BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
Otot rangka tersusun dari serat-serat otot yang merupakan unit. penyusun ( building blocks ) sistem otot dalam arti yang sama dengan

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinjauan Umum Jaringan Otot. Tipe Otot

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke dapat menyerang kapan saja, mendadak, siapa saja, baik laki-laki atau

MEKANISME KERJA OTOT LURIK

Mekanisme Kerja Otot

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA Struktur Anatomi Otot Rangka

KELAS XI SMA IPA KODE SOAL 713 SENIN 20 NOVEMBER 2017

PENGANTAR KESEHATAN. DR.dr.BM.Wara K,MS Klinik Terapi Fisik FIK UNY. Ilmu Kesehatan pada dasarnya mempelajari cara memelihara dan

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan suatu penyakit kegawatdaruratan neurologis yang berbahaya

Neuromuskulator. Laboratorium Fisiologi Veteriner PKH UB 2015

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN PEMENUHAN KEBUTUHAN MOBILITAS

I. PENDAHULUAN Latar Belakang Rumusan Masalah Tujuan Praktikum Manfaat Praktikum

FISIOLOGI SEL & OTOT OLEH: NINING WIDYAH KUSNANIK

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI KELELAHAN OTOT

Gejala Awal Stroke. Link Terkait: Penyumbatan Pembuluh Darah

BAB 1 PENDAHULUAN. kecacatan yang lain sebagai akibat gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan karena 65% penduduk Indonesia adalah usia kerja, 30% bekerja disektor

DISUSUN OLEH MUHAMMAD HANAFI ( ) HERKA ARDIYATNO ( ) LESTARI PUJI UTAMI

Kontraksi otot membutuhkan energi, dan otot disebut sebagai mesin. pengubah energi kimia menjadi kerja mekanis. sumber energi yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan sindrom klinis dengan gejala gangguan fungsi otak

BAB 1 PENDAHULUAN. Sistem saraf manusia mempunyai struktur yang kompleks dengan berbagai

SATUAN ACARA PENYULUHAN RANGE OF MOTION (ROM)

BAB I PENDAHULUAN. manusia adalah mahluk yang bergerak. Dalam melakukan aktifitasnya

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Stroke merupakan penyebab kematian tertinggi pada. kelompok umur tahun, yakni mencapai 15,9% dan

FISIOLOGI OTOT. Detty Iryani Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran UNAND. Kuliah Pengantar Blok 1.3 Minggu IV

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan manusia sebagai alat pergerakan yang membantu manusia untuk

BAB I PENDAHULUAN. Sejumlah prilaku seperti mengkonsumsi makanan-makanan siap saji yang

SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP) LATIHAN FISIK RENTANG GERAK / RANGE OF MOTION (ROM) AKTIF

BAB I PENDAHULUAN. penyempitan pembuluh darah, penyumbatan atau kelainan pembuluh

BAB 1 PENDAHULUAN. karena terjadinya gangguan peredaran darah otak dan bisa terjadi pada siapa saja

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kimiawi, listrik, dan mekanik untuk menghasilkan potensial aksi yang dihantarkan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dan komplikasinya (Kuratif), upaya pengembalian fungsi tubuh

BAB 1 PENDAHULUAN. mmhg jika pemeriksaan menggunakan manometer air raksa, artinya gaya yang

JARINGAN DASAR HEWAN. Tujuan : Mengenal tipe-tipe jaringan dasar yang ditemukan pada hewan. PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. menimbulkan permasalahan yang kompleks, baik dari segi kesehatan,

BAB II TINJAUAN TEORETIS

SKRIPSI PENGARUH KONTRAKSI KONSENTRIK DAN EKSENTRIK TERHADAP PENINGKATAN KEKUATAN OTOT BICEPS BRACHII

PENGARUH PEMBERIAN BRIEF REPETITION ISOMETRIC MAXIMUM EXERCISE DALAM PENCEGAHAN DISUSE ATROFI OTOT PADA PASIEN STROKE NON HEMORAGIK

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan menjadi sekitar 11,34%. Hasil Sensus Penduduk tahun 2010 menyatakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. gangguan peredaran darah otak yang tejadi secara mendadak dan. menimbulkan gejala sesuai daerah otak yang terganggu (Bustaman MN,

BAB V PEMBAHASAN. A. Pembahasan. Bab ini penulis akan membahas tentang tindakan keperawatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Laktat merupakan produk akhir dari metabolisme anaerobik, proses ini berlangsung tanpa adanya oksigen.

HISTOLOGI JARINGAN OTOT

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit jantung koroner (PJK) penyebab kematian nomor satu di dunia.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pasal 1 dinyatakan bahwa seorang dikatakan lansia setelah mencapai umur 50

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Pengambilan data penelitian telah dilakukan di SMK Kesehatan PGRI

BAB 1 PENDAHULUAN. Tekanan darah yang normal sangat diinginkan oleh setiap manusia, karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tekanan darah lebih dari sama dengan 140mmHg untuk sistolik dan lebih dari

II B. Sistem Kerja dan Kontrol pada Manusia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Gangguan Neuromuskular

BAB I PENDAHULUAN. Manusia setiap hari melakukan gerakan untuk melakukan suatu tujuan

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Depresi adalah suatu gangguan suasana perasaan (mood) yang

BIOMEKANIKA SISTEM MUSKULOSKELETAL & FISIOLOGI OTOT

Hipertensi (Tekanan Darah Tinggi)

BAB 1 PENDAHULUAN. Stroke atau gangguan peredaran darah otak (GPDO) merupakan penyakit

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Stroke merupakan penyakit penyebab kecacatan nomor satu di dunia,

SMP kelas 8 - BIOLOGI BAB 3. SISTEM GERAK PADA MANUSIALatihan Soal 3.2

BAB I PENDAHULUAN. melakukan segala aktifitas dalam kehidupan sehari-hari nya. Sehat adalah

FISIOLOGI PEMBULUH DARAH. Kuntarti, SKp

PENGARUH SENAM AEROBIK INTENSITAS RINGAN DAN SEDANG TERHADAP PENURUNAN PERSENTASE LEMAK BADAN DI AEROBIC AND FITNESS CENTRE FORTUNA SKRIPSI

SISTEM MUSKULOSKELETAL PADA MANUS. Regita Tanara / B1

BAB I PENDAHULUAN. suplai darah kebagian otak (Baughman, C Diane.dkk, 2000). Menurut europen


BAB I PENDAHULUAN. dapat menyebabkan perubahan hemodinamik yang signifikan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, terutama usia dewasa. Insidensi dan prevalensinya meningkat

protein adalah bahan utama pembentuk otot. dengan control sikap (stabililisasi), dimana stabilisasi akan

BAB I PENDAHULUAN. lain. Elektrolit terdiri dari kation dan anion. Kation ekstraseluler utama adalah natrium (Na + ), sedangkan kation

- Seluruh perilaku, gerak dan aktivitas kita dikontrol oleh otak, yang terdiri dari bermilyard-milyard sel otak.

22/03/2016 MASYKUR KHAIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Stroke adalah serangan otak yang timbulnya secara mendadak karena

BIOLISTRIK PADA SISTEM SARAF A. Hasil

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. di Jalan Wirosaban No. 1 Yogyakarta. Rumah Sakit Jogja mempunyai visi

ROM (Range Of Motion)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Vaskular Accident (CVA) sangat kurang, mulai personal hygiene sampai

BAB I PENDAHULUAN. merupakan keadaan sejahtera dari badan, jiwa, dan sosial yang. merokok dan minum-minuman keras. Mereka lebih memilih sesuatu yang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB Latar Belakang Masalah Stroke

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

JARINGAN PADA HEWAN & MANUSIA

iii. Bekerja di luar kesadaran, gerakan lambat, ritmis dan tidak mudah lelah. b. Otot Lurik

LATIHAN ROM LENGAN MENINGKATKAN KEKUATAN OTOT PADA PASIEN PASCA

Tipe trauma kepala Trauma kepala terbuka

Skeletal: Otot: Sendi: Fasia Hubungan sistem muskuloskeletal dengan reproduksi wanita

BAB I PENDAHULUAN. Stroke merupakan penyebab utama kematian di. Indonesia (Sagita, 2013). Adapun stroke adalah penyakit

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Disuse atrofi otot pada stroke non hemoragik 1. Pengertian Disuse atrofi otot menunjukkan adanya penciutan ukuran sel akibat kurang aktif, terputusnya saraf, pengurangan aliran darah, kekurangan nutrisi, atau hilangnya rangsangan hormonal (Tambayong, 2000) Disuse atrofi otot merupakan tidak berkontraksinya serabut-serabut otot dalam waktu yang cukup lama sehingga perlahan-lahan akan mengecil (atrofi), dimana terjadi perubahan perbandingan antara serabut otot dan jaringan fibrosa (Guyton, 2007) Stroke non hemoragik adalah adanya proses pembekuan darah yang dapat menghambat aliran pembuluh darah sehingga bekuan tersebut memperlambat hingga menghentikan aliran darah, yang disebut dengan iskemik (National Stroke Association) Dari pengertian di atas, peneliti menarik kesimpulan pengertian dari disuse atrofi otot pada pasien stroke non hemoragik adalah adanya penciutan ukuran sel akibat imobilisasi yang terlalu lama sehingga menurunkan fungsi kontraksi otot-otot tersebut yang disebabkan oleh efek hemiparesis pada stroke non hemoragik. 9

10 2. Konsep Stroke Non Hemoragik Stroke non hemoragik atau stroke iskemik merupakan salah gangguan aliran darah otak yang disebabkan oleh ostruksi akibat bekuan (trombus) yang terbentuk di dalam pembuluh darah otak atau pembuluh darah pada bagian distal. Sumbatan aliran di arteria karotis interna sering merupakan penyebab stroke pada orang berusia lanjut yang sering mengalami pembentukan plak aterosklerotik di pembuluh darah sehingga terjadi penyempitan atau stenosis. Pangkal arteria karotis interna merupakan tempat tersering terbentuknya aterosklerotik (Price, 2005). Pada sistem vaskularisasi, darah akan terdorong akibat dari gradien tekanan tetapi pada pembuluh darah yang menyempit, aliran darah akan mengalir lebih cepat melalui lumen yang lebih kecil. Semakin cepat aliran darah tersebut maka akan menurunkan gradien tekanan di tempat konstriksi tersebut. Apabila stenosis mencapai suatu tingkat kritis, maka meningkatnya turbulensi di sekitar penyumbatan akan menyebabkan penurunan tajam kecepatan aliran darah (Price, 2005). Stroke non hemoragik pada dasarnya disebabkan oleh oklusi pembuluh darah otak yang kemudian menyebabkan terhentinya pasokan oksigen dan glukosa ke otak. Stroke jenis ini merupakan stroke yang paling sering terjadi, sekitar 80% dari semua stroke. Stroke non hemoragik sering diakibatkan oleh trombosis plak aterosklerosis arteri otak atau emboli dari pembuluh darah lain yang menyebabkan terhentinya aliran darah otak,

11 antara lain syok atau hipovolemia dan berbagai penyakit lain (Sudoyo, 2006). Menurut Price, (2005), stroke non hemoragik diklasifikasikan berdasarkan penyebabnya, yaitu : a. Stroke Lakunar Stroke lakunar terjadi karena penyakit pembuluh halus hipertensif dan menyebabkan sindrom stroke yang biasanya muncul dalam beberapa jam atau kadang-kadang lebih lama. Stroke lakunar merupakan stroke yang terjadi setelah oklusi aterotrombotik atau hialin lipid salah satu dari cabang-cabang penetrans sirkulus Willisi, arteria serebri media, atau arteria vertebralis dan basilaris (Smith et al., 2001). Thrombosis yang terjadi di dalam pembuluh darah menyebabkan daerah-daerah infark yang kecil, lunak, dan disebut lakuna. Perubahan-perubahan pada pembuluh darah ini hampir selalu disebabkan oleh disfungsi endotel karena penyakit hipertensi persisten (Smith, 2001). Pasien dengan stroke lakunar umumnya berusia lebih tua, memiliki kadar kolesterol lebih tinggi, dan mengidap diabetes dibandingkan dengan mereka yang mengalami perdarahan intraserebrum (Labovitz, 2001). Terdapat empat sindrom lakunar yang sering ditemukan, yaitu : 1. Hemiparesis motorik murni akibat infark di kapsula interna posterior

12 2. Hemiparesis motorik murni akibat infark pars anterior kapsula interna 3. Stroke sensorik murni akibat infrak thalamus 4. Hemiparesis ataksik atau disartria serta gerakan tangan atau lengan yang canggung akibat infark pons basal b. Stroke Trombotik Pembuluh Besar Sebagian besar dari stroke ini terjadi saat tidur, pasien relatif mengalami dehidrasi dan dinamika sirkulasi menurun. Stroke ini berkaitan dengan lesi aterosklerotik yang menyebabkan penyempitan atau stenosis di arteria karotis interna atau yang lebih jarang di pangkal arteria serebri media. Pasien ini kemungkinan sudah mengalami beberapa kali serangan transcien iscemic attack tipe lakunar sebelumnya. Aliran pada arteri yang mengalami trombosis parsial adalah defisit perfusi yang dapat terjadi pada reduksi mendadak curah jantung atau tekanan darah sistemik. Penurunan mendadak tekanan tersebut dapat menyebabkan penurunan generalisata cerebral blood flow (CBF), iskmemia otak, dan stroke. Penurunan tekanan mungkin sudah dapat menyebabkan gangguan perfusi melalui arteri-arteri yang bergantung pada tekanan perfusi minimal untuk mempertahankan CBF. c. Stroke Embolik Stroke yang terjadi akibat embolus biasanya menimbulkan defisit neurologik mendadak dengan efek maksimum sejak awitan penyakit,

13 biasanya serangan terjadi pada saat pasien beraktivitas. Trombus mural jantung merupakan sumber tersering infark miokardium, fibrilasi atrium, penyakit katup jantung, katup jantung buatan, dan kardiomiopati iskemik (Smith, 2001). Embolus berasal dari bahan trombotik yang terbentuk di dinding rongga atau katup mitralis. d. Stroke Kriptogenik Sebagian pasien dapat mengalami oklusi mendadak pembuluh intrakranium besar tanpa penyebab yang jelas, disebut stroke kriptogenik. Sumber penyebabnya bisa tersembunyi, bahkan setelah dilakukan pemeriksaan diagnostic dan evaluasi klinis yang ekstensif. Stroke yang tidak dapat diketahui penyebabnya biasanya terjadi pada pasien yang catatan medisnya tidak dapat dibedakan dengan aterotrombosis. 3. Fisiologi disuse atrofi otot Sekitar 40% dari seluruh tubuh terdiri dari otot rangka dan sekitar 10% lainnya adalah otot polos dan otot jantung. Semua susunan otot rangka dibentuk oleh sejumlah serat yang diameternya berkisar dari 10 sampai 80 mikrometer. Pada sebagian besar otot, serat-seratnya membentang di seluruh panjang otot kecuali sekitar 2% serat hanya dipersarafi oleh satu ujung saraf (Guyton, 2007). Sarkolema adalah membran sel dari serat otot yang terdiri dari membran sel sebenarnya yang disebut dengan membran plasma dan sebuah lapisan luar yang terdiri dari lapisan tipis bahan polisakarida yang

14 mengandung sejumlah serat kolagen tipis. Pada ujung serat otot, lapisan permukaan sarkolema ini bersatu dengan serat tendon dan serat-serat tendon kemudian berkumpul menjadi berkas untuk membentuk tendon otot dan kemudian menyisip ke dalam tulang. Setiap serat otot mengandung beberapa ratus sampai beberapa ribu miofibril yang terletak berdampingan (Guyton, 2007). Terdapat sekitar 1500 filamen miosin dan 3000 filamen aktin yang merupakan molekul protein polimer besar yang bertanggung jawab untuk kontraksi otot. Filamen miosin dan aktin sebagian saling bertautan sehingga menyebabkan miofibril memiliki pita terang dan gelap yang berselang-seling. Pita-pita terang hanya mengandung filamen aktin dan disebut pita I karena mereka bersifat isotropik terhadap cahaya yang dipolarisasikan, sedangkan pita-pita gelap mengandung filamen miosin yang disebut pita A karena mereka bersifat anisotropik terhadap cahaya yang dipolarisasikan (Guyton, 2007). Miofibril-miofibril yang terpendam dalam serat otot di dalam suatu matriks yang disebut sarkoplasma, yang terdiri dari unsur-unsur intraselular. Terdapat mitokondria dalam jumlah yang banyak terletak di antara dan sejajar dengan miofibril. Hal tersebut menunjukkan bahwa miofibril-miofibril yang berkontraksi membutuhkan sejumlah besar adenosin trifosfat (ATP) yang dibentuk oleh mitokondria (Guyton, 2007). Sarkoplasma juga terdapat banyak reticulum endoplasma yang berada di dalam serat otot, disebut dengan retikulum sarkoplasmik. Retikulum ini

15 mempunyai susunan khusus yang sangat penting dalam pengaturan kontraksi otot. Semakin cepat kontraksi suatu otot, maka ia mempunyai banyak retikulum sarkoplasmik, hal itu menunjukkan bahwa struktur ini penting untuk menimbulkan kontraksi otot yang cepat (Guyton, 2007). Timbul dan berakhirnya kontraksi otot terjadi dalam urutan tahaptahap berikut ini : a. Suatu potensial aksi berjalan di sepanjang saraf motorik sampai ujung pada serat otot. b. Pada setiap ujung, saraf menyekresi substansi neurotransmiter yaitu asetilkolin dalam jumlah sedikit. c. Asetilkolin bekerja pada area setempat pada membran serat otot untuk membuka banyak saluran gerbang asetilkolin melalui molekul-molekul protein dalam membran serat otot. d. Terbukanya saluran asetilkolin memungkinkan sejumlah besar ion natrium untuk mengalir ke bagian dalam membran serat otot pada titik terminal saraf sehingga menimbulkan potensial aksi dalam serat otot. e. Potensial aksi akan berjalan di sepanjang membran serat otot dalam cara yang sama. f. Potensial aksi akan menimbulkan depolarisasi membran serat otot dan berjalan secara dalam di dalam serat otot. g. Ion-ion kalsium menimbulkan kekuatan menarik antara filamen aktin dan miosin yang menyebabkan bergerak secara bersama-sama dan menghasilkan proses kontraksi.

16 h. Setelah kurang dari satu detik, ion kalsium dipompa kembali ke dalam retikulum sarkoplasma sampai potensial aksi otot yang baru datang lagi. Pada keadaan relaksasi, ujung-ujung filamen aktin yang berasal dari dua lempeng Z berurutan saling tumpang tindih dan menjadi lebih dekat dengan filamen miosin. Pada keadaan kontraksi, filamen aktin telah tertarik ke dalam di antara filamen miosin sehingga saling tumpang tindih secara luas. Selama kontraksi yang kuat, filamen aktin dapat ditarik bersama-sama begitu eratnya sehingga ujung-ujung filamen miosin melekuk, menyebabkan mekanisme pergeseran filamen (Guyton, 2007). Sebuah filamen aktin murni tanpa adanya kompleks troponintropomiosin, akan berikatan secara cepat dan kuat dengan kepala molekul miosin bila terdapat ion magnesium dan ATP yang terdapat di dalam miofibril. Setelah filamen aktin menjadi teraktivasi oleh ion-ion kalsium, kepala jembatan penyeberangan dari filamen miosin menjadi tertarik ke bagian aktif dari filamen aktin yang akan menyebabkan kontraksi. Kelompok kekuatan intramolekular antara kepala dan lengan menyebabkan kepala miring ke arah lengan dan menarik filamen aktin, sehingga disebut dengan power stroke (Guyton, 2007). Sebuah kontraksi otot memerlukan sejumlah ATP yang dipecah membentuk ADP selama proses kontraksi. Semakin hebat kerja yang dilakukan oleh otot, semakin besar jumlah ATP yang dipecahkan, disebut

17 dengan efek Fenn. Berikut rangkaian proses ATP sebagai sumber energi untuk kontraksi, yaitu : a. Sebelum terjadi kontraksi, aktivitas ATPase dari kepala miosin segera memecah ATP tetapi meninggalkan hasil pemecahan. b. Kompleks troponin-tropomiosin berikatan dengan ion-ion kalsium, bagian aktif pada filamen aktin menjadi tidak tertutup dan kemudian kepala miosin berikatan. c. Ikatan antara kepala jembatan penyeberangan dan bagian aktif filamen aktin menyebabkan perubahan kedudukan kepala, yaitu miring ke arah lengan jembatan penyeberangan dan memberikan kedudukan power stroke untuk menarik filamen. d. Adanya pelepasan ATP yang sebelumnya melekat pada kepala saat kepala jembatan penyeberangan miring. e. Setelah kepala terpisah dari aktin, sebuah molekul ATP yang baru dipecah untuk memulai siklus baru yang menimbulkan power stroke. Sebagian besar energi dibutuhkan untuk menjalankan mekanisme berjalan dimana jembatan penyeberangan menarik filamen-filamen aktin. Tetapi sejumlah kecil energi dibutuhkan untuk memompa kalsium dari sarkoplasma ke dalam retikulum sarkoplasmik setelah kontraksi berakhir dan memompa ion-ion natrium dan kalium melalui membran serat otot untuk mempertahankan lingkungan ionik yang cocok untuk pembentukan potensial aksi. Sumber energi pertama yang digunakan untuk menyusun

18 kembali ATP adalah substansi keratin fosfat, yang membawa ikatan fosfat berenergi tinggi yang serupa dengan ATP (Guyton, 2007). Sumber energi berikutnya yang digunakan untuk menyusun kembali keratin fosfat dan ATP adalah glikogen yang sebelumnya telah disimpan dalam sel otot. Pemecahan glikogen secara enzimatik menjadi asam piruvat dan asam laktat yang berlangsung dengan cepat akan membebaskan energi yang digunakan untuk mengubah ADP menjadi ATP. Lebih dari 95% energi yang digunakan oleh otot untuk kontraksi jangka panjang yang dipertahankan berasal dari metabolisme oksidatif (Guyton, 2007). 4. Faktor-faktor yang mempengaruhi disuse atrofi otot a. Imobilisasi Gangguan mobilitas fisik (imobilisasi) menurut North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) adalah ketidakmampuan dari energi baik dari segi fisik maupun psikis dalam memenuhi aktivitas sehari-hari. Bisa disebabkan oleh gangguan masalah peredaran darah ataupun adanya gambaran iskemik. Tingkat mobilisasi fisik dapat disebabkan oleh instruksi pembatasan gerak volunter atau kehilangan fungsi motorik (Potter and Perry, 2006). Pengukuran antropometrik untuk mengevaluasi atrofi otot, menggunakan pencatatan asupan dan haluaran serta data laboratorium untuk mengevaluasi status cairan, dan elektrolit. Pengkajian rentang gerak juga penting dilakukan sehingga hasilnya bisa dibandingkan

19 untuk mengevaluasi terjadinya kehilangan mobilisasi sendi. Imobilisasi dapat menimbulkan pengaruh yang bermakna pada tingkat kesehatan, kemandirian, dan status fungsional (Potter and Perry, 2006). b. Status Kesehatan Beberapa masalah kesehatan yang timbul pada otot adalah atrofi otot, hipertrofi, dysplasia, hyperplasia, metaplasia, cedera dan kematian sel, iskemik, trombosis, embolisme, infark, nekrosis, kematian somatik, rigor mortis, livor mortis, argor mortis. Perubahan ini akibat stimulus berbahaya yang dialami oleh jaringan. Metode ini digunakan oleh sel-sel untuk tetap hidup dan menyesuaikan beban kerja dengan kebutuhan (Tambayong, 2000). c. Status Nutrisi Pemberian vitamin D dosis rendah setiap harinya dapat mempertahankan kekuatan otot serta mencegah terjadinya atrofi otot pada serat otot. Kekurangan nutrisi dapat menyebabkan terjadinya atrofi jaringan lemak, usus dan pancreas, dan otot. Kekurangan energi protein sangat berpengaruh terhadap terjadinya atrofi karena kecukupan sumber energi sangat dibutuhkan untuk kontraksi, serta kecukupan asupan protein khususnya protein esensial yang sangat penting untuk sintesa DNA dan pertumbuhan sel otot (Potter and Perry, 2006). Pasien dengan imobilisasi memerlukan diet tinggi protein, tinggi kalori dengan tambahan vitamin B dan C. Protein diperlukan untuk

20 mengganti jaringan yang rusak dan membangun kembali cadangan protein yang kurang sedangkan asupan tinggi kalori memberikan cukup energi untuk memenuhi kebutuhan metabolisme dan menggantikan jaringan subkutan. Tambahan vitamin C diperlukan untuk menggantikan cadangan protein dan vitamin B komplek dibutuhkan untuk keutuhan kulit dan penyembuhan luka, jika pasien tidak bisa makan maka nutrisi bisa diberikan melaui parenteral atau enteral (Potter and Perry, 2006). d. Hilangnya Persarafan Hilangnya persarafan otot, menyebabkan terjadinya atrofi otot. Pada kelemahan (hemiparesis), hilangnya persarafan seluruh daerah anggota tubuh dapat juga menyebabkan atrofi (disuse). Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya atrofi sebagai hasil dari anoksia jaringan yang juga bisa karena lambatnya dan berkurangnya aliran darah (Guyton, 2007). e. Usia Perubahan terkait usia pada sendi dan jaringan penyambungan menyebabkan terganggunya gerakan fleksi dan ekstensi, menurunnya fleksibilitas, dan berkurangnya bantalan perlindungan sendi (Miller, 1999). Usia 20-30 tahun baik laki-laki dan wanita akan mencapai puncak kekuatan otot, namun di atas usia tersebut akan mengalami penurunan kecuali diberikan latihan. Kondisi melemahnya otot pada

21 lansia dan penurunan daya tahan tubuh dapat muncul dengan cepat karena efek biokimia dan fisiologis (Carpenito, 2009). Semua otot tubuh secara terus menerus dibentuk kembali untuk menyesuaikan fungsi-fungsi yang dibutuhkan oleh otot dan perubahan ini seringkali berlangsung cepat dalam waktu beberapa minggu. Bila massa total suatu otot menjadi menurun, maka proses tersebut disebut atrofi otot. Bila suatu otot tidak digunakan selama waktu yang lama maka kecepatan penghancuran protein kontraktil juga jumlah miofibril yang timbul akan berlangsung lebih cepat dari pada kecepatan penggantinya, sehingga terjadi disuse atrofi otot (Guyton, 2007). Bila suatu otot kehilangan suplai sarafnya, maka otot itu tidak lagi menerima sinyal kontraksi yang dibutuhkan untuk mempertahankan ukuran otot yang normal. Pada tahap akhir dari atrofi akibat denervasi, sebagian besar serat otot akan dirusak dan digantikan oleh jaringan fibrosa dan jaringan lemak. Karena itu, satu masalah yang paling penting dalam melakukan terapi fisik adalah mempertahankan otot yang sedang mengalami atrofi agar tidak mengalami kelemahan (debilitating) dan kontraktur yang merusak bentuk (Guyton, 2007). Untuk memastikan suatu otot mengalami disuse atrofi atau tidak, maka pengukuran lingkar otot dapat dilakukan sesuai dengan letaknya dan dalam keadaan relaks. Dalam penelitian ini, lingkar otot yang akan diteliti adalah lingkar otot biceps dan triceps, lingkar otot esktensor carpi radialis, femuralis, lingkar otot gastrocnemius dan soleus. Penentuan pemeriksaan

22 lingkar otot biceps dan triceps adalah pada pertengahan antara pangkal lengan dan ujung siku, pengukuran lingkar ekstensor carpi radialis pada bagian distal dari siku, pengukuran lingkar otot femuralis pada pertengahan trochanterion dan lateral tibia, sedangkan untuk pengukuran lingkar otot gastrocnemius dan soleus pada aspek lateral tungkai. 5. Penanganan pasien stroke Menurut National Stroke Foundation (2010), terdapat beberapa terapi secara medik dan bedah pada pasien stroke, yaitu : a. Trombolisis 1. Terapi dengan tissue plasminogen activator (TPA) intravena pada stoke non hemoragik harus dilakukan pada pasien dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang spesifik. 2. Terapi TPA intravena harus diberikan segera mungkin dalam keamanan pasien dengan stroke non hemoragik dengan efek tergantung waktu dari trombolisis. Terapi harus diberikan saat beberapa jam pertama mungkin sekitar 4,5 jam setelah awitan terjadi. 3. Terapi TPA intravena harus diberikan dibawah perintah oleh physical training dan dan pengalaman dalam stroke non hemoragik. 4. Setting minimal untuk mengidentifikasi data dari semua tindakan pasien dengan trombolisis harus dicatat untuk memonitoring, melihat, dan membandingkan hasil yang ingin dicapai.

23 5. Permulaan pemberian aspirin untuk pasien yang mendapatkan trombolisis harus diberikan selama 24 jam. b. Neuroproteksi 1. Intra arterial trombolisis selama 6 jam terakhir bisa dipilih secara aman oleh pasien. 2. Setiap bagian harus mempertimbangkan keuntungan fasilitas dan sistem untuk intra arterial trombolisis. 3. Tidak cukup bukti untuk merekomendasikan untuk menggunakan sistem menghilangkan bekuan dan praktek kliniknya. c. Terapi antitrombosis 1. Aspirin oral, nasogastric tube atau suppositorial harus diberikan segera mungkin setelah tanda-tanda stroke terjadi. Dosis pertama pemberian sebanyak 150 sampai 300 mg dan setelah itu bisa diturunkan menjadi 100 mg perhari. 2. Penggunaan antikoagulan secara rutin pada pasien stroke non hemoragik tidak direkomendasikan. d. Terapi penurunan tekanan darah 1. Pada stroke non hemoragik, jika tekanan darah lebih dari 220/120 mmhg, antihypersensitivitas dapat diberikan untuk menurunkan. 2. Pada intracerebral hemoragik dengan tingkat hipertensi berada pada level sedang dapat diberikan 24 sampai 48 jam setelah awitan terjadi.

24 3. Setelah itu terapi antihipersensitivitas dapat dilanjutkan tetapi jangan sampai pasien mengalami hipotensi. e. Terapi pembedahan untuk stroke hemoragik dan managemen edema cerebral 1. Pasien dengan arteri cerebral infark harus segera dilakukan bedah saraf untuk menurunkan decompressive hemicraniectomy. 2. Corticosteroid tidak direkomendasikan untuk managemen pasien dengan edema otak dan tekanan intrakranial. B. Latihan Otot pada Stroke Non Hemoragik 1. Pengertian Menurut Michael, et al., (2008), latihan didefinisikan sebagai subkelompok latihan fisik berupa gerakan tubuh yang terencana, terstruktur dan repetitif (berulang) untuk memperbaiki atau memelihara satu atau lebih komponen kebugaran fisik. Rekomendasi latihan fisik pada orang dewasa menekankan pada akumulasi latihan fisik yang sedang selama 30 menit dan dilakukan setiap hari. Ketika menilai latihan fisik, paling tidak terdapat empat dimensi utama yang menjadi fokus perhatian latihan, yaitu : a. Tipe Tipe atau cara latihan fisik mengacu pada berbagai latihan spesifik yang dilakukan oleh pasien. Tipe latihan yang sering dilakukan dapat berupa jalan-jalan kecil dan lari yang cukup berkontribusi dalam

25 penguatan otot. Latihan dengan intensitas yang lebih tinggi cukup berkontribusi dalam pengeluaran energi. b. Frekuensi dan Durasi Frekuensi latihan fisik mengacu kepada jumlah sesi latihan fisik per satuan waktu. Durasi latihan fisik merupakan lamanya waktu yang dihabiskan ketika melakukan latihan ini. Secara teoritis, frekuensi dan durasi latihan fisik tampak mudah dinilai karena sebagian besar subjek penelitian melakukan latihan fisik secara teratur. c. Intensitas Aktivitas Fisik Intensitas latihan fisik sering dinyatakan dengan istilah ringan, sedang atau moderate, keras atau vigorous, dan sangat keras atau strenuous. Kategori intensitas ini dapat difenisikan dengan pengertian absolut dan relatif, pengelompokan absolut yang sering dipakai untuk intensitas latihan fisik adalah metabolic energy turnover (MET). Latihan fisik dapat dinilai dalam bentuk total volume latihan fisik atau pengeluaran energi yang berkaitan dengan latihan fisik. Pemberian latihan fisik bertujuan untuk menilai kekuatan otot dan ketahanan otot yang bersifat spesifik untuk otot atau kelompok otot serta tipe kontraksi otot, dan kecepatan kontraksi otot. Kebugaran otot secara langsung berkaitan dengan berat badan total dan jumlah massa otot yang tidak berlemak. Faktor-faktor yang mempengaruhi penampilan otot menurun adalah kelelahan otot, pengaruh obat-obatan, durasi latihan, keadaan emosional pasien (Donald, et al., 2003)

26 2. Jenis Pelatihan Kekuatan Otot Latihan fisik dengan segala metodenya dapat membantu memperbaiki fungsi saraf dan otot serta memperlancar aliran darah, sehingga sangat bermanfaat bagi pasien pasca stroke. Hasil penelitian menurut Potempa (1995), bahwa hanya kelompok latihan yang memperlihatkan peningkatan signifikan pada konsumsi oksigen maksimal, beban kerja dan lama latihan. Setelah terjadi serangan stroke pada seseorang akan timbul efek primer berupa paresis, paralisis, spastisitas, dan disfungsi perseptual sensori karena adanya kerusakan upper motor neuron, sedangkan efek sekundernya adalah kontraktur dan atrofi otot akibat tidak dipakai (disuse atrofi otot). Stroke dengan hemiparesis akan menimbulkan perubahan fisiologis di serabut otot dan metabolisme otot selama latihan. Beberapa latihan telah mengukur kapasitas latihan puncak pada pasien hemiparesis dan secara konsisten dapat diamati bahwa penderita stroke mempunyai kapasitas fungsional yang rendah. Latihan daya tahan (endurance exercise) merupakan komponen penting dalam rehabilitasi, rata-rata kenaikan konsumsi oksigen maksimal pada penderita stroke adalah 13,3% apabila pasien mengikuti program latihan selama 10 minggu (NICE, 2013). Pasien dengan stroke non hemoragik harus mendapatkan program latihan aktif setelah pasien bedrest total dan memerlukan latihan berdiri, jalan, dan lebih aktif lagi. Mobilisasi dini secara layak dan aman dengan intervensi yang masih dapat ditoleransi dan dengan frekuensi yang lebih

27 banyak. Penelitian menunjukkan bahwa rehabilitasi dapat dimulai dalam hitungan jam atau hari setelah awitan stroke terjadi dan mobilisasi dini dapat menurunkan tingkat depresi pada hari ke empat atau ke lima (National Stroke Foundation, 2010). Bentuk latihan otot yang dapat diberikan pada pasien stroke dengan hemiparesis adalah latihan isometrik. Latihan isometrik dilakukan dengan kerja otot melawan tahanan atau beban yang tidak bergerak atau menahan suatu objek pada suatu posisi statik. Penambahan kekuatan sebesar 5% per minggu diperoleh melalui satu kontraksi isometrik selama 6 detik pada 2/3 kekuatan isometrik maksimum dan dilakukan sekali sehari. Kontraksi otot dikatakan isometrik bila otot tidak memendek selama kontraksi, dan dikatakan isotonik bila otot memendek dan tekanan pada otot tetap konstan. Pada sistem isometrik, otot berkontraksi melawan tranduser kekuatan tanpa mengurangi panjang otot sedangkan pada sistem isotonik, otot memendek melawan beban yang ada. Gambaran khas kontraksi isotonik bergantung pada beban yang dilawan oleh kontraksi otot juga pada inersia beban, sebaliknya sistem isometrik merekam secara tepat perubahan pada kekuatan kontraksi otot itu sendiri (Guyton, 2007). Sebelum dilakukan latihan sebaiknya dilakukan pemeriksaan kekuatan otot pasien untuk memastikan fungsi otot dalam kondisi baik atau tidak. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan kemampuan pasien untuk menerima atau merespon rangsangan merupakan dasar untuk dilakukan latihan, berupa melakukan pergerakan minimal atau pun adanya tahanan

28 minimal (National Stroke Foundation, 2010). Kriteria penilaian kekuatan otot adalah (0) tidak ada gerakan, (1) kontraksi otot minimal tanpa adanya pergerakan, (2) otot dapat digerakkan apabila tidak diberikan gaya berat, (3) gerakan otot mampu melawan gaya berat namun tidak bisa menahan, (4) adanya pergerakan otot dan mampu melawan arah gravitasi, (5) gerakan otot maksimal. Berikut beberapa bentuk latihan yang dapat dilakukan pada pasien stroke, yaitu : a. Pengaturan Posisi (Properpositioning) Pasien dengan gangguan fungsi sistem skeletal, saraf atau otot dan peningkatan kelemahan serta kekakuan biasanya membutuhkan bantuan orang lain untuk memperoleh kesejajaran tubuh ketika berada di tempat tidur ataupun duduk. Terdapat banyak alat bantu yang dapat digunakan untuk mengatur posisi tubuh pasien untuk mempertahankan kesejajaran tubuh pasien yang baik selama diposisikan. Fungsi dilakukannya pengaturan posisi pada pasien stroke adalah untuk meningkatkan kenyamanan, mendukung ventilasi curah jantung, menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan ekstremitas pada posisi fungsional untuk mencegah kontraktur (Potter and Perry, 2005). b. Blader Training Kemampuan pasien untuk berkemih tergantung pada adanya rasa desakan untuk berkemih, kemampuan mengontrol sfingter uretra, dan kemampuan untuk rileks selama berkemih. Teknik blader training

29 adalah dengan cara mengikat selang kateter selama beberapa waktu untuk melatih kontraksi blader menghasilkan urine. Ketidakmampuan pasien untuk berkemih secara normal akibat adanya gangguan saraf atau masalah pada reproduksi (Potter and Perry, 2005). c. Range of Motion Exercise Aktivitas fisik dapat dilakukan dengan berbagai cara untuk mempertahankan kesehatan jasmani, meningkatkan kondisi tubuh dan untuk memperbaiki deformitas atau mengembalikan seluruh tubuh ke status kesehatan maksimal. Jumlah maksimum gerakan yang mungkin dilakukan sendi terdiri dari tiga potongan tubuh, yaitu sagital, frontal, dan transversal (Potter and Perry, 2005). Potongan sagital adalah garis yang melewati tubuh dari depan ke belakang, membagi tubuh menjadi bagian kiri dan kanan. Potongan frontal melewati tubuh dari sisi ke sisi dan membagi tubuh menjadi bagian depan dan belakang. Potongan transversal adalah garis horisontal yang membagi tubuh menjadi bagian atas dan bawah (Potter and Perry, 2005). Pada potongan sagital, gerakannya adalah fleksi dan ekstensi (jarijari tangan dan siku) dan hiperekstensi (pinggul). Pada potongan frontal, gerakannya adalah abduksi dan adduksi (lengan dan tungkai) dan eversi dan inversi (kaki). Pada potongan transversal, gerakannya adalah pronasi dan supinasi (tangan), rotasi internal dan eksternal

30 (lutut), dan dorsifleksi dan plantarfleksi (kaki) (Potter and Perry, 2005). d. Latihan Brief Repetition Isometric Maximum Exercise (BRIME) Konsep dasar dari Brief Repetition Isometric Maximum Exercise (BRIME) adalah menggunakan 6-12 kali kontraksi isometrik dengan kekuatan maksimal berlangsung selama 6-10 detik setiap repetisi, dilakukan sebanyak 1-3 set selama 5 hari perminggu. Selama proses latihan, otot tersebut diberikan kesempatan istirahat selama 2 hari untuk memberi stimulasi kepada sel untuk menyeimbangkan proses remodeling otot sehingga terjadi eliminasi dan dekomposisi protein kontraktil dengan jumlah yang sama dan menurunkan sirkulasi darah ke otot. Latihan dengan teknik repetitif dapat meningkatkan kekuatan otot mencapai 203% dibandingkan dengan latihan tunggal (Artana, 2013). Latihan BRIME memiliki tingkat keefektifan yang hampir sama dengan latihan isotonik. Hal ini dapat dibuktikan dari hasil pemeriksaan elektromiografi, dimana kontraksi otot isotonik lebih menggunakan motor performance. Pada setiap kontraksi, koordinasi neuromuscular dapat dihasilkan lebih baik karena inervasi pada nerve muscle lebih kompleks sehingga tidak terlalu mengalami kelelahan. Program latihan ini sudah diprogram untuk memaksimalkan kekuatan otot dan meningkatkan massa otot itu sendiri. Peningkatan massa otot dapat dilihat dari berapa lama dilakukan kontraksi dan

31 berapa lama otot itu mengalami istirahat. Latihan yang progesif dapat meningkatkan serabut-serabut saraf untuk berkontraksi dan meningkatkan kontraksi otot. 3. Efek Latihan Dalam Mencegah Disuse Atrofi Otot Efek yang dirasakan setelah latihan adalah peningkatan koordinasi intermuscular dengan meningkatkan kerjasama antara group otot yang berbeda agar terjadi peningkatan koordinasi gerakan yang efisien, perubahan ini terjadi selama 2 sampai 3 minggu setelah latihan rutin. Terdapat juga peningkatan hipertrofi otot yang merupakan restrukturisasi pada jaringan otot sebagai peningkatan fungsional pada massa otot. Hipertrofi otot secara langsung berhubungan dengan sintesis material selular, terutama pada protein elemen kontraktil yang berhubungan dengan peningkatan jumlah volume mitokondria dalam sel otot (Hardjono, 2008).