BAB I PENDAHULUAN. dididik, dan dibesarkan sehingga seringkali anak memiliki arti penting dalam

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dan kasih sayang. Melainkan anak juga sebagai pemenuh kebutuhan biologis

KONFLIK INTERPERSONAL ANTAR ANGGOTA KELUARGA BESAR

BAB I PENDAHULUAN. Di masa sekarang ini, banyak perubahan-perubahan yang terjadi di dunia,

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan yang nyaman dalam perut ibunya. Dalam kondisi ini,

LAMPIRAN I GUIDANCE INTERVIEW Pertanyaan-pertanyaan : I. Latar Belakang Subjek a. Latar Belakang Keluarga 1. Bagaimana anda menggambarkan sosok ayah

BAB I PENDAHULUAN. sepakat untuk hidup di dalam satu keluarga. Dalam sebuah perkawinan terdapat

BAB I PENDAHULUAN. Dampak perubahan tersebut salah satunya terlihat pada perubahan sistem keluarga dan

BAB I PENDAHULUAN. telah memiliki biaya menikah, baik mahar, nafkah maupun kesiapan

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. dengan keluarga utuh serta mendapatkan kasih sayang serta bimbingan dari orang tua.

SUSI RACHMAWATI F

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori subjective well-being

BAB I PENDAHULUAN. penting. Keputusan yang dibuat individu untuk menikah dan berada dalam

8. Sebutkan permasalahan apa saja yang biasa muncul dalam kehidupan perkawinan Anda?...

BAB I PENDAHULUAN. Abad 21 yang sedang berlangsung menjadikan kehidupan berubah dengan

BAB V FAKTOR PEMICU KONFLIK PEKERJAAN-KELUARGA

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Hasil Presentase Pernikahan Dini di Pedesaan dan Perkotaan. Angka Pernikahan di Indonesia BKKBN (2012)

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. bersifat fisik maupun rohani (Ahid, 2010: 99). Beberapa orang juga

#### Selamat Mengerjakan ####

BAB I PENDAHULUAN. tentang orang lain. Begitu pula dalam membagikan masalah yang terdapat pada

BAB V PEMBAHASAN MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. bertindak sebagai penopang ekonomi keluarga terpaksa menganggur. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. pembagian tugas kerja di dalam rumah tangga. tua tunggal atau tinggal tanpa anak (Papalia, Olds, & Feldman, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang disebut keluarga. Dalam keluarga yang baru terbentuk inilah

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. ketidakmampuan. Orang yang lahir dalam keadaan cacat dihadapkan pada

BAB I PENDAHULUAN. parkawinan akan terbentuk masyarakat kecil yang bernama rumah tangga. Di

BAB III PSIKOLOGIS SUAMI YANG DITINGGAL ISTRI SEBAGAI TENAGA KERJA WANITA (TKW) DI DESA TEMBONG

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahasan dalam psikologi positif adalah terkait dengan subjective well being individu.

BAB I PENDAHULUAN. perempuan di Indonesia. Diperkirakan persen perempuan di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan menyiptakan laki-laki dan perempuan sebagai makhluk yang

BAB I PENDAHULUAN. menuntut perhatian serius bagi orang tua yang tidak menginginkan anak-anaknya. tumbuh dan berkembang dengan pola asuh yang salah.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. manusia itu, yaitu kebutuhan yang berhubungan dengan segi biologis, sosiologis dan teologis.

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang terlahir di dunia ini pasti akan mengalami pertumbuhan dan proses

BAB I PENDAHULUAN. dalam menemukan makna hidupnya. Sedangkan berkeluarga adalah ikatan perkawinan untuk

Pengaruh Perceraian Pada Anak SERI BACAAN ORANG TUA

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. tentang partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan program wajib belajar sembilan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan. Keluarga menjadi tempat pertama seseorang memulai

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN. bahwa mereka adalah milik seseorang atau keluarga serta diakui keberadaannya.

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB I PENDAHULUAN. 104).Secara historis keluarga terbentuk paling tidak dari satuan yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Keluarga merupakan organisasi terkecil dalam masyarakat. Secara historis

BAB I PENDAHULUAN. Dewasa ini seringkali ditemukan seorang ibu yang menjadi orang tua

BAB I PENDAHULUAN. menghendaki berbagai penyelenggaraan pendidikan dengan program-program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pada hakekatnya, setiap manusia diciptakan sebagai makhluk

1. a. Seberapa sering kamu dan seluruh keluargamu menghabiskan waktu bersamasama? b. Apa saja yang kamu lakukan bersama dengan keluargamu?

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. zaman sekarang dapat melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh kaum pria.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang dapat dicapai oleh individu. Psychological well-being adalah konsep keberfungsian

MANAJEMEN SUMBER DAYA KELUARGADALAM LINGKARAN HIDUP KELUARGA. Oleh: As-as Setiawati

BAB IV INTERPRETASI TEORI PENGAMBILAN KEPUTUSAN DALAM MENENTUKAN PENDIDIKAN ANAK. dibahas dengan menggunakan perspektif teori pengambilan keputusan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. dalam pembangunan nasional. Sejak awal tahun 70-an, isu mengenai

BAB I PENDAHULUAN. Dengan adanya perkembangan dunia yang semakin maju dan persaingan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. komunikasi menjadi lebih mudah untuk dilakukan. Teknologi yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maha Esa kepada setiap makhluknya. Kelahiran, perkawinan, serta kematian

BAB I PENDAHULUAN. individu yang belajar di Perguruan Tinggi. Setelah menyelesaikan studinya di

BAB I PENDAHULUAN. dialami perempuan, sebagian besar terjadi dalam lingkungan rumah. tangga. Dalam catatan tahunan pada tahun 2008 Komisi Nasional

BAB I PENDAHULUAN. pemenuhan hasrat seksual, dan menjadi lebih matang. Pernikahan juga

BAB V HASIL PENELITIAN

Perpustakaan Unika LAMPIRAN

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Seorang anak sejak lahir tentu sejatinya membutuhkan kasih sayang yang

BAB I PENDAHULUAN. pemberian rangsangan pendidikan lebih lanjut (Depdiknas, 2011). Pendidikan

Transkrip Wawancara dengan Suami Broken Home

BAB III DESKRIPSI ISTRI YANG BEKERJA DI LUAR RUMAH DI DESA TANGGUL KECAMATAN WONOAYU KABUPATEN SIDOARJO

BAB III GAMBARAN SUBJEK DAN HASIL PENELITIAN

BAB II LATAR BELAKANG DOKTER SOEDARSO

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. yang datang dari dirinya maupun dari luar. Pada masa anak-anak proses

BAB I PENDAHULUAN. (Papalia, 2009). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia nomor 1 pasal 1

BAB I PENDAHULUAN. Sudah jadi kodrat alam bahwa manusia sejak dilahirkan ke dunia selalu

BAB I PENDAHULUAN. yang sehat, pintar, dan dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Namun, tidak

BAB VI DAMPAK DARI WORK FAMILY CONFLICT. bekerja. Dampak dari masalah work family conflict yang berasa dari faktor

PROGRAM PELATIHAN PRA PERNIKAHAN BAGI PASANGAN USIA DEWASA AWAL

BAB I PENDAHULUAN. Di dalam kehidupannya, individu sebagai makhluk sosial selalu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. menciptakan manusia sebagai makhluk hidup-nya, akan tetapi makhluk hidup

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB VI FAKTOR DI DAERAH ASAL, DAERAH TUJUAN, DAN PENGHALANG ANTARA

BAB I PENDAHULUAN. serta pembagian peran suami dan istri. Seiring dengan berjalannya waktu ada

BAB V BEBAN GANDA WANITA BEKERJA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

BAB I PENDAHULUAN. peran sosial dimana dapat bekerja sesuai dengan bakat, kemampuan dan. antara tugasnya sebagai istri, ibu rumah tangga.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mengubah keadaan tertentu menjadi kondisi yang lebih baik. Perubahan itu harus

Bab 1. Pendahuluan. Dalam menjalani kehidupan, manusia memiliki kodrat. Kodrat itu antara lain; lahir,

BAB I PENDAHULUAN. tentang pernikahan menyatakan bahwa pernikahan adalah: berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (UU RI Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 1

BAB III BEBERAPA UPAYA ORANG TUA DALAM MEMBINA EMOSI ANAK AKIBAT PERCERAIAN. A. Fenomena Perceraian di Kecamatan Bukit Batu

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Anak merupakan anugerah terindah dan tak ternilai yang diberikan Tuhan kepada para orangtua. Tuhan menitipkan anak kepada orangtua untuk dijaga, dididik, dan dibesarkan sehingga seringkali anak memiliki arti penting dalam kehidupan keluarga. Anak tidak sekadar menjadi objek penggembira, tetapi dapat memenuhi kebutuhan biologis dan sosial orangtua (Arnold, 1975). Selain itu, seorang anak membutuhkan perhatian dan cinta dari orangtua yang menuntut perlakuan orangtua untuk mengasuh anak-anaknya dengan baik. Setiap orangtua memiliki harapan tertentu terhadap masa depan anaknya yang diharapkan dapat dicapai oleh anak-anak mereka. Para orangtua menginginkan anaknya dapat tumbuh dan berkembang dengan baik serta dapat menjalankan tugas-tugas perkembangannya dengan baik pula. Anak merupakan buah cinta kasih sekaligus generasi penerus orangtua yang membutuhkan arahan dan bimbingan dari orangtua. Pada kenyataannya, keberadaan anak di dalam keluarga memiliki banyak fungsi dan dapat memenuhi kebutuhan orangtua (Arnold, 1975). Sebuah pernikahan dapat dipandang semakin lengkap dan berarti dengan hadirnya seorang anak di dalam suatu keluarga. Anak dapat dipandang sebagai sebuah pembuktian bahwa suami atau istri memiliki kesuburan biologis, hadirnya anak dapat membantu menaikkan harga diri orangtua baik di lingkungan keluarga 1

2 besar maupun di lingkungan masyarakat. Setiap orangtua dapat memiliki berbagai pandangan yang berkaitan dengan alasan mengapa mereka ingin memiliki anak. Nilai anak dapat dilihat dalam pengertian yang berbeda-beda, yaitu anak sebagai lambang kesuburan orangtua; memandang bahwa dengan memiliki anak, suami istri sudah pantas berperan sebagai orangtua. Ada juga yang memandang bahwa sudah selayaknya laki-laki dan wanita yang sudah menikah memiliki anak. Selain itu, kehadiran anak di dalam suatu keluarga dapat meningkatkan keharmonisan hubungan antara suami dan istri, atau dengan mertua. Akan tetapi anak dapat pula dipandang sebagai beban dalam pemenuhan kebutuhan keluarga karena hadirnya anak dapat meningkatkan pengeluaran keluarga. Begitu juga yang terjadi pada orangtua di Dusun X Kabupaten Kulon Progo yang memiliki berbagai alasan berkaitan dengan nilai anak (Values of Children). Dusun X merupakan salah satu dusun yang ada di Desa Sidoharjo dan bagian dari Kecamatan Samigaluh, Kabupaten Kulon Progo. Dusun ini dikepalai oleh seorang kepala dusun dan biasa disebut Pak Dukuh. Jarak antara dusun X sampai ibukota Kabupaten Kulon Progo 30 km, sedangkan ke Kota Yogyakarta 45 km. Dusun X terletak di dataran tinggi yang berlembah dan berbukit serta tidak memiliki sawah. Sepanjang jalan menuju dusun tersebut hanya terdapat ladang yang ditanami berbagai jenis tanaman. Oleh karena kondisi jalannya yang berbatuan dan menanjak, maka akses transportasi sulit dijangkau. Listrik pun tidak sampai masuk desa, tetapi warga menyambung listrik dari rumah warga yang ada di kabupaten untuk kebutuhan sehari-hari. Selain akses tranportasi, akses informasi dan komunikasi seperti televisi dan media massa pun menjadi sulit

3 masuk ke dusun tersebut. Sebagian besar warganya bekerja sebagai petani ladang. Selain sebagai petani ladang, para warga yang memiliki hewan ternak juga mengurusi ternaknya di rumah dan sebagai sopir bagi warga yang memiliki mobil. Letak dusunnya yang terpencil dan terisolir, membuat dusun ini tidak padat penduduk. Jumlah penduduknya 136 orang dan semua beragama katolik, dengan laki-laki 66 orang dan perempuan 70 orang. Sedangkan kepala keluarganya (KK) berjumlah 43 orang. Untuk tingkat pendidikan orangtua, SD 85 orang, SMP 20 orang, SMA 25 orang, D3 ahli madya 1 orang, dan yang tidak sekolah 5 orang. Dusun X memiliki program PAUD tetapi tidak memiliki sekolah. Bagi orangtua yang ingin menyekolahkan anaknya harus pergi ke desa lain yang memiliki sekolah. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa warga di dusun X, dahulunya anak-anak tidak dapat melanjutkan sekolah. Orangtua mereka menghendaki anaknya membantu orangtua bekerja di ladang daripada melanjutkan sekolah. Seiring berjalannya waktu, terjadi pergeseran nilai-nilai. Saat ini, para orangtua di dusun X menginginkan anaknya sekolah minimal sampai tingkat SMA dan diharapkan dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, anak dapat memeroleh pekerjaan dan penghasilan yang lebih baik dari petani ladang. Menurut Pak Dukuh, para orangtua di dusun X banyak yang mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga karena penghasilan yang minim. Anak-anak mereka dituntut untuk mandiri agar bisa membantu orangtuanya bekerja mencari uang. Orangtua menyekolahkan anaknya dengan

4 harapan agar kelak anaknya dapat memperoleh pekerjaan yang jauh lebih baik daripada sekadar menjadi petani seperti orangtuanya. Anak-anak dipersiapkan untuk mandiri dengan bekerja membantu orangtuanya baik di rumah maupun di ladang sejak kecil. Hal ini dilakukan oleh orangtua agar dapat membekali anakanaknya dengan kemampuan dasar jika suatu saat anak-anaknya tidak dapat melanjutkan sekolah ke tingkat berikutnya karena tidak adanya biaya. Berdasarkan fakta di lapangan yang diperoleh melalui wawancara kepada Pak Dukuh, ada ayah yang mampu secara ekonomi untuk menyekolahkan anaknya tetapi anaknya sendiri tidak memiliki keinginan untuk sekolah, sering membolos dan akhirnya bekerja membantu orangtuanya di rumah. Sedangkan ayah yang ingin menyekolahkan anaknya tetapi tidak memiliki uang, menitipkan anaknya di panti asuhan atau di asrama sekolah untuk disekolahkan oleh lembaga tersebut. Selama anak masih di bawah pengasuhan orangtua, ayah yang membuat keputusan mengenai anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa ayah yang memiliki power atas anaknya. Peran utama ayah di dusun X adalah sebagai kepala keluarga yang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Selain itu, ayah juga membantu istri mengurus anak dan memberi makan hewan ternak seperti sapi. Sistem kekeluargaan di Dusun X bersifat paternalistik, ayah merupakan tokoh sentral yaitu sebagai pemegang kendali dalam suatu keluarga. Misalnya ayah dan ibu bersama-sama mendiskusikan pendidikan yang terbaik untuk anak, meskipun keputusan akhir ada di tangan ayah. Berdasarkan hal tersebut, dapat dikatakan ayah merupakan penentu masa depan anaknya. Bapak Dukuh

5 mengungkapkan bahwa ayah sebagai kepala keluarga dalam sebuah keluarga dipengaruhi oleh budayanya yang menganut sistem paternalistik, dimana ayah yang menentukan keputusan akhir. Berdasarkan pandangan peneliti, keputusan yang penting dalam sebuah keluarga ditentukan oleh ayah dan ke arah mana perkembangan anak juga ditentukan oleh ayah. Baik buruknya perkembangan anak ditentukan oleh bagaimana cara ayah dalam memandang anaknya. Seorang ayah memiliki pandangan yang berbeda-beda mengenai alasan mengapa mereka ingin memiliki anak. Arnold (1975) melakukan penelitian mengenai Values Of Children yaitu manfaat atau beban yang dirasakan orangtua apabila memiliki anak. Arnold melakukan penelitian untuk mengetahui alasan mengapa seseorang menginginkan atau tidak menginginkan memiliki anak. Hasil penelitian tersebut mengungkapkan bahwa nilai anak (Values Of Children) dapat dikelompokkan menjadi dua dimensi, yaitu Positive General Values dan Negative General Values. Positive General Values berarti anak dipandang sebagai keuntungan bagi orangtua. Keuntungan bagi orangtua meliputi keuntungan secara emosional (Emotional Benefits), orangtua merasa senang dan bahagia dengan kehadiran anak. Di dusun X kehadiran anak membuat ayah merasa bahagia. Selain itu ayah juga merasa senang karena istri memiliki teman dan tidak merasa sepi ketika ayah pergi ke luar kota untuk bekerja. Kehadiran anak juga dapat memberikan keuntungan secara ekonomi (Economic Benefits), misalnya orangtua memandang anaknya sebagai orang yang membantu perekonomian keluarga dan akan memberikan jaminan bagi orangtua

6 di masa tua. Di dusun X kehadiran anak dapat membantu ayah memberi makan hewan ternak saat ayah bekerja di ladang. Apabila anak sudah besar dan memiliki pekerjaan yang baik, anak dapat merawat ayahnya di masa tua. Selain itu, orangtua merasakan bahwa kehadiran anak dapat membuat orangtua belajar lebih dewasa dalam mengasuh anaknya (Self-Enrichment and Development). Di dusun X kehadiran anak membuat ayah merasa bertanggung jawab untuk mengasuh anaknya dengan baik agar anaknya dapat berkembang dengan baik pula. Dengan begitu, ayah merasa mampu mendidik dan membesarkan anaknya dengan baik. Kehadiran anak dipandang sebagai sumber kebahagiaan orangtua dengan melihat pertumbuhan anak dan kemiripan anak dengan orangtua (Identification with Children). Di dusun X kehadiran anak membuat ayah merasa bangga karena anak memiliki hobi yang sama seperti ayahnya. Keuntungan lainnya, kehadiran anak dapat menciptakan hubungan yang semakin erat dan romantis antara suami istri serta sebagai penerus nama keluarga (Family Cohessiveness and Continuity). Di dusun X kehadiran anak dapat membuat hubungan ayah dan istri semakin erat dan romantis. Ayah merasa hidupnya menjadi sempurna dengan memiliki anak dan dapat meneruskan nama dan tradisi keluarga. Negative General Values adalah kehadiran anak dipandang sebagai beban bagi orangtua. Kehadiran anak dipandang sebagai sumber ketegangan, orangtua merasa khawatir dan cemas jika anaknya melanggar aturan dan membuat keributan di rumah (Emotional Costs). Di dusun X kehadiran anak membuat ayah merasa waktu istrirahatnya sepulang dari bekerja terganggu karena anak membuat keributan di rumah. Orangtua memandang kehadiran anak sebagai

7 sumber terbesar dari pengeluaran orangtua (Economic Costs). Di dusun X kehadiran anak membuat ayah merasa terbebani karena harus mengeluarkan uang yang lebih banyak untuk memberi makan anaknya, membelikan baju, dan menyekolahkan anaknya. Uang yang dikeluarkan ayah kadang melebihi pendapatan yang diperoleh ayah sebagai petani ladang. Beban lainnya adalah orangtua memandang anaknya sebagai penghalang untuk memenuhi kebutuhan pribadi orangtua dan membatasi ruang gerak orangtua karena harus mengasuh dan merawat anaknya di rumah (Restrictions or Opportunity Costs). Di dusun X kehadiran anak membuat ayah menjadi jarang mengikuti kegiatan dusun dan tidak dapat bekerja di tempat yang jauh karena harus membantu istri mengasuh anaknya di rumah. Selain itu, ayah tidak dapat pergi ke ladang lebih pagi karena harus mengantarkan anaknya sekolah. Dapat pula orangtua merasa lelah dan letih mengurusi kebutuhan anakanaknya serta anak dipandang sebagai beban secara fisik (Physical Demands). Di dusun X kehadiran anak membuat ayah merasa lelah karena harus membantu istri memberi makan anaknya yang masih kecil saat istri sedang mencuci atau mengurusi anaknya yang lain. Ayah merasa lelah karena harus membantu anaknya menyelesaikan pekerjaan sekolah di malam hari setelah pulang bekerja dan mengantar jemput anaknya yang sekolah. Bahkan oramgtua memandang anaknya dapat memicu pertengkaran di antara orangtua (Family Costs). Di dusun X kehadiran anak membuat ayah merasa tersaingi karena waktu istri lebih banyak dihabiskan untuk mengurus anak. Ayah juga sering bertengkar dengan istri karena istri terlalu memanjakan anaknya.

8 Nilai yang dipegang ayah mengenai anaknya akan memengaruhi bagaimana cara ayah dalam mengasuh anaknya. Misalnya apabila ayah memandang anaknya melalui aspek dari dimensi positif (Emotional Benefits), ayah akan mengasuh anaknya dengan penuh kasih sayang dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk bermain bersama anaknya. Apabila ayah memandang anaknya melalui aspek dari dimensi negatif (Economic cost), ayah akan selalu menyalahkan dan menyesali anaknya karena harus mengeluarkan biaya yang besar untuk memenuhi kebutuhan anaknya. Perbedaan values yang dianut oleh ayah dapat berkaitan dengan berbagai faktor, yaitu jenis kelamin, latar belakang pendidikan, usia saat menikah, tingkat perekonomian, penghayatan terhadap nilai agama, dan penghayatan terhadap nilai-nilai masyarakat (Arnold, 1975). Jenis kelamin anak berkaitan dengan pandangan ayah bahwa kehadiran anak laki-laki dipandang sebagai pengikat antara suami dan istri, pelengkap pernikahan serta dapat meneruskan nama dan tradisi keluarga (Family Cohesiveness and Continuity). Sedangkan anak perempuan dapat membantu mengurus pekerjaan rumah tangga dan mengasuh saudara lain yang lebih kecil (Economic Benefits). Selain itu, jenis kelamin orangtua juga berkaitan dengan nilai anak. Bagi ayah, seorang anak dapat membuat ayah merasa bangga karena anak memiliki hobi yang sama dengan ayah (Identification with Children). Sedangkan bagi ibu anak dapat membuat ibu merasa tidak sendiri dan tidak bosan karena anak dapat menemani ibunya di rumah saat ayah bekerja (Emotional Benefits). Latar belakang pendidikan berkaitan dengan pola pikir dan wawasan ayah. Ayah yang

9 memiliki latar belakang pendidikan yang rendah cenderung akan memandang anak sebagai komoditas keluarga (Economic Benefits). Apabila latar belakang pendidikan ayah tinggi akan memandang anak sebagai cerminan yang memiliki kemampuan seperti dirinya (Identification with Children), sehingga anak disekolahkan sampai tingkat yang sama dengan ayah atau melebihi tingkat pendidikan ayah. Usia ayah saat menikah juga menunjukkan keterkaitan dengan nilai anak. Ayah yang masih muda belum memiliki banyak tabungan untuk mempersiapkan kelahiran anak sehingga anak dipandang sebagai sumber pengeluaran keluarga (Economic Costs). Di samping itu anak dipandang sebagai penghalang kebebasan ayah dalam bergaul dengan tetangga karena harus membantu istri mengurus anak (Restriction or Opportunity Costs). Sedangkan ayah yang menikah di usia yang lebih tua merasakan bahwa kehadiran anak dapat menjamin masa tua ketika dirinya sudah tidak mampu bekerja (Economic Benefits), selain itu kehadiran anak dapat membuat ayah semakin dewasa karena ayah merasa bertanggungjawab untuk membesarkan anaknya (Self-enrichment and Development). Tingkat perekonomian ayah juga berkaitan dengan nilai anak. Apabila penghasilan ayah rendah maka anak dipandang sebagai orang yang dapat meningkatkan taraf kehidupan keluarga melalui penghasilan yang yang didapatkannya (Economic Benefits) atau membuat ayah merasa anaknya sebagai beban karena harus mengeluarkan biaya melampaui pendapatan yang diperoleh (Economic Costs). Selain itu, penghasilan yang rendah juga membuat ayah bekerja lebih keras untuk memperoleh penghasilan yang cukup besar sehingga

10 ayah mengalami kelelahan karena harus membantu ibu mengurusi anak saat pulang bekerja (Physical Demands). Dengan ayah bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan anak membuat waktu ayah lebih banyak dihabiskan untuk bekerja dan mengurangi waktunya mengikuti kegiatan dusun (Restrictions or Opportunity Costs) dan mengurangi waktu ayah bersama istri (Family Costs). Sedangkan ayah yang memiliki penghasilan tinggi akan memfasilitasi anaknya untuk mengembangkan kemampuan anak di sekolah sehingga ayah akan merasa bangga dengan prestasi anaknya di sekolah (Identification with Children). Faktor lain yang juga berkaitan dengan nilai anak adalah penghayatan terhadap nilai-nilai agama. Melalui penghayatan agama, anak dipandang sebagai anugerah yang membuat ayah merasa senang dan bahagia (Emotional Benefits). Namun ayah dapat merasa cemas dan khawatir jika anaknya melanggar norma agama karena merusak nama baik keluarga serta membuat ayah merasa malu dan berdosa (Emotional Costs). Selain itu, faktor lain yang berkaitan dengan nilai anak adalah bagaimana ayah menghayati nilai-nilai masyarakat. Ayah mungkin merasa cemas dan khawatir jika anaknya membuat kekacauan, keributan dan melakukan tindakan buruk yang mengganggu ketentraman masyarakat (Emotional Bnefits). Pandangan masyarakat bahwa kehadiran anak menghabiskan uang orangtua membuat ayah memandang anaknya sebagai sumber pengeluaran keluarga karena harus memenuhi kebutuhan anak (Economic Costs). Peneliti melakukan wawancara awal dengan tiga orang ayah. Subjek pertama (Y) memiliki anak perempuan berusia 7 tahun. Tujuan Y menikah untuk

11 membangun keluarga bersama dan menginginkan segera memiliki anak untuk meneruskan keturunan orangtua (Family cohesiveness and continuity). Selain itu, Y mengharapkan anaknya dapat merawat Y dan istrinya di masa tua (Economic Benefits). Subjek kedua (M) memiliki anak perempuan berusia 6 tahun. M menginginkan memiliki anak untuk melengkapi pernikahannya dan sebagai generasi penerus orangtua (Family cohesiveness and continuity). Selain itu, M mengharapkan kelak anaknya dapat membantu perekonomian keluarga (Economic Benefits). Subjek ketiga (S) memiliki anak laki-laki berusia 8 tahun. S menginginkan memiliki anak untuk menghibur S ketika dirinya merasa lelah sepulang dari bekerja (Emotional Benefits). Selain itu, S menginginkan memiliki anak untuk mengurus dan membiayai hidup S dan istrinya di masa tua (Economic Benefits). Berdasarkan hasil wawancara kepada tiga orang ayah, dapat disimpulkan bahwa ketiga subjek memiliki kesamaan dalam memandang anak, yaitu Economic Benefits. Perbedaan Values Of Children dari ketiga subjek adalah subjek pertama dan kedua memandang anak sebagai Family Cohesiveness and Continuity. Subjek ketiga memandang anak sebagai Emotional Benefits. Oleh karena adanya perbedaan dan persamaan pada ayah dalam memandang anak, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian Studi Kasus mengenai Values Of Children pada ayah di dusun X Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta.

12 1.2 Identifikasi Masalah Masalah yang ingin diteliti ialah bagaimana Values of Children pada ayah di dusun X Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1. Maksud Penelitian Untuk memperoleh gambaran mengenai Values of Children pada ayah di dusun X Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta. 1.3.2 Tujuan Penelitian Untuk mengetahui aspek-aspek dan keterkaitan faktor-faktor dengan Values of Children pada ayah di dusun X Kabupaten Kulon Progo Yogyakarta. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi di bidang Psikologi Perkembangan dan Psikologi Sosial mengenai Values of Children. Dapat memberikan sumbangan informasi bagi pihak-pihak yang ingin meneliti lebih lanjut mengenai hal-hal yang berkaitan dengan Values of Children.

13 1.4.2 Kegunaan Praktis Memberikan informasi kepada para ayah di Dusun X mengenai Values of Children, yang berguna untuk pemahaman diri yang selanjutnya diharapkan dapat memberikan dampak positif terhadap perilaku ayah dalam mengasuh anak-anaknya. Memberikan informasi kepada para pemerhati dan praktisi yang bergerak di bidang kehidupan masyarakat mengenai Values of Children pada ayah. Informasi ini dapat digunakan dalam memberikan penyuluhan mengenai aspek-aspek Values of Children. 1.5 Kerangka Pemikiran Di dusun X, ayah memiliki peran sebagai kepala keluarga dan memegang kendali atas segala sesuatu yang terjadi di dalam keluarga tersebut. Usia laki-laki yang telah menikah dan menjadi ayah di dusun X berkisar antara 22 tahun sampai 60 tahun. Ayah bekerja sebagai petani ladang, peternak dan sopir. Ayah memiliki tanggung jawab untuk bekerja agar dapat memenuhi kebutuhan keluarganya. Sistem kekeluargaan di dusun X bersifat paternalistik yang merupakan suatu sistem budaya dalam masyarakat yang didasari oleh suatu pola hubungan antara ayah dengan anaknya dalam suatu keluarga, dengan menunjukkan karakteristik bahwa peranan seorang ayah sangat dominan (Martha. 2007). Menurut Arnold (1975), istilah value of children merujuk pada hypothetical net worth atau hipotesis mengenai nilai seorang anak, yaitu kepuasan (positive

14 values) memiliki anak dibandingkan dengan beban (negative values). Sehubungan dengan itu, nilai anak (Values of Children) dikelompokkan menjadi dua dimensi, yaitu Positive General Values dan Negative General Values. Positive General Values adalah keuntungan yang dirasakan oleh ayah dengan kehadiran anak di tengah keluarga. Dimensi ini terdiri dari aspek-aspek Emotional Benefits, Economic Benefits, Self-enrichment and Development, Identification with children, Family cohesiveness and Continuity. Emotional Benefits adalah melalui anak, orangtua merasakan kebahagiaan dan kesenangan, keberadaan anak mampu mengusir rasa kesendirian dan kebosanan orangtua. Anak menjadi sumber kebahagiaan dari orangtuanya. Economic Benefits adalah anak dipandang sebagai orang yang kelak mampu membantu orangtua dalam mengurus rumah, membantu mengurus usaha orangtua, membantu menjaga dan mengurus saudaranya, dan menjadi jaminan untuk mengurus dan menjaga orangtua baik secara ekonomi, fisik, dan psikis di masa tua. Anak dipandang sebagai komoditas bagi orangtuanya. Self-enrichment and development adalah melalui pola pengasuhan yang diterapkan orangtua kepada anaknya, mereka belajar untuk lebih bertanggung jawab, lebih dewasa, belajar untuk menentukan tujuan hidupnya, merasakan kompetensinya sebagai orangtua, atau orangtua mendapat pemenuhan akan kebutuhannya sendiri. Identification with children adalah orangtua merasa bahwa anaknya adalah cerminan dari dirinya atau melihat anak seperti dirinya sendiri. Dengan kehadiran anak, orangtua merasakan kebahagiaan melihat pertumbuhan dan perkembangan anak; orangtua merasa ada kebanggaan ketika anaknya mampu

15 menyelesaikan tugas perkembangan dengan baik. Family cohesiveness and continuity adalah orangtua memandang kehadiran anak secara positif sebagai pengikat antara suami dan istri, kesempurnaan pernikahan, pelengkap kehidupan keluarga, serta penerus nama dan tradisi keluarga. Negative General Values adalah suatu beban yang dirasakan oleh ayah mengenai kehadiran anak di tengah-tengah keluarga. Dimensi ini terdiri dari aspek-aspek Emotional Costs, Economic Costs, Restrictions or Opportunity Costs, Physical Demands, Family Costs. Emotional costs adalah kehadiran anak dipandang sebagai penyebab ketegangan secara emosional bagi orangtua. Misalnya orangtua mengkhawatirkan kesehatan anak atau mencemaskan perilaku anak di sekolah; orangtua merasa terganggu dengan keributan yang dibuat anak di rumah. Economic costs adalah kehadiran anak di tengah keluarga dipandang sebagai sumber pengeluaran keluarga. Orangtua merasa terbeban karena harus mengeluarkan biaya yang besar untuk pengasuhan dan pendidikan anak. Anak dipandang sebagai beban ekonomi bagi keluarganya. Restrictions or opportunity costs adalah kehadiran anak dipandang sebagai penghalang bagi kebebasan orangtua untuk pemenuhan kebutuhan dan keinginan pribadi. Orangtua menjadi terbatas untuk bisa bersosialisasi dalam kehidupan sosialnya dan melakukan kesenangan karena harus mengasuh dan merawat anak. Orangtua juga kurang memiliki privasi dan terbatas dalam peningkatan karier. Physical demands adalah kehadiran anak dipandang sebagai sumber penyebab kelelahan fisik orangtua. Orangtua harus bekerja keras dalam mengurus

16 tugas rumah tangga sehingga merasakan kelelahan dan terbatasnya waktu tidur karena harus mengurus dan merawat anak. Misalnya orangtua harus bangun lebih awal untuk mempersiapkan kebutuhan anaknya, mengantar anaknya ke sekolah, dan baru bisa tidur malam hari bila anaknya sudah tidur. Family costs adalah kehadiran anak dipandang sebagai alasan perselisihan yang terjadi pada pasangan suami istri. Suami dan istri seringkali bertengkar karena ada perbedaan penerapan pola pengasuhan anak. Selain itu, kehadiran anak merebut perhatian pasangannya serta berkurangnya waktu bagi pasangan untuk bersama. Misalnya suami kecewa karena istri lebih mementingkan mengurus kebutuhan anak daripada mengurus kebutuhan suami. Menurut Arnold (1975), Values Of Children yang dimiliki seseorang berkaitan dengan faktor-faktor jenis kelamin, latar belakang orangtua, usia saat menikah, tingkat perekonomian yang rendah, penghayatan terhadap nilai-nilai agama, dan penghayatan terhadap nilai-nilai masyarakat.

17 Dalam skema dapat dilihat kerangka pemikiran sebagai berikut, Jenis kelamin Usia saat menikah Latar belakang pendidikan Tingkat perekonomian Penghayatan terhadap nilai agama Penghayatan terhadap nilai-nilai masyarakat Ayah di dusun X Kabupaten Values of Kulon Progo Children Yogyakarta Positive General Values : - emotional benefits - economic benefits - self-enrichment and development - identification with children - family cohesiveness and continuity Negative General Values : - emotional costs - economic costs - restrictions or opportunity costs - physical demands - family costs Skema 1.1 Kerangka Pikir

18 1.6 Asumsi Berdasarkan kerangka pikir di atas, maka peneliti merumuskan asumsi sebagai berikut : - Ayah di dusun X Kabupaten Kulon Progo memiliki Values of Children yang berbeda-beda. - Values of Children yang dimiliki ayah di dusun X Kabupaten Kulon Progo dapat dibedakan menjadi dua dimensi yaitu positive general values dan negative general values. - Values yang dimiliki ayah di dusun X Kabupaten Kulon Progo mengenai anaknya tergantung dari faktor-faktor yang berkaitan, yaitu jenis kelamin, latar belakang pendidikan, usia saat menikah, tingkat perekonomian, penghayatan terhadap nilai agama, dan penghayatan terhadap nilai-nilai masyarakat.