BAB IV ANALISIS TENTANG SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP SANKSI PIDANA PELANGGARAN HAK PEMEGANG PATEN MENURUT UU NO. 14 TAHUN 2001 TENTANG PATEN

BAB IV ANALISIS JARI<MAH TA ZI<R TERHADAP SANKSI HUKUM MERUSAK ATAU MENGHILANGKAN TANDA TANDA BATAS NEGARA DI INDONESIA

BAB III PEMAAFAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KEADAAN MABUK. A. Alasan Obyektif Pemaafan bagi Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan

SANKSI TINDAK PIDANA PENCANTUMAN KLAUSULA BAKU PADA KARCIS PARKIR KENDARAAN BERMOTOR

BAB IV. Hakim adalah organ pengadilan yang memegang kekuasaan kehakiman, yaitu kekuasaan Negara yang merdeka untuk meyelenggarakan peradilan guna

BAB II KONSEP TINDAK PIDANA ISLAM

BAB IV. A. Pandangan Hukum Pidana Islam Terhadap Sanksi Hukuman Kumulatif. Dari Seluruh Putusan yang dijatuhkan oleh Hakim, menunjukkan bahwa

BAB IV. A. Analisis Terhadap Penambahan 1/3 Hukuman dalam Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007

BAB V PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HUKUM DALAM HUKUM REKAYASA FOTO DENGAN UNSUR PENCEMARAN NAMA BAIK DI FACEBOOK, INSTAGRAM, TWETTER, BBM DAN WHATSAAP

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

crime dalam bentuk phising yang pernah terjadi di Indonesia ini cukup

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PERSYARATAN TEKNIS DAN SANKSI HUKUM MODIFIKASI KENDARAAN BERMOTOR YANG

BAB IV. A. Pertimbangan Hakim Pengadilan Negeri Meulaboh dalam Putusan No. 131/Pid.B/2013/PN.MBO tentang Tindak Pidana Pembakaran Lahan.

BAB IV ANALISIS TERHADAP BATAS USIA DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK DIBAWAH UMUR DALAM KASUS PIDANA PENCURIAN

BAB IV. A. Analisis Pertimbangan Hakim Terhadap Tindak Pidana Penipuan yang. Berkedok Lowongan Pekerjaan (Studi Direktori Putusan Pengadilan Negeri

BAB IV ANALISIS HUKUM TENTANG PENELANTARAN ORANG DALAM LINGKUP RUMAH TANGGA DALAM PERSPEKTIF FIQH JINAYAH DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2004.

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI ABORSI YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DIBAWAH UMUR

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi. Salah satu penyebab maraknya tindak pidana yang terjadi karena

BAB III ANALISIS. hukum positif dan hukum Islam, dalam bab ini akan dianalisis pandangan dari kedua

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan masyarakat, karena adanya pelanggaran atas ketentuan-ketentuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN PENGADILAN NEGERI PROBOLINGGO NO. 179/PID.B/PN.PBL TENTANG TINDAK PIDANA ILLEGAL LOGGING

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUMAN DAN MACAM- MACAM HUKUMAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM SERTA CUTI BERSYARAT

BAB II PEMIDANAAN MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI LAMONGAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMERASAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1V ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI MEULABOH DALAM PUTUSAN NO.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

BAB IV. A. Analisis Hukum Pidana Islam tentang Kejahatan Korporasi Sebagaimana Diatur

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP TINDAKAN MENGEMIS DI MUKA UMUM. A. Analisis terhadap Sanksi Hukum Bagi Pengemis Menurut Pasal 504

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP CYBERBULLYING TAHUN 2016 TENTANG ITE

BAB IV. A. Analisis Pertimbangan Hakim pada Putusan Pengadilan Negeri Jombang No.23/Pid.B/2016/PN.JBG tentang Penggelapan dalam Jabatan

BAB IV. Dasar Pertimbangan Hakim Terhadap Putusan Pengadilan Negeri. Pidana Hacker. Negeri Purwokerto No: 133/Pid.B/2012/PN.

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP PEMALSUAN MEREK SEPATU DI KELURAHAN BLIMBINGSARI SOOKO MOJOKERTO

BAB IV ANALISIS SANKSI PIDANA TERHADAPPUTUSAN PENGADILAN. NEGERI SEMARANG NO.162/Pid.B/2011/PN. Smg TENTANG SEDIAAN FARMASI YANG TIDAK BERIZIN

BAB IV TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA PENGEDARAN SEDIAAN FARMASI TANPA IZIN EDAR

BAB IV ANALISIS PUTUSAN HUKUM HAKIM DAN FIQIH JINAYAH DALAM PUTUSAN PENGADILAN NEGERI LAMONGAN NO:164/PID.B/ 2013/PN

BAB III ANALISIS PERBANDINGAN PENGANIYAAN TERHADAP IBU HAMIL YANG MENGAKIBATKAN KEGUGURAN JANIN ANTARA HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA POSITIF

BAB I PENDAHULUAN. Sediaan farmasi adalah obat, bahan obat, obat tradisional, dan

BAB I PENDAHULUAN. Hidup tenteram, damai, tertib serta berkeadilan merupakan dambaan setiap

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN NO. 488/PID.B/2015/PN.SDA TENTANG PERCOBAAN PENCURIAN

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP SANKSI DALAM BENTUK FUNDS WIRE

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM ATAS PUTUSAN PENGADILAN TINGGI MEDAN NOMOR : 67/PID.SUS/2015/PT.MDN DALAM PERKARA

BAB 1 PENDAHULUAN. mengganggu ketenangan pemilik barang. Perbuatan merusak barang milik. sebagai orang yang dirugikan dalam tindak pidana tersebut.

Dalam memeriksa putusan pengadilan paling tidak harus berisikan. tentang isi dan sistematika putusan yang meliputi 4 (empat) hal, yaitu:

BAB IV. Analisis Hukum Pidana Islam Terhadap Remisi Kepada Pelaku Tindak Pidana. Korupsi

BAB III ANALISA HASIL PENELITIAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. peraturan perundangan undangan yang berlaku dan pelakunya dapat dikenai

II. TINJAUAN PUSTAKA. arti yang luas dan berubah-ubah, karena istilah tersebut dapat berkonotasi dengan bidang-bidang

BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PIDANA CABUL KEPADA ANAK DI BAWAH UMUR

BAB III PENCURIAN DALAM HUKUM PIDANA. A. Pengertian Pidana, Hukum Pidana, dan Bentuk-bentuk Pidana

PENEGAKAN HUKUM DALAM TINDAK PIDANA PEMALSUAN MATA UANG DOLLAR. Suwarjo, SH., M.Hum.

perundang-undangan tentang pemberantasan tindak pidana korupsi serta tugas dan wewenang Kejaksaan, maka dapat disimpulkan bahwa:

Pidana tanpa hak mentransmisikan Informasi Elektronik yang memiliki muatan. melakukan suatu tindak pidana pencemaran nama baik yang di media sosial

A. Analisis Terhadap Putusan Hakim Kekerasan seksual pada anak, yaitu dalam bentuk pencabulan

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM ATAS PUTUSAN HAKIM PENGADILAN NEGERI BANYUWANGI TERHADAP TINDAK PIDANA PENANGKAPAN IKAN DENGAN POTASIUM CIANIDA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Unsur-Unsur Tindak Pidana. Belanda yaitu strafbaar feit yang terdiri dari tiga kata, yakni straf

II. TINJAUAN PUSTAKA. perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis formal, tindak kejahatan

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

BAB IV ANALISIS PERBANDINGAN PERLINDUNGAN HUKUM PEKERJA ANAK DALAM HUKUM PIDANA ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002

TINJAUAN YURIDIS TANGGUNGJAWAB PRODUK TERHADAP UNDANG- UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM DALAM PASAL 55 KUHP TERHADAP MENYURUH LAKUKAN TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN

BAB I PENDAHULUAN. dilengkapi dengan kewenangan hukum untuk memberi pelayanan umum. bukti yang sempurna berkenaan dengan perbuatan hukum di bidang

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

Tindak pidana perampasan kemerdekaan orang lain atas dasar. keduanya, diantaranya persamaan-persamaan itu adalah sebagai berikut:

PEMIDANAAN SERTA POLITIK HUKUM PIDANA DALAM KUHP/RKUHP DAN PERBANDINGAN DENGAN ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. mengalami suatu kegagalan dalam memperjuangkan kepentingannya sendiri,

BAB IV ANALISIS PEMIDANAAN ORANG TUA ATAU WALI DARI PECANDU NARKOTIKA DI BAWAH UMUR MENURUT HUKUM PIDANA DAN HUKUM ISLAM

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PUTUSAN HAKIM PENGADILA N NEGERI MEDAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PENGEDARAN MATA UANG PALSU

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

BAB I PENDAHULUAN. terjadi kasus pidana anak dibawah umur yang menyebabkan kematian, baik

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

II. TINJAUAN PUSTAKA. tindak pidana atau melawan hukum, sebagaimana dirumuskan dalam Undang-

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DALAM PUTUSAN NOMOR 1/PID.SUS-ANAK/2016/PN.

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

BAB I PENDAHULUAN. mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan perundang-undangan.

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA PELAKU PEMBAKARAN LAHAN

BAB IV. Perbuatan tindak pidana yang dilakukan oleh terdakwa dipandang. sebagai tindak kejahatan yang melanggar norma hukum.

SATUAN ACARA PERKULIAHAN (SAP) FIQH MUNAKAHAT JINAYAH

BAB IV ANALISIS YURIDIS PERATURAN KAPOLRI NOMOR 1 TAHUN 2009 TERKAIT PENGGUNAAN SENJATA API PADA TUGAS KEPOLISIAN PERSPEKTIF MAS}LAH}AH MURSALAH

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

ANALISIS TENTANG PENYATUAN PENAHANAN ANAK DENGAN DEWASA MENURUT FIKIH JINAYAH DAN UU NO. 23 TAHUN 2002

BAB II KETENTUAN TINDAK PIDANA PENCURIAN MENURUT HUKUM POSITIF DAN HUKUM PIDANA ISLAM

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB V PENUTUP. dapat diambil kesimpulan sebagai berikut: Penggunaan Klausula Baku pada Perjanjian Kredit

UPAYA PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA Oleh Putri Maha Dewi, S.H., M.H

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP HUKUMAN MATI BAGI PENGEDAR NARKOTIKA. dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Pengertian Tindak Pidana Korupsi dan Subjek Hukum Tindak Pidana

BAB IV ANALISIS HUKUM ISLAM TERHADAP TINDAK PIDANA MEMBUKA RAHASIA NEGARA SOAL UJIAN NASIONAL

Transkripsi:

BAB IV ANALISIS TENTANG SANKSI PIDANA ATAS PENGEDARAN MAKANAN TIDAK LAYAK KONSUMSI A. Analisis tentang Sanksi Pidana atas Pengedaran Makanan Tidak Layak Konsumsi 1. Analisis Tindak Pidana Hukum pidana Indonesia memandang, bahwa suatu perbuatan dapat dipidana jika telah terpenuhinya unsur-unsur perbuatan pidana yang dimaksud. Unsur yang pertama adalah unsur subjektif, yakni unsur yang berasal dari dalam diri pelaku. Asas hukum pidana menyatakan, bahwa tidak ada hukuman kalau tidak ada kesalahan. Unsur subjektif ini meliputi perbuatan yang disengaja (dolus) atau perbuatan karena kelalaian (culpa). Dalam hal ini jelas, bahwa pelaku usaha telah memenuhi unsur yang pertama ini, yakni dengan sengaja memproduksi makanan dengan bahan baku yang tidak layak untuk dikonsumsi dan mengedarkannya ke masyarakat yang dilarang oleh Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Unsur yang kedua adalah unsur objektif, yakni unsur yang berasal dari luar diri pelaku. Unsur ini terdiri dari atas perbuatan manusia, akibat perbuatan manusia, keadaan-keadaan, adanya sifat melawan hukum, dan adanya sifat dapat dihukum. 61

62 Perbuatan manusia dapat berupa: (a) act (commissions), yakni perbuatan aktif atau perbuatan positif; atau (b) omission, yakni perbuatan pasif atau perbuatan negatif yang wujudnya adalah perbuatan yang mendiamkan atau membiarkan. Dalam hal ini, perbuatan pelaku usaha dengan mengedarkan makanan tidak layak konsumsi merupakan perbuatan aktif (delik commisionis). Di samping itu, akibat perbuatan manusia yang membahayakan atau merusak, bahkan menghilangkan kepentingan-kepentingan yang dipertahankan oleh hukum, juga menjadi bagian dari unsur objektif suatu tindak pidana. Di mana dalam hal ini tindakan pengedaran makanan tidak layak konsumsi membawa akibat kerugian pada diri konsumen karena kedudukannya yang tak seimbang dengan pelaku usaha. Bagian dari unsur objektif selanjutnya adalah keadaan-keadaan, yakni keadaan yang menyertai suatu delik seperti cara melakukan. Dalam hal ini, cara yang dilakukan oleh pelaku usaha yang merupakan tindak pidana adalah dengan mengedaran makanan tidak layak konsumsi kepada masyarakat yang jelas-jelas telah dilarang oleh Pasal 8 ayat (3) UUPK. Unsur selanjutnya adalah adanya sifat melawan hukum, yakni perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dalam hal ini jelas, bahwa pelaku usaha dengan melawan hukum (Pasal 8 ayat (3) UUPK) tetap mengedarkan makanan tidak layak konsumsi pada masyarakat.

63 Berdasarkan analisis di atas, telah dengan jelas terlihat bahwa produsen atau pelaku usaha telah melakukan suatu tindak pidana di mana unsur-unsur tindak pidananya (baik subjektif maupun objektif) telah terpenuhi. Semua unsur tindak pidana yang akan telah dijelaskan di atas merupakan satu kesatuan. Artinya, salah satu unsur saja tidak terbukti, bisa menyebabkan terdakwa dibebaskan Pengadilan. Dengan demikian, berdasarkan analisis di atas, jelas bahwa pelaku usaha dapat terkena sanksi pidana berdasarkan putusan Pengadilan. 2. Analisis Sanksi Hukum perlindungan konsumen di samping mempunyai aspek keperdataan, juga mempunyai aspek kepidanaan. Karena itu, hukum perlindungan konsumen adalah juga bagian dari hukum pidana. Artinya, perbuatan produsen yang merugikan atau melanggar hak konsumen yang bertentangan dengan norma hukum pidana dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, karena itu diselesaikan dengan hukum pidana dan memakai instrumen pidana. Salah satu perbuatan produsen yang melanggar hak konsumen yang dapat dikenai sanksi pidana adalah pengedaran makanan tidak layak konsumsi. Pengedaran makanan tidak layak konsumsi merupakan salah satu wujud ketidakseimbangan dalam hal kedudukan antara konsumen dan pelaku usaha yang dapat dimanfaatkan oleh pelaku usaha untuk memperoleh keuntungan dengan jalan melanggar hukum.

64 Pasal 62 ayat (1) UUPK telah mengatur sedemikian rupa, bahwa perbuatan produsen atau pelaku usaha yang memperdagangkan atau mengedarkan makanan yang tidak laya dikonsumsi dapat dijatuhi hukuman pidana. Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). 1 Secara teoritis, model pengaturan sanksi pidana pada ketentuan Pasal 62 ayat (1) UUPK di atas termasuk dalam stelsel alternatif, yaitu norma dalam UU ditandai dengan kata atau. Dengan demikian, di sini sikap memilih pidana denda benar-benar atas pertimbangan Hakim secara cermat dan objektif serta praktis daripada pidana penjara atau karena memperhitungkan untung rugi pidana denda dibandingkan dengan pidana penjara. 2 Menurut David Tench, penerapan hukum pidana dalam upaya mewujudkan dan menegakkan hak-hak konsumen merupakan langkah yang ampuh dalam menanggulangi perilaku-perilaku curang para pelaku ekonomi, khususnya berkaitan dengan penegakan hak-hak konsumen. Bahkan, lebih 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 62 ayat (1). 2 Niniek Suparni, Eksistensi Pidana Denda Dalam Sistem Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 1996), 50.

65 jauh, bahwa kehadiran hukum pidana merupakan keharusan dalam menegakkan hak-hak konsumen. 3 B. Analisis Hukum Pidana Islam terhadap Sanksi Pidana atas Pengedaran Makanan Tidak Layak Konsumsi 1. Analisis Tindak Pidana Pengedaran makanan berbahaya oleh pelaku usaha atau produsen telah melanggar ketentuan dalam pasal 8 ayat (3) UUPK, yakni Pelaku usaha dilarang memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud. Pengedaran makanan berbahaya yang dilakukan pelaku usaha curang sebagaimana ketentuan di atas dapat dikategorikan sebagai tindak pidana. Suatu perbuatan bisa dikatakan sebagai jarimah bila memang memenuhi unsur-unsur yang telah melekat pada istilah jarimah itu sendiri. Dalam hukum pidana Islam, unsur-unsur jarimah terbagi menjadi dua, yakni unsur umum dan unsur khusus. Unsur-unsur umum pada jarimah adalah sebagai berikut : 4 a. Adanya nash yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan di atas. Unsur ini dikenal dengan istilah unsur formal (al-rukn al-syar'i). Dengan demikian, maka sudah terpenuhi unsur yang pertama ini, bahwa pengedaran makanan 3 David Tench, dalam Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2010), 60. 4 A Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000), 3.

66 berbahaya di masyarakat yang dilakukan oleh pelaku usaha curang merupakan perbuatan yang dilarang dan diancam pidana sebagaimana ketentuan dalam Pasal 8 ayat (3) jo. Pasal 62 ayat (1) UUPK; b. Adanya unsur perbuatan yang membentuk jarimah, baik berupa melakukan perbuatan yang dilarang atau meninggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan istilah unsur material (al-rukn almadi). Dengan demikian, maka unsur kedua ini juga sudah terpenuhi, bahwa pelaku telah melakukan perbuatan yang dilarang dengan tetap mengedarkan makanan berbahaya; dan c. Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima kitab atau dapat memahami taklif, artinya pelaku kejahatan tadi adalah mukallaf, sehingga mereka dapat dituntut atas kejahatan yang mereka lakukan. Unsur ini dikenal dengan istilah unsur moral (al-rukn al-adabi). Demikian pula sudah terpenuhilah unsur yang ketiga ini, bahwa pelaku usaha (produsen) dapat dituntut atas perbuatan yang dinilai telah melanggar ketentuanketentuan pidana, dalam hal ini adalah ketentuan Pasal 62 ayat (1) UUPK. Hukum pidana Islam memandang, bahwa jarimah dapat dibagi menjadi bermacam-macam sesuai dengan aspek yang dilihat. Oleh karena itu, menurut penulis, perlu untuk mengidentifikasi tindak pidana pengedaran makanan berbahaya berdasarkan tinjauan Hukum Pidana Islam. Berikut

67 adalah macam-macam jarimah dalam Hukum Pidana Islam dilihat dari berbagai seginya: 5 a. Ditinjau dari segi beratnya hukuman, jarimah dapat dibagi kepada tiga bagian, yakni jarimah hudud, qishas-diyat, dan ta zir. Dalam hal ini, tindak pidana pengedaran makanan tidak layak konsumsi oleh pelaku usaha termasuk dalam kategori jarimah ta zir. Sebab, hukumannya belum ditentukan oleh syara dan untuk penetapan serta pelaksanaannya diserahkan kepada penguasa (ulil amri) sesuai dengan bidangnya; b. Ditinjau dari segi niatnya, jarimah dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu jarimah sengaja dan jarimah tidak sengaja. Dalam hal ini, tindak pidana pengedaran makanan tidak layak konsumsi termasuk dalam kategori jarimah sengaja (jaraim maqsudah), yakni si pelaku dengan sengaja melakukan perbuatannya, sedang ia tahu bahwa perbuatannya itu dilarang; c. Ditinjau dari segi cara melakukannya, jarimah dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu jarimah positif (ijabiyyah) dan jarimah negatif (salabiyyah). Dalam hal ini, tindak pidana pengedaran makanan berbahaya termasuk dalam kategori jarimah positif, yaitu si pelaku secara aktif mengerjakan perbuatan yang dilarang, atau dalam bahasa hukum positif dinamai delict commisionis; d. Ditinjau dari segi objeknya, jarimah dapat dibagi menjadi dua, yakni jarimah masyarakat dan jarimah perseorangan. Dalam hal ini, tindak 5 Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 24-48.

68 pidana pengedaran makanan berbahaya termasuk dalam kategori jarimah masyarakat, yakni suatu jarimah di mana hukuman terhadapnya dijatuhkan untuk menjaga kepentingan masyarakat, baik jarimah tersebut mengenai perorangan atau mengenai ketentraman masyarakat dan keamanannya; dan e. Ditinjau dari segi tabiatnya atau motifnya, jarimah dapat dibagi menjadi dua macam, yakni jarimah politik dan jarimah biasa. Dalam hal ini, tindak pidana pengedaran makanan berbahaya termasuk dalam kategori jarimah biasa, yakni jarimah yang tidak bermuatan politik. 2. Analisis Sanksi Khusus dalam masalah jarimah, maka ada dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan merupakan satu mata rantai yang tidak akan pernah terputus, yaitu kejahatan dan hukuman. Perintah dan larangan saja tidak akan berarti sama sekali dan tidak cukup mendorong seseorang untuk meninggalkan suatu perbuatan atau melaksanakannya, untuk itu diperlukan sanksi berupa hukuman bagi siapa saja yang melanggarnya. Dengan demikian, hukuman adalah suatu penderitaan atau nestapa, atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan yang diberikan dengan sengaja oleh badan yang berwenang kepada seseorang yang cakap menurut hukum yang telah melakukan perbuatan atau peristiwa pidana. 6 6 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam: Fikih Jinayah, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), 137.

69 Hukuman bagi pelaku usaha yang mengedarkan makanan berbahaya diancam dengan pidana sebagaimana ketentuan dalam Pasal 62 ayat (1), yakni sebagai berikut: 7 Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah). Hukum pidana Islam memandang, jika hukuman itu diakui keberadaannya, maka konsekuensinya adalah penerapan atau pelaksanaannya harus memenuhi tiga syarat, antara lain: a. Hukum dianggap mempunyai dasar kepada sumber-sumber syara, seperti al-qur an, as-sunnah, ijma, atau undang-undang yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang (ulil amri) seperti dalam hukuman ta zir. Dalam hal ini, sanksi tindak pidana pengedaran makanan tidak layak konsumsi merupakan undang-undang yang ditetapkan oleh uill amri. b. Hukum disyaratkan harus bersifat pribadi atau perorangan. Ini mengandung arti bahwa hukuman harus dijatuhkan kepada orang yang melakukan tindak pidana dan tidak mengenai orang lain yang tidak bersalah. Dalam hal ini, sanksi tindak pidana pengedaran makanan berbahaya memang diperuntukkan hanya kepada pelaku usaha yang melakukan perbuatan terlarang tersebut. 7 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, Pasal 62 ayat (1).

70 c. Hukuman harus berlaku umum, yakni hukuman harus berlaku untuk semua orang tanpa adanya diskriminasi, apapun pangkat, jabatan, status, dan kedudukannya. Hukuman dalam hukum pidana Islam dapat dibagi kepada beberapa bagian, dengan meninjaunya dari beberapa segi. Dalam hal ini, ada lima penggolongan, antara lain: a. Ditinjau dari segi pertalian antara satu hukuman dengan hukuman yang lainnya, hukuman dapat dibagi kepada empat bagian, yaitu hukuman pokok (al- uqubat as-asliyah), hukuman pengganti (al- uqubat albadaliyah), hukuman tambahan (al- uqubat at-taba iyah), dan hukuman pelengkap (al- uqubat at-takmiliyah). Dalam hal ini, sanksi tindak pidana pengedaran makanan tidak layak konsumsi sebagaimana dalam Pasal 62 ayat (1) UUPK termasuk dalam kategori hukuman pokok; b. Ditinjau dari segi kekuasaan hakim dalam menentukan berat ringannya hukuman, maka hukuman dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu hukuman yang hanya mempunyai satu batas dan hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan terendah. Dalam hal ini, tindak pidana sanksi tindak pidana pengedaran makanan berbahaya termasuk dalam hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan terendah, di mana hakim diberi kebebasan untuk memilih hukuman yang sesuai antara kedua batas tersebut;

71 c. Ditinjau dari segi keharusan atau besarnya hukuman untuk memutuskan dengan hukuman tersebut, hukuman dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu hukuman yang sudah ditentukan (al- uqubah al-muqaddarah) dan hukuman yang belum ditentukan (al- uqubah al-ghair al-muqaddarah). Dalam hal ini, sanksi tindak pidana pengedaran makanan berbahaya termasuk dalam hukuman yang belum ditentukan oleh syara ; d. Ditinjau dari segi tempat dilakukannya hukuman, maka hukuman dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu hukuman badan, jiwa, dan harta. Dalam hal ini, sanksi tindak pidana pengedaran makanan berbahaya merupakan kombinasi dari hukuman jiwa dan harta; dan e. Ditinjau dari segi macamnya jarimah yang diancamkan hukuman, hukuman dapat dibagi kepada tiga bagian, yaitu hukuman hudud, qishasdiyat, dan ta zir. Dalam hal ini, sanksi tindak pidana pengedaran makanan berbahaya termasuk dalam hukuman yang ditetapkan untuk jarimah ta zir. Sebagaimana judul pada bab ini, yaitu Tinjauan Hukum Pidana Islam terhadap Sanksi Pidana atas Pengedaran Makanan Tidak Layak Konsumsi, membawa konsekuensi bahwa fokus tinjauan adalah pada segi macamnya jarimah yang diancamkan hukuman. Dalam hal ini, sanksi tindak pidana pengedaran makanan tidak layak konsumsi termasuk dalam hukuman yang ditetapkan untuk jarimah ta zir. Yang mana memang tindak pidana yang

72 tersebut belum diatur di dalam nash, sehingga menjadi kewenangan ulil amri untuk menghukumnya. Peranan ulil amri dalam menghukum pelaku jarimah ta zir sangatlah penting. Tingkat kejahatan jelas akan meningkat bila tidak ada alat yang menjerakannya yang dijalankan oleh para pengelola urusan masyarakat. Sebaliknya, jika ulil amri bersikap tegas dengan membuat berbagai peraturan perundang-undangan terhadap perilaku yang dilarang berdasarkan situasi dan kondisi wilayah yang dipimpinnya, niscaya kemashlahatan akan terjamin. 8 Sebagaimana ketentuan pada Pasal 62 ayat (1) UUPK, bahwa pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun. Dalam tinjauan Hukum Pidana Islam, pemenjaraan adalah menghalangi atau melarang seseorang untuk mengatur dirinya sendiri. Oleh karena itu, sanksi penjara harus bisa menjadi sanksi yang dapat mencegah. Kiranya itulah yang dimaksud oleh pembuat UU di Indonesia akan manfaat dari hukuman penjara tersebut. 9 Adanya pilihan terhadap sanksi (stelsel alternatif) sebagaimana Pasal 62 ayat (1) UUPK, yakni pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda sebanyak-banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) diserahkan sepenuhnya kepada hakim untuk memutuskannya. Menurut tinjauan Hukum Pidana Islam, otoritas tersebut juga berada ditangan hakim. Karena tindak pidana tersebut merupakan kategori jarimah ta zir, maka diserahkan kepada 8 Abdur Rahman I Doi, Tindak Pidana Dalam Syariat Islam terjemah oleh Wadi Masturi dan Hasri Iba Asghary, (Jakarta: Rineka Cipta, 1992), 3. 9 Abdurrahman al-maliki, Nidzam al- Uqubat (Sistem Sanksi dalam Islam), 257-258.

73 ulil amri sesuai dengan bidangnya, yakni badan yudikatif (hakim) yang bertugas sebagai penegak hukum. 10 Pada kenyataannya, hukuman bagi jarimah ta zir merupakan wewenang sepenuhnya bagi ulil amri. Dalam menjatuhkan hukuman, ulil amri akan mempertimbangkan satu hal yang amat penting, yaitu kemaslahatan. Menurut Abdul al-wahhab Khallaf, dalam proses penetapan hukum Islam yang tidak ditegaskan oleh teks syariah (ta zir), maslahat menjadi kerangka acuan, yang wujud nyatanya berupa potensi menolak keburukan atau kerusakan dan menghadirkan kebaikan atau kemanfataan. 11 Penerapan hukuman bagi pelaku usaha atas pengedaran makanan tidak layak konsumsi telah memenuhi apa yang menjadi tujuan adanya hukuman dalam Hukum Pidana Islam. Pertama, menahan pembuat agar tidak mengulangi perbuatan jarimah-nya. Kedua, mendidik pelaku jarimah agar ia menjadi orang yang baik dan menyadari kesalahannya. Ketiga, di samping kebaikan pribadi pelaku, syariat Islam dalam menjatuhkan hukuman juga bertujuan mencegah perbuatan jarimah serupa yang akan dilakukan oleh orang lain. Sehingga, tujuan umum dari adanya hukum untuk memelihara dan mewujudkan kemaslahatan bagi kelangsungan hidup manusia, yakni kebutuhan akan agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta benda dapat 10 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum..., 10. 11 Abdul al-wahhab Khallaf Masadir al-tasyri al-islamiy fi Ma La Nassa Fihi, dalam Asmawi, Teori Maslahat Dan Relevansinya Dengan Perundang-Undangan Pidana Khusus di Indonesia, (Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010), 43.

74 terealisasikan dan mendapatkan jaminan. Disamping itu, upaya untuk menolak segala bentuk keburukan dan menghadirkan kemanfaatan semakin besar adanya dengan terwujudkannya suatu hukum yang mengandung asas kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.