BAB 1 PENDAHULUAN. dilakukan sebagian besar oleh remaja kita yang masih duduk dibangku sekolah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada perkembangan zaman saat ini, perilaku berciuman ikut dalam

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa. reproduksi sehingga mempengaruhi terjadinya perubahan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang No.23 Tahun 1992 mendefinisikan bahwa kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang rata-rata masih usia sekolah telah melakukan hubungan seksual tanpa merasa

BAB I PENDAHULUAN. melalui perubahan fisik dan psikologis, dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Remaja adalah mereka yang berusia diantara tahun dan merupakan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pemahaman masyarakat tentang seksualitas sampai saat ini masihlah kurang.

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perilaku kesehatan reproduksi remaja semakin memprihatinkan. Modernisasi,

BAB I PENDAHULUAN. kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 2007). World Health

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja-remaja di Indonesia yaitu dengan berkembang pesatnya teknologi internet

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. belahan dunia, tidak terkecuali Indonesia. Tahun 2000 jumlah penduduk

BAB 1 : PENDAHULUAN. produktif. Apabila seseorang jatuh sakit, seseorang tersebut akan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Di seluruh dunia, lebih dari 1,8 miliar. penduduknya berusia tahun dan 90% diantaranya

BAB I PENDAHULUAN. Periode perkembangan manusia terdiri atas tiga yaitu masa anak-anak,

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Dalam masa ini remaja mengalami pubertas, yaitu suatu periode

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan antara anak-anak yang dimulai saat

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah-masalah pada remaja yang berhubungan dengan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko atas

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. peka adalah permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kematangan seksual

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terjadinya peningkatan minat dan motivasi terhadap seksualitas. Hal ini dapat

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. data BkkbN tahun 2013, di Indonesia jumlah remaja berusia tahun sudah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan era global saat ini membawa remaja pada fenomena maraknya

BAB I PENDAHULUAN. dari 33 menjadi 29 aborsi per wanita berusia tahun. Di Asia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan salah satu tahap dalam kehidupan manusia. Tahap ini

BAB I PENDAHULUAN. Seks bebas adalah hubungan seksual terhadap lawan jenis maupun

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Seksualitas merupakan bagian integral dari kepribadian yang tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. remaja merupakan masa peralihan dari masa kanak-kanan menuju masa dewasa.

BAB 1 PENDAHULUAN. jumlah remaja dan kaum muda berkembang sangat cepat. Antara tahun 1970 dan

SKRIPSI. Proposal skripsi. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S-1 Kesehatan Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB 1 PENDAHULUAN. harus menghadapi tekanan-tekanan emosi dan sosial yang saling bertentangan.

BAB I PENDAHULUAN. dewasa yang meliputi semua perkembangannya yang dialami sebagai. persiapan memasuki masa dewasa (Rochmah, 2005). WHO mendefinisikan

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan fisik remaja di awal pubertas terjadi perubahan penampilan

BAB I PENDAHULUAN. setiap individu yaitu merupakan periode transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa

BAB 1 PENDAHULUAN. dipungkiri kenyataan bahwa remaja sekarang sudah berperilaku seksual secara bebas.

BAB 1: PENDAHULUAN. Perubahan-perubahan ini akan mempengaruhi perkembangan jiwa dan pertumbuhan tubuh.

BAB I PENDAHULUAN. depan. Keberhasilan penduduk pada kelompok umur dewasa sangat. tergantung pada masa remajanya (BKKBN, 2011).

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai pengenalan akan hal-hal baru sebagai bekal untuk mengisi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut World

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. sama yaitu mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai pertualangan dan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa anak-anak

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, khususnya remaja. Berdasarkan laporan dari World Health

BAB I PENDAHULUAN. seks mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan seksnya, mereka

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. topik yang menarik untuk dibicarakan. Topik yang menarik mengenai masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang ditandai adanya proses perubahan pada aspek fisik maupun psikologis

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa.

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa dalam perkembangan hidup manusia. WHO

BAB I PENDAHULUAN. Tindakan seksual pranikah umumnya berawal dari masa pacaran atau masa penjajakan.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat

BAB I PENDAHULUAN. dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat (Sarwono, 2001)

BAB I PENDAHULUAN. penerus bangsa diharapkan memiliki perilaku hidup sehat sesuai dengan Visi Indonesia Sehat

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai pendahuluan dalam babi secara garis besar memuat penjelasan

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia yang didalamnya penuh dengan dinamika. Dinamika kehidupan remaja ini

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. karena kehidupan manusia sendiri tidak terlepas dari masalah ini. Remaja bisa dengan

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja kota besar khususnya Jakarta semakin berani melakukan hubungan

BAB 1 : PENDAHULUAN. remaja tertinggi berada pada kawasan Asia Pasifik dengan 432 juta (12-17 tahun)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perkembangan zaman yang semakin pesat, menuntut. masyarakat untuk bersaing dengan apa yang dimilikinya di era

BAB I PENDAHULUAN. yang belum menikah cenderung meningkat. Hal ini terbukti dari beberapa

BAB I PENDAHULUAN. goncangan dan stres karena masalah yang dialami terlihat begitu

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. baik fisik, psikologis, intelektual maupun sosial. Baik buruknya perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. untuk dibicarakan. Hal ini dimungkinkan karena permasalahan seksual telah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. merupakan salah satu harapan bangsa demi kemajuan Negara, dengan

BAB I PENDAHULUAN. perilaku remaja dalam pergaulan saat ini. Berbagai informasi mampu di

BAB I PENDAHULUAN. Terjadinya kematangan seksual atau alat-alat reproduksi yang berkaitan dengan sistem

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Remaja diidentifikasikan sebagai masa peralihan antara anak-anak ke masa

BAB 1 PENDAHULUAN. bentuk modernitas bagi sebagian remaja. Pengaruh informasi global (paparan media

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa,

SKRIPSI Diajukan UntukMemenuhi Salah Satu Persyaratan Meraih Derajat Sarjana S-1 Keperawatan. Oleh : ROBBI ARSYADANI J

BAB 1 PENDAHULUAN. menuju masyarakat modern, yang mengubah norma-norma, nilai-nilai dan gaya

BAB 1 PENDAHULUAN. Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh,

BAB 1 PENDAHULUAN. Y, 2009). Pada dasarnya pendidikan seksual merupakan suatu informasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja dikenal sebagai masa peralihan dari anak-anak menuju

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan periode transisi antara masa anak-anak ke masa dewasa

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memunculkan masalah-masalah sosial (sosiopatik) atau yang biasa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB I PENDAHULAN. Kasus kenakalan remaja semakin menunjukkan trend yang sangat. kelompok, tawuran pelajar, mabuk-mabukan, pemerasan, pencurian,

BAB I PENDAHULUAN.

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja yang dalam bahasa Inggris adolesence, berasal dari bahasa latin

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ekonomi. Remaja akan mengalami transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada

HUBUNGAN ANTARA PENALARAN MORAL DAN GAYA PACARAN DENGAN KECENDERUNGAN MEMBELI KONDOM PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

Riska Megayanti 1, Sukmawati 2*, Leli Susanti 3 Universitas Respati Yogyakarta *Penulis korespondensi

BAB I PENDAHULUAN. Menurut WHO, remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. aktivitas seksual remaja juga cenderung meningkat baik dari segi kuanitas

Transkripsi:

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perilaku seksual pada remaja akhir-akhir ini telah menjadi topik yang sangat serius dan memprihatinkan. Banyak kasus mengenai perilaku seksual yang terjadi dilakukan sebagian besar oleh remaja kita yang masih duduk dibangku sekolah terutama siswa SMA dan bahkan siswa SMP. Hal ini dapat terjadi karena masa remaja sering diidentikkan dengan masa berpacaran dan bagi sebagian besar remaja, makna pacaran telah diartikan juga sebagai masa untuk belajar melakukan perilaku seksual dengan lawan jenis, mulai dari berpegangan tangan, ciuman ringan, ciuman hebat, saling masturbasi, melakukan oral sex bahkan sexual intercourse (Pangkahila, 1997 dalam Dien Nursal, 2008). Menurut Deagnova & Rice (2005) bahwa pacaran yang dilakukanremaja lebih berorientasi seksual dengan adanya peningkatan jumlah kaum muda yangsemakin tertarik untuk melakukan hubungan seksual. Perilaku seksual menurut Sarwono (2008) adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik lawan jenisnya maupun dengan sesama jenisnya. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, resiko merupakan akibat yang kurang menyenangkan (merugikan, membahayakan) dari suatu perbuatan atau tindakan. Sehingga perilaku seksual yang beresiko merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual dan berakibat merugikan bagi individu yang melakukannya. Perilaku seksual yang berisiko ini dapat mengarahkan pada kehamilan 1 66

2 yang tidak dikehendaki, aborsi yang tidak aman, dan memperluas penyebaran penyakit menular seksual (Moeliono, 2004). Meskipun memiliki resiko namun perilaku tersebut masih dilakukan oleh para remaja, terutama pada masa pacaran. Survey yang diberi nama 1999 Global Sex Survey, A Youth Perspective, mengambil 4.200 responden berusia 16-21 tahun dari 14 negara, yakni Amerika, Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, Taiwan, Italia, Yunani, Meksiko, Polandia, Singapura, Republik Czech, Spanyol, dan Thailand. Hasil diperoleh bahwa remaja di Kanada dan Amerika menduduki peringkat paling muda dalam melakukan hubungan seks yakni 15 tahun, diikuti Inggris umur 15,3, Jerman umur 15,6, dan Perancis pada umur 15,8 tahun. Remaja di Asia Tenggara cenderung melakukan seks lebih telat. Remaja Thailand mulai melakukan seks pada umur 16,5 tahun, dan Taiwan umur 17 tahun (Munawaroh, 2010). Perilaku seksualberisiko pada remaja di USA dalam kurunwaktu tahun 1999 sampai dengan tahun2006 menunjukkan hasil bahwa 358gadis remaja usia 14-17 tahun telahmelakukan salah satu dari delapan perilakuseksual yaitu ciuman, menyentuhpayudara, menyentuh alatkelamin,menyentuh sekitar genital, melakukanoral seks, anal seks atau vaginal seks(fortenberry, et al, 2011).Menurut leonalrd sax (2007) menyatakan bahwa hubungan seksual remaja semakin keluar dari konteks hubungan romantis, dalam arti murni seksual. Dengan tingkat kehamilan remaja AS lebih tinggi daripada di banyak negara maju lainnya. Setelah menurun sejak tahun 1991, tingkat kehamilan remaja naik 3% pada 2006, menjadi 41,9 per 1.000 kelahiran (http//americaniseksual.org).

3 Survey senada dilakukan oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) pada 2003 di Bandung, Jakarta, dan Yogyakarta. Hasil survey PKBI menyimpulkan bahwa sebanyak 85 persen remaja berusia 13-15 tahun mengaku telah berhubungan seks dengan pacar mereka (Republika, 2007). Penelitian lain dilakukan dibandung tahun 1991 menunjukkan dari pelajar SMP, 10,53% pernah melakukan ciuman bibir, 5,6% melakukan ciuman dalam, dan 3,86% pernah berhubungan seksual (Osholikhin, 2001). Sekitar 1 milyar manusia atau 1 dari 6 manusia di bumi ini adalah berusia remaja dan 85% diantaranya hidup di negara berkembang (UNFPA, 2000). Banyak sekali remaja yang sudah aktif secara seksual meski bukan atas pilihannya sendiri. Berdasarkan survey kesehatan reproduksi yang dilakukan Badan Kesehatan KeluargaBerencana Nasional (BKKBN) 2010, sekitar 92% remaja yang berpacaran, salingberpegangan tangan, ada 82% yang saling berciuman, dan 63% remaja yang berpacaran tidakmalu untuk saling meraba (petting) bagian tubuh kekasih mereka yang seharusnya tabu untukdilakukan. Sedangkan tempat favorit untuk melakukan hubunganseksual adalah di rumah sebanyak 40%, di tempat kost 30% dan di hotel 30%. Penelitian yang dilakukan oleh Sekarrini (dalam Banun dkk, 2012) bahwa sebanyak 39,3% murid SMK Kesehatandaerah Kabupaten Bogor Tahun 2011 berperilaku seksualdalam kategori ringan seperti mengobrol, menonton filmberdua, jalan berdua, berpegangan tangan dan berpelukan.sedangkan sebanyak 60,7% berperilaku seksial berisikoberat seperti berciuman bibir, mencium leher,

4 merabadaerah erogen, bersentuhan alat kelamin dan melakukanhubungan seks. Penelitian senada dilakukan pula oleh Sari,dkk (2010) yang menemukan bahwa 26% remaja SMK di Kota Baturaja telah melakukan perilaku seksual berisiko tinggi dengan melibatkan alat kelamin baik berupamelakukan perabaan bagian sensitifpasangan, saling menempelkan alatkelamin ataupun melakukan hubungan seksselama pacaran. Dan 74% remaja melakukan perilaku seksual berisiko rendah dengan kategori pernah berduaan, memeluk atau berciuman selama pacaran. Penelitian Puslit Ekologi Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan,Depkes R.I tahun 1990 terhadap siswa-siswa di Yogyakarta menyebutkanbahwa faktor utama yang mempengaruhi remaja untuk melakukan perilaku seksual berisiko adalah membaca buku porno dan menonton film pornoadalah 49,2%. Motivasi utama melakukan senggama adalah saling tertarik75,6%, kebutuhan biologis 14 18% dan merasa kurang taat padanilai agama 20 26%. Pusat studi kriminologi Universitas Islam Indonesia diyogyakarta menemukan 26,35 % dari 846 peristiwa pernikahan telahmelakukan hubungan seksual sebelum menikah yang mana 50 %diantaranya menyebabkan kehamilan. Dari berbagai penelitianmenunjukkan perilaku seksual pada remaja ini mempunyai korelasi dengansikap remaja terhadap seksualitas (Soetjiningsih, 2004). Ditambahkan pula oleh Hakim (2012), umumnya remaja mengaku tertarik dan ingin mencoba perilaku seksual, melalui dikusi dengan teman sebaya dan setelah melihat gambar-gambar vulgar di majalah, televisi dan internet, serta kurangnya perhatian orangtua terhadap perkembangan serta pergaulan remaja sehingga akan

5 memperbesar kemungkinan terjadinya perilaku seks berisiko. Berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa remaja mendapatkan informasi seks terutama dari media massa dan teman sebaya. Tekanan media dan kelompok sebaya mendorong aktivitas seksual yang lebih permisif. Remaja dipengaruhi oleh model perilaku teman sebaya mereka dan norma sosial mereka. Tekanan dari teman sebaya seringkali membuat perilaku remaja ke hal-hal yang negatif (Yusuf, 2002). Soetjiningsih dalam penelitian disertasinya pada tahun 2008 juga menambahkan bahwa hubungan seksual yang pertama kali dilakukan oleh mayoritas remaja adalah saat duduk di bangku SMA atau pada usia 15-18 tahun. Pada penelitian tersebut diperoleh data bahwa dari 398 responden, sebanyak 239 remaja (60%) menyatakan bahwa tingkat perilaku seksual yang diperbolehkan adalah ciuman sambil berpelukan. Ciuman menjadi aktivitas seksual yang dianggap wajar oleh para remaja. Perilaku seksual berisiko tidak hanya terjadi pada remaja-remaja yang tinggal di kota besar, namun juga telah merambah ke daerah lain tidak terkecuali Provinsi Aceh. Hasil penelitian Dinas Kesehatan Provinsi Aceh tahun 2012 menyimpulkan, pasca tsunami di Aceh, perilaku seksual berisiko di kalangan pelajar semakin meningkat. Berdasarkan informasi, tercatat kejadian yang paling mengkhawatirkan terjadi di Kota Lhokseumawe yakni mencapai 70%, sementara Kota Banda Aceh yang merupakan ibu kota Provinsi Aceh mencapai 50%. Sementara itu data yang diperoleh dari Program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) di salah satu Puskesmas Banda Aceh juga cukup mengejutkan yaitu sejak tahun 2007 hingga 2011,

6 lebih dari 2000 remaja di Banda Aceh terlibat dalam seks pra nikah. Pada tahun 2007 ditemukan terdapat sekitar 133 kasus, tahun 2008 meningkat menjadi 197 kasus, dan pada tahun 2011 melonjak mencapai 600 kasus (Musliadi, 2014). Kekhawatiran terhadap semakin meningkatnya perilaku seksual berisiko di kalangan remaja khususnya di Aceh sangat beralasan dengan melihat sejarah Aceh sebagai daerah Serambi Mekkah dan efek buruk yang dihasilkan dari perilaku tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan di sebuah pesantren dan 3 SMU di Banda Aceh dan Aceh Besar oleh Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Aceh, dari 40 siswa ditemukan bahwa 90% diantaranya pernah mengakses film dan foto porno. Sebanyak 40% pernah melakukan aktivitas seksual seperti petting atau menyentuh organ intim pasangannya. Selain itu, sebanyak 5 dari 40 siswa tersebut mengaku pernah melakukan hubungan seksual pranikah bersama pacar. Perilaku seksual berisiko yang dilakukan remaja juga terjadi di Kota Langsa. Berdasarkan data BPS Kota Langsa (2013), jumlah penduduk Kota Langsa pada pertengahan tahun 2013 adalah 157.011 jiwa dan sebesar 41,48% atau 65.140 jiwa adalah remaja berusia10-24 tahun. Usia remaja dengan segala karakteristik fisik, sosial dan psikologisnya dihadapkan pada liberalisasi norma, sikap dan perilaku kesehatan reproduksi remaja yang berkaitan dengan perilaku seksualitas, napza dan HIV/AIDS atau yang sering disebut dengan Triad KRR, seiring dengan dimasukinya era globalisasi dengan segala konsekuensi negatifnya.

7 Informasi yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Langsa menyebutkan bahwa pada tahun 2013 penderita Penyakit Menular Seksual (PMS) telah berjumlah 13 orang dan remaja yang hamil pra nikah berjumlah 2 orang. Selain itu, Sekretaris Komisi Penanggulangan HIV/AIDS Provinsi (KPAP) Aceh, Ormaia Nya Oemar menyatakan bahwa hingga akhir Desember 2012 jumlah penderita HIV/AIDS di 23 Kabupaten/Kota di Aceh telah mencapai 161 kasus yang pada tahun 2011 hanya ada 131 kasus. Dari 23 Kabupaten/Kota, 10 kasus diantaranya terjadi di Kabupaten Aceh Timur dan Kota Langsa (www.republika.co.id). Salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya penyakit Perilaku Menular Seksual dan HIV/AIDS adalah perilaku seksual yang dilakukan secara bebas tanpa mengetahui resiko dan akibat yang dapat dimunculkan dari perilaku tersebut. Sejak diberlakukan hukum Syariat Islam di Aceh dan dikeluarkannya Qanun Nomor 14 tahun 2003 tentang Khalwat yaitu perbuatan mesum dan pergaulan bebas, Polisi Syariah di Kota Langsa yang dikenal dengan sebutan Wilayatul Hisbah (WH) telah menangkap sekitar 37 orang yang melanggar aturan di tahun 2014. Diantara 37 kasus, 11 diantaranya melibatkan remaja.beberapa remaja tersebut ditangkap di sebuah hotel dan ada juga yang ditangkap di rumah kos ketika sedang melakukan hubungan seksual. Data lain juga diperoleh peneliti dari Kepala Desa di salah satu daerah Kota Langsa yang dijadikan tempat wisata berupa hutan bakau dan pelabuhan. Beliau menyatakan bahwa hampir beberapa kali ketika berjalan-jalan dimalam hari untuk mengawasi lingkungannya menemukan pasangan yang sedang berpacaran di daerah

8 hutan bakau yang gelap dan sepi tersebut. Bahkan pernah juga beliau menemukan pasangan remaja yang sedang melakukan aktivitas seksual. Berdasarkan informasi dari salah seorang ahli pengobatan alternatif di Kota Langsa menyebutkan bahwa pada tahun 2014beliau telah menanggani pasien remaja yang telah hamil sebelum menikah sebanyak 9 orang. Selain itu pula, peneliti sendiri pernah berjalan-jalan ke suatu daerah di Kota Langsa dimana disepanjang jalan tersebut didominasi oleh pohon kelapa sawit dan kondisinya sepi serta melihat banyak pasangan remaja yang sedang pacaran sambil berpelukan, bahkan ada beberapa pasangan yang tidak malu untuk berciuman. Kota Langsa memiliki 14Sekolah Menengah Atas dan SMA Negeri 1 merupakan sekolah yang paling dikenal, terfavorit serta diunggulkan di Langsa. Banyak pelajar bersaing untuk dapat masuk ke sekolah tersebut. Berdasarkan wawancara yang dilakukan pada siswa SMA Negeri 1 Langsa didapatkan dari 32 siswa ternyata ada 15 siswa yang belum mengetahui tentang perilaku seksual berisiko, kesehatan reproduksi dan penyalahgunaannya serta dampak yang dimunculkan dari perilaku seksual berisiko. Dari wawancara juga ditemukan adanya persepsi bahwa jika tidak berpacaran maka dianggap tidak gaul, kuno dan dikatakan homo. Bahkan ada trend untuk mengganti-ganti pasangan pacaran dalam seminggu. Beberapa kasus mengenai perilaku seksual berisiko yang dilakukan selama pacaran juga ditemukan, seperti siswi yang masuk kelas dengan kondisi bibir terluka dan ketika ditanya lebih lanjut ternyata telah melakukan ciuman bersama sang pacar. Ada juga siswa yang ditemukan sedang mengakses situs porno melalui Handphoneketika

9 sedang istirahat dan 1 orang siswa lainnya ditemukan membawa film porno ke sekolah. Bahkan dampak perilaku seksual berisiko yaitu hamil di luar nikah terjadi pada 2 orang siswi yang mengakibatkan keduanya tidak dapat melakukan Ujian Nasional. Menghadapi fenomena yang terjadi pada remaja di Kota Langsa tersebut, beberapa upaya telah dilakukan seperti mengundang pihak kepolisian untuk melakukan penyuluhan ke sekolah-sekolah. Adapun dari tenaga kesehatan telah melakukan penyuluhan melalui Program Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja (PKPR) mengenai kesehatan reproduksi.hanya saja sampai saat ini, menurut informasi yang diperoleh, belum ada penyuluhan dengan topik perilaku seksual berisiko yang dilakukan di SMAN 1 Langsa dan belum pernah ada penelitian mengenai keefektifan promosi kesehatan yang dilakukan di sekolah tersebut. Menurut Green dan Kreuter (dalam Lestary, 2011) ada tiga faktor yang menyebabkan atau mempengaruhi perilaku berisiko pada remaja. Pertama adalah faktor predisposing atau faktor yang melekat atau memotivasi. Faktor ini berasal dari dalam diri seorang remaja yang menjadi alasan atau motivasi unruk melakukan suatu perilaku. Termasuk dalam faktor ini adalah pengetahuan, keyakinan, nilai, sikap, kepercayaan, kapasitas, umur, jenis kelamin, dan pendidikan. Kedua adalah faktor enabling atau faktor pemungkin. Faktor ini memungkinkan atau mendorong suatu perilaku dapat terlaksana. Faktor ini meliputi ketersediaan dan keterjangkauan sumber daya kesehatan, prioritas dan komitmen masyarakat/pemerintah terhadap kesehatan, keterampilan yang berkaitan dengan kesehatan, tempat tinggal, status

10 ekonomi, dan akses terhadap media informasi. Faktor ketiga adalah faktor reinforcing atau faktor penguat yaitu faktor yang dapat memperkuat perilaku. Faktor ini ditentukan oleh pihak ketiga atau orang lain yang meliputi keluarga, teman sebaya, guru, petugas kesehatan, tokoh masyarakat dan pengambil keputusan. Kurangnya pengetahuan yang benar tentang seksualitas mengakibatkan halhal yang berhubungan dengan perilaku seksual masih sangat tabu di kalangan masyarakat. Studi akhir menunjukkan bahwa hampir 50% dari responden berusia di bawah 15 tahun dan 75% berusia di bawah 19 tahun telah melakukan aktivitas seksual. Namun demikian, masih banyak remaja yang tidak mengetahui dan tidak menyadari akibat dari aktivitas seksual yang mereka lakukan, seperti hamil diluar nikah, bahkan gejala penyakit menular seksual (PMS). Akibatnya, terjadi peningkatan angka kelahiran tidak sah dan penyakit kelamin (Kumalasari dan Andhyantoro, 2012). Setiap tahun, satu dari dua puluh remaja seusia siswa SMA terinfeksi Penyakit Menular Seksual (PMS), dengan persentase tertinggi berada pada kelompok usia 15 sampai 19 tahun dengan ketidaktahuan mengenai PMS sebagai penyebabnya. Angka kejadian PMS dan HIV/AIDS ini cukup meresahkan sehingga menjadi suatu permasalahan yang sangat penting pada remaja. Oleh karena itu, promosi kesehatan tentang perilaku seksual berisiko amatlah perlu dan dapat dilakukan lewat berbagai cara, asal tepat cara pemberiannya karena pada prinsipnya masa remaja merupakan masa pembelajaran. Promosi kesehatan yang diselenggarakan guna meningkatkan pengetahuan, kesadaran, kemauan dan kemampuan remaja khususnya pelajar SMA

11 tentang perilaku seksual berisiko untuk mengantisipasi maraknya perilaku seks di kalangan remaja. Penyuluhan merupakan salah satu upaya promosi kesehatan yang efektif dalam meningkatkan pengetahuan remaja tentang perilaku seksual berisiko. Penyuluhan kesehatan merupakan suatu kegiatan yang dapat mempengaruhi perubahan responden meliputi pengetahuan. Hal ini dibuktikan dalam penelitian Pasaribu (2005) yang menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan dan sikap setelah dilakukan penyuluhan kesehatan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Syahlani (2011) terhadap 37 pelajar di SMP Negeri 5 Banjarmasin diperoleh hasil tingkat pengetahuan responden tentang perilaku seks bebas sebelum penyuluhan sebagian besar baik yaitu sebanyak 16 orang (43,24%), sedangkan tingkat pengetahuan kurang sebanyak 8 orang (21,62%). Tingkat pengetahuan responden tentang perilaku seks sesudah penyuluhan sebagian besar responden dengan tingkat pengetahuan baik yaitu sebanyak 28 orang (75,62%), dan responden dengan tingkat pengetahuan kurang sebanyak 2 orang (5,40%). Penyuluhan yang diberikan dapat dilakukan dengan berbagai metode diantaranya adalah metode ceramah dan diskusi kelompok terarah. Metode ceramah adalah metode penyuluhan yang dilakukan secara lisan kepada pendengar dan pembicara menjadi pemegang peran yang sangat penting dalam memberikan dan menjelaskan materi. Menurut LP3I Unair (2009) penyuluhan dengan menggunakan metode ceramah memiliki beberapa keunggulan antara lain: cepat untuk menyampaikan informasi, informasi yang disampaikan bisa masuk pada sasaran yang

12 cukup besar, sangat cocok digunakan oleh pengajar yang bukan berasal dari kalangan kelompok sasaran.penelitian yang dilakukan oleh Munawaroh (2010) menemukan bahwa metode ceramah yang dilakukan terhadap siswa SMA Ngrayun sebanyak 63 siswa efektif dalam meningkatkan pengetahuan remaja tentang perilaku seksual dengan perbedaan rata-rata sebelum dan sesudah dilakukan metode ceramah adalah sebesar 2,063. Metode lain yang dapat dilakukan dalam penyuluhan tentang pendidikan perilaku seksual berisiko adalah diskusi kelompok terarah. Menurut Irwanto (2006) diskusi kelompok terarah adalah suatu proses pengumpulan data dan informasi yang sistematis mengenai suatu permasalahan tertentu yang sangat spesifik melalui diskusi kelompok. Penyuluhan melalui diskusi kelompok terarah memiliki kelebihan dalam memberikan kemudahan dan peluang untuk menjalin keterbukaan, kepercayaan, dan memahami persepsi, sikap, serta pengalaman yang dimiliki informan. Diskusi kelompok terarah memungkinkan terjadinya diskusi intensif dan tidak kaku dalam membahas isu-isu yang sangat spesifik, juga memungkinkan untuk mengumpulkan informasi secara cepat dan konstruktif dari peserta yang memiliki latar belakang berbeda-beda. Di samping itu, dinamika kelompok yang terjadi selama berlangsungnya proses diskusi seringkali memberikan informasi yang penting, menarik, bahkan kadang tidak terduga. Ditambahkan pula oleh Henning dan Cloumbia (1990) diskusi kelompok terarah adalah wawancara dari sekelompok kecil orang yang dipimpin oleh seorang narasumber yang secara halus mendorong peserta untuk berani berbicara terbuka dan

13 spontan tentang hal yang dianggap penting yang berhubungan dengan topik diskusi saat itu. Interaksi diantara peserta merupakan dasar untuk memperoleh informasi. Peserta mempunyai kesempatan yang sama untuk mengajukan dan memberikan pernyataan, menanggapi, berkomentar maupun mengajukan pertanyaan. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Sahertian, dkk (2002) menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan pada kelompok yang diberi intervensi dengan metode diskusi kelompok pada orang tua tentang reproduksi sehat remaja. Berdasarkan uraian yang dipaparkan di atas maka peneliti tertarik untuk mengadakan penyuluhan tentang perilaku seksual berisiko di SMAN 1 Langsa. Penyuluhan dilakukan dengan metode ceramah dan diskusi dan selanjutnya dibandingkan keefektifan antara kedua metode tersebut terhadap peningkatan pengetahuan dan sikap siswa tentang perilaku seksual berisiko. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimana efektivitas metode ceramah dan diskusi kelompok terarah dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap siswa tentang perilaku seksual berisiko di SMAN 1 Langsa. 1.3 TujuanPenelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas metode ceramah dan metode diskusi dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap siswa tentang perilaku seksual berisiko di SMAN 1 Langsa.

14 1.4 Hipotesis Hipotesis dalam penelitian ini adalah : 1. Ada perbedaan rata-rata pengetahuan dan sikap siswa sebelum dan sesudah mendapatperlakuandengan metode ceramah tentangperilakuseksualberisiko di SMAN-1 Langsatahun 2015. 2. Ada perbedaan rata-rata pengetahuan dan sikap siswa sebelum dan sesudah mendapatperlakuandengan metode diskusitentangperilakuseksualberisiko di SMAN-1 Langsatahun 2015. 3. Metode diskusi lebih efektif dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap siswa tentang perilaku seksualberisiko di SMAN-1 Langsatahun 2015. 1.5 Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini adalah: 1. Bagi Dinas Kesehatan Sebagai masukan bagi pengelola program dalam mengetahui metode penyuluhan dan diskusi kelompok terarah cukup efektif dalam pencegahan perilaku seksual bagi para remaja khususnya siswa SMAN 1 Langsa. 2. Bagi Masyarakat Sebagai informasi tambahan dalam mencegah perilaku seksual di kalangan pelajar pada umumnya.