BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, berbudi pekerti luhur memiliki

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting dan tidak

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan nasional bertujuan untuk mencerdaskan dan usaha untuk

BAB I PENDAHULUAN. globalisasi seperti sekarang ini akan membawa dampak diberbagai bidang

BAB I PENDAHULUAN. produktif. Di sisi lain, pendidikan dipercayai sebagai wahana perluasan akses.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan proses pengembangan daya nalar, keterampilan, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan intervasi yang paling utama bagi setiap

BAB I PENDAHULUAN. perubahan zaman. Hal ini sesuai dengan UU Sisdiknas No. 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang Masalah. Indonesia merupakan negara yang kaya akan hasil alam dan juga

BAB I PENDAHULUAN. Sebagaimana tujuan Pendidikan Nasional dalam Undang-Undang No.

BAB I PENDAHULUAN. adalah kualitas guru dan siswa yang mesing-masing memberi peran serta

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan usaha berkesinambungan yang dilakukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. meningkatkan kualitas sumber daya manusia tersebut adalah pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia tersebut adalah pendidikan. Pendidikan adalah usaha sadar untuk menumbuhkembangkan potensi

BAB I PENDAHULUAN. suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian. Dari rumusan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Undang-undang pendidikan menyebutkan bahwa pendidikan nasional

I. PENDAHULUAN. sendiri yaitu mempunyai potensi yang luar biasa. Pendidikan yang baik akan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Seiring dengan laju pembangunan saat ini telah banyak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Era informasi dan globalisasi yang terjadi saat ini, menimbulkan

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan potensi ilmiah yang ada pada diri manusia secara. terjadi. Dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya,

BAB I PENDAHULUAN. menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, bidang

SKRIPSI. Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Pendidikan Akuntansi. Disusun Oleh:

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, membentuk

I. PENDAHULUAN. mencerdaskan dan meningkatkan taraf hidup suatu bangsa. Bagi bangsa Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. pengembangan sumber daya manusia (human resources development) untuk

BAB I PENDAHULUAN. dipisahkan dari kehidupan seseorang baik dalam keluarga, masyarakat dan

BAB I PENDAHULUAN. fisik, psikis dan emosinya dalam suatu lingkungan sosial yang senantiasa

BAB I PENDAHULUAN. karena belajar merupakan kunci untuk memperoleh ilmu pengetahuan. Tanpa

BAB I PENDAHULUAN. didik memperoleh ilmu pengetahuan, keterampilan, budi pekerti, bekal hidup di masyarakat. Sekolah Menengah Atas merupakan lembaga

BAB I PENDAHULUAN. belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

I. PENDAHULUAN. Sekolah merupakan salah satu lembaga pendidikan formal, yang masih

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. kuantitas hal tersebut dapat tercapai apabila peserta didik dapat. manusia indonesia seutuhnya melalui proses pendidikan.

BAB 1 PENDAHULUAN. menentukan arah kemajuan suatu bangsa. Dengan pendidikan yang berjalan

I. PENDAHULUAN. keadaan tertentu kesuatu keadaan yang lebih baik. Pendidikan sebagai pranata

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. generasi muda agar melanjutkan kehidupan dan cara hidup mereka dalam konteks

BAB I PENDAHULUAN. masyarakatnya harus memiliki pendidikan yang baik. Sebagaimana tujuan

BAB 1 PENDAHULUAN. menyeluruh baik fisik maupun mental spiritual membutuhkan SDM yang terdidik.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan jaman yang semakin modern terutama pada era

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam mengembangkan potensi dirinya, sehingga mampu. menghadapi segala perubahan dan permasalahan pada kemajuan jaman yang

I. PENDAHULUAN. untuk mencapai tujuan yang diinginkan dalam kehidupannya. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.2 Tahun 1989 pasal 4. Untuk mencapai tujuan Pendidikan Nasional tersebut, perlu

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Indonesia

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh. Gelar Sarjana Strata-1. Program Studi Pendidikan Akuntansi

Disusun Oleh : LINA FIRIKAWATI A

BAB I PENDAHULUAN adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal tersebut kemudian diatur

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia terus

BAB I PENDAHULUAN. hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan. dan kebutuhan peserta didik (Mulyasa, 2013:5).

BAB I PENDAHULUAN. memiliki peran penting dalam menghasilkan generasi muda yang berkualitas

BAB I PENDAHULUAN. segala bidang khususnya di dunia usaha sangat begitu ketat dan diikuti dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu tujuan pendidikan nasional yang ingin dicapai telah ditetapkan

BAB I PENDAHULUAN. Politeknik TEDC didirikan pada tahun 2002 berdasarkan ijin. penyelenggaraan dari DIKTI No. 73/D/O/2002. Politeknik TEDC merupakan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan pendidikan yang memberikan kesempatan peserta didik untuk

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENGANTAR. A. Latar Belakang Masalah. Mahasiswa di Indonesia sebagian besar masih berusia remaja yaitu sekitar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. siswa, Departemen Pendidikan Nasional yang tertuang dalam rencana srategis

BAB I PENDAHULUAN. tanah air, mempertebal semangat kebangsaan serta rasa kesetiakawanan sosial.

I. PENDAHULUAN. merupakan sarana yang sangat baik dalam pembinaan sumberdaya manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. individu terutama dalam mewujudkan cita-cita pembangunan bangsa dan negara.

BAB I PENDAHULUAN. Sekolah adalah lembaga formal tempat dimana seorang siswa menimba ilmu dalam

SKRIPSI. Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Akuntansi. Disusun Oleh:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. hidup yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan individu.

PENGARUH PENGELOLAAN KELAS TERHADAP PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATA PELAJARAN EKONOMI KELAS XI SMA NEGERI I TERAS BOYOLALI TAHUN 2009/2010 SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. keterbatasan dalam menyerap ilmu dalam jumlah yang banyak.

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan formal, dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional melalui. pasal 4 tentang sistem pendidikan nasional bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan dasar dalam pengaruhnya kemajuan dan kelangsungan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan akhlak mulia, serta

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran merupakan suatu proses yang kompleks dan. melibatkan berbagai aspek yang saling berkaitan. Oleh karena itu untuk

LEADER CLASS SEBUAH ALTERNATIF UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS PENDIDIKAN DI KABUPATEN CILACAP. Oleh : ENDRIANA, S.Pd NIP

I. PENDAHULUAN. Pendidikan nasional memiliki tujuan untuk mencerdaskan dan. memiliki pengetahuan, keterampilan, sehat jasmani dan, rohani,

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan segenap potensi yang ada pada diri manusia secara individu

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan kualitas sumber daya manusia. Masyarakat Indonesia. dengan laju pembangunannya masih menghadapi masalah pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi terutama teknologi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan penegasan pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat,bangsa dan negara. Pendidikan diarahkan untuk dapat. menciptakan sumber yang berkualitas dengan segala aspeknya.

diri yang memahami perannya dalam masyarakat. Mengenal lingkungan lingkungan budaya dengan nilai-nilai dan norma, maupun lingkungan fisik

BAB I PENDAHULUAN. kualitas sumber daya manusia yang unggul baik dalam bidang ilmu pengetahuan,

I. PENDAHULUAN. kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Perkembangan pendidikan tanpa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrayogi, 2014

BAB I PENDAHULUAN. serta ketrampilan yang diperlukan oleh setiap orang. Dirumuskan dalam

BAB I PENDAHULUAN. potensi-potensi diri agar mampu bersaing dan bermanfaat bagi dirinya, keluarga,

BAB I PENDAHULUAN. yang berkualitas. Oleh karena itu, dunia pendidikan harus mampu meningkatkan

BAB 2 LANDASAN TEORI. Teori yang akan dibahas dalam bab ini adalah teori mengenai self-efficacy dan

2015 PEMBINAAN KECERDASAN SOSIAL SISWA MELALUI KEGIATAN PRAMUKA (STUDI KASUS DI SDN DI KOTA SERANG)

BAB 1 PENDAHULUAN. tersebut dalam meningkatkan kemampuan sumber daya manusianya. Maka upaya

BAB I PENDAHULUAN. Anak adalah manusia kecil yang memiliki potensi yang harus. dikembangkan sejak dini agar dapat berkembang secara optimal.

PERBEDAAN KONSEP DIRI SISWA BERPRESTASI TINGGI DENGAN BERPRESTASI RENDAH SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA

, 2014 Program Bimbingan Belajar Untuk Meningkatkan Kebiasaan Belajar Siswa Underachiever Kelas Iv Sekolah Dasar Negeri Cidadap I Kota Bandung

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pendidikan pada hakikatnya adalah suatu usaha manusia untuk meningkatkan ilmu pengetahuan yang didapat dari lembaga formal maupun non formal (Kasan, 2005). Melalui pendidikan akan diperoleh manusia berkualitas secara utuh, yaitu yang bermutu dalam seluruh dimensinya: kepribadian, intelektual, dan kesehatannya (Indarto dan Masrun, 2004). Pendidikan di Indonesia menuangkan hal tersebut ke dalam tujuan pendidikan nasional dimana ingin mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (UU no. 2 tahun 1989, bab 2 pasal 4). Salah satu wujud pendidikan untuk membentuk manusia yang berkualitas adalah melalui proses belajar. Winkel (1992) mengemukakan bahwa belajar merupakan salah satu proses mental yang mengarah kepada penguasaan pengetahuan, kecakapan, kebijaksanaan, atau sikap yang diperoleh, disimpan, dan dilaksanakan sehingga 1

2 menimbulkan tingkah laku yang progresif dan adaptif. Proses belajar yang dilakukan oleh seseorang akan membantunya mengembangkan diri dengan baik dan mencapai penyesuaian diri yang baik dengan dunia luar (Purwanto, 1990). Dalam suatu proses belajar terdapat sebuah materi yang akan disampaikan, dan apabila telah diterima dengan baik akan menjadi sebuah konsep yang akan diingat (Irwanto, 1983). Menurut Sukmana (2004), konsep belajar berakar pada pihak peserta didik dan konsep pembelajaran berakar pada pihak pendidik. Sementara itu, Hermawan (2008) menyebutkan bahwa materi pelajaran, guru dan siswa merupakan komponen terpenting dalam suatu proses belajar. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa peserta didik dalam hal ini siswa merupakan salah satu bagian terpenting dan menjadi akar dari konsep belajar. Siswa adalah sekelompok orang atau individu yang dididik dalam proses pembelajaran (Nasution, 1987). Siswa memegang peranan penting sebagai penerima materi dalam proses belajar di dalam institusi belajar formal maupun non formal. Salah satu institusi belajar formal adalah sekolah; disini siswa akan bergabung dengan siswa yang lain untuk menerima materi belajar di dalam kelas. Ada beberapa jenis kelas di dunia pendidikan, diantaranya kelas umum atau lebih dikenal dengan sebutan kelas reguler dan kelas unggulan (Hisyam & Suyata, 2000).

3 Kelas reguler berisi siswa yang memiliki kemampuan rata-rata, dan tidak memperoleh pelayanan secara khusus. Pelayanan yang diperoleh sama dengan siswa yang lain, dan tidak ada penambahan rentang waktu belajar, siswa masuk diseleksi berdasarkan standar yang sudah ada, tanpa ada seleksi khusus (Fauziah, 2009). Sedangkan menurut Silalahi (2006), kelas unggulan adalah kelas yang menyediakan program pelayanan khusus bagi peserta didik dengan cara mengembangkan bakat dan kreativitas yang dimilikinya untuk memenuhi kebutuhan peserta didik yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Berdasarkan petunjuk penyelenggaraan program kelas unggulan yang dikeluarkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam (Ngadirun 2005), kelas unggulan harus memiliki karakteristik sebagai berikut: masuk diseleksi secara ketat, sarana dan prasarana menunjang untuk pemenuhan kebutuhan belajar dan penyaluran minat dan bakat siswa, lingkungan belajar yang kondusif, memiliki kepala sekolah dan tenaga kependidikan yang unggul, baik dari segi penguasaan materi pelajaran, metode mengajar, maupun komiten dalam melaksanakan tugas, rentang waktu belajar di sekolah yang lebih panjang dibandingkan kelas lain, proses pembelajaran yang berkualitas, adanya perlakuan tambahan di luar kurikulum, program pengayaan dan perluasan, pengajaran remedial, pelayanan bimbingan dan

4 konseling yang berkualitas, pembinaan kreativitas, dan disiplin, serta kegiatan ekstrakurikuler lainnya dan yang terakhir pembinaan kemampuan kepemimpinan yang menyatu dalam keseluruhan sistem pembinaan siswa melalui praktik langsung dalam kehidupan sehari-hari. Pengelompokan beberapa jenis kelas di dunia pendidikan ini, tidak lain adalah untuk membantu siswa agar siswa mampu mengembangkan potensi belajarnya berdasarkan bakat dan minat yang dimilikinya (Munandar, 2004). Misalnya saja pada siswa yang berbakat/ unggul memerlukan pelayanan khusus, yaitu memerlukan pelayanan akademik yang lebih menantang, lebih bervariasi, dan mendalam (Hisyam & Suyata, 2000). Menurut Munandar (1999), jika seorang siswa berbakat/ unggul tidak mendapatkan pelayanan khusus, dapat menyebabkan siswa berbakat/ unggul menjadi berprestasi dibawah kemampuan yang dimilikinya. Ketika seorang siswa sudah mendapatkan pelayanan pembelajaran sesuai dengan potensi dan bakatnya, hal ini diharapkan dapat menghasilkan suatu prestasi belajar yang baik (Hisyam & Suyata 2000). Untuk mencapai sebuah prestasi belajar yang baik, setiap siswa baik siswa kelas reguler maupun kelas unggulan memerlukan suatu proses belajar. Belajar merupakan proses perubahan dari belum mampu menjadi mampu dan terjadi dalam jangka waktu

5 tertentu (Irwanto, 1997). Dengan belajar, siswa dapat mewujudkan cita-cita yang diharapkan. Belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk mengetahui sampai seberapa jauh perubahan yang terjadi, perlu adanya penilaian (Irwanto, 1997). Begitu juga dengan yang terjadi pada seorang siswa yang mengikuti suatu pendidikan selalu diadakan penilaian dari hasil belajarnya. Penilaian terhadap hasil belajar seorang siswa untuk mengetahui sejauh mana telah mencapai sasaran belajar inilah yang disebut sebagai prestasi belajar (Irwanto, 1997). Prestasi belajar menurut Sudjana (2001) adalah hasil yang dicapai seorang siswa dalam usaha belajarnya sebagaimana dicantumkan di dalam nilai rapornya. Melalui prestasi belajar seorang siswa dapat mengetahui kemajuankemajuan yang telah dicapainya dalam belajar. Setiap proses pembelajaran diharapkan dapat berhasil secara optimal, yaitu ditandai dengan hasil belajar yang tinggi (Surakhmad, 2001). Namun dapat dipastikan bahwa prestasi belajar masing masing siswa akan berbeda meski mendapatkan materi pelajaran dan guru yang sama (Sudijono, 1996). Anak yang memiliki prestasi belajar yang rendah adalah anak yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan hasil belajar yang baik. Prestasi belajar yang rendah dapat membuat siswa merasa bahwa dirinya telah gagal. Prestasi belajar dikatakan rendah adalah bila seseorang

6 memiliki peringkat 10 terbawah dari siswa satu kelas (Akbar 1998). Kegagalan yang terus menerus pada diri siswa dapat menyebabkan siswa sering kali merasa menyerah dan merasa bahwa semua yang dilakukan tidak akan membawa perubahan terhadap prestasi belajarnya. Perasaan menyerah dengan cepat yang disebabkan kegagalan yang dialami sebelumnya ini sering disebut dengan istilah learned helplessness (Marhaeni, 2007). Kegagalan tersebut membuat orang yang mengalami learned helplessness selalu berfikir akan selalu gagal, sehingga mereka cepat menyerah dengan tantangan yang datang padanya (Marhaeni, 2007). Lebih lanjut menurut Marhaeni (2007), ditemukan bahwa tingkat learned helplessness pada mahasiswa dengan hasil belajar tinggi lebih rendah daripada tingkat learned helplessness pada mahasiswa dengan hasil belajar rendah. Hal ini dapat diartikan bahwa mahasiswa dengan hasil belajar tinggi memiliki tingkat frustrasi dan frekwensi menyerah lebih rendah daripada mahasiswa dengan hasil belajar rendah. Temuan ini sejalan dengan pendapat Elliot (2000) yang menyatakan bahwa learned helplessness sebagai salah satu aspek yang mempengaruhi motivasi siswa dalam belajar bahasa kedua. Elliot (2000) menyatakan bahwa aspek ini menempatkan individu pada kondisi frustrasi dan mereka

7 akan menyerah dengan begitu saja setelah kegagalan yang berulang. Kondisi frustrasi digambarkan dengan kondisi dimana seseorang belajar untuk mempercayai bahwa dia putus asa, mempercayai bahwa dia tidak memiliki kontrol pada situasi yang dihadapi, dan apapun yang dia lakukan adalah sia-sia. Gambaran keadaan tersebut ditemukan tinggi pada mahasiswa dengan hasil belajar rendah, namun rendah pada mahasiswa dengan hasil belajar tinggi (Elliot, 2000). Temuan ini juga sejalan dengan Deiner dan Dweck (dalam Slavin, 2006), yang menyatakan bahwa learned helplessness mempengaruhi aktivitas siswa dalam mempelajari sesuatu khususnya bahasa kedua. Sementara itu menurut Marhaeni (2007) bahwa siswa yang berada pada kondisi learned helplessness yang tinggi tidak akan berusaha melakukan halhal dengan lebih baik. Mereka enggan berusaha karena mereka memiliki persepsi bahwa mereka hanya akan berakhir pada kegagalan. Luchow et al (1985) menyatakan bahwa karakteristik yang paling jelas tampak pada invidu yang mengalami learned-helplessness adalah hilangnya kesediaan untuk bertahan menghadapi hal yang secara realistis dapat dikuasai yang pada akhirnya individu memiliki kebiasaan untuk tidak mau mencoba, sebagai efek dari kegagalan beruntun yang dialami sebelumnya. Perilaku mencoba dianggap sebagai

8 membuang waktu karena mereka meyakini bahwa mereka akan mengalami kegagalan. Selain itu menurut Cullen (1985) seorang anak yang sering mengalami kegagalan pada masa lalu akan cenderung mengaitkan kegagalan dengan kemampuan rendah. Dengan demikian siswa yang berprestasi akademik rendah menganggap diri mereka tidak mampu berprestasi, mereka menganggap kegagalan yang dialami karena memang mereka tidak mampu, atau tidak memiliki kemampuan lebih untuk memiliki prestasi yang tinggi (Marsh, 1984). Kondisi di atas sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Dweck (1978), seorang siswa yang terbiasa gagal, yang dimaksud disini adalah siswa yang memiliki prestasi akademik rendah yang berada di kelas regular, ketika mengalami kagagalan akan merespon merendahkan kemampuan mereka pada saat mengalami kegagalan, tidak mencoba memecahkan masalah, tetapi menujukkan keraguan diri, dan pada akhirnya kinerja mereka memburuk dan seringkali tidak bisa memecahkan masalah, apalagi jika masalah yang dihadapi terkait dengan kegagalan sebelumnya. Sebaliknya, menurut Dweck (1978) bahwa seorang siswa yang memang biasa berhasil, yang dimaksud disini adalah siswa yang memiliki prestasi akademik terendah dikelas kelas unggulan, ketika mengalami kegagalan, mereka

9 merespon mengarah pada peningkatan situasi dalam menghadapi kegagalan, suasana hati tetap positif dan mereka tetap percaya dengan kemampuan dan akan berusaha lebih baik, mereka melihat kegagalan sebagai tantangan dan sebagai kesempatan belajar, bukan sebagai dakwaan dari kemampuan mereka. Jika hal ini terus dibiarkan maka learned heplessness akan mengakibat tekanan yang besar bagi siswa yang berakibat pada redahnya harapan akan masa depan yang sukses atau yang baik. Selain itu menurut Borkowski et al (1990), Paris & Winograd (1990), Valas (2001), bahwa learned heplessness dapat menurunkan harga diri dan meningkatkan kecenderungan depresi. Berdasarkan uraian diatas yang telah dikemukakan maka dalam penelitian ini penulis ingin meneliti lebih lanjut mengenai perbedaan tingkat learned helplessness siswa yang memiliki prestasi akademik terendah di kelas reguler dan kelas unggulan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: adakah perbedaan tingkat learned helplessness siswa yang memiliki prestasi akademik terendah di kelas unggulan dan kelas reguler?

10 C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitain ini adalah untuk mengetahui perbedaan tingkat learned helplessness siswa yang memiliki prestasi akademik terendah di kelas unggulan dan kelas regular. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dan manfaat yang berarti terhadap perkembangan ilmu psikologi khususnya ilmu psikologi pendidikan dan psikologi perkembangan terutama yang berkaitan dengan perbedaan tingkat learned helplessness siswa yang memiliki prestasi akademik terendah di kelas unggulan dan kelas regular. 2. Manfaat Praktis a. Bagi Guru Dapat dijadikan rujukan untuk mengambil kebijakan yang terkait dengan cara memperlakukan siswa agar siswa kelas unggulan maupun siswa kelas reguler terhindar dari perasaan learned helplessness. b. Bagi siswa Penelitian ini akan membantu siswa baik siswa kelas unggulan maupun siswa kelas regular untuk

11 mengetahui bagaimana harus bersikap ketika merasa gagal dalam prestasi belajarnya. c. Bagi Orang Tua Dapat dijadikan pengetahuan bagi orang tua yang memiliki anak bersekolah di kelas unggulan maupun reguler, dapat mengetahui anaknya ketika mengalami kegagalan atau memiliki prestasi akademik rendah dan mengalami learned helplessness bagaimana harus bersikap.