BAB IV Hasil Dan Pembahasan

dokumen-dokumen yang mirip
ANALISIS HUJAN BULAN MEI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN JULI, AGUSTUS DAN SEPTEMBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

KATA PENGANTAR TANGERANG SELATAN, MARET 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG. Ir. BUDI ROESPANDI NIP

EVALUASI CUACA BULAN JUNI 2016 DI STASIUN METEOROLOGI PERAK 1 SURABAYA

ANALISIS KLIMATOLOGI BANJIR BANDANG BULAN NOVEMBER DI KAB. LANGKAT, SUMATERA UTARA (Studi Kasus 26 November 2017) (Sumber : Waspada.co.

ANALISIS HUJAN BULAN JANUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN MARET, APRIL, DAN MEI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

Propinsi Banten dan DKI Jakarta

ANALISIS HUJAN BULAN JUNI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN AGUSTUS, SEPTEMBER DAN OKTOBER 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN PEBRUARI 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN APRIL, MEI DAN JUNI 2011 PROVINSI DKI JAKARTA

ANALISIS HUJAN BULAN OKTOBER 2011 DAN PRAKIRAAN HUJAN BULAN DESEMBER 2011, JANUARI DAN FEBRUARI 2012 PROVINSI DKI JAKARTA 1.

BADAN METEOROLOGI, KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG TANGERANG

I. INFORMASI METEOROLOGI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

I. INFORMASI METEOROLOGI

I. INFORMASI METEOROLOGI

KATA PENGANTAR. Banjarbaru, Oktober 2012 Kepala Stasiun Klimatologi Banjarbaru. Ir. PURWANTO NIP Buletin Edisi Oktober 2012

I. INFORMASI METEOROLOGI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG ANALISIS MUSIM KEMARAU 2013 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2013/2014

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2015 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2015/2016

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISIS KLIMATOLOGI TERKAIT BANJIR DI KAB. SERDANG BEDAGAI, SUMATERA UTARA (Studi Kasus 16 dan 18 September 2017)

ANALISIS KLIMATOLOGI HUJAN EKSTRIM BULAN JUNI DI NEGARA-BALI (Studi Khasus 26 Juni 2017)

Musim Hujan. Musim Kemarau

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI KLAS II PONDOK BETUNG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

TINJAUAN KLIMATOLOGIS KEJADIAN BANJIR DI KOTA PONTIANAK TANGGAL 15 FEBRUARI 2017

BAB I PENDAHULUAN. perencanaan dan pengelolaan sumber daya air (Haile et al., 2009).

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

Prakiraan Musim Kemarau 2018 Zona Musim di NTT KATA PENGANTAR

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

Tinjauan Pustaka. II.1 Variabilitas ARLINDO di Selat Makassar

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BAB I Pendahuluan I.1 Latar Belakang I.1.1 Historis Banjir Jakarta

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISIS CUACA KEJADIAN BANJIR TANGGAL 26 OKTOBER 2017 DI BANDARA PONGTIKU KABUPATEN TANA TORAJA

KATA PENGANTAR KUPANG, MARET 2016 PH. KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI LASIANA KUPANG CAROLINA D. ROMMER, S.IP NIP

KATA PENGANTAR. Segala kritik dan saran sangat kami harapkan guna peningkatan kualitas publikasi ini. Semoga bermanfaat.

KATA PENGANTAR. Semarang, 22 maret 2018 KEPALA STASIUN. Ir. TUBAN WIYOSO, MSi NIP STASIUN KLIMATOLOGI SEMARANG

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PADA ZONA MUSIM (ZOM) (DKI JAKARTA)

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MALI - ALOR

EVALUASI MUSIM HUJAN 2007/2008 DAN PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2008 PROVINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

ANALISIS MUSIM KEMARAU 2011 DAN PRAKIRAAN MUSIM HUJAN 2011/2012 PROVINSI DKI JAKARTA

STASIUN METEOROLOGI TANJUNGPANDAN

KATA PENGANTAR PANGKALPINANG, APRIL 2016 KEPALA STASIUN METEOROLOGI KLAS I PANGKALPINANG MOHAMMAD NURHUDA, S.T. NIP

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

Analisis Hujan Bulan Juni 2012 Iklim Mikro Bulan Juni 2012 Prakiraan Hujan Bulan Agustus, September dan Oktober 2012

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT & PROSPEK CUACA WILAYAH NUSA TENGGARA TIMUR DESEMBER 2016 JANUARI 2017 FORECASTER BMKG EL TARI KUPANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KATA PENGANTAR REDAKSI. Pengarah : Wandayantolis, S. SI, M. Si. Penanggung Jawab : Subandriyo, SP. Pemimpin Redaksi : Ismaharto Adi, S.

KATA PENGANTAR. merupakan hasil pemutakhiran rata-rata sebelumnya (periode ).

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN FEBRUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI MALIKUSSALEH-ACEH UTARA. Oleh Febryanto Simanjuntak S.Tr

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI NABIRE

KATA PENGANTAR. Negara, September 2015 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI NEGARA BALI. NUGA PUTRANTIJO, SP, M.Si. NIP

Buletin Meteorologi Penerbangan Edisi XXVII, Maret 2017 I. PENDAHULUAN

PROSPEK IKLIM DASARIAN PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT Update: 01 Februari 2016

ANALISIS UNSUR CUACA BULAN JANUARI 2018 DI STASIUN METEOROLOGI KLAS I SULTAN AJI MUHAMMAD SULAIMAN SEPINGGAN BALIKPAPAN

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

PRAKIRAAN MUSIM KEMARAU 2017 REDAKSI

ANALISIS CUACA KEJADIAN BANJIR DAN TANAH LONGSOR TANGGAL 7 MARET 2018 DI LEMBANG TUMBANG DATU SANGALLA UTARA KABUPATEN TANA TORAJA

PENGANTAR. Bogor, Maret 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI DARMAGA BOGOR

PRAKIRAAN MUSIM 2017/2018

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI MALI - ALOR

KATA PENGANTAR. Pontianak, 1 April 2016 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI SIANTAN PONTIANAK. WANDAYANTOLIS, S.Si, M.Si NIP

LAPORAN ANALISIS HUJAN DI WILAYAH DKI JAKARTA TANGGAL 04 OKTOBER 2009

Analisis Hujan Bulan Oktober 2012 Iklim Mikro Bulan Oktober 2012

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Hujan Bulan Mei 2013 Iklim Mikro Bulan Mei 2013 Prakiraan Hujan Bulan Juli, Agustus dan September 2013

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN METEOROLOGI KLAS III MALI

ANALISIS KEJADIAN BANJIR TANGGAL 10 SEPTEMBER 2017 DI KABUPATEN SERDANG BEDAGAI, PROVINSI SUMATERA UTARA

KEJADIAN POHON TUMBANG DI PANGKALAN BUN TANGGAL 5 APRIL 2017

Stasiun Klimatologi Pondok Betung

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA STASIUN KLIMATOLOGI PONDOK BETUNG-TANGERANG

LAPORAN POTENSI HUJAN AKHIR JANUARI HINGGA AWAL FEBRUARI 2016 DI PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT

Anomali Curah Hujan 2010 di Benua Maritim Indonesia Berdasarkan Satelit TRMM Terkait ITCZ

ANALISIS CUACA KEJADIAN KELEMBABAN SANGAT RENDAH TANGGAL 31 JANUARI 2018

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2016

STASIUN METEOROLOGI KLAS III NABIRE

FENOMENA PERUBAHAN IKLIM DAN KARAKTERISTIK CURAH HUJAN EKSTRIM DI DKI JAKARTA

BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

ANALISIS KONDISI ATMOSFER PADA KEJADIAN BANJIR DI WILAYAH JAKARTA SELATAN (Studi kasus banjir, 27 dan 28 Agustus 2016) Abstrak

Kajian Curah Hujan Tinggi 9-10 Februari 2015 di DKI Jakarta

ANALISIS KEJADIAN CUACA EKSTRIM TERKAIT HUJAN LEBAT, BANJIR DAN TANAH LONGSOR DI KOTA BALIKPAPAN DAN PENAJAM PASIR UTARA (PPU) TANGGAL 17 MARET 2018

Buletin Informasi Cuaca Iklim dan Gempabumi Edisi Juli 2017

KATA PENGANTAR. Prakiraan Musim Kemarau 2018

POSITRON, Vol. IV, No. 2 (2014), Hal ISSN :

Isu Kiamat 2012 : Adakah Siklus Lima Belas Tahunan Akan Berperan Aktif Kembali Disana?

ANALISIS DINAMIKA ATMOSFER LAUT, ANALISIS & PREDIKSI CURAH HUJAN UPDATED DASARIAN II FEBRUARI 2017

Variasi Iklim Musiman dan Non Musiman di Indonesia *)

PENGANTAR. Bogor, Maret 2017 KEPALA STASIUN KLIMATOLOGI BOGOR

Prakiraan Musim Hujan 2015/2016 Zona Musim di Nusa Tenggara Timur

PENGARUH DIPOLE MODE TERHADAP CURAH HUJAN DI INDONESIA

Transkripsi:

BAB IV Hasil Dan Pembahasan IV.1 Analisis Prekursor kejadian Curah Hujan Ekstrim Hujan lebat yang berlangsung berjam-jam untuk daerah yang cukup luas dan ditambah dengan banjir kiriman yang dibawa oleh sungai di DKI Jakarta terutama sungai Ciliwung, Pasanggrahan dan Sunter merupakan faktor penyebab banjir. Faktor pendukung lain adalah kerusakan infrastruktur akibat perubahan topografi yang terus bertambah, karena DKI Jakarta merupakan daerah urban (Liong et al., 24). Perbandingan analisis dinamika atmosfer terbentuknya awan konvektif sebagai penyebab banjir di DKI Jakarta, sangat penting untuk diteliti mengingat pola tersebut terjadi pada saat kejadian banjir besar berlangsung. 2 18 22 27 23 24 16 14 Curah Hujan (mm) 12 1 8 6 4 2 21-Jan 22-Jan 23-Jan 24-Jan 25-Jan 26-Jan 27-Jan 28-Jan 29-Jan 3-Jan 31-Jan 1-Feb 2-Feb 3-Feb 4-Feb 5-Feb 6-Feb 7-Feb 8-Feb 9-Feb Harian Gambar IV.1. Curah Hujan harian rata-rata 11 stasiun pengamatan daerah DKI- Jakarta tanggal 21 Januari 9 Februari tahun 22, 23, 24 dan 27. Kajian dinamika atmosfer dalam penelitian ini dilakukan melalui analisis exploratif data pengamatan iklim. Sebagaimana Gambar IV.1, menunjukan grafik kejadian curah hujan pada saat banjir tahun 22, 23, 24 dan tahun 27 di DKI Jakarta. Curah hujan rata-rata harian di DKI-Jakarta tertingi pada saat banjir tahun 22 mencapai 143 mm untuk tanggal 29 Januari 22, sementara untuk tahun 27 curah hujan rata-rata tertinggi mencapai 18 mm tanggal 1 Februari 27. Curah hujan penyebab banjir tersebut termasuk curah hujan ekstrim, karena sebagaimana dalam Gambar IV.2 dengan probabilitas di bawah 15% untuk 43

periodisitas curah hujan 2 tahunan (tahun 1988-28). Sebagai bahan perbandingan untuk tahun 23 dan 24 dimana DKI Jakarta mengalami banjir tahunan, dengan curah hujan sedikit di atas curah hujan normal. Hasil peratarataan curah hujan stasiun klimatologi di daerah Jakarta, diasumsikan mewakili kondisi klimatologi daerah tersebut. Sebelas stasiun pengamatan klimatologi, meliputi; stasiun BMKG (16,86! BT, 6,16! LS), Cengkareng (16,65! BT, 6,11! LS), Ciledug (16,71! BT, 6,27! LS), Depok (16,85! BT, 6,39! LS), Halim (16,88! BT, 6,28! LS), Pakubuana (16,78! BT, 6,25! LS), Tanjung Priok (16,88! BT, 6,11! LS), Tanggerang (16,62! BT, 6,18! LS), Tambun (17,7! BT, 6,19! LS), Kedoya (16,75! BT, 6,17! LS) dan Pasar Minggu (16,76! BT, 6,27! LS). 1 Probabilitas (%) 1 1.1.1-1 1.-2 2-3 3-4 4-5 5-6 6-7 7-8 8-9 9-1 1> Curah Hujan (mm/hari) Gambar IV.2.Histogram Curah Hujan harian rata-rata 11 stasiun pengamatan daerah DKI-Jakarta tahun 1988-28 Iklim di Benua Maritim Indonesia (BMI) tidak selamanya berada dalam kondisi normal, ada kalanya terjadi penurunan curah hujan mengakibatkan kekeringan dan pada saat yang lain mengalami peningkatan curah hujan hingga terjadi banjir. Perubahan besaran curah hujan sangat berkaitan dengan pola anomali dinamika awan, yang terjadi disertai perubahan parameter cuaca dalam waktu sesaat dan anomali iklim untuk jangka waktu yang lama. Perilaku sirkulasi anomali atmosfer tersebut, ditinjau dari tiga aspek yaitu; faktor perubahan global, regional dan lokal. 44

IV.1.1 Faktor Perubahan Lokal IV.1.1.1 Analisis Vektor Angin Pola pergerakan vektor angin menunjukan adanya rotasi sirkulasi angin (vortex) di Selatan Pulau Jawa saat kejadian curah hujan ekstrim tahun 22 dan 27. Fenomena vortex (depresi tropis) dimulai tanggal 23 Januari 22 hingga berakhir 26 Januari 22 dan tanggal 1 Februari untuk periode tahun 27 sebagaimana Gambar IV.3a, gerak turbulensi vektor angin akan menyebabkan terjadinya curah hujan yang tinggi. Dalam penelitianya Tangang et al., 28 menyimpulkan bahwa Borneo vortex merupakan salah satu penyebab terjadinya curah hujan ekstrim di Peninsular Malaysia tahun 26/27 dan diperkuat oleh cold surge serta periode MJO yang terjadi secara simultan. Timbulnya pembangkitan vortex skala meso, akibat pusat tekanan rendah di atas Selat Sunda dan di Samudera Hindia yang mengakibatkan peningkatan instabilitas angin secara menegak dan menjadi kondisi kondusif sebagai pembentukan awan cumulus melalui proses konveksi. Sirkulasi siklonik yang konvergen menyebabkan penumpukkan massa udara dan uap air, sehingga meningkatkan perawanan. Besarnya curah hujan ada hubungan atau kaitannya dengan pola streamline, yaitu vortex dan garis konfluensi pada paras 85 mb dan dibarengi oleh shear antisiklonik pada paras 2 mb dan adanya siklon tropis yang berasal dari Samudera Pasifik Utara bagian Barat Daya (Prawirowardoyo et al., 1982; Zhi dan Kun, 23; Chang et al., 2; Wang et al., 1993; Hai et al., 27). Sebagaimana dalam Gambar IV.3 a fenomena hujan ekstrim di DKI Jakarta diperkuat oleh kejadian vortex (depresi tropis) tanggal 29 Januari 22 dan 1 Februari 27 untuk periode 22 dan 27. Pola vortex pada periode tersebut di atas, mengindikasikan penyebab terjadinya curah hujan ekstrim. Hal ini terlihat dari pergerakan sirkulasi vektor angin, yang arahnya tegak lurus daerah Jakarta. Tanpa melihat faktor penyebab karena ditarik oleh vortex atau terdorong oleh kejadian cold surge, arah vektor angin tersebut mengakibatkan kejadian updraft yang dapat menimbulkan pertumbuhan awan konvektif. Indikasi pertumbuhan konvektif terukur pada data infra red (IR 1) dalam Gambar IV.8 a dan IV.8b. 45

m/s 29-1-2, 12 kg/m 2 m/s 1-2-27,12 kg/m 2 Gambar IV.3.a.Vektor angin (m/s) ( ) dan Precipitable Water (kg/m 2 ) (shading area) Jakarta 29-1-22 dan1-2-27, 12. UTC 46

m/s 29-1-25, 12 UTC kg/m 2 m/s 3-1-26, 12 UTC kg/m 2 Gambar IV.3.b.Vektor angin (m/s) ( ) dan Precipitable Water (kg/m 2 ) (shading area) Jakarta 29-1-25 dan 3-1 26, 12. UTC. 47

Adapun hasil data pengukuran menunjukan kejadian yang sama (vortex) sebagaimana terlihat pada Gambar IV.3b untuk periode tahun 25 dan 26 pada tanggal 29 Januari 25 dan 3 Januari 26 pukul 12. UTC, namun tidak menyebabkan pergerakan vektor angin menjadi tegak lurus. Hal ini tidak mengakibatkan terjadinya updraft, sehingga tidak terjadi pertumbuhan awan konvektif yang besar. IV.1.2. Faktor Perubahan Regional IV.1.2.1 MJO (Madden Julian Oscillation) MJO dicirikan oleh adanya perjalanan gugus awan (SCC: super cloud cluster) ke arah Timur dengan kecepatan 5m/s. Awal pertumbuhan SCC dimulai dari Samudra Hindia dengan satu periode dalam waktu 4-5 hari, meskipun dalam beberapa kasus bisa menjadi 3-6 hari. Madden Julian Oscillation (MJO) memberikan pengaruh kuat terhadap pola curah hujan tropis, dengan periode 1,5 bulanan dan periode yang lebih pendek (intra-musim) ketika pengaruh musim dominan (Seto, 24). Perubahan periodisitas MJO terlihat menuju dominant dari tahun 22 hingga tahun 27, sebagaimana Gambar IV.4. Madden Julian Oscillation (MJO) adalah sebuah sirkulasi yang memiliki struktur baroklinik sederhana, dicirikan dengan daerah konveksi kuat dan gerakan vertikal serta berbatasan dengan daerah down welling dan konveksi tertekan. Adapun cirinya adalah adanya pertumbuhan awan skala besar dari samudra Hindia menuju samudra Pasifik bagian Barat, karena pada massa ini MJO sedang mengalami massa aktif, maka akibatnya akan meningkatkan curah hujan dan menimbulkan angin yang kuat (Wheeler et al., 24). Pola MJO untuk tahun 22 dan 27 sebagaimana dalam Gambar IV.4, terlihat kejadian MJO untuk tahun-tahun dimana DKI Jakarta terjadi banjir besar. Untuk tahun 22 bulan Januari-Februari terlihat pola yang aktif dari MJO, sementara untuk tahun 27 pada bulan Januari-Februari tidak aktif. Hal tersebut 48

menunjukan bahwa keberadaan MJO tidak menunjukan faktor dominan penyebab curah hujan ekstrim di DKI-Jakarta (Syamsudin, 27). Jakarta Jakarta Gambar IV.4. Diagram Hovmoller anomali data OLR tahun 22 dan 27. (Sumber: http://www.cpc.ncep.noaa.gov) 49

IV.1.2.2 Multivariat ENSO Index () dan Dipole Mode Index (DMI) Adanya perubahan gejala alam global lain, yaitu kejadian El Niño ataupun La Niña makin berkembang. Dari pengamatan data Sea Surface Temperature (SST) yang dianalisis berdasarkan pengaruh perubahan anomali iklim, diperoleh analisis bahwa untuk periodisitas El Niño 1991 1994 terpanjang dan El Niño 1997/1998 dengan intensitas terbesar dan tercepat dari kejadian sebelumnya, sebaliknya La Niña kurang berkembang seperti kondisi sebelumnya. Fenomena di atas, mengakibatkan perubahan pola angin musim di wilayah Indonesia dan sekitar sejak tahun 1991 hingga kini. Diduga pola perubahan tersebut akan mempengaruhi perubahan iklim (Diaz et al., 21). Gejala penyimpangan iklim yang dihasilkan oleh interaksi laut dan atmosfer di Samudera Hindia, akan menghasilkan tekanan tinggi di Samudera Hindia bagian timur (bagian Selatan Jawa dan Barat Sumatra) yang mengakibatkan aliran massa udara yang berhembus ke barat. Hal ini akan mengakibatkan SST di sekitar pantai Selatan Jawa dan pantai Barat Sumatra akan mengalami penurunan. Perbedaan SST yang membentuk dua kutub positif dan negatif di Samudera Hindia, disebut sebagai Dipole Mode Event (DME) atau Indian Ocean Dipole (IOD). Seperti halnya El Niño, kejadian IOD direpresentasikan dengan satu indeks yang diberi nama Dipole Mode Index (DMI), yaitu perbedaan SST di bagian barat Samudera Hindia (5 7 BT, 1 LS 1 LU) dan SST di bagian timur Samudera Hindia (9 11 BT, 1 LS ekuator). Semakin besar nilai indeks ini, semakin kuat sinyal IOD dan semakin besar akibat yang ditimbulkan. Jika di Samudera Pasifik, El Niño memiliki kembarannya yaitu La Niña, maka IOD di Samudera Hindia juga berpasangan; positif IOD (piod) dan negatif IOD (niod). Kondisi piod menyebabkan kekeringan (sama halnya dengan El Niño) sementara niod (memiliki sifat yang sama dengan La Niña) akan meningkatkan curah hujan. Lain halnya dengan El Niño-La Niña yang mencapai puncaknya pada akhir/awal tahun (Desember Februari). Evolusi IOD dimulai pada bulan Juni/Juli dan akan mencapai puncaknya pada bulan September Oktober. Maka jika terjadi kombinasi El Niño di Samudera Pasifik dan piod di Samudera Hindia, Indonesia 5

akan mengalami bencana kekeringan yang sangat parah akibat kemarau yang berkepanjangan dari bulan Juli hingga Februari tahun berikutnya. Hal ini pernah kita alami pada tahun 1997/1998 (Tjasyono et al., 26)..3 1975/1976.8 1995/1996.2.6.1-2.5-2 -1.5-1 -.5.5 1 -.1.4.2 -.2 -.3 -.4 -.8 -.6 -.4 -.2.2.4 -.2 -.5 DMI -.4 DMI.4 21/22 2 26/27.3.2 1.5.1 -.4 -.2.2.4.6.8 1 -.1 -.2 1.5 -.3 -.4 -.5.5 1 1.5 -.5 DMI -.6 -.5 DMI Gambar IV.5. a) vs DMI Juli 1975/ 1976, Juli 1995/1996, Juli 21/22 dan Juli 26/27 ( = Januari, = Juli data awal tahun) Sebagaimana Gambar IV.5a. dengan dasar analisis kombinasi Multivariat ENSO Index () negatif dan Dipole Mode Index (DMI) negatif diartikan saling memperkuat terjadinya fenomena curah hujan ekstrim, maka pola kombinasi untuk tahun 1975/1976, 1995/1996 dan 21/22 akan memenuhi syarat konsistensi fenomena tersebut. Namun sebagaimana terjadi dari kombinasi dan DMI khususnya tahun 26/27 menjadi tidak lazim, karena kombinasi tersebut menjadi memperlemah kedudukan DMI yang negatif. 51

.8 22/23 1 23/24.6.8.4.6.4.2.2 -.2.2.4.6.8 1 1.2 1.4 -.2 -.2 -.1.1.2.3.4.5.6 -.2 -.4 -.4 -.6 -.6 -.8DMI -.8 DMI.4 24/25.3 25/26.2.2.1.2.4.6.8 1 -.2 -.4 -.6 -.8 -.6 -.4 -.2.2.4.6.8 -.1 -.2 -.3 -.4 -.8-1 -1.2 DMI -.5 -.6 -.7 -.8 DMI Gambar IV.5. b) vs DMI Juli 22/23, Juli 23/24, Juli 24/25 dan Juli 25/26 ( = Januari, = Juli data awal tahun) Adapun Gambar IV.5b dengan dasar kombinasi Multivariat ENSO Index () positif dan Dipole Mode Index (DMI) negatif diartikan saling memperlemah sehingga terjadi fenomena tahun-tahun normal, untuk tahun 22/23, 23/24 dan 24/25 masih terpenuhi kondisi tersebut. Namun untuk tahun 25/26 hal tersebut menjadi tidak lazim karena kondisi negatif dan DMI negatif, artinya menjadi anomali untuk kondisi normal. Dari pola anomali kedua periode di tahun-tahun tersebut, yaitu tahun 25/26 dan 26/27 kondisi dan DMI mengalami perubahan fasa, sehingga untuk 52

analisis kasus curah hujan ekstrim maupun kondisi normal mengindikasikan kombinasi tersebut menjadi faktor yang tidak dominan (Gambar IV.5c). ( x 1, DMI.5.3.1 -.1 -.3 -.5 DMI CH 7 6 5 4 3 2 1 Curah Hujan (mm/bln) -.7 1-Jul-75 1-Jan-78 1-Jul-8 1-Jan-83 1-Jul-85 1-Jan-88 1-Jul-9 1-Jan-93 1-Jul-95 1-Jan-98 1-Jul- 1-Jan-3 1-Jul-5 Bulan Gambar IV.5c., DMI vs curah hujan (CH) bulan Januari dan Juli tahun 1975-27 DKI Jakarta (tanda =, DMI CH tahun banjir Jakarta) IV.1.2.3 Monsun Monsun didefinisikan sebagai angin yang berubah arah selama setahun atau angin yang bertiup musiman. Menurut Khromov daerah monsun adalah daerah dengan angin yang berbalik arah paling sedikit 12 antara bulan Januari dan Juli. Gambar IV.6. Analisis spektra wavelet data curah hujan pentad daerah Jakarta tahun 199-27. Beberapa penelitian mengenai pengaruh monsun terhadap variabilitas curah hujan, dilakukan Chang et al. (24) analisis curah hujan terhadap aliran monsun dan topografi di atas Indochina. Hasil penelitianya menunjukan selama musim dingin terdapat pergerakan vektor angin dekat pantai menuju deretan pegunungan di sekitar pantai di Viet Nam, Malaysia dan sepanjang sisi Timur Filipina. Pergerakan vektor angin dekat pantai berkontribusi maksimum pada curah hujan monsun musim dingin di wilayah ini. 53

Pengetahuan mengenai struktur dan sifat sistem konveksi di daerah monsun dunia, baik di darat maupun di laut diperoleh dari studi kasus dan kegiatan lapangan (field campaigns) terbatas. Bukti dari studi ini mengindikasikan karakteristik sistem konveksi kuat (deep convection) pada bermacam-macam wilayah monsun mempunyai kemiripan satu sama lain (Houze et al., 1981, Johnson dan Houze, 1987). Adapun untuk wilayah DKI Jakarta yang merupakan wilayah pengaruh monsun, pada bulan Januari dipengaruhi angin Baratan dengan nilai persistensi angin sebesar,8 sedangkan angin pada bulan Juli dikuasai angin Timuran (pesistensi anginya sebesar,6). Sebagaimana pada Gambar IV.6 terlihat pola monsun (periodisitas tahunan) dari analisis spektra wavelet data curah hujan DKI Jakarta tahun 199 sampai 27 cukup dominan. Hal tersebut mengindikasikan pengaruh monsun kurang mendominasi analisis kejadian curah hujan ekstrim, karena pola monsun tersebut hampir tiap tahun terjadi (Banu dan Suriamiharja, 24; Tjasyono et al., 28). IV.1.3 Faktor Perubahan Global IV.1.3.1 Indeks Sunspot. Fenomena curah hujan ekstrim ditinjau dari efek global terlihat pada perubahan indeks sunspot maksimum untuk hujan ekstrim 22 dan minimum untuk tahun 27 (Gambar IV.7a). Ketika aktivitas matahari minimum, akan mengakibatkan fluks sinar kosmik maksimum yang memungkinkan timbulnya tutupan awan. Secara fisis akan menghalangi irradiansi masuk ke permukaan dan terjadi pendinginan, sehingga mempengaruhi curah hujan. Beberapa penelitian membuktikan adanya keterkaitan antara aktivitas matahari dan sejumlah unsur iklim di bumi, dengan korelasi yang kuat. Korelasi yang terjadi misalnya, kaitan antara panjang siklus sunspot dengan suhu permukaan dalam selang 13 tahun terakhir (Friis dan Lassen, 1991). Kemudian diperkuat penelitian lain dengan pembuktian secara empirik keterkaitan aktivitas matahari dengan suhu global, ketinggian atmosfer bertekanan 3 mb dan rata-rata tahunan suhu permukaan di Belahan Bumi Utara (BBU) (Djamaludin, 28). 54