PENGGUNAAN KINESIOTAPE

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Muskulus kuadrisep adalah salah satu jaringan lunak yang paling penting

*ARA Physiotherapy Clinic, Tangerang ** Ilmu Faal, Universitas Udayana, Bali *** Fakultas Fisioterapi, Universitas Esa Unggul, Jakarta

PENGARUH PENAMBAHAN KINESIO TAPPING PADA QUADRICEP EXERCISE TERHADAP LINGKUP GERAK SENDI PENDERITA PATELLA FEMORAL SYNDROME NASKAH PUBLIKASI

Abdurrasyid Fisioterapis ARA Physiotherapy Clinic, Tangerang Jalan MH Thamrin Boulevard, Lippo Karawaci, Tangerang

ARAPhysio.com Jakarta, Maret 2013, Patellofemoral Pain Syndrome 1

Sindrom Nyeri Patellofemoral. Patellofemoral pain syndrome (PFPS)

BAB I PENDAHULUAN. sekedar jalan-jalan atau refreshing, hobi dan sebagainya. Dalam melakukan

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perubahan ini terjadi sejak awal kehidupan sampai lanjut usia pada

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat besar terhadap kehidupan masyarakat disuatu negara,

BAB I PENDAHULUAN. sehingga menghambat aktivitas kegiatan sehari-hari, di Jerman persentase

APLIKASI ICE MASSAGE SESUDAH PELATIHAN LEBIH BAIK DALAM MENGURANGI TERJADINYA

BAB I PENDAHULUAN. fungsional untuk menjadikan manusia menjadi berkualitas dan berguna

BAB I PENDAHULUAN. dan anggota gerak bawah. Yang masing-masing anggota gerak terdiri atas

BAB I PENDAHULUAN. fungsionalnya. Kompleksnya suatu gerakan dalam aktifitas seperti. tulang-tulang yang membentuk sendi ini masing-masing tidak ada

AL UM ANISWATUN KHASANAH

BAB I PENDAHULUAN. mana jika kesehatan terganggu maka akan dapat mempengaruhi. kemampuan seseorang dalam melakukan aktifitas sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENDAHULUAN. Olahraga merupakan hal yang penting dalam kehidupan kita, karena

BAB I PENDAHULUAN. meningkatnya aktifitas masyarakat diluar maupun didalam ruangan. melakukan atifitas atau pekerjaan sehari-hari.

BAB I PENDAHULUAN. aktivitas. Aktivitas-aktivitas tersebut berlangsung di tempat kerja, sekolah, kampus

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk yang dinamis, dimana pada hakekatnya selalu

PELATIHAN METODE BOBATH LEBIH BAIK DARIPADA METODE FELDENKRAIS TERHADAP PENINGKATAN KESEIMBANGAN PADA PASIEN PASCA STROKE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar ke-4

KOMBINASI LATIHAN STAR EXCURSION BALANCE DAN KINESIOLOGY TAPE

ANAK AGUNG GEDE ANOM NIM:

BAB I PENDAHULUAN. dipengaruhi oleh tugas, kepribadian, dan lingkungan, seperti bekerja, olahraga,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Patella merupakan tulang sesamoid terbesar yang ada di tubuh, menduduki

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENAMBAHAN ISOMETRIK HAMSTRING MENINGKATKAN PANJANG LANGKAH PASIEN PEREMPUAN DENGAN OSTEOARTRITIS LUTUT

KOMBINASI FOOT MUSCLE STRENGTHENING

BAB 1 PENDAHULUAN. kebutuhan tersebut manusia melakukan macam aktivitas. Aktivitas yang sangat

KOMBINASI LATIHAN EKSENTRIK M.GASTROCNEMIUS DAN LATIHAN PLYOMETRIC LEBIH BAIK DARI PADA LATIHAN EKSENTRIK M

BAB I PENDAHULUAN. Manusia setiap hari melakukan gerakan untuk melakukan suatu tujuan

BAB I PENDAHULUAN. Colin Mathers, koordinator divisi kematian dan penyakit di WHO,

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu gerak yang merupakan kebutuhan dasar manusia untuk beraktivitas

SKRIPSI NYOMAN HARRY NUGRAHA

BAB I PENDAHULUAN LatarBelakang

SKRIPSI. Oleh : Luh Putu Ayu Wulandari Nim

INTERVENSI ULTRASOUND

PERBEDAAN EFEKTIVITAS LATIHAN HEXAGON DRILL DAN ZIG-ZAG RUN

DAN WILLIAM FLEXION EXERCISE

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PERBEDAAN INTERVENSI MUSCLE ENERGY TECHNIQUE DAN INFRARED

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. aktifitas sehari- hari, beradaptasi dan berkontribusi di lingkungan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. stabilitas sendi dapat menurunkan proprioseptif dan koordinasi yang dapat. mengakibatkan meningkatkan risiko cedera.

PELATIHAN VISUAL CUE TRAINING

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan keberhasilan pemerintah dalam pembangunan nasional

SIKAP DUDUK ERGONOMIS MENGURANGI NYERI PUNGGUNG BAWAH NON SPESIFIK PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan, sehingga membuat manusia menjadi kurang bergerak (hypokinetic),

BAB I PENDAHULUAN. maka kesehatan fisik ialah salah satu hal yang penting. Kesehatan fisik

BAB I PENDAHULUAN. mencapai tingkat derajad kesehatan masyarakat secara makro. Berbagai

PENAMBAHAN BALLISTIC STRETCHING

SKRIPSI PERBEDAAN LATIHAN PLIOMETRIK DEPTH JUMP DAN JUMP TO BOX TERHADAP PENINGKATAN KECEPATAN LARI PADA PEMAIN SEPAK BOLA DI SMA N 1 MANGGIS

BAB I PENDAHULUAN. gerak. Manusia selalu berhubungan dengan proses gerak untuk melakukan

Dewasa ini didapati angka kehidupan masyarakat semakin meningkat. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Sekarang ini, terjadi banyak perkembangan di berbagai bidang

KOMBINASI HALF SQUAT EXERCISE

PENGARUH FISIOTAPING TERHADAP PENINGKATAN KEMAMPUAN FUNGSIONAL PADA PASIEN OSTEOARTHRITIS

ABSTRAK KOMBINASI FOOT MUSCLE STRENGTHENING

BERBAGAI MACAM TES UNTUK MENENTUKAN TINGKAT KESTABILAN SENDI LUTUT. Oleh: Bambang Priyonoadi Jur. PKR-FIK-UNY

PERBEDAAN PILATES EXERCISES

BAB I PENDAHULUAN. dan mobilisasi yang baik, tidak ada keluhan dan keterbatasan gerak terutama

BAB I PENDAHULUAN. Kondisi optimal untuk berinteraksi dengan lingkungan menjadi tuntutan

Insidens Dislokasi sendi panggul umumnya ditemukan pada umur di bawah usia 5 tahun. Lebih banyak pada anak laki-laki daripada anak perempuan.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. fisik dengan menggunakan anggota tubuhnya. Biasanya anggota yang. badan, pergerakan tersebut bisa terjadi pada saat beraktivitas.

PENAMBAHAN SHAKING MASSAGE

: ELVIRA LUCKINDA KRISNIAJATI J100

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, dimana harus mempunyai kemampuan fungsi yang optimal

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi telah berkembang sangat pesat. Hal tersebut menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. robek pada ligamen,atau patah tulang karena terjatuh. Cedera tersebut

BAB I PENDAHULUAN. kebiasaan gerak tubuh yang benar maka akan terus menerus dipertahankan di

Protokol Fisioterapi Patellofemoral Pain. Syndrome (PFPS) Physiotherapy Protocol. Abdurrasyid, SSt. Ft, M. Fis

BAB I PENDAHULUAN. Dengan bertambahnya jumlah penduduk dan semakin tingginya. tuntut untuk memperbaiki kualitas kehidupan manusia, karena banyak

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan rutin, hal tersebut menjadi suatu hal yang alamiah untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. sampai maksimal tetapi pada kenyataannya bukan gerak maksimal yang ada tetapi

BAB 1 PENDAHULUAN. serta bidang kesehatan. Setiap orang yang hidup baik usia produktif maupun

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO) menyatakan bahwa stroke adalah

PADA BURUH ANGKUT BERAS DI DESA MENGESTA, TABANAN

BAB I PENDAHULUAN. pengguna jasa asuransi kesehatan. Pengertian sehat sendiri adalah suatu kondisi

PEMBERIAN PELATIHAN KEKUATAN AYUNAN LENGAN (ARM SWING)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. degeneratif atau osteoarthritis (OA). Sendi merupakan faktor penunjang yang

HUBUNGAN ANTARA AKTIVITAS BERMAIN BULUTANGKIS DENGAN KECENDERUNGAN TERKENA TENNIS ELBOW DI GOR BULUTANGKIS DIRGANTARA KARTASURA

BAB I PENDAHULUAN. Beberapa data yang tersedia menurut World Health Organization (2010),

INTERVENSI CONTRACT RELAX STRETCHING DIRECT LEBIH BAIK DALAM MENINGKATKAN FLEKSIBILITAS OTOT HAMSTRING

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROGRAM STUDI FISIOTERAPI UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR

SKRIPSI ANAK AGUNG GEDE ANGGA PUSPA NEGARA

MODUL PRAKTIKUM MATA KULIAH FISIOTERAPI OLAHRAGA. Tim Penyusun : SyahmirzaIndraLesmana, SFT, SKM, M.Or Muhammad ZIkra, S.Ft Victor SieraNenga, S.

FRAKTUR TIBIA DAN FIBULA

BAB I PENDAHULUAN. beratnya latihan dan kontak badan antar pemain bertumpu pada fisik. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. telapak kaki. Bentuk kaki datar pada masa bayi dan anak-anak dengan usia

SKRIPSI. Oleh: Yuni Novianti Marin Marpaung NIM KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROGRAM STUDI FISIOTERAPI FAKULTAS KEDOKTERAN

BAB I PENDAHULUAN. nyeri tak tertahankan, mempengaruhi tangan, punggung, leher, lengan, bahkan

INTERVENSI ULTRA SOUND

Apakah Anda menderita nyeri. MAKOplasty. pilihan tepat untuk Anda

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS. Kinesiologi adalah ilmu yang mempelajari tubuh manusia pada waktu

Transkripsi:

TESIS PENGGUNAAN KINESIOTAPE SELAMA TIGA HARI TIDAK BERBEDA DENGAN PEREKAT PLASEBO DALAM MENGURANGI RESIKO CEDERA BERULANG DAN DERAJAT Q-ANGLE PADA PENDERITA PATELLOFEMORAL PAIN SYNDROME ABDURRASYID PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013

TESIS PENGGUNAAN KINESIOTAPE SELAMA TIGA HARI TIDAK BERBEDA DENGAN PEREKAT PLASEBO DALAM MENGURANGI RESIKO CEDERA BERULANG DAN DERAJAT Q-ANGLE PADA PENDERITA PATELLOFEMORAL PAIN SYNDROME ABDURRASYID NIM 1190361008 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA-FISIOTERAPI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013

PENGGUNAAN KINESIOTAPE SELAMA TIGA HARI TIDAK BERBEDA DENGAN PEREKAT PLASEBO DALAM MENGURANGI RESIKO CEDERA BERULANG DAN DERAJAT Q-ANGLE PADA PENDERITA PATELLOFEMORAL PAIN SYNDROME Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister Pada Program Magister Program Studi Fisiologi Olah Raga Konsentrasi Fisioterapi, Program Pascasarjana Universitas Udayana ABDURRASYID NIM 1190361008 PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI FISIOLOGI OLAHRAGA-FISIOTERAPI PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013 ii

Lembar Pengesahan Pembimbing TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL SEPTEMBER 2013 Mengetahui, Ketua Program Studi Fisiologi Olahraga Fisioterapi Program Pascasarjana Universitas Udayana, Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana, Prof.DR.dr.J.Alex Pangkahila,M.Sc,Sp.And NIP. 19440201 196409 1 001 Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,Sp.S(K) NIP. 195902151985102001 iii

Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 3 Oktober 2013 Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No.: 1815/UN.14.4/HK/2013, Tanggal 25 September 2013 Ketua : Prof. dr. Dewa Putu Sutjana, PFK, M.Erg Anggota : 1. Muhammad Irfan, SKM, S.Ft, M.Fis 2. Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro 3. Syahmirza Indra Lesmana, SKM, S.Ft, M.OR 4. DR. dr. I Made Jawi, M.Kes iv

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS UDAYANA Kampus Bukit Jimbaran Telepon (036021-701812), 701954, 703138, 703139, Fax.(0361)-701907, 702442 Laman: www.unud.ac.id SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama : Abdurrasyid Nim : 1190361008 Program Studi : Magister Fisiologi Olahraga Konsentrasi Fisioterapi Judul Tesis : Penggunaan Kinesiotape Selama Tiga Hari Tidak Berbeda Dengan Perekat Plasebo Dalam Mengurangi Resiko Cedera Berulang dan Derajat Q-Angle Pada Penderita Patellofemoral Pain Syndrome. Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah tesis ini bebas plagiat. Apabila dikemudian hari terbukti terdapat plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No. 17 tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku. Denpasar, 3 Oktober 2013 Pembuat pernyataan Abdurrasyid Nim: 1090361008 v

UCAPAN TERIMA KASIH Pertama, penulis panjatkan puji syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan ilmu yang diberikan, Agar menjadi manfaat, baik sebagai salah satu bentuk ibadah dalam pencarian ilmu dan menjadi manfaat yang berguna bagi penulis dan sesama manusia. Berkat rizki-nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan lancar. Penulis mengucapkan terimakasih kepada Prof. dr. Dewa Putu Sutjana, PFK, M. Erg selaku pembimbing I, yang telah membimbing penulis untuk dapat memahami dan menyelesaikan tesis ini. Terimakasih juga penulis ucapkan kepada Muhammad Irfan, SKM, S.Ft, M.Fis yang telah memberikan semangat kepada penulis untuk terus belajar memahami dan membimbing penulis agar dapat menyelesaikan tesis ini. Berkat jasa mereka, penulis dapat terus memperjuangkan penelitian ini. Selain itu, mereka juga sebagai motivator yang dapat dicontoh dalam pengaplikasian ilmu. Ucapan terimakasih juga ditujukan kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika,Sp.PD,KEMD atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Magister Di Universitas Udayana. Ucapan terimakasih ini juga ditujukan kepada Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Udayana Prof.Dr.dr.A.A.Raka Sudewi,Sp.S(K) atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pasca Sarjana Universitas Udayana. Tidak lupa pula penulis ucapkana terimakasih kepada Prof.Dr.dr.J.Alex Pangkahila,M.Sc,Sp.And selaku Ketua Program Studi vi

Pascasarjana Fisiologi Olahraga Konsentrasi Fisioterapi Universitas Udayana atas ijin yang diberikan kepada penulis untuk mengikuti pendidikan Program Studi Pascasarjana Fisiologi Olahraga Konsentrasi Fisioterapi Universitas Udayana. Ucapan terimakasih penulis sampaikan pula kepada para penguji tesis, Dr. dr. Bagus Komang Satriyasa, M.Repro, Syahmirza Indra Lesmana, SKM, S.Ft, M.OR, Muhammadn Irfan, SKM,S. FT, M.Fis, DR. dr. I Made Jawi, M.Kes yang telah memberikan masukan, saran, bimbingan, sanggahan dan koreksi sehingga tesis ini dapat terwujud menjadi lebih baik. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada seluruh staff dosen pengajar dan staff pengelola Program Studi Fisiologi Olahraga Konsentrasi Fisioterapi Pascasarjana Universitas Udayana yang telah membantu dan memberi dukungan bagi penulis sebagai mahasiswa. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak dan Ibu tercinta, Idrus Jus at, Phd, dan Childa Maisni, M. Kes beserta seluruh keluarga yang telah menjadi inspirasi bagi penulis untuk menyelesaikan tesis ini. Tidak lupa pula sahabat dan kekasih, Ayu Rahma Aisyah, S.Ft yang selalu mendukung dalam proses penyelesaian tesis ini. Selain itu Kepada rekan Indonesia Sport Medicine Centre (ISMC), Sport and Wellness Centre Universitas Pelita Harapan, Jong Physiotherapy Project (JPP) dan ARA Physiotherapy Clinic yang telah memberikan kesempatan dan waktu bagi penulis untuk menyelesaikan Program Pascasarjana Fisiologi Olahraga Konsentrasi Fisioterapi Universitas Udayana. Tak lupa pula saya hanturkan rasa terima kasih kepada rekan Magister Fisiologi Olahraga 2011/2012 seperti Fadhil, Kak Medi, vii

Pak Sudayanto, dan lain-lain yang selalu memberikan dukungan dalam penyelesaian tesis ini. Semoga penulis dapat memberikan sumbangan kepada masyarakat dan profesi setelah menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana Fisiologi Olahraga Konsentrasi Fisioterapi Universitas Udayana. Semoga Allah SWT selalu menuntun dan melimpahkan rahmatnya kepada penulis dan memberikan rahmat kepada semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan tesis ini. AMIN. Denpasar, 3 Oktober 2013 Hormat Saya, Penulis viii

ABSTRAK PENGGUNAAN KINESIOTAPE SELAMA TIGA HARI TIDAK BERBEDA DENGAN PEREKAT PLASEBO DALAM MENGURANGI RESIKO CEDERA BERULANG DAN DERAJAT Q-ANGLE PADA PENDERITA PATELLOFEMORAL PAIN SYNDROME Abdurrasyid Banyaknya atlet yang menderita Patellofemoral Pain Syndrome (PFPS) menggunakan kinesiotape saat bertanding atau dalam waktu kurang dari dua minggu, menjadi sebuah pertanyaan apakah ada efektifitasnya saat digunakan ketika bertanding dan berlatih. Tujuan penelitian ini untuk memastikan penggunaan kinesiotape selama tiga hari tidak berbeda dengan perekat plasebo dalam mengurangi resiko cedera berulang dan menurunkan q-angle pada penderita patellofemoral pain syndrome (PFPS). Metode penelitian ini eksperimental dengan rancangan randomized clinical trial design. Sampel sebanyak 17 atlit yang menderita PFPS dan waktu observasi selama tiga hari. Kelompok dibagi menjadi dua, yaitu kelompok kinesiotape (n=9) sebagai perlakuan dan kelompok plasebo (n=8) sebagai kontrol. Instrumen pengukuran yang digunakan adalah functional movement screening (FMS) dan q-angle. Hasil yang didapat dari penelitian ini didapatkan kelompok kinesiotape mampu mengurangi resiko cedera berulang p = 0,002 (p < 0,05). Begitu pula dengan kelompok plasebo juga mampu mengurangi resiko cedera berulang p = 0,01 (p < 0,05). Kinesiotape mampu menurunkan derajat q-angle dengan p = 0,004 (p < 0,05). Begitu pula dengan kelompok plasebo juga mampu mengurangi derajat q-angle dengan p = 0,008 (p < 0,05). Uji beda pada pengukuran FMS menggunakan independent-t test didapatkan p = 0,777 (p > 0,05), dan uji beda dengan pengukuran q-angle menggunakan mann-whitney test didapatkan p = 0,63 (p > 0,05). Kesimpulan yang didapat bahwa penggunaan kinesiotape dan perekat plasebo mampu mengurangi resiko cedera berulang dan derajat q-angle selama tiga hari. Hal ini menjelaskan bahwa menggunakan kinesiotape memiliki efektifitas yang sama dengan perekat plasebo yang tidak elastis saat digunakan ketika bertanding dan berlatih. Kata kunci : kinesiotape, resiko cedera berulang, q-angle, patellofemoral pain syndrome, functional movement screening. ix

ABSTRACT KINESIOTAPE USE FOR THREE DAYS WAS NO DIFFERENT FROM PLACEBO TO REDUCE THE RISK OF REPETITIVE INJURY AND Q- DEGREE ANGLE ON PAIN SYNDROME PATIENTS PATELLOFEMORAL PAIN SYNDROME Abdurrasyid Many athletes who suffer Patellofemoral Pain Syndrome (PFPS), they using kinesiotape while playing or less than two weeks, this condition make a question of there are efficacy when used kinesiotape while playing and practicing. The purpose of this study to ensure the use of kinesiotape for three days did not differ with adhesive placebo in reducing the risk of repetitive injury and q-angle in patients with patellofemoral pain syndrome (PFPS). The experimental research method to design randomized clinical trial design. Sample of 17 athletes who suffer from PFPS and time of observation for three days. Divided into two groups, kinesiotape groups (n = 9) as the treatment and placebo groups (n = 8) as a control. Measurement instruments used were Functional Movement Screening (FMS) and Q-angle. The results of this study, kinesiotape group able to reduce the risk of repetitive injury with p = 0.002 (p <0,05). Placebo group was also able to reduce the risk of repetitive injury p = 0.01 (p <0,05). Kinesiotape able to decrease q- angle with p = 0.004 (p <0,05). Placebo group was also able to reduce the q-angle with p = 0.008 (p <0,05). At different test measurements FMS using independent t-test p = 0.777 (p> 0.05), and a different test with q-angle measurements using the Mann-Whitney test p = 0.63 (p> 0,05). The conclusion that the use of kinesiotape and adhesives placebo can reduce the risk of recurrent injury and the degree of q-angle for three days. It is clear that using kinesiotape have the same effectiveness with placebo were not elastic adhesive while playing a game and practicing. Key Words : kinesiotape, repeated injury, q-angle, patellofemoral pain syndrome, functional movement screening. x

DAFTAR ISI Halaman SAMPUL DALAM PRASYARAT GELAR MAGISTER..... LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING... LEMBAR PENETAPAN PENGUJI. SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT.. UCAPAN TERIMA KASIH. ABSTRAK.... ABSTRACT... DAFTAR ISI.. DAFTAR GAMBAR..... DAFTAR TABEL.. DAFTAR LAMPIRAN. DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA i ii iii iv v vi ix x xi xiv xvi xvii xviii BAB I PENDAHULUAN.. 1.1 Latar Belakang... 1.2 Rumusan Masalah.. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.4 Manfaat Penelitian. BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Patellofemoral Pain Syndrome.. 2.1.1 Pengertian... 2.1.2 Anatomi dan Biomekanik.. 2.1.2.1 Anatomi Patela... 2.1.2.2 Gaya vektor Otot Quadriceps 2.1.2.3 Sudut Quadricep (Q-angle)... 2.1.2.4 Reseptor Saraf Sensoris. 2.1.2.5 Rantai Kinetik 2.1.3 Etiologi Patellofemoral Pain Syndrome. 2.1.4 Patofisiologi Patellofemoral Pain Syndrome 2.1.4.1 Faktor Neuromuskular... 2.1.4.2 Faktor Biomekanika.. 2.1.5 Pemeriksaan Spesifik pada PFPS... 2.1.5.1 Pemeriksaan Manual Ortopedi.. 2.1.5.2 Mengukur Q-angle. 2.1.5.3 Antropometri Quadriceps. 2.1.6 Penanganan Patellofemoral Pain Syndrome.. 2.2 Kinesiotape. 2.2.1 Pengertian... 2.2.2 Pengaruh Fisiologi. 1 1 4 4 5 5 6 7 7 7 7 7 8 11 13 14 16 16 18 19 21 22 23 23 24 24 24 26 xi

2.2.3 Pengaruh Neuromuskular... 2.2.4 Pengaruh Biomekanika.. 2.3 Resiko Cedera 2.3.1 Pengertian.. 2.3.2 Prediktor Resiko Cedera BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS... 3.1 Kerangka Berpkir.. 3.2 Kerangka Konsep... 3.3 Hipotesis. BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian. 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian.. 4.3 Penentuan Sumber Data. 4.3.1 Populasi.. 4.3.2 Sampel 4.3.2.1 Kriteria Inklusi. 4.3.2.2 Kriteria Eksklusi.. 4.3.3 Besar Sampel.. 4.3.4 Teknik Pengambilan Sampel. 4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Variabel Bebas.. 4.4.2 Variabel Tergantung. 4.4.3 Definisi Operasional.. 4.5 Pengukuran Q-Angle 4.6 Instrumen Penelitian.. 4.7 Prosedur Penelitian. 4.7.1 Tahap Persiapan. 4.7.2 Pengambilan Data Awal.. 4.7.3 Tahap Pemilihan dan Penentuan Sampel 4.7.4 Tahap Pelaksanaan Penelitian 4.7.5 Alur Penelitian 4.8 Analisis Data.. BAB V HASIL PENELITIAN. 5.1 Deskripsi Karakteristik Subjek Penelitian.. 5.2 Uji normalitas dan homogenitas data..... 5.3 Uji Peningkatan nilai FMS pada kelompok Kinesiotape 5.4 Uji peningkatan nilai FMS pada kelompok plasebo.. 5.5 Uji penurunan q-angle pada kelompok kinesiotape... 5.6 Uji Penurunan q-angle pada kelompok plasebo. 5.7 Uji Kompatibilitas... 5.8 Uji Hipotesis Peningkatan Kemampuan Functional Movement Screening Antara Kedua Kelompok Perlakuan. 5.9 Uji Hipotesis Penurunan Q-angle Antara Kedua Kelompok Perlakuan. 26 28 29 29 32 36 36 38 39 40 40 41 41 41 41 41 42 42 43 44 44 44 44 59 59 59 59 60 60 61 62 63 67 67 68 70 71 71 72 72 74 75 xii

BAB VI PEMBAHASAN. 6.1 Penggunaan Kinesiotape Selama Tiga Hari Tidak Berbeda Dengan Perekat Plasebo Dalam Resiko Cedera Berulang pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome.. 6.2 Penggunaan Kinesiotape Selama Tiga Hari Tidak Berbeda Dengan Perekat Plasebo Dalam Menurunkan Q-angle pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome.. 6.3 Kelemahan dan Upaya Penelitian. BAB VII SIMPULAN DAN SARAN.. 7.1 Simpulan.. 7.2 Saran.... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN.. 77 77 79 81 83 83 83 85 93 xiii

DAFTAR GAMBAR Halaman 2.1 Posisi Normal Patela Medial (Ym) dan Lateral (Yn)... 8 2.2 Sudut tekanan pada sendi patellofemoral 9 2.3 Perlekatan Iliotibial band dan tractus iliotibial di tuberculum Gerdys s 11 2.4 Gambaran dari pengukuran Q-angle 12 2.5 Saraf Sensoris Sensi Lutut 14 2.6 Ilustrasi Patela tilt ke lateral akibat tidak stabilnya sisi medial 19 2.7 Grafik perbedaan Q-angle antara yang tidak cedera dengan yang cedera... 20 2.8 A. Sendi Patellofemoral dalam posisi normal. B. (lihat dari atas ke bawah) Patela bergeser ke lateral, patella terangkat ke lateral, dan patela internal rotasi.. 21 2.9 Patellar Apprehension Test.. 22 2.10 Pengukuran Q-angle 23 2.11 Pengaruh Kinesiotape Pada Jaringan Lunak 27 2.12 Grafik Observasi EMG Perubahan Aktivitas Otot dengan Menggunakan Kinesiotape 28 2.13 Piramida hubungan aktifitas fisik terhadap resiko cedera 29 2.14 Komponen kemampuan fungsional 31 2.15 Grafik linear hubungan antara nilai FMS dengan resiko cedera 34 3.1 Bagan Kerangka Konsep 38 4.1 Rancangan Penelitian 40 4.2 Aplikasi Kinesiotape pada Otot Vastus Medialis Oblique 45 4.3 Aplikasi Kinesiotape pada Patela 46 4.4 Aplikasi Kinesiotape pada Otot Vastus Lateralis dan Iliotibial Band 47 4.5 Aplikasi Kinesiotape Koreksi Facia Iliotibial Band dan Vastus Lateralis. 48 4.6 Aplikasi Perekat Placebo 48 4.7 Gerakan Deep Squat 50 4.8 Gerakan Hurdle Step 52 4.9 Gerakan In Line Lunges 54 4.10 Active Straight Leg Raise... 55 xiv

4.11 Rotary Stability 4.12 Trunk Stability Push Up 4.13 Bagan Alur Prosedur Penelitian 6.1 Grafik rerata Peningkatan FMS Pada kedua kelompok perlakuan 6.2 Grafik rerata penurunan Q-angle pada kedua kelompok 56 57 62 78 80 xv

DAFTAR TABEL Halaman 2.1 Orientasi Resultan otot Quadriceps 10 2.2 Etiologi PFPS menurut beberapa pendapat.. 17 2.3 Kemampuan Uluran Kinesiotape. 26 2.4 Potensi Faktor Resiko Cedera 30 2.5 Nilai Kappa dalam perbandingan nilai rata-rata penilai amatir dengan penilai berpengalaman 35 4.1 Formulir Penilaian FMS. 56 4.2 Penilaian Functional Movement Screening 58 4.3 Instrumen Penelitian yang digunakan 59 5.1 Data Numerik Karakteristik Subjek Penelitian 67 5.2 Data kategorik Umum Karakteristik Subjek Penelitian 68 5.3 Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Data instrument Hasil Penelitian 69 5.4 Uji Peningkatan nilai FMS pada kelompok kinesiotape dengan t-test related 70 5.5 Uji Peningkatan nilai FMS pada kelompok plasebo dengan t-test related.. 71 5.6 Uji penurunan Q-angle pada kelompok kinesiotape dengan Wilcoxon Sign Rank test. 71 5.7 Uji penurunan Q-angle pada kelompok plasebo dengan Wilcoxon Sign Rank test... 72 5.8Uji Kompatibilitas sebelum perlakuan kedua kelompok variabel FMS.. 73 5.9 Uji Kompatibilitas sebelum perlakuan kedua kelompok variabel Q- angle 73 5.10 Uji Hipotesis kemampuan Functional Movement Screening Antara kedua kelompok perlakuan dengan Independent T-test 74 5.11 Uji Hipotesis Penurunan Q-angle Antara Kedua Kelompok Perlakuan dengan Mann-Whitney test 75 xvi

DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1. Protokol Penelitian Lampiran 2. Surat Persetujuan Sampel. Lampiran 3. Lembar Evaluasi..... Lampiran 4.Uji Statistik. 92 104 105 107 xvii

SINGKATAN PFPS VMO VL Q-Angle FMS SIAS VI RF VML VLL VLO ITB MPFL MPML MPTL ASIS PAN LAN MAN PCL ACL OKC CKC CSA MRI KT EMG PNF cm DAFTAR SINGKATAN ATAU TANDA : Patello Femoral Pain Syndrome : Vastus Medialis Oblique : Vastus Lateralis : Quadriceps Angle : Functional Movement Screening : Superios Illiac Anterior Spine : Vastus Intermedius : Rectus Femoris : Vastus Medialis Longus : Vastus Lateralis Longus : Vastus Lateralis Obilque : Illio-tibial Band : Medial Patello-femoral Ligament : Medial Patello-Meniscal Ligament : Medial Patello-tibial Ligament : Anterior Superilliac Spine : Posterior Articular Nerve : Lateral Articular Nerve : Medial Articular Nerve : Posterior Cruciate Ligament : Anterior Cruciate Ligament : Open Kinetic Chain : Closed Kinetic Chain : Cross Sectional Area : Magnetic Resonance Imaging : Kinesiotape : Electromyography : Propioceptive Neuromuscular Facilitation : Centimeter xviii

kg n Min Maks o ± % < > = α p : Kilogram : Banyaknya Responden : Minimal : Maksimal : Lebih dari sama dengan : Derajat : Kurang Lebih : Persen : Kurang dari : Lebih dari : Sama Dengan : Alpha : Probabilitas xix

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perkembangan alat bantu kesehatan untuk atlet yang sedang mengalami cedera kini sudah sangat banyak jenisnya, salah satunya kinesiotape. Atlet biasanya menggunakan kinesiotape hanya saat bertanding dan berlatih, namun saat ini belum ada yang dapat menjelaskan efektifitas kinesiotape dalam penggunaan saat bertanding atau dalam waktu yang singkat. Menurut beberapa pendapat, kinesiotape yang digunakan saat bertanding bertujuan untuk mengurangi gejala nyeri yang terjadi dan mengurangi resiko cedera berulang (Mostavafifar et al. 2012; Mo-An et al. 2012). Kinesiotape merupakan perekat elastis yang diaplikasikan di atas kulit untuk mengurangi rasa nyeri, mengurangi bengkak, menurunkan spasme, dan membantu kinerja otot-otot saat melakukan aktifitas olahraga (Cheng-Fu et al. 2008). Perekat ini sangat elastis dan dapat diulur hingga 100%, sehingga saat digunakan tidak membatasi gerak sendi dan membantu kinerja otot khususnya (Kase et al.2003). Salah satu cedera yang sering dialami oleh atlet adalah Patellofemoral Pain Syndrome (PFPS) yaitu gangguan pada persendian patela dengan adanya nyeri lutut bagian depan (Aminaka et al. 2005; Wayasz et al. 2008). Patellofemoral pain syndrome ini ditandai dengan adanya bengkak, ketegangan otot quadriceps, kelemahan kelompok otot quadriceps, ketegangan otot illiotibial band, posisi lutut valgus, dan bentuk telapak kaki yang datar. Umumnya, PFPS disebabkan oleh karena penurunan kekuatan dan penurunan aktivitas fungsional pada otot 1

2 vastus medialis oblique (VMO) yang sebagai stabilisator dinamis sisi medial tulang patella (Powers et al. 2010). Sampai saat ini data prevalensi PFPS di Indonesia belum ada. Namun, melihat prevalensi di Iran pada atlit wanita berkisar 16,74% lebih kecil dibandingkan di negara Amerika yang angkanya mencapai 25% (Nejati et al. 2011). Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi terjadi cedera berulang pada penderita patellofemoral pain syndrome, yaitu faktor biomekanika, faktor neuromuskular, dan faktor psikologis. Faktor psikologis sebagai alat prediksi cedera ada empat faktor yang memungkinkan terjadinya cedera pada atlet, yaitu sifat kecemasan somatik, sifat kecemasan psikis, rentan timbulnya stress, dan sifat mudah marah (Ivarsson dan Johnson. 2010). Selain itu, faktor biomekanika dan neuromuskular merupakan faktor yang saling berhubungan satu dengan yang lainnya, kedua faktor tersebut mempengaruhi kinerja gerakan fungsional untuk mendapatkan performa olahraga yang optimal. Faktor biomekanika mempengaruhi dari luas gerak sendi dan posisi postur tubuh. Sedangkan faktor neuromuskular mengarahkan gerakan fungsional karena adanya aktivitas kinerja dari saraf yang akan mempengaruhi gerakan otot dan sendi menjadi satu kesatuan kinerja yang kompleks (Samuel et al. 2012). Untuk memastikan metode kinesiotape yang digunakan saat pertandingan (dalam waktu singkat) berhasil atau tidak, tentunya memerlukan alat untuk mengukur terkait dalam mengurangi resiko cedera berulang dan menurunkan q- angle pada penderita PFPS pada saat bertanding atau berlatih. Resiko cedera dapat diprediksi dengan cara mengobservasi setiap gerakan fungsional dalam aktivitas

3 olahraga. Observasi tersebut menilai ada tidaknya gerakan kompensasi ataupun kehilangan keseimbangan dalam gerakan fungsional yang dijadikan sebagai pemeriksaan. Penilaian tersebut dengan Functional Movement Screening (FMS) (Cook et al. 2006). FMS digunakan untuk mengidentifikasi faktor resiko yang potensial untuk melihat resiko cedera muskuloskeletal yang mungkin akan terjadi. FMS dapat digunakan sebagai program awal dalam menyusun program latihan pencegahan cedera. FMS menggunakan observasi gerakan fungsional sebagai tolak ukur dalam memprediksi resiko cedera. Gerakan fungsional merupakan gerakan dasar dalam olahraga yang memerlukan kekuatan otot, kelenturan, luas gerak sendi, koordinasi, keseimbangan, dan propiosepsi (Schneider et al. 2011). Pengukuran q-angle ialah mengukur sudut kemiringan dari otot quadriceps terhadap tulang panggul sisi depan (superior illiac anterior spine (SIAS) dan tuberositas tibia dengan menggunakan goniometer. Hal tersebut untuk melihat posisi tulang patela yang mengalami pergeseran ke lateral pada penderita PFPS. Berdasarkan penjelasan di atas atlet yang menderita PFPS memerlukan penanganan agar atlit dapat melakukan latihan dan bertanding, sehingga dapat mengurangi resiko cedera berulang ataupun memperburuk kondisi cedera PFPS yang saat ini dialaminya. Maka dari itu, peneliti ingin membuktikan pengaruh dari pemberian kinesiotape dalam mengurangi resiko cedera berulang dan menurunkan q-angle pada penderita PFPS dengan memberikan pembanding menggunakan perekat tidak elastis sebagai plasebo yang di aplikasikan dengan tujuan yang sama pada kinesiotape.

4 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1.2.1 Apakah penggunaan kinesiotape selama tiga hari dapat mengurangi resiko cedera berulang pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome? 1.2.2 Apakah penggunaan perekat plasebo selama tiga hari dapat mengurangi resiko cedera berulang pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome? 1.2.3 Apakah penggunaan kinesiotape selama tiga hari dapat mengurangi derajat Q-angle pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome? 1.2.4 Apakah penggunaan perekat plasebo selama tiga hari dapat mengurangi derajat Q-angle pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome? 1.2.5 Apakah penggunaan kinesiotape selama tiga hari tidak berbeda dengan perekat plasebo dalam mengurangi resiko cedera berulang pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome? 1.2.6 Apakah penggunaan kinesiotape selama tiga hari tidak berbeda dengan perekat plasebo dalam mengurangi derajat Q-angle pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan di atas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut:

5 1.3.1 Tujuan Umum 1.3.1.1 Untuk mengetahui tidak adanya perbedaan penggunaan kinesiotape dengan perekat plasebo selama tiga hari dalam mengurangi cedera berulang pada penderita patellofemoral pain syndrome. 1.3.1.2 Untuk mengetahui tidak adanya perbedaan penggunaan kinesiotape dengan perekat plasebo selama tiga hari dalam mengurangi derajat Q- angle pada penderita patellofemoral pain syndrome. 1.3.2 Tujuan Khusus 1.3.2.1 Untuk mengetahui penggunaan kinesiotape selama tiga hari dapat mengurangi resiko cedera berulang pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome. 1.3.2.2 Untuk mengetahui penggunaan perekat plasebo selama tiga hari dapat mengurangi resiko cedera berulang pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome. 1.3.2.3 Untuk mengetahui penggunaan kinesiotape selama tiga hari dapat mengurangi derajat Q-angle pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome. 1.3.2.4 Untuk mengetahui penggunaan perekat plasebo selama tiga hari dapat mengurangi derajat Q-angle pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome.

6 1.4 Manfaat Penelitian Berdasarkan tujuan yang telah disebutkan di atas. Saya sebagai peneliti mengharapkan dari hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi: 1.4.1 Peneliti Dapat mengetahui tidak adanya perbedaan penggunaan kinesiotape dengan perekat plasebo selama tiga hari pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome (PFPS) dalam mencegah resiko cedera ulang dan mengurangi derajat q-angle dapat memberi tahukan kepada antar peneliti dan praktisi. 1.4.2 Fisioterapi Untuk dapat mengaplikasikan kinesiotape, serta mampu mengevaluasi resiko cedera yang mungkin akan terjadi dengan menggunakan Functional Movement Screening (FMS) pada atlit. 1.4.3 Atlit Untuk dapat mengaplikasikan pemasangan kinesiotape secara mandiri jika tidak ada fisioterapis yang mendampingi. 1.4.4 Pelatih Fisik Untuk dapat mengaplikasikan Functional Movement Screening (FMS) untuk melihat resiko cedera atlit pada pre-season.

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Patellofemoral Pain Syndrome (PFPS) 2.1.1 Pengertian Permasalahan Patellofemoral pain syndrome (PFPS) ini tepatnya mengalami kelainan pada komponen sendi lutut, yaitu pada sendi patellofemoral. PFPS merupakan salah satu permasalahan pada sendi lutut yang sering dialami oleh masyarakat dan atlet, selain dari kesobekan pada ligamen sendi lutut (Heintjes et al. 2003; Lankhorst et al. 2012). PFPS merupakan istilah untuk kumpulan gejala dari patologi atau kelainan anatomi yang mengarah pada nyeri lutut depan seperti chondromalasia patella, jumper s knee, intra-artcular patella chondropathy, patella arthralgia, runner s knee (Witvrouw et al. 2005; Waryasz et al. 2008). Beberapa literatur menyatakan bahwa angka kejadian PFPS pada wanita lebih sering dibandingkan pria (Lankhorst et al. 2012). Nyeri tersebut dirasakan ketika melakukan aktivitas naik-turun tangga, squat, jogging, dan lompat (Hafez et al. 2012; Boonkerd. 2012). 2.1.2 Anatomi dan Biomekanik 2.1.2.1 Anatomi Patela Melihat dari letaknya, posisi tulang patela melayang dan melekat insersi tendon quadriceps dan tendon patela. Serta berada di jalur trochlea femur, dimana tulang patela harus bergerak pada jalur tersebut untuk menghindari pergesekan 7

8 atau kontak langsung antar tulang patela dan femur yang dapat mempengaruhi dari ketidakseimbangan posisi dari tulang patela. Posisi tersebut dapat dilihat menggunakan foto sinar X dengan posisi sendi lutut fleksi 45 o pada bidang aksial (Waryasz et al. 2008). Hasil foto pada posisi tersebut dapat kita lihat sudut kemiringan dan pergeseran ataupun stabilitas posisi tulang patella terhadap trochlea. Gambar 2.1 Posisi Normal Patela Medial (Ym) dan Lateral (Yn) (Peterson et al. 2008) 2.1.2.2 Gaya Vektor Otot Quadriceps Normalnya, sendi lutut pada posisi ekstensi posisi patela berada pada jalur trochlea dan saat sendi lutut posisi fleksi atau menekuk patela bergeser ke arah posterolateral. Penyebabnya, karena adanya ketegangan dari otot quadriceps dan tendon patela yang menghasilkan vektor gaya resultan yang dapat menggeser dan menekan patella ke arah posterolateral, namun saat sendi lutut diekstensikan tekanan tersebut berkurang dan patela kembali ke posisi normal (Amis. 2007).

9 Gambar 2.2 Sudut tekanan pada sendi patellofemoral (Reinold. 2009) Gambar di atas menjelaskan gaya resultan yang menyebabkan pergeseran tulang patela ke sisi lateral saat sendi lutut difleksikan. Gaya resultan quadriceps berorientasi pada kekuatan otot vastus lateralis (VL), vastus intermedius (VI), rectus femoris (RF), dan vastus medialis (VM). Otot vastus lateralis disusun oleh dua komponen yang membentuk garis vektor, yaitu vastus lateralis longus (VLL) dan vastus lateralis oblique (VLO). Begitu pula dengan vastus medialis juga disusun dua komponen yang membentuk vektor, yaitu vastus medialis longus (VML) dan vastus medialis oblique (VMO). Jika dilihat dari bidang koronal, tekanan vektor otot quadriceps di tarik oleh VLO pada posisi 35 o dan VLL pada sudut 14 o ke arah lateral, oleh VI dan RF pada posisi 0 o, dan pada sisi medial ditarik oleh VMO pada sudut 47 o dan VML pada sudut 15 o (Waryasz dan McDermott. 2008). Menurut Brotzman et al (2011), serabut otot VMO bekerja pada sudut 50 o -55 o dan serabut otot VLO bekerja pada sudut 30 o -40 o sepanjang garis tulang femur pada bidang coronal. Secara keseluruhan kemampuan otot

10 quadriceps adalah untuk menarik patella kearah posterior sagital untuk tetap menjaga posisi patella terhadap trochlea femur. Tabel 2.1 Orientasi Resultan otot Quadriceps Sumber VMO VLO Brotzman et al. 2011 50 o -55 o 30 o -40 o Waryasz dan McDermott. 2008 47 o 35 o Patela memerlukan jaringan lunak untuk dapat menstabilkan posisinya terhadap trochlea, jaringan tersebut terdiri dari medial dan lateral retinaculum. Pada retinaculum lateral terdiri dari dua lapisan; superficial oblique retinaculum dan deep tranverse retinaculum. Superficial oblique retinaculum merupakan puncak akhir dari perlekatan tendon patella, group otot vastus lateralis, dan illiotibial band (Waryasz dan McDermott. 2008). Illio-tibial band (ITB) berorigo pada tensor facia lata dan gluteus maximus. Berinsersi pada tuberculum gerdy s dan melekat pada tendon patela, serta lapisannya melekat pada sisi lateral tulang patela (Amis. 2007). Berdasarkan letak melekatnya, insersi tendon ITB juga dapat menarik patela ke lateral saat sendi lutut fleksi dan meningkatkan gesekan antara patela dengan femur (Herrington et al. 2006). Deep tranverse retinaculum terdiri dari tiga struktur; epicondylopatellar band atau lateral patellofemoral ligament, midportion, dan patellotibial band. Epicondylopatellar band menahan tulang patela pada sisi superolateral, midportion menahan pada posisi lateral dan patellotibial band mempertahankan posisi patela pada posisi inferolateral. Midportion berorigo dari ITB dan berinsersi pada sisi lateral patela (Waryasz dan McDermott. 2008).

11 Illiotibial band Illiotibial tract Gerdy s Tubercle Gambar 2.3 Perlekatan Iliotibial band dan tractus iliotibial di tuberculum Gerdys s (Donnatelli dan Wooden. 2010) Retinaculum sisi medial lebih tipis dibandingkan dengan sisi lateral dan terdiri dari tiga ligament yang mendukungnya; medial patellofemoral ligament (MPFL), medial patellomeniscal ligament (MPML), dan medial patellotibial ligament (MPTL) (Waryasz dan McDermott. 2008). MPFL menyatu dengan tendon VMO untuk dapat mempertahankan posisi patela ke medial agar tidak terjadi deviasi tulang patela ke lateral, terutama pada saat sendi lutut bergerak ekstensi dari posisi fleksi. Struktur jaringan ini memiliki kontribusi besar dalam mempertahankan posisi patela agar tidak terlalu bergeser atau dislokasi ke lateral sebesar 50%-60% saat fleksi 0-20 o (Amis, 2007). Berdasarkan pemeriksaan in vitro menemukan kekuatan ligamen ini rata-rata 208 N (Amis et al. 2003). 2.1.2.3 Sudut Quadriceps (Q-angle) Garis tegak lurus (alignment) anggota gerak bawah sangat mempengaruhi dari problem patellofemoral pain syndrome. Dimana telah dijelaskan di atas

12 bahwa terdapat gaya resultan pada sendi lutut terkait dengan ketegangan dari kelompok otot quadriceps. Gaya resultan tersebut juga dipengaruhi oleh sudut dari panjangnya otot quadriceps terhadap sendi lutut dan gerak dari sendi patellofemoral. Sudut tersebut biasa disebut dengan Q-angle. Q-angle ini dilihat dengan menarik garis maya lurus dari anterior super iliac spine (ASIS) ke titik tengah dari tulang patela dan dari titik tengah patela ke tuberositas tibia (Jaiyesimi et al. 2009; Omololu et al. 2009). Sudut ini dapat diukur dengan menggunakan goniometer. Gambar 2.4 Gambaran dari pengukuran Q-angle (Jaiyesimi et al. 2009)

13 Menurut Grelsamer et al (2005), dalam penelitiannya menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan sudut q-angle antara pria dan wanita. Namun akan mengalami perbedaan jika salah satu dari pria atau wanita dengan tinggi badan yang berbeda. Karena pada tubuh dengan tinggi 168 sentimeter sudut q-angle berbeda 2 derajat dibandingkan dengan tubuh yang tingginya lebih dari 168 sentimeter. 2.1.2.4 Reseptor Saraf Sensoris Reseptor saraf sensoris pada sendi patelofemoral terdiri dari ujung saraf bare, pacini, ruffini, golgi tendon organ, dan muscle spindle. Saraf sensoris utama yang mensuplai rangsangan sensoris sendi lutut adalah posterior articular nerve (PAN), lateral articular (LAN), medial articular (MAN), intramuskular, dan saraf otot. PAN adalah percabangan dari saraf tibialis yang didistribusikan ke posterior cruciate ligament (PCL), anterior cruciate ligament (ACL), posterior oblique ligament, insersi dari annular ligament pada meniskus mediolateral, posterior patela, kapsul posterior patela, ligamen kolateral fibular, dan ligament kolateral tibial. LAN adalah percabangan umum dari saraf peroneus yang mempersarafi kapsul sendi tibiofibula dan jaringan lunak sendi lutut sisi lateral. MAN adalah percabangan dari saraf saphenous yang mendistribusikan rangsangan ke kapsul sendi sisi anterior dan medial, meniskus medial, ligament kolateral tibia, kapsul posterior, permukaan patela, dan tendon patela. Intramuskular dan saraf otot termasuk dalam golgi tendon organ dan muscle spindle yang didistribusikan oleh

14 percabangan saraf femoralis, obturator, atau saraf sciatic tergantung dari posisi myotome (Waryasz dan McDermott. 2008). Gambar 2.5 Saraf Sensoris Sendi Lutut (Jensen. 2008) 2.1.2.5 Rantai Kinetik Kalau kita perhatikan dalam komponen rantai kinetik (kinetic chain) sendi lutut yaitu gerak fleksi dan ekstensi yang berhubungan dengan fungsi gerak dasar sendi lutut. Berdasarkan hal tersebut biomekanika dari sendi lutut dibagi menjadi dua komponen rantai kinetik, yaitu open kinetic chain (OKC) dan closed kinetic chain (CKC). Rantai kinetik ditujukan untuk melihat kinerja otot pada angota gerak bawah, yang memungkinkan untuk memberikan kekuatan, stabilisasi anggota gerak bawah, dan memberikan tekanan berkelanjutan mulai dari bagian distal pada akhir rantai kinetik (Nobre. 2012).

15 Open kinetic chain (OKC) merupakan suatu gerakan yang mentitik beratkan pada satu sendi saja, digerakkan oleh satu atau kelompok otot, melawan gravitasi bumi, dan tidak bertumpu pada tubuh. Sedangkan closed kinetic chain (CKC) merupakan suatu gerakan yang menggunakan lebih dari satu sendi yang bergerak dengan bertumpu pada berat tubuh untuk memberikan pembebanan pada lebih dari satu kelompok otot yang bekerja dalam waktu yang sama, baik agonis maupun antagonis dan meningkatkan aktifasi dari propiosepsi angota gerak bawah (Karandika et al. 2011; Nobre. 2012). Berdasarkan konsep rantai kinetik tersebut, akan mempengaruhi dari gerak sendi patellofemoral. Saat gerakan OKC hanya ada kinerja dari otot quadriceps dan meningkatkan tekanan pada sendi patellofemoral. Karena titik gravitasi berada di depan sendi lutut dan jika dilakukan pada posisi 90 derajat fleksi ke ekstensi akan meningkatkan tekanan antara patela dengan trochlea. Saat gerakan dengan bentuk rantai kinetik CKC, akan meningkatkan stabilitas sendi patellofemoral dan meningkatkan aktivitas fungsional (Witvrouw et al. 2004 ; Nobre. 2012). Sendi patela ini ditujukan untuk mengatur gerak dari sendi lutut, yaitu untuk membantu gerak dari fleksi ke ekstensi dan sebagai lengan ayun yang membantu kinerja otot quadriceps pada posisi fleksi 20 o -60 o (Power et al. 2010). Tendon quadriceps yang melekat pada tulang patela disebut dengan tendon patela. Tendon patela ini merupakan komponen dari mekanisme gerak ekstensi dari sendi lutut. Tendon patela ini dapat menahan beban ketika posisi lutut fleksi saat gerakan closed kinetic chain (DeFrate et al. 2007).

16 2.1.3 Etiologi Patellofemoral Pain Syndrome Berdasarkan pengertian yang sudah dijelaskan bahwa PFPS perupakan gangguan fungsi dari tulang patela terhadap letaknya pada trochlea tulang femur. Tentunya ada beberapa penyebab yang mengakibatkan adanya nyeri di sekitar tulang patela khususnya pada atlet. Dari beberapa studi mengatakan bahwa penyebab PFPS yang utama adalah adanya penurunan fungsi dari otot quadriceps. Menurut MacLean (2004), PFPS disebabkan oleh adanya ketidakstabilan tulang patela terhadap femur yang bergeser ke sisi lateral akibat dari kelemahan otot vastus medialis oblique (VMO). Bahkan otot VMO bisa menjadi atrofi sehingga kontrol kerja otot menurun (Jensen. 2008) (Tabel 2.2). Otot VMO yang atrofi tersebut dibuktikan pula oleh Petty et al (2011), menyebutkan bahwa penyebab dari PFPS itu diakibatkan oleh adanya pengecilan otot (atrofi) vastus medialis sehingga terjadinya ketidakseimbangan kinerja dari grup otot quadriceps yang menjadikan kontrol motorik fungsional anggota gerak bawah menjadi berubah dan membentuk gerak kompensasi. Dalam penelitiannya, pada penderita PFPS terjadi penurunan cross sectional area dari otot VMO dengan pebedaan kurang lebih dua sentimeter (± 2 cm) dengan yang bukan penderita PFPS. 2.1.4 Patofisiologi Patellofemoral Pain Syndrome PFPS merupakan kasus non trauma, melihat etiologi yang sudah dijelaskan di atas, tentunya ada proses yang menjadikan patellofemoral pain syndrome mengganggu aktifitas fisik atlet. Oleh karena adanya pergeseran dari posisi patela

17 terhadap trochlea yang dapat menimbulkan gesekan dan merusak dari kapsul sendi patellofemoral sehingga menimbulkan iritasi pada badan tulang patella sisi posterior dan tulang femur. Tentunya adanya iritasi tersebut menimbulkan rasa nyeri pada lutut sebagai tanda-tanda dari peradangan, seperti adanya bengkak dan suhu sendi lutut lebih hangat dibandingkan dengan kaki yang normal. Namun pada penderita PFPS yang sudah kronis akan ditemukan adanya atrofi grup otot quadriceps terutama pada otot vastus medialis oblique (Petty et al. 2011). Patofisiologi PFPS dapat disimpulkan menjadi dua faktor, yaitu faktor neuromuskular dan biomekanika. Sumber Lankhorst et al. 2013 Bolgla & Boling. 2011 Jensen. 2008 MacLean. 2004 Juhn. 1999 Tabel 2.2 Etiologi PFPS menurut beberapa pendapat Etiologi PFPS Besarnya Q-angle Besarnya sudut sulcus & Patella Tilt Lemahnya otot Abduktor sendi panggul Terbatasnya gerak eksternal rotasi sendi panggul Quadriceps lemah, Kerja otot quadriceps tidak seimbang, Ketegang jaringan lunak sendi lutut, Meningkatnya Q-angle, Otot sendi panggul lemah, Perubahan posisi/bentuk kaki Substance-P meningkat, Posisi sendi lutut abnormal, Reflex Simpathetic Dystrophy (RSD), Menurunnya kekuatan quadriceps Lemah VMO, Maltracking patella, Joint Stress Overuse & overload, Problem biomekanika & penurunan fungsi otot (pes planus, pes cavus, q-angle, quadriceps lemah, tight ITB & hamstring).

18 2.1.4.1 Faktor Neuromuskular Quadriceps merupakan otot penggerak utama dan stabilisator dinamis tulang patella. Pada penderita PFPS ditemukan penurunan kekuatan ekstensor lutut (Pappas et al. 2012) dan ketidakseimbangan kerja otot (muscle imbalance) dari quadriceps yaitu kinerja otot vastus medial oblique (VMO) lebih lambat dibandingkan dengan otot vastus latelaris (VLO dan VLL) (Van Tiggelen et al. 2009). Selain adanya kelemahan dari otot VMO, tentu adanya penurunan masa otot (atrofi) dari otot VMO. Atrofi otot tersebut meninhibisi dari sistem neuromuskular dan menyebabkan kontrol motorik otot VMO menurun (Bolgla et al. 2008; Page et al. 2010). Inhibisi tersebut membuat stabilisasi patella sisi medial menjadi menurun, sehingga ligamen patellofemoral sisi medial (MPFL) bekerja terus menerus untuk dapat mempertahankan posisi patella. Melihat dari letaknya, MPFL yang melekat dengan tendon otot VMO memiliki hubungan cross sectional area (CSA) dalam memberikan kemampuan stabilisasi pada tulang patella. Maka dari itu stabilisator patella sisi lateral akan menarik patella lebih ke arah lateral dan menyebabkan tulang patella bergesakan dengan tulang femur pada trochlea. Setelah dilakukan observasi ternyata onset kinerja otot VMO pada penderita PFPS menurun lima millisecond (5 ms) (Fagan dan Delahunt. 2008) Seiring dengan aktifitas fungsional olahraga yang memerlukan kekuatan dari grup otot quadriceps. Otot quadriceps memerlukan otot lain untuk tetap dapat melakukan gerak fungsional. Oleh karena itu otot vastus lateralis dan illiotibial band akan terus-menerus bekerja untuk dapat menstabilkan patela hingga menimbulkan ketegangan otot dan juga dapat meningkatkan tarikan patela ke

19 lateral yang dapat menekan patella terhadap trochlea femur (Pecina dan Bojanic. 2004). Tidak simetrisnya rotasi dari sendi panggul (hip joint) ke arah internal rotasi menyebabkan gerak kompensasi dari sendi lutut untuk dapat menstabilkan posisi patella ke sisi medial yang ditujukan untuk dapat mengurangi nyeri pada sendi lutut (Cibulka et al. 2005). Menurut Page et al (2010), ketegangan otot-otot stabilisator patela sisi lateral dikarenakan adanya pemendekan facia dari stabilisator lateral patella dan illiotibial band sisi distal karena adanya kelemahan dari otot gluteus medius. Gambar 2.6 Ilustrasi Patela tilt ke lateral akibat tidak stabilnya sisi medial (Pecina dan Bojanic. 2004) 2.1.4.2 Faktor Biomekanika Melihat gangguan pada sistem neuromuskular grup otot quadriceps terhadap pergeseran tulang patella ke lateral akibat dari ketidakseimbangnya fungsi otot quadriceps. Pergeseran patella menjadi mekanika penyebab dari kasus PFPS ini. Pergeseran patella tersebut dapat meningkatkan sudut dari grup otot quadriceps (q-angle). Sudut normal dari q-angle kurang dari 15 o. Jika lebih maka akan mengakibatkan kerusakan pada badan facet patela sisi lateral dengan trochlea (Bolgla dan Boling. 2011).

20 Postur anggota gerak bawah akan mempengaruhi dari q-angle. Dimana tulang tibia yang mengalami perputaran (torsion) ke arah eksternal rotasi saat sendi lutut bergerak ektensi penuh yang disebut dengan screw home mechanism (Amis. 2007). Sudut resultan yang meningkat berakibat tarikan otot quadriceps meningkat, sehingga dapat menarik patella ke proximal-lateral saat ekstensi. Sudut Q-angle lutut yang tidak normal sebesar 15 o -20 o. Karena perubahan dari sudut q-angle menyebabkan patella tertarik ke arah lateral (Aminaka et al. 2005; Sheehan et al. 2010). Namun, beberapa pendapat mengatakan PFPS dikarenakan oleh adanya postur anggota gerak bawah atlet membentuk huruf X atau disebut dengan valgus postur. hal tersebut dapat dijadikan indikator khusus pada kasus PFPS (Tallay et al. 2004; Santos. 2006). Gambar 2.7 Grafik perbedaan Q-angle antara yang tidak cedera dengan yang cedera (Herrington. 2012)

21 Pergeseran tulang patella ada yang hanya bergeser ke lateral saja, tulang patela mengalami perputaran diagonal, dan bahkan sisi medial patella terangkat (patellar tilt) sehingga sisi lateral patella dengan femur saling bergesekan. Gambar 2.8 A. Sendi Patellofemoral dalam posisi normal. B. (lihat dari atas ke bawah) Patela bergeser ke lateral, patella terangkat ke lateral, dan patella internal rotasi (Aminaka et al. 2005) 2.1.5 Pemeriksaan Spesifik pada PFPS Untuk dapat memastikan suatu atlit tersebut mengalami patellofemoral pain syndrome memerlukan pemeriksaan spesifik yang akurat. Pemeriksaan spesifik

22 yang dapat dilakukan adalah dengan menggunaan pemeriksaan ortopedi khusus patella, magnetic resonance imaging (MRI), X-ray, dan musculoskeletal ultrasound diagnostic. Dalam penelitian ini menggunakan tehnik pemeriksaan ortopedi secara manual dengan cara memprovokasi rasa nyeri, mengukur q-angle, dan antropometri quadriceps. 2.1.5.1 Pemeriksaan manual ortopedi Pemeriksaan manual ortopedi dilakukan dengan cara observasi dan memprovokasi nyeri pada patella. Dengan menggunakan tehnik patellar apprehension test. Patela apprehension test adalah pemeriksaan untuk melihat reaksi nyeri yang terjadi saat patela di geser ke lateral. Caranya dengan memposisikan pasien tidur terlentang dengan sendi lutut ditekuk 30 derajat. Dalam posisi tersebut pemeriksa menarik patella ke lateral dan secara perlahan pemeriksa meluruskan kaki pasien hingga ekstensi penuh (Nijs-jo et al. 2006). Pemeriksaan ini tingkat akurasinya mencapai 94,1 % jika dilakukan dengan benar ( Ahmad et al. 2009). Gambar 2.9 Patellar Apprehension Test (Nijs-jo et al. 2006)

23 2.1.5.2 Mengukur Q-angle Mengukur q-angle dengan menggunakan goniometer adalah dengan memposisikan pasien tidur terlentang dan menarik garis dengan titik poros di titik tengah tulang patela. Kemudian menarik garis superior iliac anterior spine (SIAS) ke patela dan tuberositas tibia ke patella. Agar hasilnya akurat posisi tulang patella di posisikan ke tengah dari trochlea dengan menekuk sendi lutut 30 derajat (Madani et al. 2010). Gambar 2.10 Pengukuran Q-angle (Madani et al. 2010) 2.1.5.3 Antropometri Quadriceps Untuk mengukur besar masa otot vastus medialis oblique diperlukan pengukuran lingkar paha dengan menggunakan pita ukur. Dengan pengukuran di mulai dari titik tengah patela, dan titik tengah tulang paha (10 sentimeter ke atas

24 dari titik tengah patela dan 20 sentimeter dari titik tengah patela) (Petty et al. 2011). 2.1.6 Penanganan Patellofemoral Pain Syndrome Berdasarkan problem-problem yang dialami oleh penderita PFPS dan telah kita ketahui beberapa faktor penyebabnya yang menjadikan PFPS ini kasus yang sering terjadi dan dialami oleh beberapa atlit. Oleh karena itu adapun tujuan penanganan konservatif berupa pengembalian fungsi dari otot VMO dan mengontrol postur anggota gerak bawah menjadi prioritas utama. Program konservatif tersebut dengan menggunakan terapi latihan dan menggunakan tambahan taping atau perekat sebagai koreksi dari posisi patella dan kinesiotaping untuk memfasilitasi kinerja otot vastus medialis oblique untuk menstabilkan posisi patella ke posisi normal, serta menginhibisi vastus lateral oblique dan vastus lateralis longus juga sangat efektif untuk mengurangi tarikan patela ke lateral dan nyeri saat dilakukannya program terapi latihan (Chi-Chen et al. 2007; Slupik et al. 2007). 2.2 Kinesiotape 2.2.1 Pengertian Kinesiotape (KT) merupakan salah satu perekat yang digunakan oleh fisioterapis, dokter, sport medicine, & personal trainer untuk membantu pemulihan dan menopang otot yang sedang mengalami cedera. KT ini ditemukan oleh seorang chiropractor, Kase et al (2003), di Jepang dan sangat sering

25 digunakan di Eropa dan Asia, namun sangat popular di United States. Kinesiotape ini berbeda dengan taping/perekat yang sering digunakan untuk menyokong atau menahan sendi, melainkan perekat yang dibuat hampir menyerupai dengan kulit dan ketebalannya seperti epidermis kulit tubuh manusia, serta dapat diregangkan hingga 140% dari panjang normal sebelum di aplikasikan ke kulit, sehingga memberikan ketegangan yang kuat saat di aplikasikan pada kulit (Thelen. 2008; Prentice. 2011). Metode kinesiotape ini dikembangkan berdasarkan struktur jaringan otot yang sebagai penggerak utama tubuh manusia. Pemasangan diawali dengan mengukur lembar kinesiotape mulai dari 2 inci dibawah origo atau 2 inci diatas insersi otot. Pemasangannya tentu diharuskan untuk menyesuaikan bentuk dari posisi anatomi tubuh manusia. dasar dari pemasangan kinesiotape ini selalu di awali dan diakhiri tanpa adanya tegangan dari kinesiotaping. Hal tersebut dikarenakan untuk meminimalisir rasa yang kurang nyaman dari aplikasi kinesiotape ini (Kase et al. 2003). Ketika menggunakan aplikasi ini perlu mengetahui derajat dari tegangan atau uluran yang diperlukan pada area yang menjadi target. Jika terlalu banyak uluran atau tegangan, maka tidak akan ada pengaruh apapun di bawah kulit. Jadi lebih baik jangan memberikan aplikasi ini dengan uluran yang terlalu panjang. Karena tegangan atau uluran pada kinesiotape akan mempengaruhi keberhasilan yang diharapkan. Dalam pengaplikasiannya, tehnik yang diperlukan hanya sebesar 25%, Namun pengukuran persentase penguluran tersebut sangatlah deskriptif dan

26 tergantung dari kemampuan feeling dan pengalaman dalam mengulur taping tersebut (Kase et al. 2003). 2.2.2 Pengaruh Fisiologi Tabel 2.3 Kemampuan Uluran Kinesiotape Tarikan Kinesiotape Persentase Penuh = 100% Berat = 75% Sedang = 50% Ringan (ketika kertas dilepas) = 15-25% Sangat ringan = 0-15% Tidak diulur = 0% Sumber Kase et al. 2003 Kinesiotape ini merangsang atau memfasilitasi beberapa proses fisiologi tubuh manusia, seperti melancarkan aktivitas sistem limfatik, dan mekanisme analgesic endogen serta meningkatkan mikrosirkulasi. Kinesiotape memiliki pangaruh recoil yang dapat mengangkat kulit dan memberikan ruang pemisah antara kulit dengan otot, sehingga dapat melancarkan sirkulasi limfatik dan darah dengan adanya gerakan otot (Hendrick. 2010). Serta meningkatkan aktivitas propiosepsi melalui kulit untuk menormalisasikan tonus otot, mengurangi nyeri, mengkoreksi ketidaksesuaian posisi jaringan dan menstimulus atau merangsang mekanoreseptor di kulit (Slupik et al. 2007; Akbas. 2011; Prentice. 2011). 2.2.3 Pengaruh Neuromuskular Kinesiotape melalui reseptor di cutaneous dapat memberikan rangsangan kepada sistem neuromuskular dalam mengaktifasi kinerja saraf dan otot saat melakukan suatu gerak fungsional (Yasukawa et al. 2006). Selain itu juga kinesiotape dapat menurunkan tonus otot yang mengalami ketegangan yang

27 berlebih akibat adanya kontrol neuromuskular yang kurang baik. Kinesiotape akan memfasilitasi melalui mekanoreseptor yang berada pada kulit untuk mengarahkan gerakan yang diinginkan dan akan memberikan rasa nyaman pada area yang dipasangkan KT ini (Kase et al. 2003). Pada praktiknya, kinesiotape dapat memfasilitasi suatu gerakan karena adanya tarikan atau penguluran dari kinesiotape itu sendiri baik dari sisi distal ke proksimal dan dari sisi proksimal ke distal, ataupun diberikan ke arah gerakan yang diinginkan. Kinesiotape Gambar 2.11 Pengaruh Kinesiotape Pada Jaringan Lunak (Graham dan Howey.2011) Dalam sebuah penelitian, KT secara klinis akan meningkatkan kemampuan bioelektrik otot dengan menggunakan electromyography (EMG) setelah 24 jam pemasangan KT dan akan menurun fungsinya setelah empat hari pemakaian. Hal tersebut dapat menjelaskan bahwa pemberian kinesiotape cukup sampai dengan tiga hari karena puncak pengaruh dari kinesiotape setelah 24 jam akan memfasilitasi motor unit untuk dapat melakukan kontraksi dan setelah 72 jam

28 tonus otot menurun, sehingga untuk mengurangi dari tonus otot yang berlebih disarankan pemasangan cukup sampai dengan tiga hari (Kase et al. 2003; Slupik et al. 2007). Gambar 2.12 Grafik Observasi EMG Perubahan Aktivitas Otot dengan Menggunakan Kinesiotape (Slupik et al. 2007) 2.2.4 Pengaruh Biomekanika Setelah melihat aktifitas motor unit setelah menggunakan kinesiotaping dengan menggunakan EMG setelah 24 jam terjadi peningkatan yang sangat signifikan. Oleh karena itu aktifitas dari motor unit untuk dapat menggerakkan sendi tentu akan mempermudah gerakan menjadi lebih terbantu dan efisien. Hal tersebut dapat kita lihat dari penelitian oleh Hsu et al. (2009), bahwa kinesiotape memliki pengaruh positif terhadap perubahan gerak scapula pada kasus impingement sendi bahu.

29 2.3 Resiko Cedera 2.3.1 Pengertian Setiap aktivitas fisik dalam kegiatan olahraga, baik itu sebagai olahraga rekreasi dan olahraga prestasi tentunya memiliki resiko cedera. Resiko cedera tersebut tergantung dari tingkat kesulitan atau beban olahraga itu sendiri. Jika aktivitas olahraga itu ringan atau tidak dilakukan dengan ada kontak tubuh ataupun dengan kecepatan tinggi, resiko cedera yang mungkin terjadipun ringan, begitu pula sebaliknya. Gambar 2.13 Piramida hubungan aktifitas fisik terhadap resiko cedera (Simunovic. 2002) Cedera olahraga adalah cedera pada sistem integument, otot dan rangka yang disebabkan oleh kegiatan olahraga. Ada beberapa faktor yang menyebabkan cedera, antara lain kesalahan metode latihan, kelainan struktural, kelemahan otot dan penopang sendi (Bahr et al. 2003). Resiko terjadinya cedera dibagi menjadi dua faktor, yaitu faktor internal atlit sendiri (intrinsik) yang berhubungan dengan faktor resiko dan faktor lingkungan (ektrinsik).

30 Faktor intrinsik terdiri dari komponen yang dimiliki oleh atlit (kekuatan, umur, riwayat cedera, dll). Dimana komponen tersebut mempengaruhi dari performa atlit ketika berlatih dan bertanding. Faktor resiko cedera intrinsik ini dapat diminimalisir untuk terjadinya resiko cedera. Faktor ekstrinsik merupakan faktor dari lingkungan luar tubuh atlit yang mempengaruhi terjadinya resiko cedera (Meeuwise et al. 2007). Potensi faktor resiko cedera dibagi menjadi dua, yaitu potensi yang tidak dapat dimodifikasi dan potensi yang dapat di modifikasi (Habelt et al. 2011). Hal tersebut berkaitan dengan faktor intrinsik dan ekstrinsik yang dimiliki dan dialami oleh atlit itu sendiri. Tabel 2.4 Potensi Faktor Resiko Cedera Faktor Ekstrinsik Faktor Intrinsik Potensi yang tidak dapat Tipe Olahraga Umur dimodifikasi Tingkat Olahraga Cedera Sebelumnya (pro/amatir) Posisi Jenis Kelamin Waktu Musim Pertandinga Cuaca Potensi yang dapat dimodifikasi Peralatan Koordinasi Permukaan Lapangan Tingkat Kebugaran Waktu Pertandingan Kelenturan Peraturan Propiosepsi Kekuatan Bentuk Pelatihan Fisik Faktor Psikologis Sumber Habelt et al. 2011 Pada era saat ini banyak peneliti mencari suatu alat ukur untuk mengetahui resiko cedera pada atlit atau olahragawan. Dimana alat ukur tersebut mempengaruhi dari faktor intrinsik yang dimiliki oleh atlit. Terkait dengan gerakan fungsional dalam aktifitas olahraga.

31 Pentingnya kita mengetahui dari kemampuan gerak fungsional pada setiap individu pada atlit ataupun pemain adalah untuk memberikan informasi yang dibutuhkan oleh fisioterapis, pelatih, dokter, fisiologi olahraga, dan ahli olahraga lainnya terkait dengan kemampuan fungsional atlit. Kemampuan fungsional merupakan kombinasi dari performa otot, daya tahan otot, fleksibilitas, koordinasi, stabilitas, dan keseimbangan (Kisner et al. 2007). Jika seluruh kemampuan tersebut sudah dimiliki dalam tubuh individu, maka kemampuan fungsional atlit sudah siap untuk melakukan gerakan-gerakan yang memerlukan tenaga, daya ledak, kecepatan, dan kelincahan pada permainan dalam cabang olahraga yang ditekuninya. Dan jika salah satu komponen dalam fungsional tidak dimiliki oleh atlit, akan dapat mempengaruhi komponen lainnya. Gambar 2.14 Komponen kemampuan fungsional (Kisner et al. 2007) Ada sebuah sistem yang dibuat oleh Gray Cook dan Lee Burton (2006), yaitu Functional Movement Screening (FMS) atau pemeriksaan gerakan fungsional.

32 FMS ini dapat dijadikan sebagai alat evaluasi yang kuantitatif. Dimana terdapat tiga penilaian yang diberikan untuk mengetahui kemampuan gerak fungsional individu. Dan tujuh gerakan fungsional terdiri dari kemampuan fungsional anggota gerak atas dan anggota gerak bawah (Mo-An et al. 2012). FMS berbeda dengan pemeriksaan fisik lainnya yang selalu mengukur banyaknya repetisi dalam waktu yang telah ditentukan ataupun lamanya waktu yang dapat dilakukan sampai atlit tersebut berhenti. FMS mengukur dari sisi pendekatan fungsional dengan prinsip propioceptive neuromuscular facilitation (PNF), sinergi kinerja otot dan pembelajaran motorik (motor learning) (Cook et al. 2006). 2.3.2 Prediktor Resiko Cedera Banyak program latihan yang diberikan oleh beberapa pelatih dan fisioterapis terkait dengan program preventif untuk memperkecil resiko terjadinya cedera. Namun program-program latihan yang diberikan belum tentu efektif jika tidak diuji menggunakan alat evaluasi yang sesuai. Resiko terjadi cedera diakibatkan oleh karena adanya gerak kompensasi yang seharusnya tidak ada. Gerak kompensasi merupakan gerakan diluar dari satu pola gerak fungsional, namun gerakan kompensasi tersebut ditujukan untuk mencapai satu pola gerak fungsional tertentu (Cook et al. 2006). Berdasarkan penjelasan di atas kita telah mengetahui bahwa FMS ini berhubungan dengan gerakan-gerakan fungsional dalam olahraga. Sehingga FMS

33 dapat dijadikan sebagai alat ukur prediktor resiko cedera dan alat evaluasi program latihan preventif. Beberapa hasil penelitian menyatakan FMS sangat cocok untuk mengukur kemampuan fungsional dalam mengurangi resiko cedera. Total dari nilai pengukuran FMS ini 21 jika setiap pemeriksaan mendapat nilai tiga, dan jika total nilai kurang dari 14 (< 14) dapat disimpulkan resiko cedera tinggi (Kiesel et al. 2007; Chorba et al. 2010). Secara statistik tidak ada perbedaan nilai FMS antara pria dan wanita (Schneiders et al. 2011). Ketidaksimetrisan dan keterbatasan gerak dalam FMS sudah dihubngkan dengan peningkatan resiko cedera. Ketidakmampuan untuk melakukan gerakan fungsional ini menghasilkan gerak kompesasi yang tidak efisien. Kompensasi ini menyebabkan tingginya resiko cedera, bahkan jika dilakukan pada tingkat performa yang tinggi (Mo-An et al. 2012). Berdasarkan penelitian Chorba et al. (2010), gerak kompensasi pada aktivitas fungsional dapat mempengaruhi resiko terjadinya cedera terutama pada anggota gerak bawah, 69% dari 38 sampel penelitiannya mendapatkan nilai kurang dari sama dengan 14 dan mengalami cedera sepanjang musim pertandingan. Dapat disimpulkan bahwa nilai dari FMS memiliki korelasi terhadap resiko cedera yang mungkin akan terjadi saat musim pertandingan. Evaluasi menggunakan FMS tentunya memerlukan penilai yang mampu mengobservasi setiap gerakan fungsional dalam pemeriksaan ini. Dengan mengetahui gerakan normal dan gerakan kompensasi yang akan terjadi saat

34 pemeriksaan dilakukan. Releabilitas FMS ini, jika diuji oleh dua orang penguji yang berbeda (Interrater) maka hasilnya akan tetap sama. Gambar 2.15 Grafik linear hubungan antara nilai FMS dengan resiko cedera (Chorba et al. 2010) Hal tersebut dibuktikan bahwa FMS memiliki reabilitas interrater yang tinggi dan dapat digunakan oleh siapapun yang sudah diberi pelatihan FMS sebelum melakukan skrining pada atlet (Minick et al. 2010; Smith et al. 2012; Onate et al. 2012; Teyhen et al. 2012). Hal tersebut di uji dengan statistik kappa untuk melihat hasil pemeriksaan oleh pemeriksa amatir dibandingkan dengan pemeriksa yang berpengalaman. Gerakan yang digunakan dalam FMS terdiri dari Deep Squat, Hurdle Step, In Line Lunge, Shoulder Mobility, Active Straight Leg Raise, Trunk Stability Push Up,dan Rotary Stabilty. Namun pada penelitian ini berfokus pada anggota gerak bawah terkait dengan kasus patellofemoral pain syndrome. Dengan mengambil

35 enam dari tujuh gerakan FMS berupa gerakan Active Straight Leg Raise, Trunk Stability Push Up, Rotary Stabilty, Deep Squat, Hurdle Step, dan In Line Lunge. Tabel 2.5 Nilai Kappa dalam perbandingan nilai rata-rata penilai amatir dengan penilai berpengalaman (L=Kiri, R=Kanan; n=39) Sumber : Minick et al. 2010; Schneiders et al. 2011

BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Berpikir Pada individu atau atlit yang memiliki permasalahan patellofemoral pain syndrome akan mengalami beberapa problema seperti nyeri di sekitar lutut bagian depan saat squat, naik-turun tangga, dll. PFPS memiliki permasalahan pada stabilisator medial patela yaitu kelemahan otot vastus medialis oblique yang berkontribusi besar pada gerak sendi lutut baik pada open chain kinetic dan closed kinetic chain. Permasalahan tersebut disebabkan oleh perpindahan posisi tulang patela ke arah lateral dan menghasilkan rasa nyeri di sisi depan sendi lutut. Terdapat kinerja otot quadriceps yang tidak seimbang, dimana aktifitas otot vastus lateralis terus meningkat untuk tetap dapat melakukan aktifitas fungsional. Beberapa literatur mengatakan bahwa penderita PFPS perlu mengaktifasi atau meningkatkan kinerja dari otot vastus medialis oblique yang ditujukan untuk dapat mereposisi dan menstabilkan posisi dari tulang patella yang mengalami kesalahan posisi (maltracking), baik patella tersebut mengalami rotasi ke lateral (internal rotation), bergeser ke lateral, dan terangkat ke lateral. Namun melihat kondisi kompetisi yang harus dilakukan oleh atlit yang mengalami patellofemoral pain syndrome memerlukan penanganan yang tepat untuk mengurangi gejala dan mencegah cedera berulang atau memperburuk kondisi. Saat ini banyak perkembangan alat bantu yang dapat digunakan seperti kinesiotape. 36

37 Pada PFPS penggunaan kinesiotape ditujukan untuk memfasilitasi kinerja otot vastus medialis oblique untuk meningkatkan kinerja neuromuskular anggota gerak bawah dan mengontrol posisi patella. Reposisi patela ke medial ditujukan untuk mengurangi gesekan antar tulang patela dan femur sehingga rasa nyeri dan bengkak dapat berkurang. Serta menginhibisi otot vastus lateralis dalam mengurangi gesekan dari patela ke arah lateral terhadap femur. Untuk mengetahui manfaat kinesiotape pada penderita PFPS dalam mencegah resiko cedera berulang, memerlukan evaluasi berupa skrining kemampuan fungsional atlit dalam mendeteksi resiko cedera yang mungkin akan terjadi. Functional Movement Screening (FMS) merupakan salah satu skrining yang dapat dilakukan kepada atlet. Sebagai tolak ukur posisi patela yang sudah di reposisi menggunakan kinesiotape dapat diberikan evaluasi dengan mengukur sudut q- angle menggunakan goniometer. Berdasarkan manfaat penggunaan kinesiotape, observasi pengukuran ini dilakukan selama tiga hari.

38 3.2 Kerangka Konsep Berdasarkan analisis dan sintesis dari teori di atas yang menjadi landasan berpikir peneliti dalam penelitian ini, peneliti menggambarkan konsep penelitian sebagai berikut: Faktor Internal a. Usia b. Riwayat PFPS c. Anatomi Faktor Eksternal a. Gerakan Sendi b. Waktu Pertandingan c. Performa Patellofemoral Pain Syndrome (PFPS) Penggunaan Kinesiotaping a. Fasilitasi VMO b. Reposisi Patela c. Inhibisi VL & ITB Menurunkan Resiko Cedera berulang PFPS dan derajat Q-Angle Gambar 3.1 Bagan Kerangka Konsep

39 3.3 Hipotesis Berdasarkan hal tersebut peneliti membuat hipotesis yang berkaitan dengan kerangka berpikir dan konsep tersebut diatas, sebagai berikut: 3.3.1 Penggunaan kinesiotape selama tiga hari tidak berbeda dengan perekat plasebo dalam mengurangi resiko cedera berulang pada penderita patellofemoral pain syndrome. 3.3.2 Penggunaan Kinesiotape selama tiga hari tidak berbeda dengan perekat plasebo dalam mengurangi derajat Q-angle pada penderita patellofemoral pain syndrome. 3.3.3 Penggunaan kinesiotape selama tiga hari dapat mengurangi resiko cedera berulang pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome. 3.3.4 Penggunaan perekat plasebo selama tiga hari dapat mengurangi resiko cedera berulang pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome. 3.3.5 Penggunaan kinesiotape selama tiga hari dapat mengurangi derajat Q- angle pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome. 3.3.6 Penggunaan perekat plasebo selama tiga hari dapat mengurangi derajat Q- angle pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome.

BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan rancangan penelitian yang digunakan adalah Randomized Clinical Trial Design. 9 Responden untuk kelompok kinesiotape (perlakuan) dan 8 responden untuk kelompok plasebo (kontrol). Semua kelompok di ukur kemampuan fungsional dengan Functional Movement Screening (FMS) dan derajat Q-angle dengan menggunakan goniometer antara perlakuan Kinesiotape dan perlakuan kontrol plasebo diberikan intervensi secara bersamaan, kemudian masing-masing perlakuan diobservasi. O P 0 O 2 R S RA O O 4 Gambar 4.1 Rancangan Penelitian Keterangan P : Populasi S : Sampel R : Randomisasi RA : Randomisasi Alokasi P 0 : Kelompok Kinesiotape P 2 : Kelompok Plasebo O 1 : Observasi data awal FMS dan Q-angle kelompok KT O 2 : Observasi data akhir FMS dan Q-angle kelompok KT O 3 : Observasi data awal FMS dan Q-angle kelompok Plasebo : Observasi data awal FMS dan Q-angle kelompok Plasebo O 4 P 1 40

41 4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian Tempat : Klinik Fisioterapi JPP Waktu Penelitian : tiga bulan (bulan April sampai Juni 2013). Waktu Observasi : tiga hari per responden 4.3 Penentuan Sumber Data 4.3.1 Populasi Populasi dalam penelitian ini adalah klien yang terindikasi Patellofemoral Pain Syndrome dengan criteria sebagai berikut : 4.3.1.1 Adanya nyeri saat dilakukan apprehension test. 4.3.1.2 Adanya nyeri saat Squat dan Single Leg Step Box 4.3.1.3 Adanya atrofi otot VMO unilateral. 4.3.1.4 Adanya taut band di Lateral Retinacullum. 4.3.1.5 Q-angle lebih dari 15 o 4.3.2 Sampel Sampel penelitian dari populasi yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai berikut: 4.3.2.1 Kriteria inklusi Terdiri dari : 4.3.2.1.1 Responden yang aktif melakukan olahraga baik atlit professional maupun amatir. 4.3.2.1.2 Terindikasi adanya Patellofemoral Pain Syndrome dengan dilakukannya pemeriksaan khusus.

42 4.3.2.1.3 Tidak memiliki gangguan sensibilitas kulit, terutama area otot quadriceps. 4.3.2.1.4 Tidak terinfeksi karena luka terbuka pada area sendi lutut. 4.3.2.2 Kriteria Eksklusi Terdiri dari : 4.3.2.2.1 Memiliki cedera lain selain PFPS seperti, meniscus, dan kesobekan ligament sendi lutut. 4.3.2.2.2 Responden tidak bersedia dan tidak bisa bekerja sama dalam mengkuti penelitian. 4.3.3 Besar sampel Besar sampel ditentukan berdasarkan penelitian pendahuluan, untuk mengetahui hasil FMS terkait dengan resiko cedera. Perhitungan sampel dengan menggunakan rumus pocock.dengan mengambil data dari penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang disusun oleh Mo-An et al (2012), di Amerika didapatkan nilai rerata FMS kelompok kontrol µ 1 =2,05 dan standar deviasi = 0,52, dengan estimasi perubahan 36% sehingga µ 2 =2,79. Dengan demikian dapat dihitung besaran sampel tiap kelompok adalah: n = 2 (. ) (µ 2 - µ 12 ) 2 = 2 x (0,52) 2 x 7,9 (2,79-2,05) 2 = 0,54 x 7,9 0,55 = 7,7 dibulatkan (8)

43 Keterangan: = Standar deviasi kelompok kontrol µ 1 = Rerata/mean kelompok kontrol yang diberi plasebo µ 2 = Rerata/mean kelompok perlakuan yang diberi kinesiotape α = Tingkat kesalahan I (ditetapkan 0,05); interval kepercayaan (1-0,05) = 0,95 β = Tingkat kesalahan II (ditetapkan 0,20) tingkat kekuatan uji (power of test) 0,80 ( α,β) = interval kepercayaan 7,9 (sesuai tabel pocock) Jadi, berdasarkan hasil perhitungan sampel di atas diperoleh jumlah sampel sebanyak ditambah kenaikan 10% menjadi 8,8 dengan pembulatan menjadi 9 responden setiap kelompoknya. Sehingga total sampel sebanyak 18 responden. 4.3.4 Teknik pengambilan sampel Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan cara sebagai berikut: 4.3.4.1 Melakukan pemilihan sejumlah sampel dari seluruh populasi di klinik JPP yang terindikasi PFPS. 4.3.4.2 Jumlah sampel yang terpilih, diseleksi berdasarkan kriteria inklusi. 4.3.4.3 Mengadakan pemilihan besar sampel sebanyak 18 responden subjek yang memenuhi kriteria inklusi diberi nomor urut yang berbeda sebanyak 18 responden. 4.3.4.4 Melakukan pembagian kelompok menjadi dua kelompok masing-masing kelompok sejumlah 9 responden. Pembagian kelompok dilakukan dengan cara acak sederhana. Selanjutnya kelompok-1 akan diberikan kinesiotape pada otot quadriceps dan patella dan kelompok-2 akan menerima perekat plasebo.

44 4.4 Variabel Penelitian 4.4.1 Variabel bebas Variable bebas dalam penelitian ini adalah Kinesiotape dan perekat plasebo. 4.4.2 Variabel tergantung Variable tergantung yang menjadi subjek dalam penelitian ini adalah resiko cedera berulang dan q-angle penderita patellofemoral pain syndrome. 4.4.3 Definisi Operasional 4.4.3.1 Patellofemoral pain syndrome (PFPS) merupakan kondisi cedera yang dikarenakan oleh adanya kesalahan gerak patella (maltracking) ke sisi lateral, yang didiagnosis oleh fisioterapis berdasarkan pemeriksaan Patellar Apprehension Test, Pengukuran Q-angle, dan Antropometri Quadriceps. 4.4.3.2 Kinesiotape adalah perekat elastis yang digunakan dalam penelitian ini untuk memfasilitasi otot vastus medialis oblique, meresposisi patella ke medial dan mengurangi ketegangan (tightness) pada otot illiotibial band dan vastus lateralis. Pemberian kinesiotape ini di pasangkan selama tiga hari untuk mengetahui efektifitas dari kinesiotape itu sendiri. Tehnik pemasangan kinesiotape sebagai berikut : 4.4.3.2.1 Pertama berikan fasilitasi pada otot vastus medialis oblique dengan menggunakan kinesiotape (KT) kurang lebih panjangnya 20 cm dan berikan potongan pada sisi tengah (potongan huruf Y) dan sisakan 5 cm

45 sebagai jangkar. Fleksikan kaki kira-kira 30 o dan letakkan jangkar pada origo VMO. Kemudian potongan taping diletakkan melingkari VMO dengan tarikan 25-50%. A. B. C. Gambar 4.2 Aplikasi Kinesiotape pada Otot Vastus Medialis Oblique, A. palpasi otot VMO, B. Pengukuran kinesiotape sesuai panjang otot VMO, C. Perekatan kinesiotape Y shape yang ditarik dari proksimal ke distal dan kedua cabang KTmelingkari otot VMO, D. HAsil akhir fasilitasi VMO. (Sumber Dokumentasi Pribadi) D. 4.4.3.2.2 Untuk koreksi posisi patella, dengan posisi lutut yang sama, ambil 17 cm KT dan potong membentuk huruf Y berikan 5 cm sebagai jangkar. Letakkan jangkar tepat di atas epikondilus medial tulang femur. Lalu lingkari patella dengan potongan KT tersebut dengan tarikan 25%.

46 A. B. C. Gambar 4.3 Aplikasi Kinesiotape pada Patela, A. aplikasi kinesiotape Y shape dari sisi medial ke lateral dengan melingkari tulang patella pada posisi sendi lutut 30 o, B. Aplikasi kinesiotape yang melingkari patella, C. Hasil akhir koreksi patella. (Sumber Dokumentasi Pribadi) 4.4.3.2.3 Untuk menginhibisi otot vastus lateralis dan illiotibial band posisikan pasien tidur miring dengan target kaki yang akan diberikan KT berada di atas. Kemudian pasien diminta untuk menekukkan kaki yang menjadi target, lalu panggul hiperekestensikan dan adduksikan. Hal tersebut untuk mengulur otot vastus lateralis dan illiotibial band. Dengan posisi tersebut berikan taping sepanjang otot vastus lateralis tanpa dipotong sisi tengahnya (bentuk huruf I) berikan jangkar 5 cm yang diletakkan di tuberositas tibia dan berikan tarikan ke proksimal 25%.

47 A. B. C. Gambar 4.4 Aplikasi Kinesiotape pada Otot Vastus Lateralis dan Iliotibial Band, A. penguluran otot Vastus Lateralis dan ITB, B. perekatan jangkar pada tuberositas tibia, C. Perekatan kinesiotape dari distal ke proksimal dalam posisi penguluran, D. hasil akhir perekatan kinesiotape. (Sumber Dokumentasi Pribadi) D. 4.4.3.2.4 Untuk mengurangi ketegangan otot vastus lateralis dan illiotibial band posisikan pasien duduk dengan kaki lurus. Kemudian aplikasikan tehnik koreksi facia pada otot vastus lateralis dan illiotibial band dengan bentuk Y berikan jangkar 7 cm yang diletakkan sisi lateral tepat di atas bagian otot yang mengalami ketegangan dan berikan tarikan ke medial 25%.

48 A. B. C. D. Gambar 4.5 Aplikasi Kinesiotape Koreksi Facia Iliotibial Band dan Vastus Lateralis, A. Rekatkan jangkar tranversal dari otot Vastus Lateralis dan ITB, B dan C Lingkarkan potongan kinesiotape di sepanjang otot tersebut, D. Hasil akhir koreksi facia. (Sumber Dokumentasi Pribadi) 4.4.3.3 Perekat plasebo adalah suatu perekat tidak elastic dengan metode pemasangan sama dengan kinesiotape dan dipasangkan selama tiga hari. A. B. C. D. Gambar 4.6 Aplikasi Perekat Plasebo, A. Facilitasi VMO, B. Koreksi Patela, C. Inhibisi ITB dan Vastus Lateralis, D. Koreksi facia Sumber Dokumentasi Pribadi 4.4.3.3.1 Resiko cedera berulang merupakan suatu kerusakan muskuloskeletal yang di akibatkan oleh aktivitas olahraga, untuk mengetahui resiko cedera berulang tersebut dapat dinilai dengan mengobservasi gerak kompensasi pada gerakan fungsional olahraga dengan penilaian FMS.

49 Dalam penelitian ini hanya mengambil tiga gerakan fungsional anggota gerak bawah dari total tujuh gerakan dalam FMS. Dengan memberikan penilaian terbesar tiga, yang terdiri dari nilai 0 gerakan tidak dapat dilakukan karena nyeri, nilai 1 tidak bisa menyelesaikan gerakan, nilai 2 dapat menyelesaikan gerakan dengan kompensasi, dan nilai 3 dapat menyelesaikan gerakan dengan baik. Tiga gerakan tersebut terdiri dari Deep Squat, Hurdle Step, In Line Lunges, Active Straight Leg Raise, Rotary Stability, dan Trunk Stability Push Up dengan penjelasan sebagai berikut : 4.4.3.3.2 Deep Squat Deep squat adalah pemeriksaan yang ditujukan untuk menantang mekanika total tubuh bila dilakukan dengan benar. Tujuan deep squat adalah gerakan dasar yang diperlukan dalam selruh aktifitas olahraga. Ini adalah posisi yang diperlukan untuk gerakan yang melibatkan ekstremitas bawah. Deep squat digunakan untuk menilaii bilateral, simetris, mobilitas fungsional dari sendi pinggul, lutut, dan pergelangan kaki. Batang kayu dipegang di atas kepala untuk menilai bilateral, mobilitas simetris bahu serta tulang belakang dada (Cook et al. 2006). Posisi awalan dengan menempatkan kaki kurang lebih selebar bahu dan kaki sejajar pada bidang sagital. Kemudian tangan menyesuaikan dengan panjang batang kayu dan dimulai dari sudut siku 90 derajat ekstensikan siku hingga batang kayu berada di atas kepala. Kemudian responden diinstruksikan untuk melakukan squat perlahan-lahan. Posisi squat harus diasumsikan dengan tumpuan tepat pada kedua tumit, lutut tidak melewati garis sagital dari ibu jari kaki, badan tegak

50 dengan pandangan lurus ke depan. Lakukan sebanyak tiga kali pengulangan. Jika kriteria skor III tidak tercapai, kemudian individu diminta untuk melakukan tes dengan menggunakan balok di bawah tumit mereka. Tips untuk pengujian jika responden ragu, nilai menjadi rendah, tidak menafsirkan nilai saat uji coba, pastikan pemeriksa melakukan observasi gerakan dari samping. A. B. C. Gambar 4.7 Gerakan Deep Squat, A. Nilai 3, B. Nilai 2, C. Nilai 1 (Cook et al. 2006)

51 4.4.3.3.3 Hurdle Step Tujuan hurdle step ini dirancang untuk melihat mekanika tubuh selama gerak melangkah melewati pita pembatas. Gerakan ini membutuhkan koordinasi yang tepat dan stabilitas antara pinggul dan tulang belakang selama gerak melangkah serta stabilitas satu sisi kaki. Langkah rintangan menilai mobilitas fungsional bilateral dan stabilitas pinggul, lutut, dan pergelangan kaki (Cook et al. 2006). Posisi awal dengan terlebih dahulu menempatkan kaki bersama-sama dan menyelaraskan jari-jari kaki menyentuh dasar halang rintang. Pita pembatas disesuaikan dengan ketinggian tuberositas tibialis responden. Batang kayu diletakkan di pundak bawah leher. Kemudian responden diminta untuk melangkahi pita pembatas dan menyentuh tumit mereka ke lantai sambil mempertahankan sikap kaki yang menjadi tumpuan dalam posisi ekstensi. Hurdle step harus dilakukan perlahan dan sebanyak tiga kali secara bergantian. Jika satu pengulangan selesai dan memenuhi kriteria maka diberikan nilai tiga. Tips untuk pengujian, nilailah kaki yang melangkah melewati rintangan, pastikan responden mempertahankan tubuh dengan stabil, katakan ke responden untuk tidak mengunci sendi lutut selama tes, menjaga keselarasan dengan pita pembatas dan tuberositas tibialis, ketika responden ragu berikan nilai rendah, tidak menafsirkan skor saat pengujian.

52 A. B. C. Gambar 4.8 Gerakan Hurdle Step, A. Nilai 3, B. Nilai 2, C. Nilai 1 (Cook et.al, 2006) 4.4.3.3.4 In Line Lunges In-line lunge adalah tes yang menempatkan ekstremitas bawah dalam posisi gaya menggunting yang memberikan kinerja lebih pada trunk dan ekstremitas untuk melawan gerak rotasi dan menjaga keselarasan. Tes ini menilai mobilitas

53 pinggul dan pergelangan kaki dan stabilitas, fleksibilitas paha depan, dan stabilitas lutut (Cook et al. 2006). Penguji mengukur panjang tulang tibia dari lantai ke tuberositas tibialis atau memperolehnya dari ketinggian pita pembatas selama uji hurdle step. Responden diminta untuk menempatkan ujung tumit mereka pada ujung papan atau pita pengukur ditempelkan ke lantai. Panjang tulang tibia diterapkan dari ujung jarijari kaki di papan FMS dan dibuat tanda. Batang kayu ditempatkan di belakang punggung menyentuh kepala, tulang belakang, dan sacrum. Posisi tangan untuk kaki depan harus memegang batang kayu di belakang leher. Tangan sisi lain menggenggam batang kayu pada tulang belakang lumbal. Responden melangkahkan kaki depannya dengan tumit menyentuh garis yang sebagai tanda di papan FMS. Kemudian responden menurunkan kembali lutut kaki belakang hingga menyentuh permukaan belakang tumit kaki depan dan kemudian kembali ke posisi awal. lunge ini dilakukan sampai tiga kali secara bergantian dan dilakukan perlahan-lahan. Jika salah satu pengulangan berhasil diselesaikan maka diberikan nilai tiga untuk ekstremitas (kanan atau kiri). Tips untuk pengujian kaki depan mengidentifikasi sisi yang dinilai, batang kayu tetap menyentuh kepala, tulang belakang, dan sakrum selama pemeriksaan, tumit kaki depan tetap menyentuh permukaan papan, jika responden ragu diberikan nilai rendah, perhatikan kehilangan keseimbangan yang terjadi, penguji tetap dekat dengan responden khususnya pada kasus yang gangguan keseimbangan.

54 A. B. C. Gambar 4.9 Gerakan In Line Lunges, A. Nilai 3, B. Nilai 2, C. Nilai 1 (Cook et.al, 2006) 4.4.3.3.5 Active Straight Leg Raise Active Straight Leg Raise merupakan pemeriksaan untuk melihat kemampuan anggota gerak bawah terhadap stabilitas tubuh. Selain itu juga memeriksa fleksibilitas dari otot hamstring dan gastroc-soleus dengan mempertahankan posisi pelvis (Cook et al. 2006).

55 Pertama posisikan responden tidur terlentang dengan tangan posisi anatomi dan kepala datar dengan lantai. Pemeriksa meletakkan tongkat berada di tengahtengah tulang paha antara SIAS dan patella. Saat pemeriksaan kedua lutut, tumit dan kepala menempel dengan lantai. Kemudian responden diperintahkan untuk meluruskan lutut dan menggerakkan pergelangan kaki dorsi fleksi. Setelah itu dalam posisi tersebut responden diperintahkan untuk mengangkat kakinya (fleksi panggul) lurus ke atas hingga sejajar atau melebih tongkat. A. B. C. Gambar 4.10 Active Straight Leg Raise, A. Nilai 3, B. Nilai 2, C. Nilai 1 (Cook et.al, 2006) 4.4.3.3.6 Rotary Stability Rotary stability merupakan gerakan yang kompleks membutuhkan koordinasi neuromuskular dan kekuatan dari satu segmen tubuh ke sisi yang lain.

56 Pemeriksaan ini untuk melihat kemampuan stabilitas tulang belakang dikombinasikan dengan gerakan ekstremitas atas dan bawah (Cook et al. 2006). Posisikan responden quadruped dengan bahu, panggul dan sendi lutut 90 derajat dari tulang belakang. Kemudian bahu dan panggul diluruskan lalu gerakkan tangan dan kaki hingga siku dan lutut saling bersentuhan. Lakukan sebanyak tiga repetisi, dan jika tidak bisa melakukannya dapat dilakukan dengan cara diagonal. A. B. C. Gambar 4.11 Rotary Stability A. Nilai 3, B. Nilai 2, C. Nilai 1 (Cook et.al, 2006)

57 4.4.3.3.7 Trunk Stability Push Up Trunk Stability Push up pemeriksaan untuk melihat stabilitas tulang belakang saat gerakan closed kinetic chain ekstremitas atas. Pemeriksaan stabilitas tulang belakang pada bidang sagital saat gerakan ekstremitas atas bergerak simetris (Cook et al. 2006). Responden dalam posisi tidur tengkurap dengan kaki rapat. Tangan diletakkan sejajar dengan bahu dan diletakkan sesuai dnegan criteria penilaian. Kemudian responden melakukan push up pada posisi tersebut. Gerakan dilakukan secara bersamaan dan simetris. A. B. C. Gambar 4.12 Trunk Stability Push Up A. Nilai 3, B. Nilai 2, C. Nilai 1 (Cook et.al, 2006)

58 4.4.3.3.8 Formulir penilaian FMS Deep Squat Tabel 4.1 Formulir penilaian FMS Test Nilai Catatan Hurdle Step Ka Ki Inline Lunge Ka Ki Active Straight Leg Raise Ka Ki Rotary Stability Ka Ki Trunk Stability Push Up Total 4.4.3.3.9 Kriteria Penilaian FMS Tabel 4.2 Penilaian Functional Movement Screening Nilai Kriteria Penilaian 0 Nyeri Saat Bergerak 1 Tidak bisa menyelesaikan gerakan 2 Menyelesaikan gerakan dengan kompensasi 3 Menyelesaikan gerakan dengan baik Sumber : Mo-An et al. 2012

59 4.5 Pengukuran Q-Angle 4.5.1 Posisikan pasien berdiri. 4.5.2 Letakkan poros goniometer di titik tengah tulang patella. 4.5.3 Kemudian menarik garis superior iliac anterior spine (SIAS) ke patela dan tuberositas tibia ke patella. 4.5.4 Lihat derajat yang tertera pada goniometer. 4.6 Instrumen Penelitian Tabel 4.3 Instrumen Penelitian yang digunakan No Jenis Alat 1. 2. Kinesiotape Perekat plasebo 3. Lembar Penilaian FMS 4. Alat dokumentasi untuk merekam jalannya penelitian 5. 6. Papan FMS Goniometer 4.7 Prosedur Penelitian 4.7.1 Tahap Persiapan Tahap persiapan menyangkut: 4.6.1.1 Studi kepustakaan dari buku, jurnal, proseding, internet dan lain-lain yang relevan dengan topik penelitian. 4.6.1.2 Mengurus surat-surat penelitian persetujuan penelitian kepada Klinik Fisioterapi JPP Tangerang. 4.6.1.3 Membuat jadwal pelaksanaan penelitian.

60 4.6.1.4 Menyiapkan alat-alat ukur yang baku dan punya ketelitian yang dapat dipercaya dan diakui secara ilmiah. 4.6.1.5 Melakukan penentuan sampel secara acak sederhana dengan cara undian, berdasarkan metode dan kriteria yang telah ditentukan. 4.6.1.6 Mengadakan pelatihan pengukuran dengan teman-teman yang membantu dalam pelaksanaan penelitian. 4.6.2 Tahap Pengambilan Data Awal 4.6.2.1 Melakukan pemeriksaan pendahuluan dengan memberikan pemeriksaan FMS dan Q-angle pada atlit PFPS sebelum diberikan kinesiotape dan perekat plasebo. Dengan skor tertinggi tiga disetiap gerakan pada FMS. 4.6.2.2 Melakukan penelitian perbandingan antara perekat plasebo dengan kinesiotape terhadap cedera berulang pada atlit yang mengalami PFPS dengan menggunakan FMS dan Q-angle. 4.6.2.3 Mengolah hasil penelitian pendahuluan untuk menentukan besar sampel dalam penelitian selanjutnya. 4.6.3 Tahap pemilihan dan penentuan sampel Prosedur pemilihan dan penentuan sampel menyangkut: 4.6.3.1 Semua responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebagai sampel diberikan nomor urut yang berbeda. 4.6.3.2 Selanjutnya sampel dipilih secara acak sederhana dengan menggunakan teknik undian genap dan ganjil. Jika genap masuk dalam kelompok kinesiotape dan jika ganjil masuk dalam kelompok plasebo dengan masing-masing kelompok terdapat 9 responden.

61 4.6.4 Tahap Pelaksanaan Penelitian Secara garis besar langkah-langkah yang dilakukan dalam pelaksanaan penelitian ini adalah sebagi berikut: 4.6.4.1 Sebelum pelaksanaan penelitian responden diberikan penjelasan tentang tujuan dan manfaat penelitian, jadwal dan tempat penelitian, tatalaksana penelitian, dan hak-hak subjek dalam pelaksanaan penelitian. 4.6.4.2 Dilakukan pemeriksaan spesifik untuk mendiagnosa PFPS sesuia dengan kriteria inklusi dan eksklusi. 4.6.4.3 Melakukan pemeriksaan FMS dan Q-angle sebelum intervensi. 4.6.4.4 Memberikan aplikasi kinesiotape pada otot vastus medialis oblique untuk memfasilitasi, untuk mereposisi patella pada mid-position, dan menurunkan tegangan dari otot vastus lateralis dan illiotibial band. Aplikasi kinesiotape dipasangkan selama tiga hari, tidak di lepas atau digantikan dengan yang baru. Kemudian melakukan observasi FMS dan Q-angle dari hari pertama sampai dengan hari ketiga. 4.6.4.5 Memberikan aplikasi perekat plasebo pada otot Vastus medialis oblique dan patela. Aplikasi perekat plasebo tetap dipasangkan selama tiga hari, tidak di lepas atau digantikan dengan yang baru. Kemudian melakukan observasi FMS dan Q-angle dari hari pertama sampai dengan hari ketiga.

62 4.6.5 Alur Penelitian Gambar 4.13 Bagan Alur Prosedur Penelitian

63 4.7 Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis menggunakan perangkat lunak SPSS dengan langkah-langkah sebagai berikut: 4.7.1 Statistik deskriptif untuk menganalisis umur, jenis kelamin, dan aktivitas olahraga yang datanya diambil sebelum dilakukan intervensi awal. 4.7.2 Uji normalitas data dengan Saphiro Wilk Test, bertujuan untuk mengetahui distribusi data masing-masing kelompok. Batas kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05. Jika hasilnya p > 0,05 maka dikatakan bahwa data berdistribusi normal dan apabila p < 0,05 menunjukkan bahwa data tidak berdistribusi normal. 4.7.3 Uji homogenitas data dengan Levene Test, bertujuan untuk mengetahui variasi data awal sampel dimulai dari kondisi yang sama. Batas kemaknaan yang digunakan adalah α = 0,05. Dengan pengujian hipotesa Ho bila nilai p > 0,05 maka data homogen dan Ho ditolak bilai nilai p < 0,05 berarti data tidak homogen. Ho: Tidak ada perbedaan resiko cedera dan q-angle sebelum perlakuan antara kelompok kinesiotape dan kelompok plasebo. Ha: Ada ada perbedaan resiko cedera dan q-angle sebelum perlakuan antara kelompok kinesiotape dan kelompok plasebo. 4.7.4 Untuk menguji signifikan dua sampel yang saling berpasangan pada kelompok kinesiotape melihat hasil FMS terkait dengan resiko cedera berulang menggunakan uji T- test Related. Dengan pengujian hipotesa H 0

64 diterima bila nilai P> nilai (0,05), sedangkan H 0 ditolak bila nilai P< nilai (0,05). H 0 : Tidak ada perbedaan resiko cedera berulang sebelum dan sesudah diberikan kinesiotape pada patellofemoral pain syndrome. H a : Ada perbedaan resiko cedera berulang sebelum dan sesudah diberikan kinesiotape pada patellofemoral pain syndrome. 4.7.5 Untuk menguji signifikan dua sampel yang saling berpasangan pada kelompok kinesiotape melihat hasil Q-angle menggunakan uji Wilcoxon Two Signed Rank test. Dengan pengujian hipotesa H 0 diterima bila nilai P> nilai (0,05), sedangkan H 0 ditolak bila nilai P< nilai (0,05). H 0 : Tidak ada perbedaan derajat Q-angle sebelum dan sesudah diberikan kinesiotape pada patellofemoral pain syndrome. H a : Ada perbedaan derajat Q-angle sebelum dan sesudah diberikan kinesiotape pada patellofemoral pain syndrome. 4.7.6 Untuk menguji signifikan dua sampel yang saling berpasangan pada kelompok plasebo melihat hasil FMS terkait dengan resiko cedera berulang menggunakan uji T- test Related. Dengan pengujian hipotesa H 0 diterima bila nilai P> nilai (0,05), sedangkan H 0 ditolak bila nilai P< nilai (0,05). H 0 : Tidak ada perbedaan resiko cedera berulang sebelum dan sesudah diberikan kinesiotape pada patellofemoral pain syndrome. H a : Ada perbedaan resiko cedera berulang sebelum dan sesudah diberikan kinesiotape pada patellofemoral pain syndrome.

65 4.7.7 Untuk menguji signifikan dua sampel yang saling berpasangan pada kelompok plasebo melihat hasil Q-angle menggunakan uji Wilcoxon Two Signed Rank test. Dengan pengujian hipotesa H 0 diterima bila nilai P> nilai (0,05), sedangkan H 0 ditolak bila nilai P< nilai (0,05). H 0 : Tidak ada perbedaan derajat Q-angle sebelum dan sesudah diberikan kinesiotape pada patellofemoral pain syndrome. H a : Ada perbedaan derajat Q-angle sebelum dan sesudah diberikan kinesiotape pada patellofemoral pain syndrome. 4.7.8 Untuk menguji signifikan dua sample yang tidak berpasangan pada kelompok kinesiotape dan kelompok plasebo melihat hasil FMS terkait dengan resiko cedera berulang menggunakan independent-t test. Dengan pengujian hipotesa Ho diterima bila nilai P> nilai (0,05), sedangkan H 0 ditolak bila nilai P< nilai (0,05). Ho : Tidak ada perbedaan resiko cedera berulang pada kelompok kinesiotape dan kelompok plasebo pada patellofemoral pain syndrome. Ha : Ada perbedaan resiko cedera berulang pada kelompok kinesiotape dan kelompok plasebo pada patellofemoral pain syndrome. 4.7.9 Untuk menguji signifikan dua sample yang tidak berpasangan pada kelompok kinesiotape dan kelompok plasebo melihat hasil derajat Q-angle menggunakan Mann-Whitney test. Dengan pengujian hipotesa Ho diterima bila nilai P> nilai (0,05), sedangkan H 0 ditolak bila nilai P< nilai (0,05).

66 Ho : Tidak ada perbedaan derajat Q-angle pada kelompok kinesiotape dan kelompok plasebo pada patellofemoral pain syndrome. Ha : Ada perbedaan derajat Q-angle pada kelompok kinesiotape dan kelompok plasebo pada patellofemoral pain syndrome.

BAB V HASIL PENELITIAN 5.1 Deskripsi karakteristik subjek penelitian Karakteristik subjek penelitian yang termasuk data numerik yaitu variabel usia, tinggi badan dan berat badan. Tabel 5.1 menunjukkan bahwa pada variabel usia rata-rata usia kelompok perlakuan lebih muda 0,02 tahun dari pada kelompok kontrol, dengan selisih usia termuda adalah 1 tahun dan selisih usia maksimal adalah 5 tahun. Rata-rata pada variabel tinggi badan kelompok perlakuan lebih besar dari pada kelompok kontrol dengan selisih rata-rata tinggi 5,76 cm. Terdapat perbedaan 2 cm pada tinggi badan dan 6 cm pada tinggi badan maksimal. Pada variabel berat badan menunjukkan bahwa kelompok perlakuan lebih berat 2,01 kg dari pada kelompok kontrol. Tabel 5.1 Data Numerik Karakteristik Subjek Penelitian Kinesiotape ± Plasebo Variabel (n=9) (n=8) Subjek Min Rata-rata Maks 19 ± 20 Usia (tahun) 22,11 ± 22,13 30 ± 25 Tinggi badan 163 ± 165 176,89 ± 171,13 (cm) 183 ± 170 Berat Badan 65 ±54 70,89 ± 68,88 (kg) 86 ± 89 Rata-rata 0,02 5,76 2,01 Selisih Min Maks 1 5 2 6 11 3 Keterangan: n Min Maks Perlakuan Kontrol = Jumlah Sampel = Minimal = Maksimal = Kelompok perlakuan kinesiotaping = Kelompok perlakuan plasebo 67

68 Pada tabel 5.2 menjelaskan karakteristik subjek penelitian yang termasuk data katagorik umum yaitu jenis kelamin, cabang olahraga, dan region PFPS menunjukkan bahwa pada variabel jenis kelamin keseluruhan sampel pada kategori laki-laki lebih banyak (88,2%) dibandingkan kategori perempuan (11,8%), begitu pula pada masing-masing kelompok. Pada variabel cabang olahraga kategori basket dalam penelitian ini merupakan kategori yang paling banyak (64,7%) dibandingkan dengan ketiga cabang olahraga lainnya. Dalam penelitian ini variabel regio PFPS sisi kanan merupakan kategori yang paling banyak (64,7%) dibandingkan dengan sisi kiri (35,3%). Tabel 5.2 Data Katagorik Umum Karakteristik Subjek Penelitian Variabel Kategori Perlakuan (KT) Kontrol (Plasebo) Keseluruhan sampel % % % Jenis Kelamin Laki-laki 88,9 87,5 88,2 Cabang Olahraga Perempuan 11,1 12,5 11,8 Basket 77,8 50 64,7 Sepak Bola 11,1 12,5 11,8 Badminton 0 12,5 5,9 Voli 11,1 25 17,6 Regio PFPS Kanan 77.8 50 64,7 Kiri 22,2 50 35,3 5.2 Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Data Instrumen Hasil Penelitian Untuk menentukan jenis uji statistik komparasi yang akan digunakan untuk membandingkan hasil pre test dan post test antara kedua kelompok perlakuan dan kontrol maka terlebih dahulu dilakukan uji normalitas distribusi data dengan menggunakan uji Saphiro Wilk Test, sedangkan uji homogenitas varian data

69 dengan menggunakan uji Levene s Test yang akan disajikan pada tabel 5.3 sebagai berikut: Tabel 5.3 Uji Normalitas dan Uji Homogenitas Data Instrumen Hasil Penelitian Variabel FMS Q-ANGLE p. Uji Normalitas p. Uji Homogenitas (Shapiro-Wilk Test) Perlakuan Kontrol Keterangan (n=9) (n=8) (Levene s Test) Pre Test 0,290 0,319 Normal 0,807 Post Test 0,222 0,385 Normal 0,873 Pre Test 0,000 0,000 Tidak Normal 0,765 Post Test 0,000 0,000 Tidak Normal 0,401 Tabel 5.3 menunjukkan bahwa hasil penelitian dengan instrument Functional Movement Screening didapatkan hasil uji normalitas dengan menggunakan Uji Shapiro Wilk Test pada semua variabel pre test dan post test pada kedua kelompok data adalah berdistribusi normal (p > 0,05) dan uji homogenitas dengan menggunakan uji Levene s Test of varian pada semua variabel pre test dan post test pada kedua kelompok data adalah homogen (p > 0,05). Dengan demikian pada pengolahan data berikutnya dilakukan uji kompatibilitas sebelum (pre) kelompok kinesiotape dan plasebo menggunakan independent t-test. Hal tersebut ditujukan untuk mengetahui uji hipotesis pertama dengan menggunakan data sesudah perlakuan atau menggunakan data selisih sebelum dan sesudah perlakuan variabel FMS. Selain itu juga pada tabel menunjukkan bahwa hasil penelitian dengan instrument Q-angle didapatkan hasil uji normalitas dengan menggunakan Uji Shapiro Wilk Test pada semua variabel pre test dan post test pada kedua kelompok data adalah tidak berdistribusi normal (p < 0,05) dan uji homogenitas

70 dengan menggunakan uji Levene s Test of varian pada semua variabel pre test dan post test pada kedua kelompok data adalah homogen (p > 0,05). Dengan demikian pada pengolahan data berikutnya dilakukan uji kompatibilitas sebelum (pre) kelompok kinesiotape dan plasebo menggunakan Mann-Whitney test. Hal tersebut ditujukan untuk mengetahui uji hipotesis kedua dengan menggunakan data sesudah perlakuan atau menggunakan data selisih sebelum dan sesudah perlakuan variabel q-angle. 5.3 Uji peningkatan nilai FMS pada kelompok kinesiotape. Uji ini untuk mengetahui peningkatan nilai FMS sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kinesiotape dengan menggunakan T-test Related yang disajikan pada tabel 5.4 sebagai berikut: Tabel 5.4 Uji peningkatan nilai FMS pada kelompok kinesiotape dengan T-test Related Variabel Rerata ± sd t p (n=9) Kinesiotape_FMS_Pre 10,22±1,56 4,685 0,002 Kinesiotape_FMS_Post 15,22±2,54 Tabel 5.4 di atas menunjukkan bahwa kelompok kinesiotape rerata FMS sebelum perlakuan sebesar 12,7 poin dan sesudah 15,22 poin. Terjadi peningkatan rerata pada kelompok kinesiotape variabel FMS adanya perbedaan yang signifikan p = 0,002 (p < 0,05).

71 5.4 Uji peningkatan nilai FMS pada kelompok pada kelompok plasebo. Uji ini untuk mengetahui peningkatan nilai FMS sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok plasebo dengan menggunakan T-test Related yang disajikan pada tabel 5.5 sebagai berikut: Tabel 5.5 Uji peningkatan nilai FMS pada kelompok pada kelompok plasebo dengan T-test Related Variabel Rerata ± sd t p (n=8) Plasebo_FMS_Pre 10±1,6 3,5 0.01 Plasebo_FMS_Post 13,5±2,27 Tabel 5.5 di atas menunjukkan bahwa kelompok plasebo rerata FMS sebelum perlakuan sebesar 10 poin dan sesudah 10,6 poin. Terjadi peningkatan rerata yang signifikan pada kelompok plasebo variabel FMS sebesar p = 0,01 (p < 0,05). 5.5 Uji Penurunan Q-angle pada kelompok kinesiotape. Uji ini untuk mengetahui penurunan derajat q-angle sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok kinesiotape dengan menggunakan wilcoxon sign rank test yang disajikan pada tabel 5.6 sebagai berikut: Tabel 5.6 Uji penurunan Q-angle pada kelompok kinesiotape dengan Wilcoxon Sign Rank Test Variabel (n=9) Kinesiotape_Q-angle Pre & Post (n=9) z p 2,887 0.004

72 Tabel 5.6 di atas menunjukkan bahwa adanya penurunan derajat q-angle yang signifikan pada kelompok kinesiotape dengan nilai p = 0,004 (p < 0,05) terhadap penderita patellofemoral pain syndrome. 5.6 Uji Penurunan Q-angle pada kelompok plasebo. Uji ini untuk mengetahui penurunan derajat q-angle sebelum dan sesudah perlakuan pada kelompok plasebo dengan menggunakan wilcoxon sign rank test yang disajikan pada tabel 5.7 sebagai berikut: Tabel 5.7 Uji penurunan Q-angle pada kelompok plasebo dengan Wilcoxon Sign Rank Test Variabel z p Plasebo_Q-angle Pre & Post (n=8) 2,64 0.008 Tabel 5.7 di atas menunjukkan bahwa adanya penurunan derajat q-angle yang signifikan pada kelompok plasebo dengan nilai p = 0,008 (p < 0,05) terhadap penderita patellofemoral pain syndrome. 5.7 Uji Kompatibilitas Data Variabel Functional Movement Screening dan Q- angle Sebelum Perlakuan Kedua Kelompok Uji ini untuk mengetahui perbedaan rerata kemampuan fungsional sebelum perlakuan pada masing-masing kelompok kinesiotape dan kelompok placebo. Serta untuk mengetahui signifikansi perbedaan kemampuan fungsional sebelum perlakuan pada masing-masing kelompok kinesiotape dan kelompok plasebo

73 maka dilakukan uji independent t-test yang disajikan pada tabel 5.8 sebagai berikut: Tabel 5.8 Uji Kompatibilitas Sebelum Perlakuan Kedua Kelompok Variabel FMS Variabel FMS (independent t-test) Pre Test Rerata ± sd Kelompok Kinesiotape (n=9) Kelompok Plasebo (n=8) 10,22 ± 1,56 10 ± 1,6 0,289 0,777 t p Tabel 5.8 diatas menunjukkan bahwa pada kelompok kinesiotape rerata FMS sebelum perlakuan kinesiotape dan plasebo menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan p = 0,777 (p > 0,05). Dengan demikian data yang di uji pada hipotesis pertama menggunakan data sesudah perlakuan kedua kelompok. Pada tabel 5.3 telah dijelaskan bahwa data sesudah perlakuan variabel FMS terdistribusi normal, maka pengujian menggunakan uji hipotesis pertama dengan menggunakan independent t-test. Tabel 5.9 Uji Kompatibilitas Sebelum Perlakuan Kedua Kelompok Variabel Q-angle Variabel Q-angle (Mann- Whitney test) Pre Test Rerata ± sd Kelompok Kinesiotape (n=9) Kelompok Plasebo (n=8) 16,67 ± 3,54 16,88± 2,6 0,482 0,63 z p Tabel 5.9 diatas menunjukkan bahwa pada kelompok kinesiotape rerata Q- angle sebelum perlakuan kinesiotape dan plasebo menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan p = 0,63 (p > 0,05). Dengan demikian data yang di uji

74 pada hipotesis kedua menggunakan data sesudah perlakuan kedua kelompok. Pada tabel 5.3 telah dijelaskan bahwa data sesudah perlakuan variabel Q-angle tidak terdistribusi normal, maka pengujian menggunakan uji hipotesis kedua dengan menggunakan Mann-Whitney test. 5.8 Uji Beda Peningkatan Nilai Kemampuan Functional Movement Screening Antara Kedua Kelompok Perlakuan Untuk mengetahui perbedaan rerata dari selisih peningkatan kemampuan functional movement screening kelompok kinesiotape dan kelompok plasebo saat sesudah perlakuan dan untuk mengetahui signifikansi perbedaan peningkatan kemampuan functional movement screening kedua kelompok perlakuan sesudah perlakuan maka dilakukan uji t-tidak berpasangan (independent t-test) yang disajikan pada tabel 5.10 sebagai berikut: Tabel 5.10 Uji Hipotesis Kemampuan Functional Movement Screening Antara Kedua Kelompok Perlakuan dengan Independent T-Test Perlakuan Rerata ± sd t p Kelompok Kinesiotape (n=9) Kelompok Plasebo (n=8) 15,22 ± 2,54 13,5 ± 2,27 1,47 0,163 Tabel 5.10 diatas menunjukkan bahwa nilai rerata sesudah perlakukan kelompok kinesiotape 15,22 ± 2,54 sedangkan kelompok plasebo 13,5 ± 2,27. Analisis uji kemaknaan independent t-test menunjukkan nilai t = 1,47 dengan nilai p = 0,163 lebih dari alpha (p > 0,05). Hal tersebut menjelaskan bahwa

75 peningkatan kemampuan fungsional kedua kelompok menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan. 5.9 Uji Beda Penurunan Derajat Q-angle Antara Kedua Kelompok Perlakuan Untuk mengetahui perbedaan rerata dari selisih penurunan q-angle kelompok kinesiotape dan kelompok plasebo saat sesudah perlakuan untuk mengetahui signifikansi perbedaan penurunan q-angle kedua kelompok perlakuan sesudah perlakuan maka dilakukan uji Mann-Whitney test yang disajikan pada tabel 5.11 sebagai berikut: Tabel 5.11 Uji Hipotesis Penurunan Derajat Q-angle Antara Kedua Kelompok Perlakuan dengan Mann-Whitney test Perlakuan Rerata ± sd z p Kelompok Kinesiotape (n=9) Kelompok Plasebo (n=8) 11,11 ± 3,33 10,62 ± 1,77 0 1,000 Tabel 5.11 diatas menunjukkan bahwa nilai rerata sesudah perlakukan kelompok kinesiotape 11,11, sedangkan kelompok plasebo 10,62. Analisis uji kemaknaan Mann-Whitney test dengan nilai p = 1. Hal tersebut menjelaskan bahwa penurunan q-angle kedua kelompok menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan (p > 0,05).

76 Melihat hasil uji beda berpasangan didapatkan simpulan data sebagai berikut : 1. Berdasarkan uji beda pre dan post FMS, dinyatakan bahwa kinesiotape dapat mencegah resiko berulang pada penderita PFPS. 2. Berdasarkan uji beda pre dan post FMS, dinyatakan bahwa perekat plasebo tidak memberikan peningkatan nilai FMS yang signifikan pada penderita PFPS. 3. Berdasarkan uji beda pre dan post Q-angle, dinyatakan bahwa kinesiotape dapat menurunkan derajat Q -angle pada penderita PFPS. 4. Berdasarkan uji beda pre dan post Q-angle, dinyatakan bahwa perekat plasebo dapat menurunkan derajat Q -angle pada penderita PFPS. 5. Berdasarkan uji Independent-t test, bahwa penggunaan kinesiotape tidak berbeda dengan perekat plasebo dalam mengurangi resiko cedera berulang pada penderita patellofemoral pain syndrome. 6. Berdasarkan uji Mann-Whitney, bahwa penggunaan kinesiotape tidak berbeda dengan perekat plasebo dalam menurunkan derajat Q-angle pada penderita patellofemoral pain syndrome.

77 BAB VI PEMBAHASAN 6.1 Penggunaan Kinesiotape Selama Tiga Hari Tidak Berbeda Dengan Perekat Plasebo Dalam Mengurangi Resiko Cedera Berulang pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome Pada kelompok kinesiotape nilai rerata FMS sebelum perlakuan sebesar 10,22 poin menjelaskan bahwa penderita PFPS mengalami kompensasi dan kurangnya stabilitas otot quadriceps terhadap tulang patela saat melakukan aktiifitas olahraga. Seperti kita ketahui bahwa nilai FMS kurang dari sama dengan 14 poin (FMS 14), atlet terdeteksi resiko cedera berulang. Namun setelah pemasangan kinesiotape nilai rerata meningkat sebesar 15,22 poin dengan nilai p = 0,002 (p < 0,05) dan selisih peningkatan rerata sebesar 5 poin atau sebesar 49 %. Hal ini dapat dikatakan bahwa kinesiotape membantu mengurangi resiko cedera berulang dengan nilai FMS lebih dari 14 poin (FMS > 14). Berdasarkan hal tersebut, kinesiotape memberikan rangsangan kepada nociceptor dan propioceptif untuk dapat menerima informasi untuk dapat di urai dalam bentuk perbaikan atau re-edukasi kinerja otot vastus medialis dan menurunkan ketegangan otot vastus lateralis dan illiotibial band. Jika sudah bekerja seperti itu, kompensasi gerak fungsional fungsional akan menurun dan berada pada posisi fungsional yang benar dan stabil. Selain itu juga, kinesiotape dapat melebarkan sirkulasi yang membawa oksigen ke otot, sehingga otot dapat berkontraksi maksimal dibandingkan tidak menggunakan kinesiotape. 77

78 Pada kelompok plasebo juga mengalami peningkatan nilai rerata FMS sebesar 3.5 poin atau sebesar 35 % dari rerata sebelum 10 poin dan sesudah perlakuan sebesar 13,5 poin dengan nilai p = 0.01 (p < 0,05). Peningkatan rerata tersebut sangat kecil dibandingkan dengan kelompok kinesiotape. Peningkatan ini disebabkan oleh perekat plasebo yang tidak elastis mempermudah patela terkoreksi. Selain itu, luas gerak sendi lutut tidak akan terbatas atau terhambat karena posisi patela yang ke lateral. Jika dilihat dari nilai peningkatan pada kinesiotape dan plasebo, hasil dari pengunaan kinesiotape lebih besar dibandingkan dengan perekat plasebo. Hal tersebut dikarenakan, observasi pada perekat plasebo membatasi gerak sendi lutut saat pemeriksaan FMS dilakukan, sehingga dapat mempengaruhi dari hasil FMS. pada kelompok kinesiotape dapat diprediksikan jika penggunaannya dilakukan berulang-ulang dalam waktu lebih dari dua minggu, peningkatan yang terjadi melebihi dari kelompok perekat plasebo (Olivera et al. 2013) kinesiotape plasebo 15.22 13,5 10.22 10 sebelum sesudah Gambar 6.1. Grafik rerata Peningkatan FMS Pada kedua kelompok perlakuan

79 Melihat gambar 6.1 kelompok kinesiotape dan kelompok plasebo sama-sama memberikan peningkatan nilai FMS. Hal tersebut senada dengan hasil uji t-tidak berpasangan (independent-t), diketahui bahwa nilai probabilitas uji kemaknaan didapatkan sebesar p = 0,163 lebih besar dari alpha (p > 0,05). Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa kinesiotape tidak memiliki perbedaan yang signifikan dengan perekat plasebo dalam mengurangi resiko cedera berulang pada patellofemoral pain syndrome. 6.2 Penggunaan Kinesiotape selama tiga hari Tidak Berbeda Dengan Perekat Plasebo Dalam Menurunkan Q-angle pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome Berdasarkan uji statistik non parametrik berpasangan (wilcoxon sign rank test) terhadap hasil penelitian terdapat perbedaan hasil nilai q-angle dari sebelum dan sesudah perlakuan. Dimana nilai pada kelompok kinesiotape rerata sebelum pemasangan kinesiotape sebesar 16,66 derajat. Hal tersebut menjelaskan bahwa penderita PFPS mengalami sudut quadriceps (q-angle) lebih besar dari 15 derajat. Seperti pernyataan Bolgla dan Boling (2011), bahwa sudut normal dari q-angle kurang dari 15 derajat, jika lebih atau sama dengan 15 derajat maka akan mengakibatkan kerusakan pada badan facet patela sisi lateral dengan trochlea. Setelah dipasangkan kinesiotape nilai rerata menurun menjadi 11,11 derajat dengan selisih 5,55 derajat atau penurunan sebesar 67% dari sebelum aplikasi, dengan nilai p = 0,004 (p < 0,05). Namun, q-angle pada kelompok plasebo juga mengalami penurunan lebih besar dengan selisih rerata sebelum dan sesudah

80 perlakuan sebesar 6,3 derajat dengan persentase penurunan sebesar 63 %, dengan nilai p = 0,008 (p < 0,05). Fenomena penurunan q-angle pada perekat plasebo memang lebih besar nilainya dibandingkan dengan kinesiotape. Perekat plasebo berifat tidak elastis, maka perekat ini lebih mampu mempertahankan posisi atau mereposisi patela lebih kuat dibandingkan kinesiotape yang bersifat elastis. Kinseiotape plasebo 16.88 16.66 10.62 11.11 sebelum sesudah Gambar 6.2. Grafik rerata penurunan Q-angle pada kedua kelompok Melihat persamaan penurunan antara kedua kelompok, pemasangan dua metode tersebut memiliki manfaat yang positif dalam mereposisi patela. Hal ini diperkuat dengan uji statistik tidak berpasangan non parametrik (Mann-Whitney test) menunjukkan nilai p = 1 lebih besar dari alpha (p > 0,05). Dapat disimpulkan bahwa kinesiotape tidak berbeda denga perekat plasebo dalam mengurangi derajat Q-angle pada penderita patellofemoral pain syndrome. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Montalvo et al (2013) bahwa tidak ada perbedaan kinesiotape dengan perekat tidak elastis yang bertujuan untuk mereposisi patela ke arah medial. Hasil akhir penelitian ini telah membuktikan bahwa pemberian kinesiotape selama tiga hari tidak berbeda dengan perekat plasebo dalam mengurangi resiko

81 cedera berulang dan derajat quadriceps (q-angle) pada penderita patellofemoral pain syndrome (PFPS). Rentang waktu observasi selama tiga hari telah memberikan adaptasi tubuh untuk menerima stimulus kinesiotape. Fisiologi tubuh manusia membutuhkan rentang waktu lebih dari dua minggu untuk dapat beradaptasi terhadap stimulus yang diberikan. Melihat dari angka peningkatan rerata pada pengukuran FMS, kinesiotape memiliki peran yang besar dalam mengkoreksi kompensasi gerak sehingga resiko cedera berulang dapat menurun. Jika diperhatikan kembali, penulis perkirakan penggunaan kinesiotape dalam jangka waktu lebih dari dua minggu akan lebih bermakna dibandingkan penggunaan dalam waktu yang singkat (Chen et al. 2008). Dibandingkan dengan peningkatan FMS yang berbeda dengan perekat plasebo, kinesiotape juga memiliki manfaat yang sama dengan perekat plasebo dalam menurunkan derajat q-angle. Kinesiotape memiliki sifat yang elastis, dapat diulur hingga 100 %, dimana saat terulur penuh sifat kinesiotape berubah menjadi tidak elastis dan sama seperti perekat plasebo. Penulis berharap penelitian ini dapat berlanjut yang dilakukan oleh penulis sendiri ataupun peneliti lainnya. Hal tersebut ditujukan agar dapat melengkapi dan mengkonfirmasi penelitian ini pada masa yang akan datang. 6.5 Kelemahan dan Upaya Penelitian Dengan keterbatasan dan hambatan yang dijumpai dalam penelitian yang akan dilakukan selanjutnya, penelitian ini memiliki beberapa kelemahan sebagai berikut :

82 6.5.1 Kelemahan Adapun kelemahan dalam penelitian ini sebagai berikut: 6.5.1.1 Waktu observasi FMS dan q-angle yang terlalu singkat. 6.5.1.2 Tidak mengendalikan variabel pada satu bidang olahraga yang sama. 6.5.2 Upaya Beberapa upaya untuk mengatasi kelemahan penelitian ini sebagai berikut: 6.5.2.1 Berupaya menambahkan rentang waktu observasi 6.5.2.2 Berupaya mengontrol aktifitas olahraga di luar waktu penelitian.

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan Berdasarakan hasil analisis penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa: 7.1.1 Penggunaan kinesiotape selama tiga hari dapat mengurangi resiko cedera berulang pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome. 7.1.2 Penggunaan perekat plasebo selama tiga hari dapat mengurangi resiko cedera berulang pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome. 7.1.3 Penggunaan kinesiotape selama tiga hari dapat mengurangi derajat Q- angle pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome. 7.1.4 Penggunaan perekat plasebo selama tiga hari dapat mengurangi derajat Q-angle pada penderita Patellofemoral Pain Syndrome. 7.1.5 Penggunaan Kinesiotape selama tiga hari tidak berbeda dengan perekat plasebo dalam mengurangi resiko cedera berulang pada penderita patellofemoral pain syndrome. 7.1.6 Penggunaan Kinesiotape selama tiga hari tidak berbeda dengan perekat plasebo menurunkan derajat Q-angle pada penderita patellofemoral pain syndrome. 7.2 Saran Beberapa saran yang dapat diajukan berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dalam penelitian ini adalah: 83

84 1. Penggunaan Kinesiotape dalam mengurangi resiko cedera berulang memerlukan observasi dalam bentuk olahraga langsung dan melakukan pengukuran functional movement screening dalam waktu yang lebih lama dari tiga hari. 2. Penggunaan Kinesiotape dalam menurunkan q-angle tulang patela memerlukan observasi visual berupa X-Ray atau MRI secara langsung untuk lebih mengetahui posisi patella setelah perlakuan. 3. Masih perlu dilakukan penelitian lain sebagai lanjutan dari penelitian ini guna melengkapi dan mengkonfirmasi hasil temuan dari penelitian ini dimasa yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA Ahmad, C.S McCarthy, M. Gomez, J.A. Shubein-Stein, B.E. 2009. The moving patellar apprehension test for lateral patellar instability. New York. The America Journal of Sport Medicine. 37(4(:791-6. Available from http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19193601. Akbaş, E. Atay, A.O. Yüksel, I. 2011. The effects of additional kinesio taping over exercise in the treatment of patellofemoral pain syndrome. Turkey. Institute of Health Sciences, Universitas Hacettepe. (di unduh: 8/11/2012). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/ 22032998. Aminaka, N. Gribble, Philip A. 2005 A Systematic Review of the Effects of Therapeutic Taping on Patellofemoral Pain Syndrome. Toledo. Journal Of Athletic Training., (di unduh 19 Oktober 2012). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc1323297/. Amis, A.A. 2007. Current concept on anatomy and biomechanics of patellar stability. United Kingdom. Sport Medicine Arthroscopy Review 15:48-56. Amis, A.A. Firer, P. Mountney J. Senavongse, W. Thomas, N.P. 2003. Anatomy and biomechanics of the medial patellofemoral ligament. United Kingdom. The Knee. 10(3):215-220. (cited 15 febuari 2013). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/12893142. Arovah, N.I. t,t. Diagnosis dan manajemen cedera olahraga. Yogyakarta, Universitas Negeri Yogyakarta. (di unduh 19 Oktober 2012). Available from: http://goo.gl/tzyto. Bahr, R. Holme, I. 2003. Risk factor for sport injuries-a methodological approach. Norwaygia. British Journal Sport Medicine 27:384-392. (di unduh 14 Febuari 2013). Available from: http://bjsm.bmj.com/content/37/5 /384. full.pdf+html. Bakta, I. M. 1997. Diktat Mata Kuliah Metodelogi Penelitian. Denpasar: Program Studi Ergonomi dan Fisiologi Olahraga Universitas Udayana. Bolgla, L.A. Boling, M.C. 2011. An Update For The Conservative Management Of Patellofemoral Pain Syndrome. A Systematic Review Of The Literature From 2000 to 2010. USA. The International Journal Of Sports Physical Therapy June; 6(2): 112 125. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc3109895/. Boonkerd, C. 2012. Conservative Treatment in People with Patellofemoral Pain Syndrome. Thailand. Thammasat Medical Journal. Available from: http://goo.gl/wzmfo. Brotzman, S.B. Manske, R.C. 2011. Clinical orthopaedic rehabilitation; an evidence-based approach. Filadelfia. Elsevier. P.269. 85

Chen, P.L. Hong, W.H. Lin, C.H. Chen, W.C. 2008, Biomechanics effects of kinesio taping for persons with patellofemoral pain syndrome during stair climbing. Taiwan. IFMBE Proceeding Vol.21. Cheng Fu, T. Wong, A.M.K. Pei, Y.C. Wu, K.P. Chou, S.W. Lin, Y.C. 2008. Effect pf kinesio taping on muscle strength in athletes-a pilot study. Taiwan. Journal of Science and Medicine in Sport. 11,198-201. Cho-Chen, W. Hesien-Hong, W. Fen-Huang, T. Chaung-Hsu, H. Effect kinesio taping on the timing and ratio of vastus medialis obliquus and vastus lateralis muscle for person with patellofemoral pain. Taiwan. Journal of Biomechanics. 40(S2). Chorba, R.S. Chorba, D.J. Bouillon, L.E. Overmyer, C.A, Landis, J.A. 2010. Use of a functional movement screening tool to determine injury risk in female collegiate athletes. Amerika. North American Journal of Sport Physical Therapy 5(2):47-54. (di unduh 24 Oktober 2012). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc2953387/pdf/najspt- 05-047.pdf. Cibulka, M.T. Watkins, J.T. 2005. Patellofemoral Pain and Asymmetrical Hip Rotation. Amerika. Journal of the American Physical Therapy Association. (di unduh 18 September 2012). Available from: http://ptjournal.apta.org/content/85/11/1201. Cook, G. Burton. L, Hoogenboom. 2006. Pre-participation screening: the use of fundamental movements as an assessment of function-part 1. Amerika. North Journal Sport Physical Therapy. Vol.1, No. 2. DeFrate, L.E. Nha, K.W. Papannagari, R. Moses,Jeremy M. Gill, Thomas J. Guoan Li. 2007. The Biomechanical Function of the Patellar Tendon During In-Vivo Weight Bearing Flexion. Boston. National Institute of Health, Journal Biomechanic 40(8): 1716 1722. (di unduh 7 Januari 2013). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc1945 121/. De Oliveira, V.M.A. Batista, L.S.P. Pitangui, Ana. C.R. Araujo, R. C. 2013, Effectiveness of Kinesio Taping in pain and scapular dyskinesis in athletes with shoulder impingement syndrome. Petrolina. Rev Dor. São Paulo jan-mar;14(1):27-30. Dixit, S. Difiori, J.P. Burton, M. Mines, B. 2007. Management of patellofemoral pain syndrome. Amerika. American Family Physican 75:194-202, 204. (di unduh 13 Januari 2013). Available from: http://www.aafp.org/afp/ 2007/0115/p194.html. Donatelli, R. Wooden, M. 2010 Orthopaedic Physical Therapy 4 th Amerika. Churchill Livingstone Elsevier. hal. 502. edition. 86

Fagan, V. Delahunt, E. 2008. Patellofemoral pain syndrome: a review on the associated neuromuscular deficits and current treatment options. Irlandia. British Jorunal Sport Medicine 42:789-795 Felicio, L.R. Baffa, A Do Prado. Liporacci, R.F. Saad, M.C. De Oliveira, A.S. Grossi, D.B. 2011. Analysis of patellar stabilizers muscles and patella kinematics in anterior knee pain subjects. Brazil. Journal of electromyography and kinesiology 148 153, Elsevier. (di unduh 7 Januari 2013). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/20932775. Graham, M. Howey, J. 2011. Introduction to Leukotape-K Neuro-Propioceptive Taping (persentasi). BSN. Toronto. Grelsamer, R.P. Dubey, A. Weinstein, C.H. 2005. Men and women have similar q angles; a clinical and trigonometric evaluation. New York. The Journal of Bone & Joint Surgery. 87-B:14598-501. Habelt, S. Hasler, C.C. Steinbruck, K. Majewski, M. 2011. Sport Injuries in Adolescents. Jerman. Orthopedic Reviews vol.3:e18. Hafez. A.R, Zakaria. A, Brugadda. S. 2012. Eccentric versus concentric contraction of quadriceps muscle in treatment of chondromalacia patella. Riyadh. World journal of medical science 7 (3): 197-203. (di unduh 7 Januari 2013). Available from: http://www.idosi.org/wjms/7(3)12/11.pdf. Heintjes, E, Berger, M.Y. Bierma-Zeinstra, S.M. Bernsen, R.M. Verhaar, J.A, Koes, B.W. 2003. Exercise therapy for patellofemoral pain syndrome. Netherlands. Cochrane Database Syst Rev. (4):CD003472. (di unduh 7 Januari 2013). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/14583980. Hendrick, C.R. 2010. The Therapeutic Effects Of Kinesio Tape On A Grade I Lateral Ankle Sprain (Disertasi). Virginia. Virginia Polytechnic Institute and State University. Herrington, L. 2006. The relationship between patella position and length of the iliotibial band as assessed using Ober s test.. United Kingdom. Manual Therapy 11 182 186. Herrington, L. Rivett, N. Munro, S. 2012. Does the change in q-angle magnitude in unilateral stance differ when comparing asymptomatic individuals to those with patellofemoral pain?. United Kingdom. Elsevier. (di unduh 7 Januari 2013). Available from: http://www.sciencedirect.com/science /article/pii/s1466853x120001 44. Hsu, Y.H. Chen W.Y. Lin, H.C. Shih, Y.F. 2009. The effect on scapular kinematic and muscle performance in baseball player with shoulder impingement syndrome. Taiwan. Journal Electromyography and Kinesiology Dec;19(6):1092-9. 87

Ivarsson, A. Johnson, U. 2010. Physicological factors as predictors of injuries among senior soccer players, a prospective study. Swedia. Journal of Sport Science and Medicine. (di unduh 12 Desember 2012). Available from: http://www.jssm.org/vol9/n2/26/v9n2-26text.php. Jaiyesimi, A.Q. Jegede, O.O. 2009. Influence of gender and leg dominance on q- angle among young adult Nigerians. Nigeria. AJPARS vol.1, no.1, p. 18-23. (di unduh 14 Januari 2013). Available from: http://www.ajol.info/ index.php/ajprs/article/download/51309/39972. Jensen, R. 2008. Patellofemoral pain syndrome: studies on a treatment modality, somatosensory function, pain, and psychological parameters (tesis). Norwaygia. University of Bergen. Juhn, M.S. 1999. Patellofemoral pain syndrome: a review and guidelines for treatment. Seattle. American Familty Physician. 1;60(7):2012-2018. Available from http://www.aafp.org/afp/1999/1101/p2012.html. Kase, K. Wallis, J. Kase, T. 2003. Clinical therapeutic applications of the kinesiotaping method 2 nd edition. Jepang. Ken Ikai Co. Karandikar, N. Ortiz-Vargas, O.O. 2011. Kinetic chain: a revies of the concept and its clinical applications. America. The American Academy of Physical Medicine and Rehabilitation ;3:739-745. Kisner, C. Colby, L.A. 2007. Therapeutic Exercise, Foundation and Technique 5 th edition. Amerika. F.A Davis Company. p.2. Kiesel, K. Plisky, P.J. Voigth, M.L. 2007. Can serious injury in professional football be predicted by a preseason functional movement screen?. Evansville. NAJSPT. Vol.2, No.3. Lankhorst, N.E. Zeinstra, Sita M.A.B. Van Middelkoop, M. 2012. Risk factor for patellofemoral pain syndrome: a systematic review. Netherland. JOSPT doi:10.2519/jospt.2012.3803. Available from: http://www.jospt.org/mem bers/getfile.asp?i d=5541. Lankhorst, N.E. Zeinstra, Sita M.A.B. Van Middelkoop, M. 2013. Factor associated with patellofemoral pain syndrome: a systematic review. Netherland. British Journal of Sport Medicine. 47:193-206 Available from: http://bjsm.bmj.com/content/47/4/193.abstract. Lins, C.A. Neto, F.L. Amorim, A.B. Macedo, L.D. Brasileiro, J.S. 2012. Kinesio Taping( ) does not alter neuromuscular performance of femoral quadriceps or lower limb function in healthy subjects: Randomized, blind, controlled, clinical trial. Brazil. Manual Therapy. Feb;18(1):41-5 Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22796389. MacLean, E. 2004. A theoretical review of patella-femoral pain syndrome etiology and an 12-week rehabilitation based exercise prescription. Australia. Journal of Strength and Conditioning Research. 18(4): 703-707. 88

Meeuwise, W.H. Tyreman, H. Hagel, B. Emery, C. 2007. A dynamic model of etiology in sport injury: the recursive nature of risk and causation. Kanada. Clinical Journal Sport Medicine 17:215-219. (di unduh 10 Januari 2013). Available from: http://goo.gl/2xfb1. Minick, K.I. Kiesel, K.B. Burton, L. Taylor, A. Plisky, P. Butler, R.J. 2010. Interrater reliability of the functional movement screen. Indiana. Journal of Strength and Conditioning Research. Mo-An, H. Miller, C. Mcelveen, M. Lynch, J. 2012. The effect of kinesiotape on lower extremity functional movement screen scores. Amerika. International Journal of Exercise Science 5(3):196-204. Montalvo, A.M. Buckley, W. E. Sebastianelli, W. Vairo, G.L. 2013. An Evidence-Based Practice Approach ti the Efficacy of Kinesio Taping for Improving Pain and Quadriceps Performance in Physically-Active Patellofemoral Pain Syndrome Patients. USA. Journal of Novel Physiotherapies. doi:10.4172/2165-7025.1000151. Mostafavifar, M. Wertz, J. Borchers, J. 2012. A systematic review of the effectiveness of kinesio taping for musculoskeletal injury. Columbus. The Physician and Sport Medicine. 2012 Nov;40(4):33-40. Available from : http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/23306413. Nejati, P. Forogh, B. Moeineddin, R. Baradaran, H.R. Nejati M. 2011. Patellofemoral Pain Syndromes in Iran Female Athletes. Iran. Acta Medica Irania 2011; 49(3): 169-172. (di unduh 10 Januari 2013). Available from: http://journals.tums.ac.ir/upload_files/pdf/18266.pdf. Nijs-Jo. Van-Geel, C. Van der-auwera, C. Van de-velde, B. 2006. Diagnostic value of five clinical test in patellofemoral pain syndrome. Belgia. Manual Therapy. 11:69-77. Nobre, T.L. 2012. Comparison of exercise open kinetic chain dan closed kinetic chain in the rehabilitation of patellofemoral dysfunction: an update revision. Brazil. Clinical Medicine and Diagnosis. 2(3):7-11. Omololu, B.B. Ogunlade, O.S. Gopaldasani, V.K. 2009. Normal Q-angle in an adult Nigerian population. Nigeria. Springer. Clin Orthop Relat Res 467:2073 2076. (di unduh 14 Januari 2013). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc2706335/. Onate, J.A. Dewey, T. Kllock, R.O. Thomas, K.S. Van Lunen, B.L. Demaio, M. Ringleb, SI. 2012. Real-time intersession and iterrater reliability of the functional movement screen. USA. Journal Strength and Condtioning Research 26(2):408-15. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/22266547. Page, P. Frank, C.C. Lardner, R. 2010. Assessment and Treatment of Muscle Imbalance, the Janda Approach. Chicago. Human Kinetics. hal. 236-237. 89

Pappas, E. Wong-Tom, W.M. 2012. Prospective predictors of patellofemoral pain syndrome: a systematic review with meta analysis. New York. Sport Health Mar;4(2):115-20. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov /pubmed/23016077. Pecina, M. M. Bojanic, I. 2004. Overuse Injuries of the musculoskeletal system 2 nd edition. London. CRC Press. p. 189-207. Peterson, D.R. Bronzio, J.D. 2008. Biomechanics principle and applications. USA. Taylor & Francis Group. p.9. Petty, E. Verdonk, P. Steyaert, A. Bossche, L.V. Van den Boecke, W. Thijs, Y. Witvouw, E. 2011. Vastus medialis obliquus atrophy: does it exist in patellofemoral pain syndrome?. Belgia. American Journal of Sport Medicine. 39:1450. Pocock, 2007. Clinical Trial, A Practical Approach. New York: A Willey Medical Publication. Power, C.M. Chen, Y.J. Scher, I.S, Lee, T.Q. 2010. Multiplane Loading of the extensor mechanism alters the patellar ligament force/quadriceps force ratio. USA. J Biomech Eng Feb;132(2):024503. doi: 10.1115/1.4000852. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/20370249. Prentice, William E. 2011. Principle of Athletic Training : a Competency-Based Approach 14 th Edition.New York. The McGraw-Hill. p.232-233. Reinold, M. 2009. Biomechanic of patellofemoral rehabilitation. Amerika. Mikereinold.com. Available from: http://www.mikereinold.com/2009/06/ biomechanics-ofpatellofemoral.html Santos, R.B. 2006. The co-incidence of q-angle asymmetry and patellofemoral pain syndromes among female collage athletes. Filipina. Available from: http://www.docstoc.com/?doc_id=107663766&download=1 Samuel, D. Rowe, P. Hood, V. Nicol, A. 2012. The relationship between muscle strength, biomechanical functional moments and health-related quality of life in non-elite older adults. United Kingdom. Age and Ageing. Mar;41(2):224-30. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubm ed/22126987. Schneiders, A.G. Davidsson, A. Horman, E. Sullivan, S.J. 2011. Functional movement screen normative values in a young, active population. New Zealand. IJSPT. Vol.6, No.2, p.75. Sheehan, F.T. Derasari, A. Fine, Kenneth M. Brindle, T.J. Alter. K.E. 2010. Q- angle & J-sign Indicative of maltracking subgroups in patellofemoral pain. Springer. Clinical Orthopaedic and Related Research, 468(1): 266 275. (di unduh 19 September 2012). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/pmc2795830/. 90

Simunovic, Z. 2002. Sport injuries can be successfully managed with low level laser therapy. Switzerland. (di unduh 13/2/2013). Available from: http://www.healinglightseminars.com/laser-research-library/sportsinjuries/ Slupik, A. Dwornik, M. Bialoszewski, D. Zych, E. 2007. Effect of Kinesio Taping on Bioelectrical Activity of vastus medialis muscle. Preliminary report. Ortopedia Traumatologi Rehabilitica. (di unduh: 8/11/2012). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/18227756 Smith, C.A. Chimera, N.J. Wright, N. Warren M. 2012. Interrater and intrarater reliability of the functional movement screen. New York. Journal Strength and Condtioning Research. (di unduh: 8/11/2012). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22692121. Supartono, B. 2010. Indonesia Belum Punya Data Epidemiologi Cedera Olahraga. Jakarta. Jurnas.com. Available from: http://goo.gl/aay8w Suratman, T. 2012. KONI akan kembangkan olahraga jadi industri. Jakarta. Antaranews.com. Available from: http://goo.gl/6p50t Tallay, A. Kynsburg, A. Toth, S. Szendi, P. Pavlik, A. Balogh, E. Halasi, T. Berkes, I. 2004. Prevalence of patellofemoral pain syndrome. Evaluation of the role of biomechanical malalignments and the role of sport activity. Hungaria. Orvosi Hetilap Oct 10;145(41):2093-101. (di unduh: 8/11/2012). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/ pubmed/15586584 Teyhen, D.S. Shaffer, S.W. Lorenson, C.L. Halfpap, J.P. Donofry, D.F. Walker, M.J. Dugan, J.L. Childs, J.D. 2012. The functional movement screen: a reliability study. USA. JOSPT 42(6):530-40. (di unduh: 8/11/2012). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22585621. Thelen, M.D. Stoneman, P.D, Dauber,J.A. 2008. The Clinical Efficacy of Kinesio Tape for Shoulder Pain: A Randomized, Double-Blinded, Clinical Trial. United States. Journal of Orthopaedic & Sport Physical Therapy. DOI: 10.2519/jospt.2008.2791. (di unduh 28 September 2012). Available from: http://www.jospt.org/issues/articleid.1422,type.14/article_detail.asp Van Tiggelen, D. Cowan, S. Coorevits, P. Duvigneaud, N. Witvrouw, E. 2009. Delayed vastus medialis obliquus to vastus lateralis onset timing contributes to the development of patellofemoral pain in previously healthy men: a prospective study. Belgia. America Journal Sports Medicine Jun;37(6):1099-105. (di unduh 28 September 2012). Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/19282508. Waryasz. G.R, McDermott, A.Y. 2008. Patellofemoral pain syndrome (PFPS): a systematic review of anatomy and potentials risk factors. USA. Dynamic Medicine. (di unduh 10 Januari 2013). Available from: http://goo.gl/oe33w. 91

Williams, S. Whatman, C. Hume, P.A. Sheerin, K. 2012. Kinesio taping in treatment and prevention of sports injuries: a meta-analysis of the evidence for its effectiveness. New Zealand. Sports Medicine. Feb 1;42(2):153-64. Available from: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/22124445 Witvrouw, E. Werner, S. Mikkelsen, C. Van-Tiggelen, D. Vanden Berge, L. Cerulli, G. 2005. Clinical classification of petllofemoral pain syndrome: guidelines for non operative treatment. Belgia. Springer- Verlag.. (di unduh 8 Januari 2013). Available from: http://www.prdupl02.ynet.co.il/.../11244924.pdf. Witvrouw, E. Daneel, L. Van-Tiggelen, D. Willems, T.M. Cambier. D. 2004. Open versus closed kinetic chain exercise in patellofemoral pain syndrome. Belgia. The American Journal of Sport Medicine. DOI 10. 1177/03635403262187. Yasukawa, A. Patel, P. Sisung, C. 2006. Pilot study: Investigating the effect of kinesio taping in acute pedriatic rehabilitation setting. Chicago. American Journal of Occupational Therapy, 60, 104 110. 92

Lampiran 1 Protokol Penelitian A. Dua Rencana Penelitian 1. Randomized Control Trial : Penggunaan kinesiotape dapat mencegah resiko cedera berulang dan Derajat Sudut Quadriceps (Q-Angle) pada PFPS 2. Evaluasi Functional Movement Screening pada kelompok atlit dengan kasus patellofemoral pain syndrome. B. Sampling 1. sampling diacak (random) hanya pada atlit yang mengalami PFPS total sampel 18 (9 sampel kelompok KTape & 9 sampel kelompok Taping Plasebo) C. Pengukuran 1. Menggunakan Functional Movemenst Screening dan Q-angle dengan goniometer sebelum dan sesudah diberika kinesiotape dan taping placebo. D. Assessment PFPS 1. Patellar Apprehension Test : a. Posisikan pasien tidur terlentang dan fleksikan lutut 30 o b. FT menarik patella ke lateral & pasien diperintahakn menggerakkan lututnya lurus (ekstensi) c. Jika Nyeri (+) PFPS, Jika Tidak Nyeri (-) PFPS (diikuti pemeriksaan berikutnya) 2. Quadriceps Antropometri a. Posisikan pasien tidur terlentang dan lutut ekstensi (relax) b. Tentukan titik pengukuran (mid patella, 10cm above mid patella, & 20 cm above mid patella) c. Ukur dengan meter line, catat angkanya, dan bandingkan dengan kaki sisi lainnya. 3. Q-angle a. Posisikan pasien berdiri (posisi anatomi) b. Letakkan fulcrum goniometer tepat di mid patella lutut yg bermasalah c. Arahkan goniometer ke titik SIAS dan Tuberositas Tibialis d. Hitung derajatnya E. Pengukuran Functional Movement Screening (FMS) 1. FMS untuk memprediksi resiko cedera yang mungkin akan terjadi 2. Yang diperhatikan dalam tes ini : a. Tidak menggunakan alas kaki b. Perhatikan Keseimbangan c. Perhatikan Ketepatan pola gerakan d. Gerak kompensasi dalam bergerak e. Kestabilan posisi dari awal hingga akhir gerakan f. fleksibilitas g. Hasil 14 : resiko cedera tinggi, > 14: resiko cedera rendah 93

3. Penilaian yang diberikan Nilai Kriteria Penilaian 0 Nyeri Saat Bergerak 1 Tidak bisa menyelesaikan gerakan 2 Menyelesaikan gerakan dengan kompensasi 3 Menyelesaikan gerakan dengan baik dan tepat 4. Formulir Penilaian Deep Squat Test Nilai Catatan Hurdle Step Inline Lunge Active Straight Leg Raise Rotary Stability Trunk Stability Push Up Ka Ki Ka Ki Ka Ki Ka Ki Total 94

5. Gerakan a. Deep Squat b. Hurdle Step *sesuaikan pita pada tuberositas tibia dan ukur panjang dari telapak kakituberositas tibia 95

96

c. In Line Lunges 97

d. Active Straigth Leg Raise 98

e. Rotary Stability 99

f. Trunk Stability Push Up g. Shoulder Mobility 1. Ukur panjang telapak tangan terlebih dahulu 100

F. Penggunaan Kinesiotape & Plasebo 1. Kinesiotaping a. Fasilitasi VMO Pertama berikan fasilitasi pada otot vastus medialis oblique dengan menggunakan kinesiotape (KT) kurang lebih panjangnya 20 cm dan berikan potongan pada sisi tengah (potongan huruf Y) dan sisakan 5 cm sebagai jangkar. Fleksikan kaki kira-kira 30 o dan letakkan jangkar pada origo VMO. Kemudian potongan taping diletakkan melingkari VMO dengan tarikan 25-50%. b. Koreksi Patella Untuk koreksi posisi patella, dengan posisi lutut yang sama, ambil 17 cm KT dan potong membentuk huruf Y berikan 5 cm sebagai jangkar. Letakkan jangkar tepat di atas epikondilus medial tulang femur. Lalu lingkari patella dengan potongan KT tersebut dengan tarikan 25% 101

c. Inhibisi ITB Untuk menginhibisi otot vastus lateralis dan illiotibial band posisikan pasien tidur miring dengan target kaki yang akan diberikan KT berada di atas. Kemudian pasien diminta untuk menekukkan kaki yang menjadi target, lalu panggul hiperekestensikan dan adduksikan. Hal tersebut untuk mengulur otot vastus lateralis dan illiotibial band. Dengan posisi tersebut berikan taping sepanjang otot vastus lateralis tanpa dipotong sisi tengahnya (bentuk huruf I) berikan jangkar 5 cm yang diletakkan di tuberositas tibia dan berikan tarikan ke proksimal 25%. d. Myofacial Release Untuk mengurangi ketegangan otot vastus lateralis dan illiotibial band posisikan pasien duduk dengan kaki lurus. Kemudian aplikasikan tehnik koreksi facia pada otot vastus lateralis dan illiotibial band dengan bentuk Y berikan jangkar 7 cm yang diletakkan sisi lateral tepat di atas bagian otot yang mengalami ketegangan dan berikan tarikan ke medial 25%. 102