PASANGAN CALON TUNGGAL DALAM PILKADA, PERLUKAH DIATUR DALAM PERPPU? Oleh: Zaqiu Rahman *

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

BAB I PENDAHULUAN. memerlukan perppu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang). 1 Karena

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 21 Januari 2016; disetujui: 27 Januari 2016

2 Nomor 11 Tahun 2014 tentang Pengawasan Pemilihan Umum; Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum (Lembar

DINAMIKA PETAHANA DAN PENCALONANNYA DALAM PILKADA Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 04 Mei 2016; disetujui: 26 Mei 2016

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR TAHUN 2015 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

Kuasa Hukum Dwi Istiawan, S.H., dan Muhammad Umar, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2015

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

POTENSI CALON PERSEORANGAN DALAM PERUBAHAN KEDUA UU NO. 1 TAHUN 2015 Oleh: Achmadudin Rajab * Naskah diterima: 23 Maret 2016; disetujui: 4 April 2016

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

DAFTAR PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG PENGUJIAN UU PEMILU DAN PILKADA

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PEMILIHAN GUBERNUR, BUPATI, DAN WALIKOTA

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN

PUTUSAN MK NO. 54/PUU-XIV/2016 DAN IMPLIKASI DI DALAM PILKADA Oleh Achmadudin Rajab* Naskah Diterima: 24 Juni 2017, Disetujui: 11 Juli 2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2015 TENTANG

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

PILPRES & PILKADA (Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah)

Kuasa Hukum Dwi Istiawan, S.H., dan Muhammad Umar, S.H., berdasarkan Surat Kuasa Khusus tanggal 29 Juli 2015

PENINGKATAN NILAI PARTISIPASI PEMILIH

PUTUSAN Nomor 105/PUU-XIII/2015 DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA

RechtsVinding Online

2008, No.59 2 c. bahwa dalam penyelenggaraan pemilihan kepala pemerintah daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pem

MATERI TES TERTULIS DAN WAWANCARA PPK Materi test tulis : Pancasila dan UUD

SINERGI PEMERINTAH DALAM RANGKA MENDUKUNG IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PILKADA SERENTAK TAHUN 2015

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah

2 b. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud huruf a, perlu menetapkan Peraturan Badan Pengawas Pemilihan Umum tentang Pengawasan Tahapan

PENTINGNYA KETERWAKILAN PEREMPUAN DI LEMBAGA PENYELENGGARA PEMILU

KUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014.

Naskah diterima: 29 Desember 2015; disetujui: 11 Januari 2015

2 inkonsistensi dan menyisakan sejumlah kendala apabila dilaksanakan, sehingga perlu disempurnakan. Beberapa penyempurnaan tersebut, antara lain: a. P

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 70/PUU-XV/2017

RechtsVinding Online

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 96/PUU-XIII/2015 Penundaan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah (Calon Tunggal)

ADVOKASI HUKUM SENGKETA PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN IDA BUDHIATI ANGGOTA KPU RI

PEMILU NASIONAL DAN PEMILU DAERAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 12 TAHUN 2008 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

BAB III PELAKSANAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DENGAN SATU PASANGAN CALON DI KABUPATEN BLITAR TAHUN 2015

RechtsVinding Online. RUU tentang Penyelenggaraan Pemilu. bersikap untuk tidak ikut ambil bagian. dalam voting tersebut.

BAB 1 Pendahuluan L IHA PEMILIHAN UMUM

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 60/PUU-XIII/2015 Persyaratan Menjadi Calon Kepala Daerah Melalui Jalur Independen

PEMILIHAN UMUM. R. Herlambang Perdana Wiratraman, SH., MA. Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 6 Juni 2008

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2004 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH

RechtsVinding Online. Naskah diterima: 17 Februari 2016; disetujui: 25 Februari 2016

PEMUTAKHIRAN DATA PEMILIH UNTUK MEWUJUDKAN PEMILU 2019 YANG ADIL DAN BERINTEGRITAS

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 71/PUU-XV/2017. I. PEMOHON 1. Hadar Nafis Gumay (selanjutnya disebut sebagai Pemohon I);

BAB III PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 100/PUU-XIII/2015 TENTANG CALON TUNGGAL DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH. Dari semua interaksi Pemohon 1

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pemilihan Umum Kecamatan (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 187);

TATA CARA PENCALONAN KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH PEMILU KEPALA DAERAH DAN WAKIL KEPALA DAERAH

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor 130/PUU-VII/2009 Tentang UU Pemilu Anggota DPR, DPD & DPRD Tata cara penetapan kursi DPRD Provinsi

2017, No b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 124, Pasal 128, dan Pasal 132 Undang-Undang Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, Ba

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 115/PUU-XIII/2015 Penundaan Pelaksanaan Pemilukada Serentak Akibat Calon Tunggal

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2012 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 2013 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM NOMOR 5 TAHUN 2013 TENTANG

BEBERAPA MASALAH DALAM PENYELESAIAN PERSELISIHAN HASIL PEMILIHAN UMUM 1

PENGKODIFIKASIAN UNDANG-UNDANG PEMILU

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENYELENGGARA PEMILIHAN UMUM

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2013 TENTANG

PERATURAN KOMISI PEMILIHAN UMUM NOMOR 04 TAHUN 2007 TENTANG

LAPORAN SINGKAT KOMISI II DPR RI

BAB III PERALIHAN KEWENANGAN MAHKAMAH AGUNG KEPADA MAHKAMAH KONSTITUSI DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA PEMILUKADA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

TINDAK LANJUT PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI TENTANG VERIFIKASI PARTAI POLITIK

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 17 TAHUN 2009 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2012 TENTANG

KODIFIKASI UNDANG-UNDANG PEMILU

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,


MEKANISME PENYELENGGARAAN PEMILIHAN GUBERNUR DAN WAKIL GUBERNUR JATENG DAN BUPATI DAN WAKIL BUPATI KUDUS TAHUN 2018

Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik I. Umum II. Pasal Demi Pasal...

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

PKPU NO. 9 TAHUN 2015

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2013 TENTANG

BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA PERATURAN BADAN PENGAWAS PEMILIHAN UMUM REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian Formil Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 49 TAHUN 2008 TENTANG

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 72/PUU-XV/2017

Transkripsi:

PASANGAN CALON TUNGGAL DALAM PILKADA, PERLUKAH DIATUR DALAM PERPPU? Oleh: Zaqiu Rahman * Naskah diterima: 10 September 2015; disetujui: 16 September 2015 Pasangan Calon Tunggal Dalam Pilkada Pelaksanaan pilkada serentak tahap pertama yang akan diselenggarakan pada tanggal 9 Desember 2015 ternyata mengalami banyak kendala di dalam pelaksanaannya. Setelah tarik menarik dan perdebatan politik di DPR tentang apakah pilkada tetap diselenggarakan pada tahun 2015 atau tidak, beberapa kelemahan dan permasalahan yang menimpa dalam persiapannya, terakhir adalah hal yang sama sekali tidak diprediksi pada saat pembentukan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota Menjadi Undang-Undang (UU Pilkada), yaitu adanya kemungkinan pasangan calon tunggal dalam suatu pilkada. Polemik ini terus berlanjut, setelah Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) melalui surat Nomor 0213/Bawaslu/VIII/2015 tertanggal 5 Agusutus 2015 merekomendasikan KPU untuk memperpanjang kembali masa pendaftaran pilkada di 7 (tujuh) daerah yang hanya memiliki pasangan calon tunggal. Fenomena pasangan calon tunggal dalam pilkada ini terjadi karena, pertama, sangat kuatnya petahana atau salah satu pasangan calon peserta pilkada, sehingga pasangan calon lain melakukan kalkulasi ulang politik apakah akan terus maju mengikuti pilkada atau tidak; kedua, semakin pragmatisnya para calon dalam berpolitik, akibat biaya pilkada yang besar dan juga tuntutan untuk memberikan mahar kepada parpol pengusung. Hal ini tidak jarang membuat calon potensial urung ikut dalam pilkada, selain juga gagalnya kaderisasi di tingkat parpol karena calon yang diajukan harus dibebani kontribusi untuk membiayai kendaraan politik atau oprasional parpol, dibandingkan untuk dijadikan ajang menguji kematangan kader parpol dalam berpolitik; ketiga, Undang- Undang mengetatkan persyaratan untuk menjadi calon kada baik dari parpol atau gabungan parpol yaitu 20% (dua puluh persen) kursi DPRD atau 25% (dua puluh lima persen perolehan suara) atau dari jalur persorangan yang menetapkan persyaratan

6,5% (enam setengah persen) sampai dengan 10 persen (sepuluh persen) berdasarkan cluster jumlah penduduk (Pasal 40 dan Pasal 41 UU Pilkada); dan keempat, putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015 yang menyatakan anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk mengundurkan diri sejak calon ditetapkan memenuhi persyaratan oleh KPU sebagai calon kada. Kekosongan Pengaturan Dalam Undang- Undang dan Perppu Polemik terjadinya calon tunggal dalam pilkada ini berawal dari adanya kekosongan hukum di dalam UU Pilkada yang luput dari antisipasi pembentuk UU (Pemerintah dan DPR), yang tidak mengatur kondisi apabila hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon dalam suatu pilkada. Disisi lain, apabila kondisi ini dibiarkan berlarutlarut maka akan mengancam legalitas dalam pelaksanaan pilkada serentak 2015 pada daerah yang hanya memiliki 1 (satu) calon pasangan. Ini terjadi karena diskresi yang dilakukan oleh Bawaslu maupun KPUD dalam memperpanjang atau menunda penyelenggaraan pilkada terhadap suatu daerah yang hanya terdapat 1 (satu) pasangan calon pilkada rawan untuk dipermasalahkan secara hukum, akibat tidak diatur secara jelas dalam UU Pilkada. Sementara apabila menunggu UU Pilkada direvisi untuk menjadi dasar hukum terhadap calon tunggal maka hal ini tidak memungkinkan karena pembentukan UU memerlukan waktu relatif lama dan prosedur yang cukup panjang, sementara disisi lain tahapan pilkada akan terus bergulir dan harus segera dilaksanakan serta memerlukan payung hukum segera. Untuk itu diperlukan terobosan hukum yang sifatnya segera agar pelaksanaan pilkada di daerah yang hanya terdapat pasangan calon tunggal memiliki dasar hukum dan memperoleh legitimasi yang kuat. Adapun terobosan hukum tersebut adalah dengan menetapkan peraturan pemerintah pengganti undangundang (perppu) yang mengatur mekanisme penentuan pasangan calon tunggal dalam pilkada di suatu daerah. Hal ini dilakukan karena, pertama, terdapat adanya unsur "kegentingan yang memaksa" sebagaimana diamanatkan Pasal 22 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, yang menyatakan: "Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak mentapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang". Merujuk pada Putusan MK Nomor 138-VII/2009, memberi rambu atau parameter adanya kegentingan memaksa bagi presiden untuk mengeluarkan perppu, yaitu: (i) adanya keadaan, yaitu kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan masalah cepat berdasarkan UU; (ii) UU yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum, atau ada UU tetapi tidak memadai; (iii) kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan dengan cara membuat UU secara prosedur biasa karena akan memerlukan waktu cukup lama, sementara

keadaan mendesak tersebut perlu segera mendapatkan penyelesaian. Tiga unsur yang disyaratkan oleh putusan MK agar presiden dapat menerbitkan perppu dalam konteks calon tunggal pilkada ini sudah benar-benar terpenuhi, yaitu (i) adanya keadaan atau kondisi dimana untuk beberapa daerah yang akan menyelenggarakan pilkada hanya terdapat satu pasangan calon, apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut maka tidak akan terdapat penyelesaian akibat perpanjangan pendaftaran yang dilakukan bertentangan dengan UU Pilkada, tidak ada jaminan penundaan yang dilakukan akan mendapatkan calon pasangan yang lain, dan tidak memberikan kepastian atau jaminan hukum terhadap pasangan calon tunggal yang sudah mendaftar; (ii) di dalam UU Pilkada terdapat kekosongan hukum, karena tidak mengatur mekanisme pemilihan dan penetapan calon tunggal dalam pilkada; (iii) apabila menunggu payung hukum untuk mengatur hal ini melalui perubahan UU Pilkada maka secara teknis hal ini tidak dimungkinkan, karena untuk merubah suatu UU memerlukan prosedur, waktu, dan tahapan yang relatif lama, disisi lain tahapan pilkada terus bergulir dan memerlukan payung hukum yang jelas agar hasilnya nanti tidak dipermasalahkan secara hukum. Kedua, walaupun perpanjangan pendaftaran calon peserta pilkada dapat dipandang sebagai niat baik untuk menyelesaikan permasalahan, tetapi dasar hukum perpanjangan waktu pendaftaran pilkada berdasarkan rekomendasi Bawaslu melalui surat Nomor 0213/Bawaslu/VIII/2015 tertanggal 5 Agustus 2015 jelas-jelas menyalahi UU Pilkada, karena tugas Bawaslu adalah mengawasi penyelenggaraan pemilihan umum (Pasal 1 angka 10 UU Pilkada Perubahan) dan untuk merekomendasikan hal-hal terkait pelanggaran dan sengketa pilkada (lihat Pasal 22A sampai dengan Pasal 22D UU Pilkada Perubahan). Selain itu UU Pilkada pun sudah jelas-jelas mengatur syarat-syarat pemilihan susulan atau lanjutan, yaitu dalam hal sebagian atau seluruh wilayah pemilihan terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan terganggunya sebagian /seluruh tahapan penyelenggaraan pemilihan tidak dapat dilaksanakan (Pasal 120 dan Pasal 121 UU Pilkada), sedangkan kondisi adanya calon tunggal tidak termasuk dalam hal yang menjadi syarat pelaksanaan pemilihan susulan atau lanjutan. Kedudukan PKPU pun jauh secara hirarki jauh lebih rendah dari UU Pilkada, sehingga tidak boleh memuat ketentuan yang bertentangan; ketiga, tidak ada jaminan atau kepastian waktu perpanjangan tersebut akan memunculkan pasangan calon yang lain, mengingat kemungkinan calon tunggal ini bisa terjadi karena jumlah yang mendaftar hanya satu pasangan calon saja, atau lebih dari 2 (dua) calon tetapi salah satu atau lebih calon gugur karena tidak memenuhi persyaratan (lihat Pasal 7

UU Pilkada) sehingga pasangan calon kada hanya tersisa satu pasangan atau bahkan tidak terdapat calon sama sekali; keempat, penundaan dan tidak adanya kepastian penyelenggaraan pilkada bagi daerah yang hanya memiliki calon tunggal berpotensi merugikan hak dari calon bersangkutan untuk dipilih, hal ini jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusi, yang menyatakan setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum (pilkada juga merupakan rejim pemilu) serta tidak mencerminkan adanya kepastian hukum dan jaminan hak terhadap calon yang bersangkutan; kelima, apabila pilkada disuatu daerah diundur, untuk mengisi kekosongan kepala daerah yang telah habis masa jabatannya akan ditunjuk pejabat kepala daerah. Hal ini jelas akan merugikan dan menghambat pembangunan di daerah yang bersangkutan, karena kewenangan pejabat kepala daerah yang terbatas (lihat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan daerah)); keenam, secara hirarki antara perppu dan UU memiliki kedudukan yang setara (lihat Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan), sehingga materi perppu dimungkinkan untuk mengenyampingkan materi UU, sepanjang syarat-syarat penyimpangan tersebut diatur secara jelas dan terukur; ketujuh, konstalasi politik kemungkinan perppu ditolak oleh DPR itu ada, tapi belajar dari pengalaman dimana mayoritas di DPR yang tadinya berkendak pilkada dilakukan melalui DPRD, kemudian atas desakan masyarakat maka perppu pilkada melalui pemilihan langsung pun akhirnya disetujui DPR menjadi UU. Terlebih setelah munculnya konstalasi baru di parlemen, dimana Partai Amanat Nasional (PAN) bergabung dengan pemerintah, sehingga secara kalkulasi politik besar kemungkinan perppu yang dikeluarkan oleh presiden akan diterima oleh DPR. Solusi Pengaturan Ke Depan Sambil menunggu waktu yang cukup untuk melakukan amandemen terhadap UU Pilkada, yang salah satu substansinya mengatur mekanisme penentuan kepala daerah dalam hal terdapat hanya 1 (satu) calon pasangan dalam pilkada disuatu daerah, untuk memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan pilkada serentak tahun 2015 dan menjamin hak dan memberikan kepastian hukum terhadap peserta calon tunggal yang mengikuti pilkda, sebaiknya presiden segera menetapkan perpu terhadap hal ini. Agar materi pengaturan mengenai calon tunggal ini tidak bertentangan dengan Pasal 18 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi: "Gubernur, Bupati dan Walikota masingmasing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis", (kata "dipilih secara demokratis" disini adalah calon kada bisa

dipilih baik melalui sistem perwakilan melalui DPRD atau dipilih secara langsung melalui pemilihan langsung), pasangan calon tunggal dapat dipilih oleh DPRD dengan cara melakukan pemungutan suara untuk menerima atau menolak calon tunggal yang bersangkutan, atau dilakukan melalui pemilihan langsung, dimana pemilih yang menentukan apakah menerima atau menolak calon tunggal yang ada melalui pemungutan suara secara langsung. Apabila hasil pilkada lebih dari 50% (lima puluh persen) plus 1 (satu) menerima calon tunggal yang bersangkutan, pasangan tersebut dapat ditetapkan menjadi kepala daerah definitif. Tetapi dalam hal suara yang diperoleh calon tunggal dibawah 50% (lima puluh persen) plus 1 (satu), otomatis pasangan calon tunggal yang bersangkutan tidak terpilih menjadi kada, sehingga untuk sementara daerah tersebut dipimpin oleh pejabat kepala daerah yang ditunjuk hingga menunggu tahapan pilkada serentak selanjutnya dilaksanakan. Terkait dengan perubahan RUU Pilkada, pertama, revisi UU Pilkada ke depan tidak saja hanya mengatur adanya calon tunggal, tetapi harus dilakukan secara komprehensif dan berorientasi pada peningkatan kualitas pilkada dan calon pemimpin terpilih; kedua, memuat sanksi baik itu berbentuk administratif maupun pidana bagi parpol atau orang yang meminta uang mahar kepada calon, yang dalam banyak kasus dapat menyebabkan keengganan sejumlah tokoh potensial untuk mencalonkan diri; ketiga, harus dapat memperkuat tujuan pilkada untuk menghasilkan pemimpin daerah yang berkualitas, sehingga revisi hendaknya fokus kepada penguatan, pengetatan, dan persyaratan kualifikasi personal calon disuatu sisi, dan pelonggaran /peringanan syarat dukungan disisi yang lain, sehingga akan lahir banyak alternatif kepala daerah yang berkualitas (Farouk Muhammad, Kompas, Selasa 1 September 2015). * Penulis adalah tenaga fungsional Perancang Peraturan Perundang-Undangan Bidang Industri dan Perdagangan di Sekretariat Jenderal DPR RI.