TESIS KETENTUAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTI TUTUM

dokumen-dokumen yang mirip
KETENTUAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTI TUTUM

HAK TERSANGKA UNTUK MENDAPATKAN BANTUAN HUKUM DALAM PROSES PENYIDIKAN

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

KEWENANGAN BADAN LAYANAN UMUM DAERAH(BLUD) DALAM HAL PENGAWASAN PERTANGGUNGJAWABAN PENGELOLAAN KEUANGAN

PENERAPAN PRINSIP MIRANDA RULE SEBAGAI PENJAMIN HAK TERSANGKA DALAM PRAKTIK PERADILAN PIDANA DI INDONESIA

BAB IV. A. Bantuan Hukum Terhadap Tersangka Penyalahgunaan Narkotika. Dalam Proses Penyidikan Dihubungkan Dengan Undang-Undang

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DAN/ ATAU SAKSI KORBAN TRANSNATIONAL CRIME DALAM PROSES PENEGAKAN HUKUM PIDANA

BAB I PENDAHULUAN Latar belakang masalah

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

KEKUATAN HUKUM AKTA NOTARIS BERKENAAN DENGAN PENANDATANGANAN RAPAT UMUM PEMEGANG SAHAM (RUPS) PERSEROAN TERBATAS MELALUI MEDIA TELEKONFERENSI

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN. lazim disebut norma. Norma adalah istilah yang sering digunakan untuk

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia merupakan salah satu Negara Hukum. Hal ini

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

BAB 1 PENDAHULUAN. boleh ditinggalkan oleh warga negara, penyelenggara negara, lembaga

PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI (KPK)

TESIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA BAGI DOKTER ATAS DUGAAN MALPRAKTIK MEDIK ENY HERI MANIK NIM

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Asas-Asas Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

PERLINDUNGAN HAK-HAK ANAK YANG BERKONFLIK DENGAN HUKUM DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI DENPASAR NOMOR 2/PID.SUS.ANAK/2015/PN DPS

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 018/PUU-IV/2006 Perbaikan Permohonan Secara on the Spot Tanggal 09 Oktober 2006

URGENSI PENERBITAN SURAT PERINTAH PENGHENTIAN PENYIDIKAN (SP3) OLEH KOMISI PEMBERANTASAN KORUPSI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA

KOORDINASI KEWENANGAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) KEHUTANAN DAN PENYIDIK POLRI DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. alih hak dan kewajiban individu dalam lintas hubungan masyarakat yang

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA MENGENAI SIFAT MELAWAN HUKUM MATERIAL DALAM PERSPEKTIF TINDAK PIDANA KORUPSI PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KOSNSTITUSI NOMOR :

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

EKSISTENSI ASAS OPORTUNITAS DALAM PENUNTUTAN PADA MASA YANG AKAN DATANG

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KONSUMEN YANG MENGKONSUMSI MAKANAN KADALUWARSA

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA TERSANGKA/TERDAKWA

BAB I PENDAHULUAN kemudian Presiden mensahkan menjadi undang-undang pada tanggal. 31 Desember 1981 dengan nama Kitab Undang-undang Hukum Acara

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

BAB I PENDAHULUAN. pidana, oleh karena itu, hukum acara pidana merupakan suatu rangkaian

PERLINDUNGAN HAK TERSANGKA TERHADAP PENANGKAPAN PELAKU TINDAK PIDANA PENCURIAN (Studi Kasus Di Polresta Palu)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

ABSTRACT. Keywords : Compensation, Restitution, Rehabilitation, Terrorism.

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

TESIS KEWENANGAN MENGADILI SENGKETA KEPEGAWAIAN BADAN USAHA MILIK NEGARA

HAK UNTUK MELAKUKAN UPAYA HUKUM OLEH KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. Hukum materiil seperti yang terjelma dalam undang undang atau yang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan bukan

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

KAJIAN JURIDIS TERHADAP PEMERIKSAAN TAMBAHAN DEMI KEPENTINGAN PENYIDIKAN OLEH JAKSA PENUNTUT UMUM

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. mendorong terjadinya krisis moral. Krisis moral ini dipicu oleh ketidakmampuan

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

BAB I PENDAHULUAN. negara hukum. Negara hukum merupakan dasar Negara dan pandangan. semua tertib hukum yang berlaku di Negara Indonesia.

WEWENANG KEPOLISIAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI POLDA BALI

BAB I PENDAHULUAN. Hukum adalah sesuatu yang sangat sulit untuk didefinisikan. Terdapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

IMPLEMENTASI HAK TERSANGKA UNTUK MEMPEROLEH BANTUAN HUKUM PADA TINGKAT PENYIDIKAN DI WILAYAH HUKUM POLDA BALI

BUPATI GROBOGAN PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN GROBOGAN NOMOR TAHUN 2015 TENTANG

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BUPATI TASIKMALAYA PROVINSI JAWA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP WHISTLEBLOWER DAN JUSTICE COLLABORATOR DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

b. bahwa Komisi Yudisial mempunyai peranan penting dalam usaha mewujudkan

Fungsi Pra Penuntutan Terhadap Keberhasilan Pelaksanaan Penuntutan Perkara Pidana Oleh Penuntut Umum. Cakra Nur Budi Hartanto *

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

LATAR BELAKANG MASALAH

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

SKRIPSI PENYIDIKAN DENGAN CARA KONFRONTASI OLEH PENYIDIK KEPOLISIAN MENURUT UU RI NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN O L E H :

SANTUNAN OLEH PELAKU TINDAK PIDANA TERHADAP KORBAN KEJAHATAN DIKAJI DARI KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA (KUHAP)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

PRAPERADILAN SEBAGAI UPAYA KONTROL BAGI PENYIDIK DALAM PERKARA PIDANA

BANTUAN HUKUM DAN UPAYA PERLINDUNGAN HAK ASASI TERDAKWA DALAM PROSES PERADILAN PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. 1. perundang-undangan lain yang mengatur ketentuan pidana di luar KUHP

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI YUDISIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA KOPERASI DALAM TINDAK PIDANA PERBANKAN TANPA IJIN

BAB I PENDAHULUAN. hukum, tidak ada suatu tindak pidana tanpa sifat melanggar hukum. 1

LUH PUTU SWANDEWI ANTARI

BAB I PENDAHULUAN. berlakunya Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana

Transkripsi:

TESIS KETENTUAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTI TUTUM TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN HAK ASASI TERSANGKA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA (IUS CONSTITUENDUM) I DEWA GEDE ANOM RAI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015

TESIS KETENTUAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTI TUTUM TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN HAK ASASI TERSANGKA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA (IUS CONSTITUENDUM) I DEWA GEDE ANOM RAI NIM : 1296501026 PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 i

KETENTUAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTI TUTUM TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN HAK ASASI TERSANGKA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA (IUS CONSTITUENDUM) Tesis ini Untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Studi Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana I DEWA GEDE ANOM RAI NIM : 1296501026 PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2015 ii

Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL, 28JULI 2015 Pembimbing I Pembimbing II (Dr. I Gede Artha, SH.MH) (Dr. Ida Bagus Surya Darmajaya,SH.MH) NIP.19580127 198503 1002 NIP. 19620605 198803 1000 Mengetahui : Ketua Program Studi MagisterIlmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Udayana Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana (Dr.Ni Ketut Supasti Dharmawan,SH.M.Hum., LLM) NIP. 19611101 198601 2001 (Prof.Dr. A.A. Raka Sudewi,Sp.S.(K)) Nip. 19590215 198510 2001 iii

Tesis ini Telah Diuji Pada Tanggal 9 Juli 2015 Berdasarkan Surat Keputusan Rektor Universitas Udayana Nomor : 2040/UN 14.4/HK/2015 tanggal 7 Juni 2015 Ketua Sekretaris Anggota : : : Dr. I Gede Artha, SH.,M.H. Dr. Ida Bagus Surya Dharmajaya, SH.,M.H. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudhi, SH.,Msi Dr. I Gede Made Swadhana, SH., M.H. Dr. Ni Ketut Supati Dharmawan, SH.M.Hum. LLM iv

SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Yang bertanda tangan di bawah ini : N a m a Program Studi Judul Tesis : I Dewa Gede Anom Rai : Ilmu Hukum : Ketentuan Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum Dalam Perspektif Ius Constitutum Terkait Dengan Perlindungan Hak Asasi Tersangka Dalam Pembaharuan Hukum Acara Pidana ( Ius Constituendum) Dengan ini menyatakan bahwa karya tulis ilmiah tesis ini benar-benar bebas dari Plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti Plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sangsi sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional R.I. Nomor 17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Denpasar, 28 Juli 2015 Yang Membuat Pernyataan I Dewa Gede Anom Rai v

UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan rahmat-nya penulis dapat menyelesaikan Tesis ini dengan judul Ketentuan Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum Dalam Persepektif Ius Constitutum Terkait Dengan Perlindungan Hak Asasi Tersangka Dalam Pembaharuan Hukum Acara Pidana (Ius Constituendum) Penyusunan Karya Tulis ini merupakan salah satu kewajiban bagi mahasiswamahasiswi yang menempuh pendidikan Strata 2 ( Pasca Sarjana) dan merupakan tugas akhir untuk menyelesaian masa studi, oleh karena itu dengan segala keterbatasan ilmu dan pengetahuan yang penulis miliki, penulis berusaha menyusun dan menyelesaikan karya tulis ini dengan segenap kemampuan miliki. vi yang penulis Ucapan Terima kasih yang sebesar besarnya penulis sampaikan kepada : 1. Dr. I Gede Artha, SH.MH selaku Pembimbing I yang telah bersedia melowongkan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengkoreksi, membimbing, membina, memberi saran-saran, masukan dalam rangka penulisan Karya Ilmiah (tesis) sejak penulisan proposal sampai dengan selesainya tulisan ini. 2. Dr. Ida Bagus Surya Dharmajaya, SH. M.H. selaku Pembimbing II yang juga telah bersedia melowongkan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengkoreksi, membimbing, membina, memberi saran-saran, masukan dalam rangka penulisan Karya Ilmiah (tesis) sejak penulisan proposal sampai dengan selesainya tulisan ini. 3. Prof. Dr.dr. I Ketut Suastika, Sp.PD., Kemd. selaku Rektor Universitas Udayana 4. Pro. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi Sp.S (K) selaku Direktur Program Pascasarjana (S-2) Ilmu Hukum Universitas Udayana 5. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH. M.H. Selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Udayana 6. Dr. Ni. Ketut Supasti Dharmawan, SH.M.Hum. LLM selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum (S-2) Universitas Udayana

7. Dr. Putu Tuni Cakabawa Landra, SH.MH. selaku Sektretaris Program Studi Fakultas Hukum Universitas Udayana 8. Dr. I Gusti Ketut Aryawan, SH. MH. selaku Pembimbing Akademik 9. Seluruh Pegawai pada Sekretariat Program Studi Magister Ilmu Hukum (S -2) Fakutas Hukum Universitas Udayana, yang telah mencurahkan tenaga, pikiran dan pengetahuan dan bimbingan serta pelayanan administrasi selama perkuliahan dan penulisan Karya Ilmiah (Tesis) ini 10. I Dewa Made Raka, ayah ( Alm) dan I Dewa Ayu Made Oka (Ibu) selaku orang tua, I Dewa Ayu Nyoman Raka W. ( Alm) kakak, I Dewa Ayu Putu Oka Sasih dan I Dewa Ayu Made Supraningrat ( Adik). Ni Kadek Yudiantari, Amd.Keb. (Istri) serta kedua putri tersayang I Dewa Agung Ayu Nirmala Karini dan I Dewa Agung Ayu Sita Diah Mahaswari, serta Bapak Ibu Mertua masingmasing dengan penuh semangat memberi dorongan moril, materiil, serta doa sehingga seluruh akvitas perkuliahan sampai pada penyelesaian Karya Ilmiah (Tesis) ini dapat berjalan dengan baik dan lancar. 11. Seluruh Pimpinan dan rekan sejawat di Kejaksaan Tinggi Bali yang telah memberi dorongan semangat /moril sehingga aktivitas perkuliahan dan penyelesaian Karya Ilmiah (Tesis) dapat berjalan dengan lancar. 12. Teman-teman kuliah yang tidak dapat kami sebutkan satu persatu yang juga telah memberi dorongan semangat / moril selama perkulihan sampai pada penyelesaian Tesis ini Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam tulisan ilmiah (Tesis) ini masih jauh dari sempurna dan banyak kekurangan kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan bimbingan dari para pembimbing / Dosen serta masukan dari pembaca baik yang berupa kritik ataupun saran yang bersifat membangun dalam rangka perbaikan dan penyempurnaan karya tulis dimasa yang akan datang. vii

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis memohon maaf jika dalam tulisan ini banyak terdapat kesalahan dan/atau kekurangan-kekurangan, serta mengucapkan terima kasih yang tak terhingga disertai harapan karya tulis (Tesis ) ini dapat diterima dan dijadikan bahan pertimbangan kelulusan Magister Ilmu Hukum. Denpasar, 28 Juli 2015. P e n u l i s viii

ABSTRAK Fenomena penegakan hukum pidana dewasa ini semakin kehilangan arah bahkan dinilai telah mencapai titik terendah, masyarakat pencari kadilan mengeluhkan proses penyidikan tindak pidana ( umum) yang prosesnya berbelit - belit, berlarut-larut bahkan tidak ada ujung penyelesaianya, keadaan ini jelas tidak memberi kepastian hukum, keadilan serta menfaat dalam penegakan hukum terlebih lagi akan terjadi pelanggaran terhadap hak-hak tersangka, salah satu penyebab keadaan tersebut adalah tidak adanya ketentuan batas waktu penyidikan (kekosongan norma), yang memberi kesempatan kepada penyidik untuk menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya, berkenaan dengan hal tersebut penulis mengangkat judul tesis Ketentuan Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum Dalam Persepektif Ius Constitutum Terkait Dengan Perlindungan Hak Asasi Tersangka Dalam Pembaharuan Hukum Acara Pidana (Ius Constituendum). Penelitian dalam tesis ini menggunakan metode deskriptif normatif, dilakukan untuk mencari jawaban atas permasalahan : Bagaimana ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum terkait dengan perlindungan hak asasi tersangka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)? dan Bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana umum dalam hukum acara pidana yang akan datang?. Hasil penelitian kepustakaan, diperoleh jawaban atas permasalah tersebut yaitu : Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Ius Constitutum) tidak diatur mengenai ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum secara tegas sehingga banyak terjadi pelanggaran terhadap hak-hak asasi tersangka dan pembaharuan hukum acara pidana yang akan datang ( Ius Constituendum) seharusnya mengatur mengenai batas waktu penyidikan tindak pidana umum secara tegas dan pasti, serta mengatur mengenai penegakan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi tersangka, korban maupun saksi pada umumnya. Untuk mewujudkan tindakan penyidikan yang memiliki kepastian hukum, mencerminkan keadilan serta penegakan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia (tersangka, korban dan saksi ). Kata Kunci : waktu penyidikan, hak asasi tersangka, ius contitutum dan ius constituendum. ix

ABSTRACT The phenomenon of criminal law enforcement today is increasingly disoriented and even considered to have reached its lowest point, the community searching for justice complained about the (general) criminal investigation process which is very complicated, protracted even with no completed end, this situation do clearly not provide legal certainty, justice and usefulness of law enforcement moreover, there will be a violation of the rights of the suspects, one of the causes of this situation being the absence of time limit specification for the investigation (void norm), which gives an opportunity to the investigator for abusing his authority, with respect to this the writer raised the title of the thesis The Specification of Time Limit for General Crime Investigation Relating to the Protection of Rights of Suspects in The Code of Criminal Procedure Reform. The research in this thesis used descriptive normative method, carried out to find the answer to the problem: How is the specification of time limit for general criminal investigations associated with the protection of human rights of suspects in the Code of Criminal Procedure (KUHAP)? and How should the setting of deadlines of general investigation of criminal offenses be like in the criminal law procedure in the future? The results of the library research obtained answers to these problems, namely: In the Code of Criminal Procedure (Ius Constitutum) there is no regulation regarding the time limit for general criminal investigation, resulting in the violent of a number of rights of suspects and The future Code of Criminal Procedure should set a time limit for the investigation of (general) criminal investigation firmly so that it gives more legal certainty, and ensures the protection, enforcement of human rights (suspects, victims and witnesses in general). To realize investigation actions which have legal certainty reflects the fulfillment of justice and provide the enforcement and protection of human rights (suspects, victims and witnesses). Keywords: investigation time, human rights of suspects, ius constitutum, ius constituendum. x

RINGKASAN Ringkasan ini disajikan dalam bentuk garis besar dari keseluruhan tulisan dalam tesis, yang pada pokoknya sebagai berikut : Tesis ini mengangkat judul Ketentuan Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum Dalam Persepektif Ius Constutum Terkait Dengan Perlindungan Hak Asasi Tersangka Dalam Pembaharuan Hukum Acara Pidana ( Ius Constituendum) tulisan ini dibagi dalam 5 (lima) Bab, dengan ringkasan sebagai berikut : Bab I Pendahuluan, berisikan uraian mengenai Latar Belakang Penelitian, yaitu banyak terjadi penangana penyidikan perkara tindak pidana umum yang memakan waktu berlarut-larut, sehingga menimbulkan ketidak percayaan masyarakat terhadap penegakan hukum, tidak memberi kepastian hukum, rasa keadilan, serta pelanggaran terhadap hak-hak tersangka; Rumusan Masalah, Ruang Lingkup Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Orisinalitas Tesis, Landasan Teori dan Kerangka Berpikir, landasan teori meliputi Asas-Asas, Konsep Hukum Teori Hukum seperti Teori Sistm Peradilan Pidana, Teori Pembentukan Hukum, Teori Penemuan Hukum, Teori HAM Bidang Hukum, Teori Kebijakan Hukum Pidana, dan Teori Kepastian Hukum, Kerangka Berpikir, Metode Penelitian, Jenis Penelitian, Jenis Pendekatan, Sumber Bahan Hukum, Teknik Pengumpulan Bahan Hukum, Teknik Analisis. Bab II menguraikan mengenai Tinjauan Umum Tentang Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum Dan Perlindungan Hak Asasi Tersangka, Pembaharuan Hukum Acara Pidana, Pengertian Waktu Dikaitkan Dengan Hukum Pidana, Pengertian Tindak Pidana atau Peristiwa Pidana, Pengertian Hukum Acara Pidana, Pengertian Penyidikan Tindak Pidana Umum, Perlindungan hak Asasi Tersangka, Pengertian hak Asasi Manusia, Hak Asasi Tersangka dan pengertian Pembaharuan Hukum Acara Pidana. Bab III Menyajikan Pembahasan terhadap Permasalahan 1 dari rumusan masalah dengan judul Bab Ketentuan Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum Dalam Persepektif Ius Constitutum Terkait Dengan Perlindungan Hak Asasi xi

Tersangka, secara ringkas bab ini membahas Ketentuan Batas Waktu Penyidikan Perkara Tindak Pidana Umum Dalam Persepektif Sistem Peradilan Pidana, Kepastian Hukum Penyidikan Perkara Tindak Pidana Umum Dalam Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), Selesainya Proses Penyidikan Perkara Tindak Pidana umum, Teori Hak Asasi Manusia Dalam Rangka Penegakan Hak Asasi Tersangka Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia, Hak Asasi Tersangka Dalam Persepektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Ius Constitutum), Kewajiban Pemerintah Untuk Penegakan, Penghormatan Dan Pemenuhan Hak Hak Tersangka Pada Tahap Penyidikan Tindak Pidana Umum. Bab IV menguraian menganai pembahasan atas permasalah 2 dengan judul Bab. Pengaturan Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum Dalam Hukum Acara Pidana Dari Persepektif Ius Constituendum. Secara ringkas diuraikan bahwa setelah dilakukan penelitian terhadap ketentuan KUHAP yang tidak mengatur mengenai batas waktu penyidikan tindak pidana umum, dalam rangka mewujudkan kepastian hukum dan perlindungan, penegakkan dan pemenuhan hak-hak asasi tersangka termasuk didalamnya perlindungan terhadap hak-hak korban dan saksi pada umumnya, maka dipandang perlu dan mendesak dilakukan penyempurnaan atau perubahan terhadap KUHAP baik secara menyeluruh maupun bagian-bagian tertentu dan diharapkan dalam hukum acara pidana yang akan datang mengatur ketentuan batas waktu penyidikan secara tegas dan pasti serta lebih detail mengatur mengenai perlindungan dan penegakan hak-hak asasi tersangka, korban dan saksi pada umumnya. Bab V merupakan Bab Penutup yang berisikan simpulan dan saran. Simpulan 1. Sebagai dasar pelaksanaan Sistem Peradilan Pidana Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP) belum mengatur mengenai batas waktu penyidikan dalam tindak pidana umum, keadaan ini membawa akibat terjadinya ketidak pastian hukum serta memberi kesempatan bagi aparat untuk bertindak sewenang-wenang serta terjadi pelanggaran terhadap hak-hak tersangka / terdakwa termasuk juga saksi, 2. Pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana umum dalam hukum acara pidana yang akan datang ( Ius Constituendum) dirumuskan xii

secara tegas dan pasti berdasarkan kwalifikasi berat atau ringan perkara yang ditangani demi terwujudnya kepastian hukum. Sedangkan yang menjadi saran dari penulis adalah sebagai berikut :1. Untuk mewujudkan proses peradilan yang benar sesuai ketentuan hukum yang berlaku (due process model), maka Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai dasar pelaksanaan sistem peradilan pidana perlu segera diperbaharui / disempurnakan baik secara total atau parsial, agar proses penanganan perkara (penyidikan) ditentukan batas waktunya secara tegas dan pasti, untuk mewujudkan kepastian hukum serta menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh aparat penegak hukum (penyidik) dan sebagai wujud kewajiban negara cq. pemerintah untuk pemenuhan, perlindungan hak-hak asasi manusia (tersangka/ terdakwa maupun saksi). 2. Agar Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU-KUHAP) yang sedang dibahas DPR RI bersama Pemerintah, yang telah merumuskan ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum secara tegas dan pasti serta lebih memberi perlindungan, pemenuhan hak asasi tersangka/terdakwa, saksi segera dapat disahkan menjadi undang-undang sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. xiii

DAFTAR ISI Halaman HALAMAN SAMPUL DEPAN... HALAMAN SAMPUL DALAM...... LEMBAR PENGESAHAN...... HALAMAN PENGUJI...... SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT...... UCAPAN TERIMA KASIH... ABSTRAK... ABSTRACT... RINGKASAN... DAFTAR ISI... i ii iii iv v vi ix x xi xiv BAB I. PENDAHULUAN... 1 1.1. Latar Belakang Masalah... 1 1.2. Rumusan Masalahan... 8 1.3. Ruang Lingkup Masalah..... 8 1.4. Tujuan Penelitian...... 8 1.5. Manfaat Penelitian..... 9 1.5.1. ManfaatTeoritis.... 9 1.5.2. Manfaat Praktis... 9 1.6. Orisinalitas... 10 xiv

1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir... 10 1.7.1. Asas Asas Hukum Yang Berkaitan Dengan Tindakan Penyidikan Dalam tindak pidana... 11 1.7.2. Teori Sistem Peradilan Pidana...... 15 1.7.3. Teori Pembentukan Hukum (Perundang-Undangan)..... 19 1.7.4. Teori Penemuan Hukum... 22 1.7.5. Teori Hak Asasi Manusia (HAM) Bidang Hukum... 25 1.7.6. Teori Kebijakan Hukum Pidana... 28 1.7.7. Teori Kepastian Hukum... 31 1.7.8. Kerangka Berpikir... 35 1.8. Metodelogi Penelitian... 36 1.8.1. Jenis Penelitian... 36 1.8.2. Jenis Pendekatan... 37 1.8.3. Sumber Bahan Hukum... 38 1.8.4. Tehnik Pengumpulan Bahan Hukum... 39 1.8.5. Tehnik Analisis....39 BAB II. BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM DAN PERLINDUNGAN HAK ASASI TERSANGKA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA... 40 2.1. Batas waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum... 40 2.1.1. Pengertian Waktu Dikaitkan Dengan Hukum Pidana..... 40 2.1.2. Pengertian Tindak Pidana atau Peristiwa Pidana...... 41 2.1.3. Pengertian Hukum Acara Pidana... 44 2.1.4. Pengertian Penyidikan Tindak Pidana Umum... 45 2.2. Hak Asasi Manusia Dan Hak Asasi Tersangka.... 52 2.2.1. Pengertian Hak Asasi Manusia... 52 2.2.2. Hak Asasi Tersangka... 61 2.2.3. Pembaharuan Hukum Acara Pidana... 62 xv

BAB III. KETENTUAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM DALAM PERSEPEKTIF IUS CONSTITUTUM TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN HAK ASASI TERSANGKA.... 64 3.1. Ketentuan Batas Waktu Penyidikan Perkara Tindak Pidana Umum Dalam Persepektif Sistem Peradilan Pidana... 64 3.1.1. Kepastian Hukum Penyidikan Perkara Tindak Pidana Umum Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)... 72 3.1.2. Selesainya Proses Penyidikan Perkara Tindak Pidana umum... 88 3.2. Teori Penegakan dan penghormatan Hak Asasi Tersangka Menurut Hukum Acara Pidana Indonesia... 96 3.2.1. Hak Asasi Tersangka Dalam Persepektif Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana ( Ius Constitutum)... 100 3.2.2. Kewajiban Pemerintah Untuk Penegakan, Penghormatan Dan Pemenuhan Hak Hak Tersangka Pada Tahap Penyidikan Tindak Pidana Umum... 106 3.2.3. Proses Pembentukan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana... 113 BAB IV. PENGATURAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM DALAM PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA ( IUS CONSTITUENDUM )...... 115 xvi

4.1. Kebijakan Hukum Pidana ( Penal Polilicy) Dalam Upaya Mengatasi Kekososngan Batas Waktu Penyidikan Tindak Pidana Umum... 115 4.2. Pembentukan Perundang-Undangan Hukum Acara Pidana Terkait Dengan Kebijakan Penghormatan Dan Pemenuhan Hak Asasi Tersangka Dalam Penyidikan Perkara Tindak Pidana Umum... 117 4.2.1.Penemuan Hukum Dalam Rangka Pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Khususnya Mengenai Penyidikan Tindak Pidana Umum... 120 4.2.2.Pembaharuan Kitab Undang-Undang Hujkum Acara Pidana Dalam Bidang Penyidikan Perkara Tindak Pidana Umum... 124 4.3. Pengaturan Hak Asasi manusia Dalam Pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Pada Bidang Penyidikan Tindak Pidana Umum...... 134 4.4. Upaya Mengisi Kekosongan Hukum Dalam KUHAP Khususnya Pada Tahap penyidikan Perkara Pidana Umum... 140 4.5. Beberapa Ketentuan Perundang - Undangan Republik Indonesia Yang Menerapkan Batas Waktu Proses Penyidikan... 144 BAB V. PENUTUP... 153 5.1 Simpulan... 153 5.2 Saran... 153 DAFTAR SINGKATAN DAFTAR PUSTAKA xvii

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang masalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 (Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 1981 Nomor 76) sudah berusia lebih dari tiga puluh tahun, sebagai pedoman umum dalam penanganan perkara tindak pidana secara garis besar telah mengatur mengenai tugas dan kewajiban aparat penegak hukum serta hak-hak bagi warga negara yang terlibat masalah hukum pidana, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) diatur mengenai tahapan penanganan perkara yang dibagi dalam tahap Penyidikan, Penuntutan, Pemeriksaan Persidangan, Upaya Hukum dan tahap Eksekusi/Pelaksanaan Putusan, juga telah diatur aparatur penegak hukum yang bertugas pada setiap tahap penanganan perkara. Pembagian tugas aparatur penegak hukum dalam menjalankan fungsi, tugas dan wewenang dibagi secara tegas dalam KUHAP, antara lain Penyidik diberi wewenang untuk melakukan penyidikan, Jaksa/Penuntut Umum diberi wewenang untuk melakukan pra penuntutan dan penuntutan, melaksanakan penetapan serta melaksanakan putusan pengadilan, Hakim diberi wewenang untuk mengadili/ memeriksa dan memutus perkara, sedangkan Lembaga Pemasyarakatan diberi wewenang melakukan pembinaan terhadap para nara pidana. Kemudian dengan lahirnya Undang-undang Nomor 18 tahun 2003 tentang Advokat (Lembaran Negara tahun 2003 Nomor 49), selain adanya aparat penegak hukum seperti tersebut dalam KUHAP maka berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU No. 18 tahun 2003 Avokat berstatus sebagai penegak hukum bebas dan sehinga lembaga penegak hukum bertambah satu lagi yaitu Advokat/Penasehat Hukum yang mempunyai tugas dan wewenang memberi bantuan hukum terhadap tersangka/terdakwa. 1

2 Tujuan dibentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana adalah untuk memperbaiki sistem peradilan pidana Indonesia yang merupakan peninggalan pemerintah kolonial menjadi sistem peradilan yang berjiwa dan bersumber kepada sendi-sendi Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta mengkodifikasi hukum acara pidana yang tersebar dalam berbagai perundang-undangan. Bahwa hukum acara pidana yang berlaku sebelum disahkanya Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 adalah hukum acara pidana peninggalan Pemerintah Kolonial Belanda yaitu Herzien Indlandsch Reglement (HIR) yang diadopsi berdasarkan asas konkordansi sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 1, kemudian ditetapkan berlaku di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 tahun 1946. Dalam hukum acara pidana peninggalan pemerintah kolonial tersebut walaupun telah dilakukan perubahanperubahan secara parsial, namun pengaturan hak-hak tersangka/ tertuduh belum mendapat tempat yang layak, karena prinsip dari HIR adalah menempatkan tertuduh sebagai obyek pemeriksaan dan mengejar pengakuan atas kejahatan yang dituduhkan, sehingga aparat penyidik dapat berlaku dengan sewenang-wenang untuk mendapat pengakuan atas kesalahan yang dilakukan oleh tertuduh sehingga upaya paksa, seperti penyiksaan, penekan fisik maupun fisikis seolah-olah adalah tindakan yang legal untuk memperoleh pengakuan tertuduh. Dalam HIR pengakuan dan perlindungan tehadap-hak-hak tertuduh terutama dalam tahap pemeriksaan permulaan hampir tidak ada. Penanggulangan tindak pidana (kejahatan) dengan Sistem Peradilan Pidana yang bertumpu kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). sebagai pengganti HIR yang telah membagi tugas dan wewenang aparatur penegak hukum secara tegas, namun dalam menjalankan fungsi tugasnya masing-masing aparat pengak hukum tetap melakukan koordinasi (kerja sama) yang berkelanjutan, sebagai satu kesatuan sistem peradilan. Adapun tujuan utama penanggulangan kejahatan dengan Sistem Peradilan Pidana adalah : a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan 1 Dimyati, Khudzaifah, 2004,, Teorisasi Hukum Studi Tentang Perkembangan Pemikiran Hukum di Indonesia 1945-1990, Muhamadyah University Pers, Surakarta, hal. 4

3 b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana. c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi kejahatan 2. Dilihat dari tata cara (hukum formil) dalam praktek dibedakan atas : penanganan pekara tindak pidana 1. Perkara Tindak Pidana umum, yaitu jenis perkara tindak pidana yang proses pemeriksaanya semata-mata berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 2. Perkara Tindak Pidana Khusus, yaitu jenis perkara tindak pidana yang dalam perundang-undangannya didsamping mengatur ketentuan hukum materiil juga mengatur hukum acara pidana tetap secara khusus disamping juga secara umum berpedoman kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), seperti penanganan perkara tindak pidana korupsi, penanganan perkara tindak pidana HAM berat, tindak pidana perikanan dan lain-lain. Pelaksanaan penanggulangan kejahatan yang berlandaskan kepada Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tentu tidak boleh mengabaikan perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia khususnya bagi warga negara yang terlibat masalah hukum pidana, secara garis besar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) telah mengatur mengenai perlindungan hak asasi tersangka/terdakwa sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 50 sampai dengan Pasal 74 KUHAP. yang pada pokoknya menentukan : hak-hak tersangka seperti hak segera diperiksa (diambil keterangan) oleh penyidik, hak mengetahui atas tindak pidana yang disangkakan kepada dirinya, memberikan keterangan secara bebas, hak mendapat bantuan hukum, hak mendapat bantuan juru bahasa,hak hak menghubungi penasehat hukum, menerima kunjungan dokter, hak menerima kunjungan keluarga, hak mengirim dan menerima surat dari penasehat hukum dan keluarga, hak menerima kunjungan rohaniwan, hak mengajukan saksi ahli yang menguntungkan, hak menuntut ganti rugi, hak dihubungi oleh penasehat hukum dan pendampingan, hak mendapat turunan berita acara pemeriksaan. 2 Ibid, hal 74-75

4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai karya besar Bangsa Indonesia yang merupakan pedoman umum dalam penanganan perkara tindak pidana secara teori maupun praktek ternyata masih banyak terdapat kekurangan dan kelemahan, baik karena rumusan pasal yang kurang jelas, terjadinya tumpang tindih ketentuan maupun adanya kekosongan norma, sehingga memerlukan berbagai penafsiran dalam pelaksanaanya baik oleh kaum praktisi, akademisi serta kalangan penegak hukum. Keadaan yang demikian itu memberi peluang kepada aparat penegak hukum dan pihak-pihak yang berkepentingan untuk dapat bertindak sewenang-wenang, dan masyarakat mulai merasa tidak puas atas jalannya penegakan hukum di negeri kita yang dipandang tidak memberi kepastian hukum, rasa keadilan, serta manfaat yang optimal. Mhd.Shiddiq Tgk Armia menyatakan memang akhir-akhir ini banyak komentar dari pakar, tokoh masyarakat, tokoh politik, bahkan juga para birokrat, bertalian dengan kondisi bagian-bagian dari sistem peradilan pidana. bahkan juga semakin gencar dan tajam suara-suara yang mengatakan, penegakan hukum dewasa ini sudah sampai pada titik terendah 3. Pernyataan pesimistis masyarakat pada dasarnya menghendaki segera dilakukannya perbaikan / penyempurnaan dari pada sistem peradilan pidana termasuk substansi hukumnya disamping juga masalah struktur hukumnya 4. Sejalan dengan perkembangan kehidupan masyarakat yang moder dan komplek, mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin mutakhir dan tuntutan akan pemajuan, perlindungan dan pemenuhan terhadap hak asasi manusia dalam bidang hukum, sosial maupun ekonomi, sangat mudah diucapkan dan sulit untuk dilaksanakan yang disebabkan ketidaksempurnaan dari hukum acara pidana dan sikap mental dari aparatur penegak hukum itu sendiri. Aparatur penegakan hukum dalam praktek sampai saat ini masih menunjukan sikap arogansi dan fragmentaris atas kewenangan yang dimiliki masing-masing, dalam tahap penyidikan perkara sering terjadi tarik menarik antara kewenangan penyidik Polri dengan penyidik PPNS yang pada ujungnya menjadi korban adalah 3 Armia, Mhd. Sidiq Tgk., Op.Cit, hal. 85 4 Sujata, Antonoius, 2000, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Djambatan, Jakarta, hal.39.

5 masyarakat pencari keadilan termasuk di dalamnya tersangka. Keadaan prilaku aparat penegak hukum tersebut disoroti oleh Ronald D. Dworkin, yang menyatakan: ada sejumlah besar fenomena, maka hati kecil kita, apakah itu hati kecil penyidik, hati kecil jaksa atau hati kecil pengacara, sulit mengakui bahwa sejak sejumlah tahun terakhir ini yang namanya proses penegakan hukum telah kehilangan fondasinya yaitu prinsip moral, sehingga sah kiranya, apabila disimpulkan bahwa sejak sejumlah tahun terakhir ini profesi hukum dan proses penegakan hukum dilanda demoralisasi. Dalam proses demoralisasi itu, maka tidak heran bilamana pepatah kuno China yang berbunyi It s better to enter the mounth of tiger then a court of law kian lama kian dirasakan kebenaranya 5 Penyidikan suatu perkara dihitung sejak mulai penyidik memberitahukan tindakan penyidikan (SPDP) kepada penun tut umum banyak yang belum/tidak ditindak lanjuti dengan pengiriman berkas perkara tahap pertama dalam waktu lebih dari 6 (enam) bulan bahkan 1(satu) tahun, penyelesaian perkara tidak berdasarkan urutan masuknya laporan /pengaduan atau kejadian, marak terjadi mafia peradilan. Atas tindakan penyidik tersebut masyarakat yang merasa tidak puas atas kinerja penyidik melakukan upaya-upaya seperti membuat laporan/pengaduan kepada atasan penyidik, kepada Komisi Kepolisian Nasional ( Kompolnas) mengenai kinerja penyidik dalam penanganan perkara. Keadaan tersebut juga bisa memicu masyarakat ingin menyelesaikan kasus dengan cara-cara diluar hukum (main hakim sendiri) bila menjadi korban atau menemui suatu tindak pidana, karena ketidak percayaanya tehadap kinerja aparat penyidik. Diwilayah hukum Kejaksaan Tinggi Bali ditemukan permasalahan penanganan perkara pada tahap penyidikan yang berlarut-larut dan berakibat tidak memberikan kepastian hukum, rasa keadilan sehingga pihak-pihak terkait dalam perkara tersebut merasa tidak puas atas kinerja penyidik, seperti : 1. SURYATIN LIJAYA, SH selaku kuasa dari H MADRAIS dkk berdasarkan surat pengaduan Nomor 04/SL/XI/2013 tanggal 25 Nopember 2013 telah melaporkan kinerja aparat penegak hukum dalam penangan perkara dugaan tindak pidana penggelapan dan penipuan atas nama tersangka Putu Surya Jaya, dkk. bahwa laporan tentang dugaan tindak pidana penipuan tersebut sudah 5 D.Dworkin, Ronald, dalam Buletin KHN, 2002, Demokrrasi dan Rekruitmen serta Pembinaan Profesi Hukum, Edisi Juni, Jakarta, hal. 14

6 dilaporkan sejak tahun 2012 ke penyidik Polda Bali, namun sampai tahun 2014 penyidikan perkara tersebut belum selesai. (SPDP) Nomor :B/41/II/2012/Dit. Reskrimum tangal 21 Pebruari 2012 atas nama tersangka Putu Surya Jaya, dkk. diterima di Kejati Bali tanggal 30 Oktober 2012 2. JACOB ANTOLIS, SH. MH.MM adalah kuasa dari RITA KISHORE KUMAR PRIDHANI, melaporkan mengenai penanganan perkara pada tahap penyidikan yaitu klien pelapor telah melaporkan permasalah hukum tersebut ke pihak Kepolisian Polda Bali sejak tanggal 25 Juni 2011 yang diterima di Polda Bali tanggal 25 Juni 2011 sesuai Bukti Surat Laporan Polisi Nomor : Pol. LP/233/VI/2011/Bali/Dit.Reskrim tanggal 25 Juni 2011, namun sampai tahun 2014 belum ada tindak lanjut penyelesaian kasusnya. SPDP perkara tersebut telah dikirim oleh Penyidik Polda Bali sesuai surat Nomor B/242/XII/2011/Dit.Reskrimum tanggal 15 Desember 2011. H.R.Abdussalam (mantan penyidik) menyajikan data penyelesaian penanganan beberapa perkara sebagai berikut : a. Perkara pencurian kendaraan bermotor penyelesaian melalui proses hukum sampai memperoleh kekuatan hukum tetap hanya mencapai 5(lima) persen, sedangkan selebihnya banyak yang dilaporkan oleh masyarakat namun penyelesaianya tidak ada kepastian. b. Kasus tindak pidana penggelapan penyelesaian perkara dalam proses hukum hanya mencapai 30% (tiga puluh) persen sedangkan sisanya ada yang dihentikan dan ada juga yang berlarut-larut tanpa kepastian hukum 6. Penanganan penyidikan perkara tindak pidana umum diawal tahun 2015 kembali memperlihatkan ketidak pastianya, antara lain dalam penyidikan perkara: 1. Penanganan perkara tindak pidana umum atas nama tersangka B.W..(Wakil Ketua KPK non aktif) yang bersangkutan disangka melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 242 KUHP, BW telah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik sejak bulan Januari 2015, setelah proses penyidikan berlangsung kurang lebih 2 bulan, pihak penyidik menyatakan penyidikan kasus tersebut ditunda penanganannya sampai waktu yang tidak ditentukan. 2. Penanganan perkara tindak pidana umum atas nama tersangka A.S.(Ketua KPK non aktif) yang bersangkutan disangka melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 KUHP, A.S. ditetapkan sebagai tersangka sejak 6 Ibid. hal 684-685

7 bulan Pebruari 2015 setelah penyidikan berlangsung kurang lebih satu bulan penyidik menyatakan penyidikan perkara tersebut ditunda sampai bataas waktu yang tidak ditentukan Bahwa penundaan proses penyidikan perkara atas nama tersangka B.W. maupun tersangka A.S. tidak ditentukan batas waktunya oleh penyidik dan tidak pernah disampaikan alasan penundaan perkara tersebut apakah kurang alat bukti atau karena sebab lain. Penetapan B.W. maupun A.S. sebagai tersangka oleh penyidik telah menimbulkan perampasan sejumlah hak dari tersangka, diantaranya menduduki jabatan tertentu (mencari pekerjaan). Selanjutnya dengan dilakukan penundaan proses penyidikan yang tidak dibatasi waktu tersebut sudah dipastikan juga merampas sejumlah hak-hak tersangka seperti, hak untuk segera diajukan ke penuntut umum, untuk selanjutnya oleh penuntut umum segera diajukan ke persidangan, hak melakukan pembelaan. Dengan status tersangka yang disandang oleh B.W. maupun A.S. maka hak yang bersangkutan untuk maju ke panggung politik juga terampas. Terjadinya penanganan perkara pidana (umum) yang berlarut-larut khususnya pada tahap penyidikan disebabkan karena dalam ketentuan hukum acara pidana ( KUHAP) terjadi kekosongan hukum ( vacuum of law) yaitu tidak adanya ketentuan batas waktu berapa lama proses penyidikan perkara tindak pidana (umum) harus diselesaikan dan oleh karena itu KUHAP harus segera direvisi atau diperbaharui dan dalam hukum acara pidana yang akan datang ( Ius Constituendum) diatur secara tegas mengenai batas waktu penyidikan perkara tindak pidana umum serta lebih memperhatikan masalah perlindungan dan pemenuhan hak-hak asasi tersangka, saksi korban maupun saksi-saksi pada umumnya. Memperhatikan berbagai permasalahan hukum yang terjadi dalam proses penanganan perkara tindak pidana pada tahap penyidikan, cukup menarik perhatian penulis untuk mengangkat judul tesis, KETENTUAN BATAS WAKTU PENYIDIKAN TINDAK PIDANA UMUM DALAM PERSPEKTIF IUS CONSTITUTUM TERKAIT DENGAN PERLINDUNGAN HAK ASASI TERSANGKA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM ACARA PIDANA ( IUS CONSTITUENDUM)

8 1.2. Rumusan masalah Dari uraian latar belakang masalah seperti tersebut diatas penulis dapat merumuskan permasalahan sebagai berikut : a. Bagaimana ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum terkait dengan perlindungan hak asasi tersangka dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)? b. Bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana umum dalam hukum acara pidana yang akan datang? 1.3. Ruang Lingkup Masalah Dalam setiap penulisan tesis diperlukan adanya suatu ketegasan tentang materi yang diuraikan, hal ini dimaksudkan untuk membatasi agar materi yang dibahas tidak menyimpang dari pokok permasalahan, maka ruang lingkup yang akan dibahas dalam penulisan tesis ini adalah sebagai berikut: Dalam hubungannya dengan permasalahan pertama, dibahas mengenai pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana umum terkait dengan perlindungan hak asasi tersangka dalam KUHAP; Sedangkan dalam permasalahan kedua, membahas mengenai bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan tindak pidana umum dalam hukum acara pidana yang akan datang. 1.4. Tujuan Penelitian Tujuan umum ( het doel van onderhoek) berupa upaya peneliti untuk pengembangan ilmu hukum terkait dengan paradigma science as a process ilmu sebagai proses. Adapun tujuan umum dari tulisan ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis ketentuan batas waktu penyidikan tindak pidana umum terkait dengan perlindungan hak asasi tersangka dalam KUHAP maupun dalam pembaharuan hukum acara pidana.

9 Adapun tujuan khusus penelitian ini adalah untuk meneliti dan menganalisa ketentuan waktu penyidikan perkara tindak pidana umum dalam KUHAP serta kaitannya dengan perlindungan, penegakan dan pemenuhan hak asasi tersangka, serta bagaimana sebaiknya pengaturan batas waktu penyidikan perkara tindak pidana umum dalam hukum acara pidana yang akan datang. 1.5. Manfaat Penelitian Bahwa dalam setiap penelitian ilmiah sudah pasti ada hal-hal yang bermanfaat yang ingin dicapai baik oleh peneliti sendiri maupun bagi masyarakat umum, khususnya yang bersinggungan dengan hal-hal yang diteliti, adapun manfaat penelitian meliputi : 1.5.1. Manfaat teoritis Manfaat teoritis dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu pengetahuan hukum pidana, berkaitan dengan penyempurnaan perundang-undangan hukum pidana formil sehingga lebih mencerminkan kepasian hukum dan penghargaan terhadap hak-hak asasi tersangka termasuk saksi (korban). 1.5.2. Manfaat praktis. Manfaat praktis dari tulisan ini adalah dalam rangka memberi masukan kepada pihak-pihak terkait (lembaga legislatif) dalam rangka penyempurnaan ketentuan undang-undang hukum acara pidana yang berlaku saat ini, karena dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) belum ada ketentuan yang membatasi waktu penyidikan sehingga penanganan perkara pada tahap penyidikan

10 banyak berlarut-larut sehingga tidak mencerminkan asas penanganan secara cepat sederhana dan biaya ringan. perkara 1.6. Orisinalitas Penelitian Keasilian tulisan sebagai salah satu persyaratan dalam tulisan ilmiah ini dimaksudkan untuk menghindari terjadinya penjiplakan (plagiatism) karya tulis orang lain, karena setiap karya tulis dilindungi oleh undang-undang. Penulis yakin bahwa tulisan ini benar-benar asli/original, karena penulis telah melakukan penelitian terhadap beberapa karya tulis ilmiah khususnya tesis dan ternyata tidak ada karya tulis ilmiah (tesis) yang membahas mengenai kekosongan hukum (norma) dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) khususnya masalah tidak adanya batas waktu penyidikan tindak pidana (umum). Setelah penulis melakukan perbandingan dengan karya tulis lain, penulis tidak menemukan adanya karya tulis ilmiah (tesis) yang mirip dengan karya tulis ini yang memadai untuk dijadikan perbandingan. Dengan demikian maka tulisan ini dapat disebutkan sebagai tulisan asli /orisinal 1.7. Landasan Teoritis dan Kerangka Berpikir Teori hukum senantiasa tidak dapat dilepaskan dari kontek zamanya karena sarat dengan penjelasan-penjelasan hukum secara dialektis, sebagai hasil dari konstruksi sosial. Teori hukum juga sering dijadikan sebagai landasan teori untuk mencari suatu jawaban terhadap permasalahan hukum yang dominan pada suatu jaman. Dalam landasan teoritis diuraikan mengenai segala sesuatu yang terdapat dalam teori sebagai suatu sistem aneka theorema atau ajaran 7. Dalam landasan teoritis diuraikan secara singkat mengenai asas hukum, konsep hukum, dan teoriteori hukum. 7 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2003,Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke enam, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal. 7.

11 Landasan hukum pembangunan nasional dibidang hukum adalah Pancasila yang memberikan landasan filosopi, landasan sosiologi, sedangkan landasan konstitusional adalah Undang-Undang Dsasar Negara Republik Indonesia (UUDNRI) Tahun 1945 beserta peraturan perundang-undangan terkait lainnya, salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 206) telah merumuskan visi dan misi pembangunan bidang hukum yang berbunyi Terwujudnya sistem hukum nasional yang menjamin tegaknya supremasi hukum dan hak asasi manusia berlandaskan keadilan dan kebenaran 8. Berlandaskan pada misi tersebut, pembangunan bidang hukum dan hak asasi manusia mendapat perhatian yang serius dari pemerintah, berbagai peraturan perundang-undangan yang sudah tidak relevan segera dilakukan perubahan/ revisi baik yang bersifat menyeluruh maupun bersifat parsial, agar ketentuan hukum yang berlaku benar-benar mencerminkan nilai filosifis Pancasila, kaedah-kaedah hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 1.7.1. Asas Asas Hukum Yang Berkaitan Dengan Tindakan Penyidikan Dalam Tindak Pidana Menurut C.W. Paton, dalam bukunya A Textbook of Jurisprudence ; A principles is the broad reason, wich lies at the base of a rule of law, diterjemahkan menjadi asas adalah suatu alam pikiran yang dirumuskan secara luas dan mendasari adanya sesuatu norma hukum 9. Asas hukum yang dianut dalam suatu undang-undang ada yang bersifat universal serta ada asas yang bersifat nasional. 8 Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia, 2003, Kebijakan Reformasi Hukum (suatu Rekomendasi), Partnership Government Reform in Indoensia, Jakarta, hal.2. 9 Arrasjid, Chainur, 2000, Op. Cit. hal. 36.

12 Bellefroid menyatakan bahwa asas hukum adalah norma dasar yang dijabarkan dari hukum posistif dan yang oleh hukum tidak dianggap berasal dari aturan-aturan yang lebih umum 10 Roeslan Saleh menyatakan asas hukum adalah aturan hukum tertinggi yang berfungsi sebagai ratio legis dari aturan perundang-undangan yang ada 11, bliau juga menyatakan bahwa terdapat tiga ciri asas-asas hukum, yakni : positif, 1. Asas hukum adalah fundamen dari sistem hukum, oleh karena itu dia adalah pikiran-pikiran dasar dari sistem-sistem hukum; 2. Asas-asas hukum bersifat lebih umum dari pada ketentuan undangundang dan keputusan-keputusan hukum oleh karena ketentuan undangundang dan keputusan-keputusan hukum adalah penjabaran asas-asas hukum; 3. Akhirnya difinisi ini menunjukan bahwa beberapa asas hukum berada sebagai dasar dari sistem hukum; beberapa lagi dibelakangnya, jadi di luar sistem hukum itu sendiri, sungguhpun demikian mempunyai pengaruh terhadap sistem hukum tersebut 12 Asas hukum adalah dasar atau petunjuk arah dalam pembentukan hukum merupakan kelengkapan vital dalam legislasi, asas hukum merupakan bagian integral dari suatu undang-undang dan sistem hukum keseluruhan. Setiap undang-undang yang dibentuk dalam suatu negara selalu memiliki asas-asas hukum yang kuat sehingga undang-undang tersebut dapat bertahan dalam waktu yang lama, demikian halnya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai ketentuan hukum positif dalam bidang penegakan hukum pidana, menganut asasasas hukum antara lain : 1. Asas legalitas, memberi pedoman bahwa tidak seorangpun dapat dihukum atas suatu kejahatan jika tidak ada peraturan yang mengatur mengenai kejahatan tersebut sebelum kejahatan dilakukan tidak ada perbuatan yang boleh dihukum selain atas kekuatan aturan pidana dalam undang-undang, yang diadakan pada waktu sebelum perbuatan itu terjadi, Pasal 1 KUHP (SV) Nederland berbunyi Strafvordering helf alleen plaats op de wijze bij de wett 10 Ali Zaidan., M, 2015, Menuju Pembaharuan Hukum Pidana, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, hal. 49 11 Ibid, hal. 53 12 Loc. Cit

13 voozien ( acara pidana dijalankan hanya menurut cara yang diatur oleh undangundang) 13. Proses penyidikan tidak akan dilakukan jika penyidik tidak/belum menemukan peraturan perundang-undangan yang diduga dilanggar oleh terlapor. 2. Prinsip /Asas keseimbangan antara perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia, dengan perlindungan terhadap kepentingan dan ketertiban masyarakat 14. 3. Prinsip /Asas praduga tidak bersalah, bahwa setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan dimuka sidang pengadilan, wajib dianggap sebagai orang yang tidak bersalah sampai dengan adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang menyatakan bahwa terdakwa adalah orang yang bersalah telah melakukan tindak pidana yang didakwakan terhadapnya. Diharapkan semua pihak mengesampingkan asas praduga bersalah ( presumtion of guil), karena dalam proses pembuktian tidak menutup kemungkinan hakim akan memutus bahwa terdakwa tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan oleh penuntut umum baik putusan bebas ( vrijspraak) maupun pelepasan dari segala tuntutan hukum (onstlag van alle rechtsvervolging) 15. 4. Prinsip /Asas Akusator, dimana dalam setiap perkara tersangka harus diajukan ke muka pengadilan dengan tidak memihak, dan diperiksa sesudah tersangka memperoleh haknya secara penuh untuk mengajukan pembelaan. 5. Prinsip / deferensiasi fungsional, yaitu setiap badan atau sub sistem telah ditetapkan fungsi dan wewenangnya masing-masing tetapi saling ketergantungan antara subsistem penyidik, penuntut umum, hakim, lembaga pemasyarakatan, serta advokat/penasehat hukum. Jakarta hal. 131 13 Sunarso Siswanto H., 2012, Viktimologi Dalam Sistem Peradilan Pidana, Sinar Grafika, 14 Harahap, M. Yahya, 2004, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Edisi 2, Cetakan ke-6, Sinar Grafika Jakarta, hal. 38 15 Hamzah Andi, 2007, Terminologi Hukum Pidana, Edisi 1 Cetakan pertama, Sinar Grafika Offset, Jakarta hal. 126

14 6. Prinsip /Asas peradilan dilakukan secara cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak; dimana dengan adanya batas waktu yang pasti pada setiap tahap penangan perkara tidak ada lagi orang-orang (tersangka/terdakwa) menyandang status tersangka dalam waktu yang lama/ berlarut-larut tanpa adanya kepastian hukum. Proses penanganan perkara tidak ribet dalam arti tidak lagi terjadi proses pra penuntutan yang memakan waktu lama karena petunjuk penuntut umum (peneliti) tidak bisa dipenuhi oleh penyidik, atau penyidik sengaja berlama-lama tidak mengirimkan kembali berkas perkara kepada penuntut umum (Kejaksaan). Tidak ada lagi laporan masyarakat dalam waktu yang lama tidak ada kejelasanya. Tidak ada lagi surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) dalam waktu lama tidak ditindak lanjuti dengan pengiriman berkas perkara tahap I (pertama). Tidak ada lagi berkas perkara yang sudah dinyatakan lengkap oleh penuntut umum tidak ditindak lanjuti dengan penyerahan perkara tahap kedua / penyerahan tanggung jawab tersangka dan barang bukti oleh penyidik kepada penuntut umum. Tidak ada lagi penanganan perkara pada tahap penuntutan dan upaya hukum yang memakan waktu cukup lama, bertahuntahun (upaya hukum). Bagi warga negara yang tersangkut suatu tindak pidana tidak lagi mengeluarkan biaya yang banyak untuk keperluan mengurus perkara, tidak ada mafia hukum yang menguras uang para pesakitan dan mereka cukup mengeluarkan biaya untuk membayar ongkos/biaya perkara. Tindakan penyidik yang tidak kunjung mengirimkan berkas perkara kepada penuntut umum dan/atau hasil penyidikan yang sering kali dikembalikan oleh penuntut umum kepada penyidik untuk dilengkapi akan berpengaruh kepada kepercayaan masyarakat kepada instansi penyidik 16. 7. Prinsip /Asas perlindungan hak-hak tersangka/terdakwa. Aparatur penegak hukum dalam melaksanakan tugas-tugas penegakan hukum (law inforcement) baik disengaja maupun tidak melakukan pelanggaran terhadap hak-hak tersangka / terdakwa baik hak didampingi penasehat hukum, 16 Yahya Harahap, M. Op.Cit. hal 357

15 hak diam, hak mendapat pemeriksaan yang cepat, hak mengajukan saksi/ahli yang menguntungkan, hak mendapat bentuan juru bahasa dan lain sebagainya. Memberikan perlindungan terhadap para saksi / korban. Memberikan penghargaan bagi warga yang berjasa mengungkap suatu peristiwa pidana. 8. Prinsip /Asas pemeriksan dipersidangan pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam undang-undang 1.7.2. Teori Sistem Peradilan Pidana Sistem Peradilan Pidana Indonesia yang didasarkan kepada Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai landasan bertindak bagi aparat penegak hukum, merupakan satu kesatuan sistem, karena pelaksanaan pidana tersebut tidak terlepas dari sub-subsistem yang saling mendukung antara subsistem struktur hukum, subsistem substansi hukum maupun subsistem kultur hukum. Adapun ciri pendekatan sistem dalam hukum acara pidana menurut Romli Atmasasmita adalah : a. Titik berat pada kondisi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana (kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan lembaga Pemasyarakatan). b. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi penyelesaian perkara d. Penggunaan hukum sebagai instrument untuk memanfaatkan The administration of justice 17 Pendekaan dalam sistem peradilan pidana indonesia adalah pendekatan yang menggunakan segenap unsur ( struktur hukum) yang terlibat didalamnya sebagai satu kesatuan dan saling berhubungan, saling mempengaruhi satu sama lain, yaitu kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan 18. Dalam sistem peradilan pidana dikenal ada dua model pendekatan dikotomi, yaitu pendekatan 17 Atmasasmita, Romli, 1996, Sistem peradilan Pidana Persefektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, Cetakan 2, Putra Abardin, Bandung, hal. 9-10 18 Fachmi,2011, Kepastian hukum mengenai Putusan Batal Demi Hukum Dalam Sistem Perddilan Pidana Indonesia, PT. Ghalia Indonesia Publishing, Jakarta, hal.123

16 Crime Control Model (CCM) dan pendekatan Due Process Model (DPM); 19, pendekatan Crime Control Model mengutamakan pemberantasan kejahatan dengan tindakan represif terhadap suatu kriminal dan efisiensi dengan penekanan efektivitas kecepatan dan kepastian. Sedangkan pendekatan Due Process Model menekankan proses peradilan yang mengutamakan prosedur formal yang sudah ditetapkan dalam undang-undang, dilaksanakan secara ketat setiap prosedur adalah penting dan harus Sistem Peradilan Pidana secara umum bertujuan untuk melaksanakan proses hukum yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan ( due process model), dalam proses hukum yang baik memiliki persyaratan antara lain: adanya ketentuan hukum yang jelas, tiap-tiap komponen penegak hukum memiliki tugas dan fungsi yang jelas, memiliki koordinasi dan kerjasama secara berkelanjutan, dan adanya pengawasan internal maupun eksternal dalam pelaksanaan tugas masing-masing. Konsep due process model sangat menjunjung tinggi adanya supremasi hukum. Penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus sesuai dengan persyaratan konstitusionil dan harus mentaati hukum, serta menghormati hal sebagai berikut : berikut: a. The right of self incrimination, tidak seorangpun dapat dipaksa menjadi saksi yang memberatkan dirinya dalam suatu tindak pidana. b. Dilarang mencabut, menghilangkan hak hidup, kemerdekaan atau harta benda tanpa sesuai dengan ketentuan hukum acara. c. Setiap orang harus terjamin hak terhadap diri, kediaman, surat-surat atas pemeriksaan dan penyitaan yang tidak beralasan. d. Hak konfrontasi dalam bentuk pemeriksaan silang dengan orang yang menuduh atau melaporkan. e. Hak memperoleh pemeriksaan yang cepat. f. Hak perlindungan yang sama dan perlakuan yang sama dalam hukum. g. Hak mendapat bantuan penasehat hukum 20. Sistem Peradilan Pidana dapat diuraikan pengertianya kata demi kata sebagai sistem berarti suatu susunan ataupun jaringan tentunya pada sistem terdapat komponen-komponen yang merupakan bagian atau sub-sub yang kemudian 19 Packer,Herbert L.. 1968, The Limits of The Criminal Santion, West Publishing, New York London, hal.24. 20 Harahap, M. Yahya, Op.Cit. hal 95-96