 PENDAHULUAN. Budaya antre dalam kehidupan masyarakat di dalamnya sangat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Format Proposal Pengadaan Pameran Seni Rupa PAMERAN SENI RUPA. Disusun oleh Nama :. NIS :. Kelas:. Kompetensi Keahlian :.

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang I.1.1 Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB I PENDAHULUAN. Kampus Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Bina Nusantara. yang Berhubungan dengan Arsitektur.

BAB I PENDAHULUAN. kelompok atau lapisan sosial di dalam masyarakat. Kebudayaan ini merupakan suatu cara

DIMENSI ESTETIK SENI RUPA RUANG PUBLIK DI YOGYAKARTA RELEVANSINYA BAGI PENGEMBANGAN PENDIDIKAN SENI DI INDONESIA DAFTAR ISI

Lampiran 1. Hasil Validitas dan Reliabilitas

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara. 1 Koentjaranigrat (seniman). Majalah Versus Vol 2 edisi Februari 2009

Kedudukan Dan Fungsi Bahasa Indonesia Sebagai Bahasa Nasional,Negara,Dan Daerah

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Nelson Mandela 1960 Sumber:

Indonesia Bahasa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang, salah satunya adalah bidang pemasaran. Semakin tinggi tingkat

BAB II TINJAUAN OBJEK RANCANGAN. Judul Perancangan yang terpilih adalah Gorontalo Art Gallery Centre, dengan

BAB I PENDAHULUAN. perekonomiannya ini dibuktikan dengan banyaknya pusat perbelanjaan dibangun

2015 ANALISIS DESAIN ALAT MUSIK KERAMIK DI DESA JATISURA KECAMATAN JATIWANGI KABUPATEN MAJALENGKA

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1.1 Presentase Jumlah Pecinta Seni di Medan. Jenis Kesenian yang Paling Sering Dilakukan Gol. Jumlah

BAB I PENDAHULUAN. Seni atau art berasal dari kata dalam bahasa latin yaitu ars, yang memiliki arti

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berjalannya waktu, tantangan dan persaingan di era

2015 ABSTRAK SUPREMATISME SEBAGAI GAGASAN BERKARYA SENI PATUNG DENGAN MEDIA KAYU

Transkripsi:

Dicky Tjandra Awal mula mengenal seni rupa Saya lahir di Makassar, 57 tahun yang lalu. Sebetulnya persentuhan saya dengan kesenian, sifatnya seperti hobi, suka menggambar, dsb. Waktu SMP saya mendapat informasi tentang ASRI di Jogja, lalu mulai terbangun keinginan saya, jika selesai SMA saya ingin ke ASRI. Saya selesai SMA tahun 1975, tapi waktu saya mau kuliah di ASRI dilarang orang tua, karena dianggap menjadi pelukis sama seperti penjual lukisan di jalan. Kebetulan keluarga saya banyak tinggal di Belanda, dan ada seorang paman saya yang datang dari Belanda yang kemudian ingin membawa saya ke Belanda karena tahu selepas SMA saya hanya menganggur. Akhirnya daripada di bawa ke Belanda, orang tua mengijinkan saya kuliah di ASRI. Saya masuk tahun 1977 di ASRI jurusan seni patung, dimana kampus waktu itu sangat nyeniman sekali. Disitulah terbentuk jiwa kesenimanan saya, dimana saya ditempa oleh suasan kampus dan kota Jogja sendiri yang membuat saya bisa berjalan terus. Akhirnya tahun 1985 saya menyelesaikan studi S1, dan sebelumnya saya sempat pameran tunggal patung di Kartapustaka. Waktu itu saya memilih jurusan patung, karena saya punya basic gambar dan tertarik dengan bentuk 3 dimensi. Saya sendiri berfikir dulu jarang sekali kegiatan patung, seperti pameran, karena mungkin pendanaannya berat. Waktu saya menggelar pameran tunggal saya, saya mendapat bantuan dana dari Karta Pustaka sehingga bisa mencetak katalog saya sendiri. Kemudian saya juga pernah berpameran 4 studio patung di TIM jakarta bersama para mahasiswa ASRI, ITB, IKJ DAN STSI Solo. Tahun 1985 saya kembali ke Makassar dan menggalami semacam shock culture, akhirnya saya mendaftar menjadi dosen IKIP dan saya diterima. Tahun 1987 saya mulai menjadi dosen di IKIP yang sekarang berganti menjadi UNM selama 25 tahun. Saya sadar jika saya hanya berada di Makassar saya tidak akan berekembang oleh karenanya saya sering pergi main ke Jogjakarta, istilah saya seperti ngecharge baterai. Saya mulai sering diundang teman2 Jogja berpameran di luar Makassar. Pengalaman berpameran dan karir seni rupa Disini saya punya studio bernama Dickdakdor studio dimana anak-anak IKIP, mahasiswa saya sering kumpul-kumpul dan kalau bisa membuat pameran. Motivasi saya mengajak para mahasiswa pameran supaya semangatnya tertular. Menurut saya profesi seniman harus terus berkarya dan menampilkannya. Jadi banyak kegiatan pameran yang saya buat dengan mahasiswa. Sayangnya saya sangat miskin dengan dokumentasi. Pada tahun 1987 saya mengajak teman2 makassar untuk membuat semacam kelompok bernama Ikatan Senirupa Celebasi. tapi Makassar tidak banyak tempat untuk berpameran, sehingga sangat sulit untuk kita mengadakan acara-acara, selain itu apresiasi seni juga kurang. Saya pernah mengikuti kompetisi keluar negeri tahun 2001, "Chancun Olympic Sculpture", kebetulan waktu itu karya saya terpilih untuk dibuat dan dipamerkan di taman patung dunia di China. Dalam mengikuti kompetisi biasanya yang dikirim hanya berupa sketsa dan atau prototype, dan jika terpilih baru akan direalisasi atau dibesarkan. Selanjutnya saya mengambil program studi Pascasarjana ISI Yogyakarta dan

selesai tahun 2004, saya diminta dari Jakarta untuk menjadi direktur Galeri Nasional dan setelahnya ditarik ke pusat menjadi kepala koordinator new media art. Saya merasa kurang sreg, sehingga saya minta ijin, bukan untuk keluar tapi untuk bersekolah lagi. Lalu saya menggambil S3 penciptaan seni di ISI Yogyakarta tahun 2006 dan selasai tahun 2011. Waktu di Jakarta saya sempat ikut kompetisi patung di Honduras, dan karya saya terpilih untuk diproduksi dan dipamerkan di depan gedung teater nasional Honduras. Tapi saat itu Dirjen Kebudayaan Nasional melarang saya berangkat ke Honduras karena alasan masa dinas dan akhirnya saya tidak jadi berangkat. Panitia di Honduras juga tidak mau memproduksi karya saya jika saya tidak disana. Akhirnya saya gagal mengikuti kompetisi itu. Setelah itu saya mengikuti kompetisi olimpiade seni patung di Beijing, karya saya terpilih 100 besar yang akan diikutkan di pameran keliling China dan Eropa. Karya saya kemudian diproduksi di China dengan bahan perungu dan dibuat 3 edisi, yang kemudian 1 edisi dijanjikan sebagai milik seniman, tapi sampai sekarang belum saya terima. Pada 2011 saya baru saja mengikuti kompetisi patung lingkungan di Beijing dan mendapat penghargaan 2nd prize. Saat ini saya aktif berpameran di kota-kota seperti Jakarta, Bali, dsb dan saya juga aktif sebagai anggota Asosiasi Pematung Indonesia,dimana setiap API melakukan pameran saya biasanya ikut diundang. Jadi ada banyak aktivitas yg memotifasi saya untuk terus berkarya. Bayangkan saja jika kita terus berkarya tapi tanpa tersediannya fasilitas berpamarena tentu akan sulit. Yang terjadi di Makassar kurang lebih adalah seperti itu. Seniaman-seniman di Makassar tidak punya tempat untuk berpameran, sering kita berbicara pada pemerintah tapi tak pernah ada tanggapan dan mungkin dianggap tidak penting. Gaya dan konsep dalam berkarya Awal saya jadi mahasiswa baru bertepatan dengan peristiwa Desember Hitam, jadi saat itu saya sudah melihat kegiatan-kegiatan yang dianggap ekstrim. Saat itu seni abstrak mendominasi di ASRI, semua harus abstrak atau dianggap jelek. Sekitar tahun 1977 banyak terjadi pemberontakan atas dominasi gaya seni yang diinisiasi oleh generasi diatas saya, seperti Bonyong, Haris Purnomo, dsb. Waktu itu juga saya tahu ada pameran PIPA di Senisono. Saya tidak ikut dalam kegiatan itu, tapi saya sangat suka dengan kegiatan dan pikiran-pikiran mereka. Saya banyak terinspirasi dari mereka. Waktu itu saya pernah membuat karya patung untuk Dies Natalies ASRI, berupa granat dan pecahan cermin yang waktu itu dianggap ekstrim dan tidak boleh dipamerkan. Padahal saat itu saya ingin berbicara tentang kekerasan yang bersifat universal, tapi dianggap ekstrim. Sejak itu saya mulai membuat karya dengan gaya seperti itu. Sebelumnya saat sekolah di ASRI hampir semua tugas harus menggunakan gaya abstrak yang saya tidak tahu apa maknanya, hanya keindahan bentuk saja. Waktu itu di ASRI karya bulatan saja orang bisa bicara romantis tentang cinta dengan karya hanya seperti itu. Menurut saya itu tidak masuk akal. Saya berfikir karya seperti ini tidak cocok dengan saya. Kemudian saya mulai mngalami pencerahan saat S2 dan menggunakan

penggabungan-penggabungan seperti menggabungkan subyek dan predikat. Saya mulai tertarik dengan penggunaan seni rupa sebagai bahasa. Thesis saya berbicara tentang subyek dan predikat sebagai sumber penciptaan. Jadi, ketika saya ingin membuat karya sebagai bahasa, kalimat paling sederhananya pasti memiliki subyek dan predikat. Jarang orang memberi predikat dalam subyek. Saya berfikir jika saya ingin mengunakan karya saya sebagai pesan, maka kalimat saya harus sempurna dimana pasti memiliki unsur subyek dan predikat. Studi S3 saya yang beberapa tahun kemudian, juga masih menggunakan bahasa sebagai metode berkarya, dan membahas permasalahan yang global. Saat itu saya berfikir misal saya pakai wayang, itu bukan bahasa yang universal, tapi bahasa jawa. Oleh karena itu saya lebih menggunakan bentuk-bentuk yang dapat dipahami semua orang, misal pohon, dsb. Judul disertasi saya waktu itu "Metaforisitas Globalisasi dalam Seni Patung". Jadi metafor saya dalam berkarya menggunakan bentuk -bentuk mudah dikenali orang sebagai simbol. Menurut saya hal ini menarik, karena pembahasan seni rupa selalu melihat ujung atau akhir yang berupa produknya. Produk itu menurut saya adalah pandangan seseorang, tapi jarang orang melihat bahwa pandangan hadir dari sebuah cara pandang. Saya tertarik sekali melihat cara pandang dan pandangan. Cara pandang selalu melahirkan pandangan, dimana pandangan kemudian diekspresikan dalam bentuk apa saja. Dan itulah yang saya lakukan sekarang terus menerus dan selalu saya tekankan pada mahasiswa-mahasiswa saya. Seperti hal-hal yang anda angap nyaman, belum tentu juga nyaman dengan orang lain, itu yang membuat anda berbeda dengan yang lain. Saya punya mahasiswa dengan latar belakang berbeda-beda dan tidak saya paksakan untuk menjadi sama. Itulah mengapa Founding Fathers kita punya konsep Bhineka Tunggal Ika. Menurut saya saat ini Jawa atau Jakarta oriented sangat mendominasi pergaulan sehingga anak-anak ingin lebih dikatakan modern kearah situ, jauh dari nilai-nilai kultur yang mereka miliki. Kalau kita bicara globalisasi, sebenarnya globalisasi telah dirasakan orang indonesia sejak dulu karena kita negara yg kaya dengan bermacam budaya atau saya sebut mikro global, kalau kita sudah tidak bermasalah dengan mikro global, kita pasti tidak sulit memasuki makro global, atau dunia internasional. Berbeda itu sudah habitat kita sejak awal. Tentang karya patung Karya patung biasanya berupa patung atau obyek tunggal, jarang orang membuat berapa objek menjadi satu karya. Saya mulai membuat karya yang terdiri dari berapa objek dalam 1 karya saya, misal saya membuat 1 elemen berupa kuping dalam jumlah 100 kuping waktu saya pameran tunggal di Karta Pustaka. Lalu waktu saya membuat "Karya Bayi Tahun 2000", saya buat 5 buah patung janin dalam tabung. Penggunaan karya secara repetisi ini ada maksudnya, seperti karya janin, saya ingin menunjukan proses janin berkembang dari segumpal darah hingga menjadi bayi. Saya ingin berbicara ditengah kehidupan modern ini, perempuan sudah mulai malas melahirkan tapi ingin punya anak. Saat itu saya berimajinasi mungkin tahun 2000 orang bisa menciptakan anak diluar tubuhnya seperti bayi tabung. Dalam membuat karya ini saya melakukan riset ke rumah sakit panti rapih dan setelah negosiasi dengan dokter saya diijinkan melihat berbagai jenis janin dari

usia 3 bulan, 5 bulan, dst. Karya-karya saya banyak menggunakan pengulangan atau repetisi, misal saya buat 50 patung tengkorak yang saya timbun diatas karpet merah, karya itu berbicara tentang Petrus, penembak misterius yang menimbulkan keresahan saat itu. Buat saya mempresentasikan karya secara ini, yang berupa patung yang terdiri dari beberapa obyek merupakan hal baru, waktu itu saya sebut instalasi patung. Tapi tidak semua karya saya seperti ini, tergantung konsep yang ingin saya sampaikan. Saya juga terbiasa melakukan riset sebelum membuat karya dan mengangap kerja seniman selalu berdasarkan riset, misal dia jalan-jalan dan memperhatikan kehidupan sekitarnya, itu sudah merupakan riset juga, tidak perlu khusus. Jadi saya mengagap sumber ilmu seniman adalah kehidupan. Sebagai pematung saya punya kesadaran ruang, tidak seperti pelukis, karena display dan penempatan bagian dari konsep penciptaan. Saya juga selalu menggunakan elemen-elemen yang umum diketahui oleh semua orang. Perkembangan karya lewat material Tahun 19977 waktu saya masih kuliah di ASRI, kalau kita bisa cetak patung dari semen itu sudah hebat sekali. tahun 1983-1984 baru masuk fiberglass atau resin. Waktu itu resin masih mahal. Dulu kita bisa bikin patung dari semen aja sudah senang sekali. Sekarang metode kita kebanyakan menggunakan fiber, dan jika laku baru dilapis dengan perunggu, atau istilahnya diperunggukan. Kalau dari awal diperunggukan langsung, akan terlalu mahal buat kita. Jadi dalam diskripsi karya biasanya kita menyebut, Bahan : Fiber; Rencana: Perunggu. Jadi saat ada orang mau beli baru kita perunggukan. Saya selama ini hidup dari berkarya pribadi dan untuk cari uang, atau dari proyekproyek seperti monumen. Kalau membuat monumen biasanya untuk keperluan pesanan orang, misal dia mau dibuatkan monumen yang seperti ini atau yang begitu, dan saya akan buat sektsanya beserta perencanaan alternatif dan kemudian dipilih lalu saya buatkan. Tapi saya sebagai seniman juga memberi saran ke mereka, mana yang sesuai dengan konsep dan keinginannya. Lalu seterusnya saya bikin tim kerja yang biasanya di Yogyakarta, dan saya akan pilih tim-tim yang terbaik dan bahan terbaik supaya monumen itu, yang bagian dari karya saya, juga menghasilkan yang terbaik. Sedang karya saya pribadi biasanya tidak dijual dan motifasinya juga bukan untuk dijual, kecuali kalau cocok dengan harga dan orang suka. Jadi kalau bikin karya pribadi saya melayani diri sendiri, dan karya monumen saya melayani orang lain. Pandangan tentang seni rupa Indonesia Kalau saya melihat akhir-akhir ini, seni rupa Indonesia sangat dikuasai oleh pasar. Apakah itu sebuah era yang harus kita terima begitu saja, bahawa Indonesia masuk dalam seni rupa pasar. Tapi saya sendiri berfikir karya seni itu kalau dibuat untuk tujuan pasar, seharusnya seniman ada win-win solution, antara dirinya dan kehendak pasar. Jadi menurut saya sulit membuat karya seni yang sangat idealisme seniman, karena seniman harus bargaining dengan pasar. Saya tidak berbicara itu benar atau tidak, karena itu bukan kapasitas saya, tapi saya tidak setuju dengan hal itu, karena menurut saya, ketika saya membuat sesuatu hasilnya jauh lebih baik

tanpa memikirikan pasar. Karena urusan pasar biar dipikirkan oleh yang lain. Pernah dalam suatu waktu di Jogja, seniman membuat karya dengan gaya Chinese semua karena ternyata itu yang lagi laku dipasaran, kan ini sangat lucu. Orang Indonesia buat karya dengan gaya Chinese, itu tidak mewakili kulturnya. Kenapa kita tidak bikin karya saja berdasar kultur kita. Misal, lukisan-lukisan daerah kita yang lebih cenderung bergaya dekoratif, kenapa kita tidak menggali itu saja dan ditampilkan dengan lebih kontemporer, misalnya. Kita juga punya nuansa warna sendiri, tidak harus ikut-ikutan pasar. Permasalahan pasar ini sangat kompleks dan kenapa pemerintah tidak pernah memikirkan hal ini. Saya pernah punya usulan agar di setiap kedutaan besar Indonesia di luar negeri ada sebuah pojok atau ruangan untuk dibangun galeri kecil tentang seni rupa Indonesia misalnya, jadi kita punya galeri disetiap negara yg ada kedubes Indonesianya. Dengan itu kita bisa sedikit demi sedikit mempopulerkan seni Indonesia, tapi ternyata yang terjadi bukan seperti itu. Seni rupa Indonesia lebih dipopulerkan oleh pasar. Waktu itu saya pernah membandingkan harga karya di Indonesia dengan di Taiwan, perbandingan harganya yaitu 1;7. Artinya karya yang diproduksi di Indonesia dijual dengan harga 1 dan jika lukisan yang sama dijual ke Taiwan harganya bisa mencapai 7. Jadi Indonesia selalu dijadikan tempat produksi untuk dijual di Taiwan. Sistem ini membuat pedagang lukisan menjadi kaya. Jadi menurut saya persoalan harga ini sangat menentukan. Selain itu dengan market yang begitu kuat di Jawa, seniaman-seniman di Makassar sangat berorientasi kesana yang menurut saya ini sangat konyol, tapi inilah hal yg dihadapi seniamanseniman kita. Saya tidak sedang menghakimi, tapi saya pribadi tidak merasa cocok dengan perlakuan seperti ini. Posisi Galeri Nasional di peta seni rupa Indonesia Waktu itu saya pernah memegang Galeri Nasional dan jujur saja, banyak orang yang tidak suka dengan saya. Kurator Galnas waktu itu telah berpuluh tahun menjadi kurator disana. Rata-rata, kurator ini juga dipegang oleh galeri-galeri swasta, yang menurut saya hal ini tidak sehat. Harusnya setiap berapa tahun sekali kurator diganti, tidak 10-15 tahun jadi kurator, sehingga mereka membangun link-link dengan galeri-galeri swasta untuk tujuan tertentu, misal dimudahkan masuk Galnas. Banyak hal-hal yang ingin saya ganti karena menciptakan iklim kesenian yang tidak sehat. Sebuah Galeri Nasional itu begitu prestis di negara-negara lain, kalau seniman pernah pameran di galeri nasional di negaranya, ia merupakan seniman yang diakui, tapi sesulit itukan jika kita ingin berpameran di Galnas Indonesia ini? Sedang disini, seniman-seniman baru, saja bisa dengan mudah berpameran tunggal di Galnas, akibat dari pasar. Adanya koneksi galeri swasta dengan kurator memudahkan jalan itu, karena galeri swasta tau jika seorang seniman pernah pameran di Galnas akan semakin mudah menjual karyanya di luar negeri. Inilah yang menurut saya perlakuan yang kurang tepat. Saya yakin majalah Visual Art itu milik orang pasar, jadi mereka membangun sebuah sistem yang gila-gila'an, dari mulai kurator, galerinya dsb. karya-karya yang muncul di Visual Art itu karya yg laku dipasar. Saya pernah 1 tahun memegang Galnas dan saya tahu perlakuan-perlakuan seperti ini. Dulu galnas dibawah Departemen Pariwisata dan sekarang di bawah Departemen Kebudayaan, jadi mungkin ada kebijakan-kebijakan yang berubah. Dulu

waktu saya di Galnas, anggapan yang umum bahwa seniman berkarya semata-mata hanya untuk hidup dan mencari penghasilan, jadi pencarian jati diri bangsa tidak ada dalam proses kesenian. Untuk apa menjadi seniman tetapi melarat? itulah apa yang ada dipikiran petinggi-petinggi kesenian disana. Saya banyak memperdebatkan hal ini, itulah mengapa saya kemudian dipindah kekantor pusat. Kebijakan-kebijakan yang dibuat di Galnas berorientasi pariwisata, yang penting karya laku, tapi saya yang berada dalam dunia kesenian sekaligus menjadi seniman merasa perlakuan ini tidak benar. Menurut saya Galnas itu harus merupakan galeri yang prestisius, kalau galeri swasta mau berlaku seperti itu wajar saja karena mereka berbisnis, tapi Galnas kan galerinya negara, harusnya dia jadi barometer seni rupa Indonesia. Jadi standar idealisme yang harus dibangun jangan mengikuti galeri swasta. Galeri nasional dinegara lain sangat bergengsi sedang galnas di negara kita ini seperti galeri kacang goreng. Saran untuk Galeri Nasional Waktu saya pegang galnas anggaran saya 1 m lebih pertahun. Itu termasuk anggaran bayar gaji pegawai yang hampir 600 juta. Jadi yang digunakan untuk kegiatan hanya sekitar 500an juta termasuk kebersihan, keamanan, dll. Kemudian saya membuat tulisan yang isinya saya perlu dana 5 M untuk menjalankan galnas. Setelah DPRD menyetujui dana 5 M saya, saya dipindah dari Galnas. Dulu saya punya rencana membuat ensiklopedi SR indonesia, seperti lifetime history. Dengan dana sebanyak itu saya akan bikin, misal 2 seniman pertahun, dimulai dari yang lebih senior dulu, seperti Affandi. Jadi saat pemerintah kita jalan-jalan keluar negeri, mereka bisa membawa bendel buku tentang seniman-seniman maestro Indonesia. Saya akan menyusun tim untuk mencari data-data seniman itu, tapi tidak jalan.