1 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pendidikan menurut UNESCO merupakan upaya mempersiapkan manusia untuk bisa hidup di masyarakat dan harus sesuai dengan tuntutan kebutuhan pendidikan masa lalu, sekarang, dan masa datang (Dasar Konsep Pendidikan Moral, 1999, hlm. 2). Dalam Suyadi, 2013 menyatakan bahwa Ki Hajar Dewantara merumuskan pendidikan sebagai tuntutan di dalam hidup tumbuhnya anak-anak, adapun maksudnya, pendidikan yaitu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak itu, agar mereka sebagai manusia bernilai luhur dan sebagai anggota masyarakat dapatlah mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Selain itu, berdasarkan UU No. 20 tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Tujuan pendidikan nasional juga disampaikan dalam UU No. 20 Tahun 2003, yaitu: Sistem pendidikan nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan dan untuk membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermanfaat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa pada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang baik dan demokratis serta bertanggung jawab (dalam Ruhimat, 2009, hlm. 20). Memahami dasar pemikiran-pemikiran tersebut, maka pendidikan dapat dimaknai sebagai usaha sadar untuk memberikan kekuatan spiritual keagamaaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
2 keterampilan guna memenuhi tuntutan kehidupan dan untuk dapat diterima oleh masyarakat yang dilakukan melalui proses belajar. Hal tersebut telah terangkum dalam 18 nilai-nilai dan karakter yang ditetapkan secara tertulis oleh Kemendiknas pada tahun 2011 dan wajib ditanamkan dalam diri siswa sebagai bagian upaya membangun karakter dan watak bangsa. Karakter-karakter tersebut yakni religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokrasi, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan atau nasionalisme, cinta tanah air, menghargai prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial dan tanggung jawab. Berdasarkan pemaparan nilai-nilai dan karakter tersebut dalam perundangan, pengembangan karakter nampak sangat jelas menjadi ruh dari pendidikan di Indonesia. Pengembangan nilai karakter yang bermuara pada tingkah laku dan sikap yang dimiliki siswa sesuai dengan pengertian pendidikan dan tujuan pendidikan nampak pada penetapan penggunaan kurikulum terbaru yakni kurikulum 2013. Dalam perkuliahan tanggal 10 September 2013, dosen mata kuliah Pembelajaran Berbasis Masalah memberikan gambaran bahwa kurikulum 2013 merupakan sebuah kurikulum yang mengutamakan pemahaman, skill, dan pendidikan berkarakter, siswa dituntut untuk paham atas materi, aktif dalam berdiskusi dan presentasi serta memiliki sopan santun disiplin yang tinggi. Kompetensi Inti (KI) pada kurikulum 2013 dengan tegas khususnya pada KI 1 dan KI 2 menunjukan komitmen yang jelas terhadap pembangunan nilai sikap mental positif siswa. Pada KI 2 secara eksplisit disebutkan berfokus pada pengembangan siswa melalui perwujudan menghargai dan penghayatan perilaku dan sikap sosial, khususnya perilaku dan sikap jujur, disiplin, tanggung jawab, peduli (empati, toleransi, gotong royong) santun, percaya diri, dalam berinteraksi secara afektif dengan lingkungan sosial dan kejadian tampak nyata. Sekolah Menengah Pertama Negeri 5 merupakan salah satu sekolah pertama di Kota Bandung yang menerapkan kurikulum 2013 untuk para siswanya.
3 Kurikulum 2013 saat ini diterapkan dalam jenjang pendidikan kelas VII. Kondisi tersebut sangat mendukung fokus penelitian yakni penelitian dalam aspek afektif yang akan dilakukan peneliti di sekolah tersebut. Fokus utama aspek afektif atau sikap yang dipilih oleh peneliti adalah sikap empati yang dimiliki oleh para siswa. Pemilihan aspek sikap empati dalam penelitian ini adalah karena peneliti mendapatkan temuan bahwa terdapat indikasi-indikasi yang menandakan bahwa sikap empati siswa kelas VII I rendah. Kondisi rendahnya sikap empati nampak ketika jawaban yang diberikan siswa ketika siswa berpendapat tidak menunjukan bahwa ia dapat memposisikan diri sebagai orang lain dan siswa tidak memiliki daya dan upaya untuk membantu orang lain. Secara khusus peneliti melihat hal yang menggambarkan rendahnya sikap empati terhadap kesenjangan sosial khususnya terhadap kemiskinan yang ada di sekitar yakni ketika guru menerapkan proses pembelajaran tematik pengangguran masyarakat kota Bandung. Tidak terdapat jawaban yang menunjukan sikap empati mereka terhadap kondisi ekonomi masyarakat pengganguran. Jawaban siswa dalam menjawab pertanyaan Bagaimana perasaan kalian ketika mengetahui bilamana orang tua kalian terancam terkena pemutusan hubungan kerja atau disebut dengan PHK?. Mereka menjawab dengan jawaban yang tidak mencerminkan kondisi masyarakat yang memiliki kepekaan sosial khususnya empati, yakni salah satu siswa menjawab, Maaf, orang tua saya adalah orang memiliki kuasa dalam kantor, jadi saya rasa saya tidak akan pernah merasakan kehidupan miskin yang dirasakan oleh mereka yang di PHK. Kemudian ditambah dengan jawaban siswa lain, yaitu Orang tua saya tidak akan kena PHK karena orang tua saya berpendidikan tinggi, pintar dan keuangan keluarga saya mapan, dan saya berfikir mereka yang terkena PHK itu adalah mereka yang tidak bisa bekerja dengan baik dan tidak pintar, itu adalah resiko mereka kalau dipecat dari kantor. Hal lain yang nampak menunjukan bahwa rendahnya sikap empati yang dimiliki siswa pada masyarakat yang haknya kurang terpenuhi atau dapat dikatakan sebagai masyarakat marjinal ketika guru kembali memberikan
4 pertanyaan mengenai pandangan siswa tentang kemiskinan yang diakibatkan banyaknya kantor yang memutuskan hubungan kerja secara besar-besaran. Kembali terdapat siswa yang menjawab dengan jawaban Itu adalah salah mereka sendiri karena tidak sekolah sejak kecil dan tidak bisa berfikir kreatif. Saya yakin tidak akan pernah menjalani hidup seperti itu karena saya memiliki keluarga yang kaya dan saya bersekolah di sekolah yang bagus. Kemiskinan yang mereka alami harus mereka selesaikan sendiri karena itu adalah resiko dari kesalahan mereka sendiri dan hidup miskin memang harus mereka alami. Jawaban tersebut cukup memperlihatkan dengan jelas bahwa sikap empati terhadap masyarakat miskin yang dimiliki siswa rendah. Hal tersebut karena terdapat makna bahwa siswa tersebut menganggap bahwa kemapanan ekonomi yang dialami siswa saat ini adalah suatu yang harus ditunjukan ke orang lain dan menyatakan secara tersurat bahwa siswa tersebut tidak akan pernah mengalami kemiskinan. Terlebih jawaban siswa yang menyatakan bahwa kemiskinan yang dialami harus mereka selesaikan sendiri karena itu adalah bentuk dari kesalahan mereka, menunjukan bahwa sikap menolong dan membantu orang lain yang dimiliki siswa masih dinyatakan kurang bahkan tidak ada. Pembelajaran IPS di kelas yang menunjukan rendahnya sikap empati siswa yang dilihat dari jawaban yang disampaikan siswa, disadari karena pembelajaran yang kurang memperhatikan pengalaman siswa untuk belajar dengan cara pengamatan secara langsung ke lingkungan lingkungan sosial. Dalam teori belajar behavioristik menyatakan bahwa perubahan tingkah laku siswa yang tahan lama merupakan hasil belajar berdasarkan pengalaman (dalam Wilis, 2006, hlm. 96). Pembelajaran yang mengkondisikan siswa berpengalaman dalam hal mengetahui dan melihat secara langsung permasalahan yang terjadi di masyarakat menurut teori tersebut dapat merubah tingkah laku siswa. Pembelajaran yang belum menerapkan pembelajaran siswa dari pengalaman secara langsung dengan melihat kondisi masyarakat yang diketahui membuat aspek sikap empati kurang bisa dibangun dalam pembelajaran IPS.
5 Permasalahan guru kurang memfasilitasi siswa dalam pembelajaran yang berbasis masyarakat atau fenomena pengalaman yang ada di sekitar masyarakat dapat diketahui ketika siswa belum pernah mendapatkan tugas yang menugaskan mereka untuk belajar melalui fenomena masyarakat sekitar. Hal tersebut akan berdampak pada rendahnya kepekaan sosial dan sikap empati pada masyarakat yang ada di dalam diri siswa, karena pembelajaran berdasarkan pengalaman di masyarakat merupakan pembelajaran yang paling bermakna pada aspek afektif siswa (dalam Darsono, 2008, hlm. 40). Proses pembelajaran yang belum berbasis pada lingkungan sekitar, mengakibatkan nilai sikap sosial yang terdapat dalam kehidupan sosial bermasyarakat belum seutuhnya dimiliki siswa. Nilai-nilai yang dimaksud salah satunya adalah sikap empati. Sikap empati termasuk kedalam sikap peduli sosial dalam 18 nilai karakter yang harus dimiliki siswa yang dicetuskan oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan. Sikap empati menjadi penting manakala kepedulian antar sesama mahluk sosial sudah semakin menurun. Tiadanya sikap empati yang dimiliki masyarakat akan berdampak pada kehidupan sosial yang acuh, tidak adanya sikap tolong menolong dan tidak peduli satu sama lain yang berakhir pada kerusakan nilai sosial dan karakter bangsa Indonesia. Paparan permasalahan dalam proses pembelajaran tersebut menghasilkan pendapat peneliti bahwa pembelajaran IPS di kelas VII-I belum mampu seutuhnya membangun sikap empati yang dimiliki siswa khususnya untuk berempati pada masyarakat berekonomi menengah ke bawah dan masyarakat yang hak-hak untuk kehidupan layaknya tidak tercapai dengan baik atau dapat dikatakan masyarakat marjinal. Pemecahan masalah rendahnya sikap empati yang dimiliki siswa terhadap kaum marjinal perkotaan adalah menerapkan pembelajaran yang berorientasi pada siswa dan menekankan pada pembelajaran yang berdasarkan pengalaman siswa dalam berinterakasi secara langsung di masayarakat sosial. Pembelajaran harus memposisikan siswa untuk berpengalaman dalam melihat masalah sosial masyarakat secara langsung. Pembelajaran tersebut dapat dipenuhi dengan
6 pembelajaran menggunakan metode inkuiri sosial. Metode inkuiri sosial digunakan karena pembelajaran melalui metode inkuiri sosial akan melibatkan pengalaman siswa untuk mengamati secara langsung ke masyarakat tentang permasalahan dan kasus-kasus yang terjadi di lingkungan sekitar. Proses pembelajaran metode inkuiri sosial ini membuat pembelajaran menjadi student centered atau pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pembelajaran inkuiri sosial ini berisi tahapan tahapan yaitu orientasi, merumuskan masalah, merumuskan hipotesis, mengumpulkan data dengan pengamatan atau observasi, menguji hipotesis, pemecahan masalah dan kesimpulan. Pengembangan nilai sikap terjadi pada proses tahapan mengumpulkan data melalui pengamatan di masyarakat secara langsung. Proses pengumpulan data dapat dikorelasikan dengan pengembangan sikap empati yang dimiliki siswa. Berdasarkan teori Skinner (dalam Fathiyah, 2003, hlm. 74), menyatakan bahwa sikap dan karakter manusia akan tercipta ketika manusia dianggap melakukan tindakan-tindakan atas inisiatif sendiri dari lingkunganya. Teori tersebut menegaskan bahwa sikap manusia khususnya sikap empati akan timbul ketika manusia tersebut masuk dan bertindak di dalam lingkungan masyarakat. Tindakan pengumpulan data yang dilakukan sesuai tahapan dalam metode inkuiri sosial akan melibatkan siswa secara langsung kedalam materi yang akan dibahas guna mencapai kebutuhan pembelajaran dalam aspek afektif. Menurut Banks (dalam Darsono, 2008, hlm. 42) pembelajaran inkuiri sosial juga mengkondisikan siswa pada pembelajaran berbasis pengalaman. Pengalaman dalam konteks membangun sikap empati melalui metode inkuiri sosial adalah pengalaman siswa dalam mengetahui, mempelajari dan melihat secara langsung kondisi masyarakat marjinal perkotaan. Pembelajaran inkuiri sosial menggunakan masyarakat marjinal perkotaan dikarenakan sekolah dan tempat tinggal siswa berada di dalam kota. Melalui penerapan metode inkuiri sosial maka guru akan mudah membantu mengembangkan diri siswa sebagai tanggung jawabnya karena pembelajaran inkuiri sosial ini merupakan pembelajaran yang menggunakan permasalahan alami yang ada di masyarakat. Siswa dituntut untuk berperan aktif selama
7 proses pembelajaran mulai dari merumuskan masalah hingga mendapatkan kesimpulan. Guru memfasilitasi siswa dengan penggunaan lembar kerja siswa yang dibuat secara khusus oleh guru untuk melihat pola pikir dan cara bersikap siswa dalam menghadapi masyarakat marjinal perkotaan. Pembelajaran berbasis pengalaman ini jika dikaitkan dengan teori belajar behavioristik akan berdampak pada perubahan sikap dan tingkah laku. Pembelajaran yang berorientasi pada pengalaman siswa merupakan pembelajaran yang efektif dalam pembentukan sikap yang dimiliki siswa. Pendapat ini diperkuat oleh Bandura, 1977 (dalam Permana, 2006) yang mengemukakan teori belajar Social Learning Theories, bahwa seseorang mengontrol lingkungan menggunakan pengalaman tindakan yang pernah ia lakukan maupun pengalaman tindakan yang pernah ia lihat secara langsung. Pengalaman siswa dalam hal ini adalah pengalaman siswa dalam mempelajari dan melihat kondisi masyarakat secara langsung. Peneliti berasumsi yang berasal dari teori tersebut bahwa apa yang dipelajari oleh manusia secara langsung berdasarkan pengalamannya akan berpengaruh atas kepribadian dan sikapnya di masa datang. Penelitian sebelumnya yakni penelitian dalam thesis Permana (2006, hlm. 32) yang berjudul Penerapan Metode Pembelajaran Berbasis Masalah Sosial dalam Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis dan Kepekan Sosial Siswa SD, menyatakan bahwa kepekaan sosial maupun kesadaran sosial akan terjadi apabila adanya pengalaman individu dalam melihat masalah secara langsung. Siswa yang dituntut untuk melihat dan memecahkan masalah secara langsung di lingkungan masyarakat akan meningkatkan cara berfikir dan munculnya sikap kepekaan sosial siswa. Pengalaman belajar individu hakikatnya adalah hasil interaksi antar pribadi individu dengan lingkungannya. Bandura, 1977 (dalam Permana, 2010) menyatakan bahwa perilaku individu yang berbeda- beda dapat dipelajari melalui proses pengkondisian kelas, simulasi dan belajar melalui pengamatan. Berdasarkan teori yang disampaikan Bandura, peneliti memilih pembelajaran melalui pengamatan, bukan pembelajaran melalui pengkondisian kelas maupun simulasi. Pemilihan cara
8 belajar dari pengamatan ini tersalurkan dengan menggunakan metode inkuiri sosial. Inkuiri sosial diyakini bahwa merupakan metode pembelajaran karena terdapat tahapan pengamatan sosial yang kemudia dipahami merupakan tahapan dan proses pembelajaran yang tepat dalam mengembangkan kemampuan sikap siswa utamanya sikap empati. Hal tersebut karena siswa dikondisikan untuk mengamati dengan melihat dan berkomunikasi secara langsung dengan masyarakat sehingga akan adanya interaksi siswa dengan masyarakat marjinal. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Permana (2010, hlm. 78) yakni kepekaan sosial muncul karena ada pengalaman individu dalam proses observasi dalam waktu sebelumnya. Upaya yang dapat dilakukan oleh guru adalah mengklarifikasikan pengalaman tersebut dan mengembangkannya di kelas melalui rekonstruksi dengan melibatkan siswa dalam aktifitas sosial dan pembelajaran. Pendapat Kohlberg (dalam Mawardi, 2012, hlm. 12) yakni faktor penting sebagai perangsang tahap penalaran moral adalah faktor pengalaman sosial yang disebut oleh Kohlberg kesempatan alih peran. Alih peran dalam pengalaman sosial yaitu mengambil sikap dari sudut pandang orang lain, menjadi dasar pemikiran, perasaan, dan menempatkan diri menjadi orang lain. Oleh karena itu, peneliti memiliki pemikiran bahwa jika siswa belajar dengan melihat pengalaman kehidupan orang lain akan mempermudah peserta didik itu untuk larut dalam kehidupan dan merasaan dengan perasaan mereka tentang kehidupan masyarakat yang sedang mereka amati. Proses pembelajaran tersebut dapat diterapkan baik di dalam kelas maupun di luar kelas. Penerapan pengalaman orang lain sebagai media pembelajaran untuk pembentukan sikap empati di luar kelas dapat dikondisikan penugasan observasi lapangan, sedangkan proses belajar di dalam kelas dapat dilakukan dengan mewawancarai masyarakat marjinal secara langsung di dalam sekolah maupun kelas. Hal tersebut merupakan cara terbaik untuk membentuk sikap empati para peserta didik terhadap kaum marginal perkotaan yang akan mereka amati. Berdasarkan indikasi-indikasi permasalah yang terjadi di kelas VII I SMP Negeri 5 Bandung dan dengan mengaitkan antara permasalahan dengan
9 pemecahaan permasalahanya, peneliti mengambil satu keputusan dalam pemberian judul Penelitian Tindakan Kelas (PTK) yakni memberikan judul penelitian ini dengan Membangun Sikap Empati Terhadap Kaum Marjinal Perkotaan Melalui Metode Inkuiri Sosial Dalam Pembelajaran IPS (Penelitian Tindakan Kelas Terhadap Siswa Kelas VII I SMP Negeri 5 Bandung Tahun Ajaran 2013/2014). B. Identifikasi Masalah Permasalahan yang diteliti dalam penelitian ini adalah permasalahan penerapan penggunaan metode inkuiri sosial dalam upaya untuk membangun sikap empati terhadap kaum marjinal perkotaan yang dimiliki oleh siswa. Peneliti membatasi masalah yang dikaji kedalam ranah proses perencanaan metode inkuiri sosial dalam membangun sikap empati terhadap kaum marjinal perkotaan, proses pelaksanaan metode inkuiri sosial dalam membangun sikap empati terhadap kaum marjinal perkotaan, dan pemberian solusi terhadap kendala yang dihadapi selama proses penerapan metode pembelajaran tersebut. C. Rumusan Masalah Rumusan masalah secara umum penelitian ini adalah bagaimana pembelajaran IPS dengan metode inkuiri sosial dapat membangun sikap empati terhadap isu kemiskinan terutama kaum marjinal perkotaan peserta didik jenjang pendidikan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Secara lebih terperinci, di bawah ini adalah rumusan masalah yang akan dikaji dalam Penelitian Tindakan Kelas sebagai berikut. 1. Bagaimana tahap perencanaan pelaksanaan pembelajaran IPS yang menggunakan metode inkuiri sosial dalam rangka membangun sikap empati terhadap kaum marjinal perkotaan di kelas VII I SMP Negeri 5 Bandung? 2. Bagaimana pelaksanaan pembelajaran IPS yang menggunakan metode inkuiri sosial dalam rangka membangun sikap empati terhadap kaum marjinal perkotaan di kelas VII I SMP Negeri 5 Bandung? 3. Apa solusi untuk mengatasi kendala yang dihadapi guru ketika menerapkan metode inkuiri sosial dalam membangun sikap empati terhadap kaum marjinal perkotaan dalam pembelajaran IPS?
10 4. Bagaimana tingkat perkembangan sikap empati terhadap kaum marjinal perkotaan setelah pelaksanaan penerapan metode inkuiri sosial di kelas VII I SMP Negeri 5 Bandung? D. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dibuat dan dilaksanakan adalah sesuai dengan rumusan masalah yang yang ditentukan. Pertama peneliti bertujuan untuk dapat mengidentifikasikan tahapan perencanaan pembelajaran IPS untuk membangun sikap empati siswa melalui metode inkuiri sosial. Tujuan penelitian berikutnya adalah untuk menganalisis dan melakukan verifikasi proses ketercapaian penerapkan metode inkuiri sosial dalam menbangun sikap empati siswa terhadap kaum marjinal perkotaan. Sementara tujuan ketiga adalah untuk mengetahui solusi yang solutif untuk mengatasi kendala yang dihadapi oleh guru dalam mengembangkan pembelajaran sikap empati khususnya sikap empati terhadap kaum marjinal perkotaan. E. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini dapat digunakan oleh beberapa pihak terkait yakni guru, siswa, dan peneliti. Di bawah ini adalah manfaat penelitian tindakan kelas yang lakukan. a. Manfaat bagi guru 1. Mengetahui permasalahan yang terjadi di dalam kelas terutama permasalahan dari segi sikap peserta didik terutama sikap empati peserta didik terhadap kaum marjinal perkotaan. 2. Memperbaiki pendekatan, model, dan metode pembelajaran yang berbasis pembentukan sikap empati siswa. b. Manfaat bagi siswa 1. Meningkatkan keefektifan proses pembelajaran bagi siswa. 2. Membangun pendidikan berbasis sikap pada siswa sesuai dengan tujuan pembelajaran kurikulum 2013 dan menciptakan siswa yang memiliki sikap empati terhadap kaum marjinal. 3. Melatih siswa untuk belajar berdasarkan pengalaman yang dialami.
11 4. Melatih siswa untuk dapat mengambil makna dan nilai-nilai sosial yang ada di sekitar lingkungan masyarakat. 5. Membuat siswa peka akan permasalahan lingkungan sosial terutama kasus-kasus kemiskinan di sekitarnya. c. Manfaat bagi Peneliti 1. Mengingkatkan keterampilan membuat penelitian tindakan kelas. 2. Mendapatkan ilmu untuk berprofesi sebagai guru IPS secara langsung di lapangan/ di kelas. 3. Penyelesaian studi S1 peneliti di jurusan Pendidikan IPS. F. Struktur Organisasi Penelitian Sistematika penulisan dalam penyusunan skripsi ini akan dipaparkan melalui penjelasan berikut. BAB I PENDAHULUAN Bab ini peneliti memaparkan mengenai perihal latar belakang penelitian, rumusan rumusan masalah penelitian, tujuan dan manfaat penelitian serta sistematika penulisan. BAB II KAJIAN PUSTAKA Bab ini membahas mengenai pemaparan konsep-konsep dan teori-teori pendukung penelitian ini. Konsep dan teori yang dipaparkan yaitu tetang metode inkuri sosial dalam rangka membangun sikap empati terhadap kaum marjinal perkotaan. Kaji pustaka ini yang diambil dari berbagai literature, mulai dari buku, skripsi, thesis, disertasi, jurnal, artikel, dan pustaka-pustaka lain yang dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan akurasinya. BAB III METODE PENELITIAN Bab ini memaparkan tahapan-tahapan penelitian yang dilakukan peneliti dalam upaya menyelesaikan penelitian. Tahapan yang dijelaskan dalam bab ini adalah dimulai dari metode penelitian yang digunakan, tahap persiapan, prosedur pelaksanaan, analisis data yang mencangkup sumber data, teknik pengumpulan data dan alat pengumpul data. BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
12 Bab ini menghadirkan hasil data penelitian yang didasarkan pada data nyata dan informasi yang berasal dari sumber-sumber literatur yang kapabilitas dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. BAB V SIMPULAN DAN SARAN Memaparkan garis besar dan simpulan atas hasil penelitian yang dilakukan dan dihasilkan dari penelitian yang dilakukan peneliti sebagai jawaban atas rumusan masalah dalam penelitian. Dan juga dalam bab ini, peneliti menuliskan saran-saran bagi kesemua pihak yang terkait dalam penelitian ini yaitu mulai dari guru, siswa, dan para pihak-pihak lain yang tertarik untuk membahasa hal yang sama dalam penelitian-penelitian lain.