PERSPEKTIF YURIDIS DAN SOSIOLOGIS TENTANG PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA DI KABUPATEN WONOGIRI T A R S I

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya agar berjalan tertib dan lancar, selain itu untuk menyelesaikan

BAB I PENDAHULUAN. Perceraian pasangan..., Rita M M Simanungkalit, FH UI, 2008.

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan di atas adalah merupakan rumusan dari Bab I Dasar Perkawinan pasal

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan

BAB I PENDAHULUAN. menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

SEMINAR SEHARI PRAKTIK PERKAWINAN BEDA AGAMA DALAM MASYARAKAT INDONESIA

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Abdul Kholiq ABSTRACT

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. makhluk yang tidak bisa tidak harus selalu hidup bersama-sama. bagaimanapun juga manusia tidak dapat hidup sendirian, serta saling

KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkawinan merupakan hal yang sakral dilakukan oleh setiap manusia

AKIBAT PERKAWINAN DIBAWAH UMUR DALAM KELANGSUNGAN HIDUP. ( Studi Kasus Pengadilan Agama Blora)

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan undang-undang

Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Ketentuan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Perkawinan.

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014

BAB I PENDAHULUAN. berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana di nyatakan dalam UU

PELAKSANAAN PERKAWINAN BAGI ORANG YANG BERBEDA AGAMA

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan usia muda merupakan perkawinan yang terjadi oleh pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, suami istri memikul suatu tanggung jawab dan kewajiban.

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan merupakan salah

B A B I P E N D A H U L U A N. Sebagaimana prinsip hukum perdata barat di dalam KUH Perdata tersebut, telah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

PROSES PELAKSANAAN PERKAWINAN ANGGOTA TNI-AD DAN PERMASALAHANNYA (Studi di Wilayah KOREM 074 Warastratama)

BAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria


TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Perkawinan ini menjadi sebuah ikatan antara seorang laki-laki dan seorang

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selalu ingin bergaul (zoon politicon) 1 bersama manusia lainya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang. Indonesia merupakan negara hukum yang menyadari, mengakui, dan

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara)

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

REVISI UNDANG-UNDANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman adat istiadat dalam pelaksanaan perkawinan. Di negara. serta dibudayakan dalam pelaksanaan perkawinan maupun upacara

BAB 1 PENDAHULUAN. meliputi manusia, hewan, dan tumbuhan. Diantara ciptaan-nya, manusia

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, melakukan perkawinan adalah untuk menjalankan kehidupannya dan

KUISIONER HASIL SURVEI TESIS

BAB I PENDAHULUAN. seorang diri. Manusia yang merupakan mahluk sosial diciptakan oleh Tuhan

BAB I PENDAHULUAN. seorang laki-laki, ada daya saling menarik satu sama lain untuk hidup

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga mempunyai peranan yang penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan dialam dunia berkembang biak. Perkawinan bertujuan untuk

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

BAB I PENDAHULUAN. sakral, karena itu pernikahan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai ajaran agama 2. Oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. Hukum Perdata dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB 1 PENDAHULUAN. menimbulkan akibat lahir maupun batin baik terhadap keluarga masing-masing

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri. Ikatan lahir ialah

ESENSI HUKUMAN DISIPLIN BAGI PENEGAKAN DISIPLIN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI KABUPATEN WONOGIRI T E S I S

BAB I PENDAHULUAN. (machstaat). Dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 negara

I. PENDAHULUAN. suatu sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berdasarkan Pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

BAB I. Tuhan telah menciptakan manusia yang terdiri dari dua jenis yang berbedabeda

BAB I PENDAHULUAN. luasnya pergaulan internasional atau antar negara adalah adanya praktek

Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

BAB I PENDAHULUAN. Barat, sistem Hukum Adat dan sistem Hukum Islam. 1 Sebagai sistem hukum,

Perkawinan Sesama Jenis Dalam Persfektif Hukum dan HAM Oleh: Yeni Handayani *

BAB I PENDAHULUAN. istri, tetapi juga menyangkut urusan keluarga dan masyarakat. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

AKIBAT HUKUM PERKAWINAN SIRI DALAM UNDANG-UNDANG PERKAWINAN. Oleh Sukhebi Mofea*) Abstrak

DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL DEPAN... HALAMAN SAMPUL DALAM... HALAMAN PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING...

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk sosial yang tidak dapat lepas dari hidup

Akibat hukum..., Siti Harwati, FH UI, Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

b. Hutang-hutang yang timbul selama perkawinan berlangsung kecuali yang merupakan harta pribadi masing-masing suami isteri; dan

BAB III. POLIGAMI MENURUT PP No. 45 TAHUN Ketentuan Poligami Bagi Pegawai Negeri Sipil

BAB I PENDAHULUAN. Hidup bersama di dalam bentuknya yang terkecil itu dimulai dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. oleh karena itu manusia wajib berdoa dan berusaha, salah satunya dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan Undang-undang Perkawinan. Sudah

KEDUDUKAN ANAK DAN HARTA DALAM PERKAWINAN SIRI DITINJAU DARI UU NOMOR 1 TAHUN 1974

d. bahwa dalam usaha mengatasi kerawanan sosial serta mewujudkan, memelihara dan mengembangkan kehidupan masyarakat yang

PENJELASAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN PESAWARAN NOMOR 26 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARAAN ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga

BAB I PENDAHULUAN. untuk saling ketergantungan antara manusia yang satu dengan manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. Mewaris adalah menggantikan hak dan kewajiban seseorang yang

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

Transkripsi:

PERSPEKTIF YURIDIS DAN SOSIOLOGIS TENTANG PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA DI KABUPATEN WONOGIRI TESIS Oleh : T A R S I NIM : R 100030064 Program Studi : Magister Ilmu Hukum Konsentrasi : Hukum Administrasi Negara PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2005

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tahun 1993, sebagaimana ditetapkan oleh MPR RI pada TAP No. II/MPR/1993, bahwa Hakikat Pembangunan adalah pembangunan manusia seutuhnya dan pembangunan masyarakat Indonesia seluruhnya. Hal ini berarti bahwa pembangunan ini tidak hanya mengejar kemajuan lahiriah, seperti pangan, sandang, perumahan dan kesehatan atau kepuasan batiniah, seperti pendidikan, rasa aman, bebas mengeluarkan pendapat yang bertanggung jawab, dan rasa keadilan melainkan keselarasan, keserasian dan keseimbangan antara keduanya. Pembangunan manusia seutuhnya itu, tidak dapat dilepaskan dari bentuk dan isi organisasi manusia, mulai dari susunan organisasi kemasyarakatan yang terkecil (keluarga) sampai organisasni yang terbesar ( negara). Bentuk dan isi keluarga sebagai organisasi kemanusiaan yang terkecil mempunyai arti amat penting, baik dalam hubungan kehidupan manusia pribadi (individu), dalam hubungan kehidupan bermasyarakat, maupun dalam hubungan kehidupan sebagai makhluk Tuhan. Keluarga yang harmonis, serasi dapat terbentuk melalui perkawinan yang dilangsungkan sesuai dengan aturan dan ketentuan yang berlaku.

Dikemukakan oleh Hilman Hadikusuma, bahwa di Indonesia aturan tata tertib perkawinan itu sudah ada sejak zaman kuno, sejak zaman Sriwidjaya, Majapahit sampai masa kolonial Belanda dan sampai Indonesia telah merdeka. Bahkan aturan perkawinan itu sudah tidak saja menyangkut warga negara Indonesia, tetapi juga menyangkut warga negara asing, karena bertambah luasnya pergaulan bangsa Indonesia (Hilman Hadikusuma, 1990:1). Akan tetapi baru pada tahun 1974, bangsa Indonesia memiliki Undang-Undang Perkawinan nasional yang berdasarkan Pancasila, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 yang berlaku bagi seluruh warga negara Indonesia. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, di Indonesia berlaku berbagai hukum perkawinan bagi berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah. Berbagai hukum perkawinan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bagi berbagai golongan warga negara dan berbagai daerah sebagaimana dimuat pada penjelasan umum butir 2 adalah sebagai berikut : a. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Islam berlaku Hukum Agama yang telah diresipir dalam Hukum Adat; b. Bagi orang-orang Indonesia Asli lainnya berlaku Hukum Adat; c. Bagi orang-orang Indonesia Asli yang beragama Kristen berlaku Huweliks Ordonantie Christen Indonesia (S. 1933 Nomor 74);

d. Bagi orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia keturunan Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan sedikit perubahan; e. Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainya dan Warga Negara Indonesia keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka; f. Bagi orang-orang Eropa dan Warga Negara Indonesia keturunan Eropa dan yang disamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Dengan telah diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, maka bangsa Indonesia telah memiliki Hukum Perkawinan yang bersifat nasional, yang tetap berpijak pada keanekaragaman suku, bangsa dan adat istiadat. Sebagaimana diketahui, bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diundangkan pada tanggal 2 Januari 1974, yang kemudian disusul dengan dikeluarkannya PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, dan dinyatakan mulai berlaku secara efektif pada tanggal 1 Oktober 1975 diseluruh Indonesia. Dengan demikian, sejak tanggal 1 Oktober 1975 diseluruh Indonesia, semua perkawinan yang akan dilakukan adalah berdasar Undang-Undang Perkawinan. Adapun tujuan diberlakukannya Undang-Undang Perkawinan ini adalah untuk mewujudkan unifikasi hukum tentang perkawinan yang sesuai dengan falsafah Pancasila. Namun apabila kita cermati secara seksama pasal demi pasal ternyata ada beberapa pasal yang justru menimbulkan pluralitas dibidang hukum

perkawinan / keluarga, bahkan ada hal-hal tertentu yang seyogyanya diatur justru tidak diatur didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Adapun ketentuan-ketentuan yang menunjukkan adanya pluralitas itu adalah Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dan Pasal 37 yang menyatakan : Bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukum masing-masing. Adanya kata masing-masing baik dalam rumusan ketentuan Pasal 2 ayat (1) maupun ketentuan Pasal 37, menunjukkan bahwa masing-masing sistem hukum agama, hukum adat dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) masih tetap berlaku terhadap masalah perkawinan dan harta bersama. Mengenai cita-cita untuk mengadakan unifikasi hukum, maka oleh Sudikno Mertokusumo (1948;62) dikemukakan bahwa, wajarlah kalau pemerintah bercita-cita untuk unifikasi hukum, sehingga terhadap rakyat Indonesia hanya diperlakukan suatu sistem hukum saja. Dan pemerintah telah berusaha pula merealisasi cita-citanya itu, antara lain dengan telah diundangkannya Undang-Undang Perkawinan, walaupun belum dapat dikatakan sepenuhnya berhasil, karena ada ketentuan yang menyatakan tidak berlaku peraturan-peraturan perkawinan lainnya Sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini (Pasal 66 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974), yang akan membuka kemungkinan penafsiran beraneka ragam. Ketidak jelasan itu terdapat tersebar dalam Undang-Undang tersebut.

Hazairin (Wantjik Saleh, 1980;3) menamakan Undang-Undang ini, sebagai Suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaann yang ber Ketuhanan Yang Maha Esa. Tentang materi / masalah yang seyogyanya diatur oleh Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974, akan tetapi ternyata tidak diatur, adalah tentang Perkawinan antar agama, yang lazim disebut perkawinan campuran atas dasar perbedaan agama suami isteri. Ketiadaan pengaturan perkawinan ini menimbulkan pertanyaan apakah memang Undang-Undang Perkawinan tidak menghendaki terjadinya perkawinan antar agama. Dengan kata lain Undang-Undang Perkawinan menghendaki terjadinya kesatuan hukum dalam keluarga. Seyogyanyalah pembentuk undang-undang jauh-jauh sebelumnya harus dapat memperkirakan akan kemungkinan terjadinya hubungan antar agama ini, sebab adanya perkawinan antar agama ini sangat mungkin terjadi di kalangan masyarakat kita. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu disimak apa yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo (1984:22-23) yang mengatakan bahwa Undang-undang pada hakekatnya memang dimaksudkan untuk melindungi baik individu maupun masyarakat. Akan tetapi pembentuk Undang-Undang kiranya mustahil untuk dapat memperhitungkan, memperhatikan dan menuangkan segala ragam bentuk kehidupan masyarakat dalam suatu undang-undang. Pembentuk undang-undang hanya

dapat memberi ketentuan yang bersifat umum. Oleh karena itu tidak mungkin mengatur segalanya secara terinci. Sehingga perlu sebagian tugasnya itu diserahkan kepada hakim. Selanjutnya mengenai penyempurnaan, oleh Hazairin (Wantjik Saleh, 1980:5) dikatakan, sebagai berikut: Adalah tugas bersama ahli-ahli hukum, badan-badan peradilan, badan-badan legislatif dipusat dan badan-badan administratif dihari-hari yang akan datang sehubungan dengan timbulnya persoalan-persoalan konkrit dalam menunjukkan Undang-Undang Perkawinan itu. Kesempuranaan tidak dapat dicapai sekaligus, tetapi hanya dicapai secara berangsur-angsur. Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, perkawinan campuran diatur dalam GHR (Regeling op de Gemengde Huwelijken Th.1898 No, 158). Menurut GHR, perkawinan campuran adalah perkawinan antara orang-orang di Indonesia yang tunduk pada hukum yang berlainan. Termasuk perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda agama. Sedang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam pasal 57 mengatur perkawinan campuran dalam pengertian yang lebih sempit, yaitu antara orang berbeda kewarganegaraan yang salah sartunya Warga Negara Indonesia. Terhadap yang berbeda agama tidak diatur secara tegas. Pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974 mengatakan : Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-ndang ini, maka dengan berlakunya

Undang-Undang ini ketentuan yang diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesia S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi. Menelaah bunyi Pasal 66 tersebut, maka yang tidak berlaku itu adalah, Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam beberapa peraturan yang telah ada sejauh hal-hal ini telah diatur dalam Undang-Undang yang baru ini. Jadi bukanlah peraturan-peraturan itu secara keseluruhan. Hal-hal yang tidak diatur dan tidak bertentangan dengan Undang-Undang yang baru ini masih tetap dapat dipakai (Wantjik Saleh, 1980:13). Dengan demikian, apakah GHR berdasar Pasal 66 tersebut masih tetap dapat dipakai? Apabila diikuti ketentuan GHR masalahnya terdapat perbedaan prinsip maupun falsafah antara GHR dangan Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974. GHR memandang perkawinan hanya dalam hubungan perdata saja. Sedang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menganut asas bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama. Sebaliknya apabila tidak mengikuti ketentuan GHR maka akan terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum), karena Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur perkawinan antar agama, sehingga menjadi tidak jelas dilarang atau diperbolehkan.

Menghadapi dilema tersebut diatas, perlu kita simak apa yang dikemukakan oleh Sudikno Mertokusumo (1996:64), bahwa tidak selalu apa (perbuatan) yang tidak diatur itu berarti dilarang atau diperbolehkan, tetapi harus dilihat secara kasuistis. Seperti diketahui pembentuk Undang-Undang tidak mungkin mengatur seluruh kegiatan kehidupan manusia secara lengkap dan tuntas. Kemampuan pembentuk undang-undang itu terbatas. Ada kalanya pembentuk undang-undang tidak sempat mengatur suatu perbuatan dalam undang-undang, tetapi mengaturnya lebih lanjut dalam perundang-undangan lain. Ada kalanya pembentuk undang-undang sengaja tidak mengatur suatu perbuatan dalam undang-undang karena menyerahkan kepada hakim untuk mengisinya. Ada kalanya tidak terpikirkan oleh pembentuk undang-undang untuk mengatur suatu perbuatan dalam undang-undang karena akan terjadi kemudian. Dalam hal ini pun hakim berkewajiban untuk mengisinya (Sudikno Mertokusumo, 1996:64). Kalau suatu perbuatan, sekalipun tidak diatur dalam undang-undang, tetapi bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan, maka berarti dilarang, sedangkan perbuatan yang tidak diatur dalam undang-undang, tetapi ternyata dibutuhkan demi keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum, berarti dibolehkan kekosongan hukum harus diisi, harus dilengkapi. Ini adalah kewajiban hakim(sudikno Mertokusumo,1996:64). Didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, untuk sahnya suatu perkawinan dinyatakan dengan tegas dalam Pasal 2 ayat (1) yang berbunyi:

Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dari bunyi Pasal 2 ayat (1) ini, nampak sekali bahwa Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan kedudukan yang tinggi pada hukum agama, bahkan mengharuskan agar perkawinan dilangsungkan menurut hukum agama. Tanpa dilaksanakan menurut hukum agama maka perkawinan itu tidak sah. Dalam prakteknya penerapan Pasal 2 ayat (1) ini tidak banyak mengalami kesulitan apabila yang akan melangsungkan perkawinan itu pasangan yang beragama sama, akan tetapi lain halnya jika yang akan melangsungkan perkawinan pasangan yang berbeda agama, maka akan menimbulkan masalah hukum agama siapa yang dipergunakan, apakah hukum dari pihak laki-laki atau dari pihak perempuan? Padahal perkawinan yang sudah dilakukan menurut hukum agama tertentu, dapat saja tidak sah menurut hukum agama yang lain. Selanjutnya Pasal 2 ayat (2) menyatakan Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan-peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk melaksanakan pencatatan perkawinan bagi pasangan yang mempunyai agama yang sama tidak mengalami kesulitan, karena secara tegas talah diatur oleh Pasal 2 ayat (1) dan (2) PP No. 9 Tahun 1975, bahwa untuk yang beragama Islam dilaksanakan oleh Kantor Urusan Agama (KUA) dan bagi mereka yang bukan beragama Islam dilakukan di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Akan tetapi belum diatur lembaga / institusi mana yang

berwenang melangsungkan dan melakukan pencatatan perkawinan untuk perkawinan antar agama. Dalam kenyataan kehidupan di Indonesia, ternyata tidak sedikit terjadi perkawinan dari orang-orang yang memeluk agama yang berbeda. Mengingat bahwa di Indonesia kemerdekaan kehidupan beragama dijamin oleh negara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi : Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Maka seyogyanya mereka mendapat perlindungan hukum. B. Perumusan Masalah Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, pengaturan perkawinan antar agama sebagai bagian dari perkawinan campuran diatur dalam Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken S. Tahun 1898:158). Dengan berlakunya Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 sejak 1 Oktober 1975, maka perkawinan antar agama bukan lagi merupakan bagian dari perkawinan campuran. Dengan kata lain Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak mengatur tentang perkawinan antar agama, sehingga menjadi tidak jelas, dilarang atau diperbolehkan. Padahal merupakan kenyataan adanya keinginan diantara anggota masyarakat yang berbeda agama untuk melangsungkan perkawinan. Adanya kenyataan ini merupakan kebutuhan sosial seyogyanya mendapat

perlindungan hukum.dari rumusan masalah tersebut, timbul beberapa pertanyaan sebagai berikut : 1. Apakah menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dimungkinkan / diperbolehkan dua orang yang berbeda agama melangsungkan perkawinan? 2. Bagaimana aspirasi sosial kekinian mengenai perkawinan antar pemeluk agama? 3. Bagaimana status perkawinan Antar Pemeluk Agama ke depan? C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui apakah dua orang yang berbeda agama dimungkinkan melangsungkan perkawinan 2. Untuk mengetahui aspirasi sosial kekinian mengenai perkawinan dua orang yang berbeda agama. 3. Untuk mengetahui status perkawinan beda agama ke depan. D. Manfaat Penelitian 1. Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sabagai sumbangan bagi pengembangan ilmu hukum dibidang hukum perdata, khususnya mengenai perkawinan antar agama. 2. Dari segi praktis, hasil penelitian diharapkan bermanfaat bagi instansi yang terkait dalam pelaksanaan perkawinan juga bagi masyarakat, khususnya perkawinan antar pemeluk agama.

E. Kerangka Pemikiran Teoritik Perkawinan adalah persekutuan hidup antara seorang pria dan seorang wanita yang dikukuhkan secara formal dengan Undang Undang (yuridis) dan juga religius, menurut tujuan suami isteri dan undang-undang, dilakukan untuk selama hidupnya menurut pengertian lembaga perkawinan (Soetojo Prawitohamidjojo,1998:22). Perkawinan dalam arti perikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat hukum terhadap adat yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Sedangkan perkawinan dari segi agama, umumnya diartikan sebagai perbuatan suci yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa agar kehidupan berkeluarga dan berumahtangga serta berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan anjuran agama masing-masing.(hilman Hadikusuma,1990:10). Dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka pengertian perkawinan ialah apa yang dimaksud oleh Pasal 1 Undang-Undang ini, yaitu : Perkawinan ialah ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri bertujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari definisi tersebut, menurut Soetojo Prawirohamidjojo (1988:38) suatu perkawinan memiliki 5 (lima) unsur, yaitu : 1. Ikatan Lahir Batin

Yang dimaksud ikatan lahir batin ialah bahwa di dalam perkawinan itu tidak hanya cukup dengan ikatan lahir saja atau ikatan batin saja, akan tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan yang tidak formal, ikatan yang tidak nampak. Tidak nyata, yang hanya dapat dirasakan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Ikatan batin ini merupakan dasar ikatan lahir. Ikatan batin inilah yang dapat dijadikan dasar fondasi dalam membentuk dan membina keluarga yang bahagia. Jadi perkawinan bukan hanya menyangkut unsur lahir saja, akan tetapi juga menyangkut unsur batiniah yang dalam dan luhur 2. Antara seorang pria dengan seorang wanita. Ikatan Perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dengan seorang wanita. Dengan demikian maka ikatan perkawinan selain antara pria dengan wanita tidak mungkin terjadi, misalnya antara seorang pria dengan pria, seorang wanita dengan seorang wanita, ataupun seorang wadam dengan seorang wadam. Dalam unsur ini perkawinan antara seorang wanita dengan seorang pria mengandung asas monogami. 3. Sebagai suami isteri. Ikatan antara seorang pria dengan seorang wanita dapat dipandang sebagai suami isteri bilamana ikatan mereka didasarkan pada suatu perkawinan yang sah yaitu bila memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan Undang-Undang.

4. Tujuan perkawinan adalah untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal Yang dimaksud keluarga di sini adalah satu kesatuan yang terdiri atas ayah, ibu dan anak merupakan sendi dasar susunan masyarakat Indonesia dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. 5. Berdasarkan Ketuhanan ang Maha Esa. Berbeda dengan konsep perkawinan yang terdapat dalam BW (KUHPerdata) HOCI (Huwelijken Ordonantie Christen Inlanders / Ordonansi Perkawinan Kristen Indonesia) yang mengandung perkawinan sebagai hubungan keperdataan saja, konsepsi perkawinan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ini mendasarkan hubungan perkawinan atas dasar kerohanian. Hal ini didasarkan pada dasar negara Pancasila yang di dalamnya terdapat unsur Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena perkawinan merupakan peristiwa penting bagi kehidupan seseorang dalam hal ini juga sebagai warga negara yang ingin dilindungi hakhaknya, tetapi pada kenyataannya belum ada undang-undang yang melindungi. Dalam kenyataan kehidupan di Indonesia, ternyata tidak sedikit terjadi perkawinan dari orang-orang yang memeluk agama yang berbeda. Mengingat bahwa di Indonesia kemerdekaan kehidupan beragama dijamin oleh negara sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi: Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk

memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaannya itu. Senada dengan hal itu tercantum pula pada TAP MPR RI No.: IV/MPR/1999 tentang GBHN yaitu: Mewujudkan kehidupan yang demokratis, berkeadilan sosial, melindungi hak asasi manusia, menegakkan supremasi hukum dalam tatanan masyarakat dan bangsa yang beradab, berakhlak mulia, mandiri, bebas, maju, dan sejahtera. Jadi agar mereka mendapat perlindungan hukum seharusnya kita ingat antara lain Pasal 28 A yang berbunyi: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya. Dan Pasal 28 b ayat (1) yang berbunyi: Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah. Serta Pasal 28 h ayat (2) yaitu: Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan. Sehingga dengan mempertahankan pasal-pasal tersebut tidak akan terjadi diskriminasi diantara warga negara yang memang seharusnya setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan serta kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Memang agama merupakan suatu prinsip antara hubungan manusia dengan Allah, sehingga hendaknya manusia harus tunduk pada Hukum Allah di mana hal tersebut sudah dijelaskan secara pasati mengenai perkawinan yang dihalalkan oleh Allah, dan Undang-Undang yang mengatur harus

berdasarkan pada Hukum Allah serta agar bisa melindungi seluruh warga negara Indonesia agar terjadi keselarasan dalam kehidupan. F. Metode Penelitian Metode pada dasarnya berarti cara yang dipergunakan untuk mencapai tujuan dari suatu penelitian, langkah-langkah yang akan ditempuh agar relevan dengan masalah yang telah dirumuskan. Untuk membahas tesis ini digunakan metode penelitian sebagai berikut : 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, adapun yang dimaksud dengan penelitian deskriptif adalah : Suatu penelitian yang dimaksudnya untuk memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan dan gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama untuk mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat membantu di dalam memperkuat teori-teori lama atau di dalam kerangka menyusun teori-teori baru.(soerjono Soekanto,1991:10) 2. Pendekatan yang digunakan Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat yuridis sosiologis. Bersifat yuridis karena pendekatan dilakukan dengan aspek hukumnya terutama pendekatan ini dipakai untuk menganalisa permasalahan dalam perkawinan beda agama. Bersifat sosiologis karena pendekatan dilakukan dengan melihat aspek empiris yang ditujukan untuk

memberikan gambaran secara objektif mengenai permasalahan perkawinan antar pemeluk agama. 3. Jenis dan Metode Pengumpulan Data a. Data Primer Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari penelitian lapangan yakni pengamatan-pengamatan dan wawancara terhadap sumber-sumber terpilih mengenai segala sesuatu yang ada kaitannya dengan perkawinan antar pemeluk agama. b. Data Sekunder Data sekunder dalam penelitian ini adalah studi dokumen, yaitu mempelajari bahan-bahan yang berupa data yang berkaitan dengan objek penelitian. Pertama mempelajari peraturan-peraturan dalam bidang hukum yang menjadi objek penelitian dipilih dan dihimpun kemudian dari bahan-bahan itu dipilih asas-asas hukum, kaidah dan ketentuan hukum yang mempunyai kaitan erat dengan perkawinan antar pemeluk agama. 4. Penetuan Informan Untuk memperoleh keterangan sebagai bahan data primer dalam penelitian ini, maka ditentukan informan yang berkaitan dan mengerti secara langsung mengenai perkawinan antar pemeluk agama, antara lain: a. Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil Kabupaten Wonogiri;

b. Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di wilayah Kabupaten Wonogiri; c. Pemuka Agama / Pejabat Gereja yang diangkat atau berperan sebagai Pembantu Pegawai Pencatat Nikah; d. Ketua Pengadilan Negeri; e Masyarakat / penganut agama-agama yang ada. Wawancara ditujukan kepada Kepala Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, Kepala Kantor Urusan Agama, Ketua Pengadilan Negari, Pemuka Agama dan masyarakat penganut agama-agama yang ada. Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang telah disiapkan sebagai pedoman. Dan dikembangkan sesuai dengan situasi ketika wawancara dilakukan. Jenis dan jumlah responden ditentukan dengan metode purposive sampling, dengan pertimbangan responden mempunyai pengetahuan yang luas mengenai peraturan-peraturan perkawinan, pelaksanaan dan pencatatan perkawinan, serta kaitannya dengan keabsahan perkawinan. Khusus bagi tokoh agama penentuan responden dengan pertimbangan mereka mengetahui secara mendalam mengenai kaidah-kaidah agama. 5. Teknik Analisis Data Teknik analisa data adalah proses penyusunan data agar proses penyusunan data agar dapat ditafsirkan.(nasution,1998:126) Menyusun berarti menggolongkan ke dalam pola, tema dan kategori. Tafsiran berarti memberi makna analisis, menjelaskan pola dan

menghubungkannya dengan berbagai konsep yang kemudian hasilnya dituangkan ke dalam bentuk kata, sehingga metode analisa data yang dipakai adalah metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan yuridis sosiologis. Setelah data terkumpul, dilakukan pemilahan untuk menentukan klasifikasi tertinggi, sedang dan terendah. Dari data ketiga klasifikasi tersebut dianalisis mendalam. Kemudian dilakukan analisis kualitatif, yaitu dengan memperhatikan faktor-faktor yang ada dalam praktek dan dibandingkan dengan uraian yang diperoleh melalui studi dokumen. Dengan demikian akan diperoleh data mengenai Perspektif Yuridis Sosiologis tentang Perkawinan Antar Pemeluk Agama di Kabupaten Wonogiri. G. Sistematika Penulisan Tesis Dalam penulisan tesis ini diawali dengan Pendahuluan yang mencakup antara lain: Latar Belakang, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kerangkan Pemikiran Teoritik, Metode Penelitian serta Sistematika Penulisan Tesis. Sedang BAB II mengenai Tinjauan Tentang Negara Hukum dan Hukum Perkawinan di Indonesia yang berisi, yaitu: Esensi Negara Hukum, Tinjauan Hukum dan Hukum Perkawinan di Indonesia. Hasil Penelitian dan Pembahasan terdapat pada BAB III yakni mengenai Pembahasan Menurut UU No. 1 Tahun 1974 dimungkinkan /

diperbolehkan dua orang yang berbeda agama melangsungkan perkawinan, Pembahasan Aspirasi sosial kekinian mengenai perkawinan antar pemeluk agama serta pembahasan tentang status perkawinan beda agama ke depan. Untuk mengakhiri penulisan tesis ini di akhiri dengan Penutup pada BAB IV yang berisi simpulan dan saran. Demikian sistematika penulisan tesis dengan judul Perspektif Yuridis dan Sosiologis tentang Perkawinan Antar Pemeluk Agama di Kabupaten Wonogiri.