Susan Santika Au Bain-Marie Tinderwings Au Bain-Marie Oleh: SUSAN SANTIKA Copyright 2014 by SUSAN SANTIKA Penerbit Tinderwings Tinderwings@gmail.com Desain Sampul: Aulia Ikhsanti Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com
Pujian untuk Au Bain-Marie Sesuatu yang baru mesin waktu. Orang berfikir itu mustahil, tapi di novel ini semuanya terjadi. Inilah mesin waktu dengan alur cerita yang tidak terduga. Nice! Erwan Supriadi Susan menulis cerita yang membuat kita mengenang masa lalu yang sebagian dari kita mengalaminya, juga membuat pembaca mau belajar berdoa dan menyimpan harapan baik untuk masa depan Rizki Budiman Kali ini blueberry cheesecake akan memberikanmu pelajaran yang sangat berharga perihal hubungan. Selamat membaca dan selamat mencari loyang Au Bain-Marie untuk membuat blueberry cheesecakemu sendiri. Riska Rosmana Kasih sayang ibu, kasih sayang Ayah, kasih sayang kakak, kasih sayang adik, kasih sayang kekasih, kasih sayang sahabat itu semua memiliki bentuk kasih sayang yang berbeda. Tapi, di novel ini semuanya jadi satu kesatuan yang apik Dicky Ardianto
Untuk semua orang yang mencintai Ibunya
DAFTAR ISI Pujian Untuk Au Bain-Marie 2 1. Tenggelam di Dasar Lutut 5 2. Petrichor 20 3. Daun-Daun Jatuh di Lantai Kamar 32 4. Dua Mamah 41 5. Jemari Bertemu 48 6. Daffodilone 54 7. Singgasana Tuhan 67 8. Shakespeare, Cahaya Surga itu Benar-Benar Ada 75 9. Rumah Boneka 80 10. Scurulla Atropurpurea 88 11. Gincu Cap Kodok 95 12. Tuan Pencemburu 103 13. Tuan Pembuat Kue 111 14. Elizabeth Berg 123 15. Greentea Ice Cream 143 16. Au Bain-Marie 150 17. Selamat Hari Ibu 161 18. Buah yang Jatuh 168 19. Fala Adinda 173 20. Tuan Pesulap 185 21. Memungut Buah yang Jatuh 193 22. Memilih Loyang Au-Bain Marie 207 23. Epilog 215 Catatan 223 Bacaan 225 Ucapan Terima Kasih 226 Tentang Penulis 228
1. Tenggelam di Dasar Lutut Namaku Singgasana. Aku memiliki seorang kakak perempuan bernama Kiani dan seorang kakak laki-laki bernama Kilas. Semenjak kecil, aku terbiasa tidak memanggil Kilas dengan panggilan kakak. Sama seperti ayah yang lebih suka memanggilnya Gulung, akupun lebih suka memanggilnya Gulung. Meski Kilas berarti gulung(an) kain sarung pada pinggang, ayah selalu menganggap Kilas dan Gulung memiliki arti yang sama. Saat aku berumur lima tahun, Gulung berumur delapan tahun, dan Kak Kian berumur sebelas tahun. Kami bertiga dibesarkan oleh seorang ayah yang mencintai semua hal tentang sepeda motor, dan seorang ibu yang mengubur mimpinya untuk menjadi seorang wanita karir -- demi menjadi seorang ibu rumah tangga yang mengurus ketiga anaknya dengan baik. Benar, ibu selalu mengurus kami bertiga dengan baik. Saat aku berumur lima tahun, aku sudah duduk dibangku kelas satu SD. Ibu mengajariku membaca dan 5
menulis dengan baik, sehingga aku tidak perlu masuk Taman Kanak-Kanak terlebih dahulu. Ketika aku duduk di kelas satu SD, Gulung duduk di kelas tiga SD. Saat itu umurnya delapan tahun. Aku dan Gulung waktu itu sering diantar ibu ke sekolah. Sementara Kak Kian yang saat itu duduk di kelas enam SD, sudah terbiasa pergi sendiri ke sekolah tanpa diantar ibu. Ibu selalu memandikanku, mencuci seragamku dan menyetrikanya, memakaikan seragamku, menyuapiku sarapan, menyiapkan isi tas sailormoonku, meraut pensilku, dan merogoh beberapa uang lusuh dari sakunya untuk membelikanku ice cream dalam cup setiap pulang sekolah. Ibu melakukan itu semua hingga aku kelas tiga SD. Ibu ingin aku mulai mandiri. Semenjak kelas empat SD aku mulai melakukan segala sesuatunya sendiri. Mulanya, aku tidak terima. Namun, akhirnya aku mengerti. Ibuku perlu istirahat karena lelah memasak, mencuci, dan membersihkan rumah. Sementara Gulung, dia masih sesekali meminta ibu menyetrika seragamnya. Ibu bilang, karena Gulung laki-laki, Gulung tidak boleh terlalu sering mengerjakan pekerjaan seorang perempuan. 6
Saat ibu memintaku untuk mulai melakukan segala sesuatunya sendiri, ibu mulai meminta Kak Kian untuk membantunya mengerjakan pekerjaan rumah, seperti memasak, mencuci piring, mencuci baju, menyapu, dan pergi berbelanja ke pasar. Kak Kian selalu menuruti apa yang ibu minta, sehingga ibu selalu membandingkan aku dengan Kak Kian bila aku malas mengerjakan pekerjaan rumah. Waktu terus berjalan. Banyak hal yang berubah. Saat aku duduk di kelas enam SD, Gulung kelas delapan SMP, dan Kak Kian kelas dua SMA, Ibu meminta kami untuk bergotong-royong mengerjakan seluruh pekerjaan rumah. Ibu semakin sibuk dengan bisnis cateringnya. Satu-satunya yang tidak pernah berubah di keluarga kami adalah ayah. Ayah masih tetap sibuk dengan bisnis modifikasi sepeda motornya yang sudah berjalan lebih dari dua puluh tahun. Ada sebuah bengkel sederhana di sebelah rumah kami. Disanalah ayah selalu menghabiskan waktunya. Tidak seperti kebanyakan ayah-ayah lain yang jarang berada di rumah karena pergi ke kantor atau pergi dinas keluar kota, ayah tidak pernah pergi meninggalkan kami. Beliau selalu berada 7
di rumah. Namun, sedikit sekali yang kami ketahui tentang ayah. Kamar kami bertiga terletak di lantai dua. Pintu kamarku terletak bersebelahan dengan pintu kamar Gulung, sedangkan pintu kamar Kak Kian terletak persis di depan pintu kamarku. Malam itu, aku bergegas keluar kamar dan mengetuk pintu kamar Gulung. Lampu kamar Gulung terlihat masih menyala. Aku sempat melihat kearah kamar Kak Kian. Lampu kamar Kak Kian sudah dimatikan. Kak Kian mungkin sudah tidur. Tok! Tok! Tok! pelan-pelan aku mengetuk pintu kamar Gulung. Kurang dari sepuluh detik, Gulung membukakan pintu. Kamu dengar itu, Gulung? tanyaku. Aku lalu masuk dan duduk diatas tempat tidur Gulung. Selimut merah berlogo klub sepak bola jagoannya aku tarik hingga sebatas pinggangku. 8