PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA DAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.HH-09.HM.03.02 TAHUN 2011 NOMOR: 12/PER-BNN/XII/2011 TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RUMAH TAHANAN NEGARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA DAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : a. bahwa penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara masih terjadi dengan berbagai modus operandi, sehingga memerlukan tindakan secara terpadu melalui kerja sama antara penegak hukum untuk mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara; b. bahwa pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dilakukan untuk mengungkap dan memutus jaringan tindak pidana Narkotika di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Pedoman Pelaksanaan Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika di dalam Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 3209);
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1995 Nomor 77, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3614); 3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drug and Psychotropic Subtances, 1988 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 17, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 3673); 4. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 5062); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 140, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 3874); 6. Peraturan Presiden Nomor 23 Tahun 2010 tentang Badan Narkotika Nasional; MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA DAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN PENYALAHGUNAAN DAN PEREDARAN GELAP NARKOTIKA DI DALAM LEMBAGA PEMASYARAKATAN DAN RUMAH TAHANAN NEGARA. BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Bersama ini yang dimaksud dengan: 1. Pencegahan dan Pemberantasan Penyalahgunaan dan Peredaran Gelap Narkotika yang selanjutnya disingkat P4GN adalah kegiatan mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika di Lembaga Pemasyarakatan dan Rumah Tahanan Negara. 2. Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. 3. Penyalahgunaan Narkotika adalah menggunakan Narkotika tanpa hak atau dengan cara melawan hukum.
4. Peredaran gelap Narkotika adalah setiap kegiatan atau serangkaian kegiatan yang dilakukan secara tanpa hak atau melawan hukum yang ditetapkan sebagai tindak pidana Narkotika. 5. Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut Lapas adalah Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan tempat melaksanakan pembinaan Narapidana dan Anak Didik Pemasyarakatan. 6. Rumah Tahanan Negara yang selanjutnya disebut Rutan adalah Unit Pelaksana Teknis Pemasyarakatan tempat tersangka atau terdakwa ditahan selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. 7. Narapidana adalah terpidana yang menjalani pidana hilang kemerdekaan di Lapas. 8. Tahanan Rutan yang selanjutnya disebut Tahanan adalah tersangka atau terdakwa yang ditempatkan di dalam Rutan untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan. Pasal 2 Kegiatan P4GN dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: a. integratif, yaitu melibatkan unsur Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Badan Narkotika Nasional; b. koordinatif, yaitu unsur yang terlibat merupakan satu kesatuan yang saling memahami peran dan kewenangan masing-masing dalam mencapai keberhasilan kegiatan P4GN; c. profesionalisme dan proporsionalitas, yaitu keterlibatan unsur-unsur dalam pelaksanaan kegiatan P4GN harus diarahkan pada tujuan keberhasilan kegiatan sesuai dengan batas kewenangan dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia; d. mengutamakan penanganan yang bersifat preventif dan represif; e. efektif dan efisien, yang memperhatikan keseimbangan antara hasil dengan upaya dan sarana yang digunakan; f. proaktif dalam pelaksanaan kegiatan P4GN; dan g. transparan dan akuntabel. BAB II PELAKSANAAN KEGIATAN P4GN Bagian Kesatu Jenis Kegiatan Pasal 4 Kegiatan P4GN terdiri atas : a. Operasi Rutin yang dilakukan secara berkala dan sudah direncanakan dalam tahun berjalan; b. Operasi Khusus yang dilakukan secara insidentil dan situasional; c. Operasi Darurat yang dilakukan untuk mengantisipasi terjadinya peningkatan ancaman yang berkembang dari pelaksanaan Operasi Rutin maupun Operasi Khusus.
Bagian Kedua Metode Operasi Pasal 5 Operasi Rutin, Operasi Khusus, dan Operasi Darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 dapat dilaksanakan dengan metode : a. terbuka, yang diarahkan pada upaya pencegahan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika sesuai dengan program dan kegiatan yang telah disusun dan ditetapkan bersama; b. tertutup, yang diarahkan untuk mendeteksi dan mengungkap penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika di dalam Lapas dan Rutan. Bagian Ketiga Sasaran dan Target Operasi Pasal 6 (1) Sasaran operasi P4GN meliputi: a. Orang yang terdiri atas Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan, Tahanan, pegawai, pengunjung, dan orang lain yang dicurigai; b. Barang yang terdiri atas Narkotika, alat komunikasi, dan barang lainnya yang terkait dengan tindak pidana Narkotika; c. Tempat yang terdiri atas blok hunian dan tempat kegiatan Narapidana, Anak Didik Pemasyarakatan dan Tahanan, serta tempat-tempat lain yang berada dalam lingkungan Lapas dan Rutan; d. Kegiatan yang rawan bagi terjadinya penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika di dalam Lapas dan Rutan. (2) Target operasi P4GN meliputi: a. penyalahguna; b. pengedar; c. bandar; d. operator; e. sindikat; f. kurir; dan/atau g. pelaku lainnya. Pasal 7 (1) Target operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2) disusun secara jelas dan rinci, baik secara kuantitatif maupun kualitatif, yang digunakan sebagai acuan bertindak bagi para petugas operasi. (2) Penetapan target operasi dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut : a. akselerasi, kerahasiaan, ketepatan pengumpulan data dan informasi yang berdampak positif terhadap pelaksanaan kegiatan P4GN; b. dampak terhadap penurunan jumlah penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika di dalam Lapas dan Rutan; c. peningkatan keamanan dan ketertiban di dalam Lapas dan Rutan;
d. efek jera terhadap pelaku penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika di dalam Lapas dan Rutan; dan e. peningkatan peran masyarakat dalam keikutsertaan mencegah penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika di dalam Lapas dan Rutan. (3) Pelaksanaan operasi dapat diubah sesuai dengan perkembangan situasi dan perkembangan target operasi. Bagian Keempat Perencanaan Operasi Pasal 8 (1) Penetapan Rencana Operasi meliputi aspek: a. jenis kegiatan; b. waktu dan tempat; c. pelibatan personil disesuaikan dengan sasaran dan ancaman yang dihadapi; d. logistik; e. pembiayaan; f. hal-hal lain yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan. (2) Penyusunan Rencana Operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut : a. penilaian terhadap perkembangan situasi dan kebijakan dan/atau arahan pimpinan. b. penetapan sasaran dan target operasi yang didahului dengan penyiapan perkiraan khusus intelijen terkait dengan sasaran operasi. c. aspek-aspek Rencana Operasi. Bagian Kelima Pelaksanaan Operasi Pasal 9 (1) Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kepala Badan Narkotika Nasional bertanggung jawab atas pelaksanaan operasi P4GN. (2) Kepala Badan Narkotika Nasional berkoordinasi dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk menyiapkan perintah operasi, setelah ditetapkan hari dan jam pelaksanaan operasi. (3) Pelaksanaan operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat didelegasikan secara berjenjang kepada pejabat struktural pada masing-masing institusi. Pasal 10 (1) Pelaksanaan operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dilaksanakan oleh Satuan Tugas P4GN. (2) Satuan Tugas P4GN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri atas : a. Pelindung Operasi; b. Kepala Pelaksana Operasi; c. Wakil Kepala Pelaksana Operasi;
d. Kepala Sekretaris Operasi; e. Bendahara Pelaksana Operasi; f. Kepala Pelaksana Operasi Wilayah; g. Wakil Kepala Pelaksana Operasi Wilayah; h. Kepala Tim Operasi; i. Kepala Tim Penyelidikan; j. Kepala Tim Penindakan; k. Kepala Tim Penyidikan. (3) Struktur dan uraian tugas dari Satuan Tugas P4GN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Bersama ini. Pasal 11 (1) Pelaksanaan operasi dipimpin dan dikendalikan oleh Kepala Pelaksana Operasi Satuan Tugas P4GN. (2) Pelaksanaan operasi sepenuhnya memperhatikan pedoman dan batasan-batasan yang ditetapkan di dalam Rencana Operasi. (3) Pelaksanaan operasi dilakukan dengan berkoordinasi secara aktif dan berkesinambungan dengan memperhatikan prosedur tetap yang berlaku di lingkungan Lapas dan Rutan. (4) Dalam hal pelaksanaan Operasi Darurat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf c, dilakukan koordinasi secara langsung antara Menteri Hukum dan HAM dengan Kepala Badan Narkotika Nasional. Pasal 12 (1) Pengerahan kekuatan dalam pelaksanaan operasi diarahkan kepada penindakan target kegiatan yang telah ditetapkan, yang dimungkinkan adanya pengembangan target operasi berdasarkan data intelijen. (2) Dalam hal ditemukan target operasi baru berdasarkan pengembangan data intelijen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka perlu dibuat perkiraan intelijen cepat sesuai arahan Kepala Pelaksana Operasi Satuan Tugas P4GN. (3) Perkiraan intelijen cepat berdasarkan perkembangan pelaksanaan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan secara berkala maupun insidentil sesuai arahan Kepala Pelaksana Operasi Satgas P4GN. Bagian Kelima Pelaporan dan Evaluasi Pelaksanaan Operasi Pasal 13 (1) Pengendalian dinamika operasi didasarkan pada sistem pelaporan secara vertikal dengan didukung teknologi informasi yang memadai. (2) Pelaporan pelaksanaan operasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Kepala Pelaksana Operasi Satuan Tugas P4GN kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dan Kepala Badan Narkotika Nasional. (3) Evaluasi pelaksanaan kegiatan P4GN dilakukan secara bersama dan secara berkala.
BAB III PEMBIAYAAN Pasal 14 Segala biaya yang diperlukan dalam rangka pelaksanaan kegiatan P4GN dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Badan Narkotika Nasional. BAB IV KETENTUAN PENUTUP Pasal 15 Petunjuk teknis pelaksanaan yang diperlukan untuk kegiatan P4GN ditetapkan secara bersama antara Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dengan Kepala Badan Narkotika Nasional. Pasal 16 Peraturan Bersama ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Bersama ini dengan penempatannya dalam Berita Negara Republik Indonesia. KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, GORIES MERE Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 Desember 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN Diundangkan di Jakarta pada tanggal 6 Desember 2011 MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, AMIR SYAMSUDIN BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2011 NOMOR 781
LAMPIRAN PERATURAN BERSAMA MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA DAN KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR : M.HH-09.HM.03.02 Tahun 2011 NOMOR: 12/PER-BNN/XII/2011 STRUKTUR SATUAN TUGAS P4GN PELINDUNG Menteri Hukum dan Ham dan Kepala BNN KEPALA PELAKSANA OPERASI KASATGAS P4GN LAPAS Wamen Kumham dan Deputi Pemberantasan BNN WAKIL KEPALA PELAKSANA OPERASI Dirjen Pemasyarakatan Kemenkumham dan Deputi BNN BENDAHARA PELAKSANA OPERASI BNN SEKRETARIS PELAKSANA OPERASI Direktur Bina Kamtib dan Direktur di Lingkungan Deputi Pemberantasan BNN KEPALA PELAKSANA OPERASI WILAYAH Kakanwil Kumham dan Direktur di Lingkungan Pemberantasan BNN WAKIL KEPALA PELAKSANA OPERASI WILAYAH Kadiv Pas Kanwil Kumham dan Direktur di Lingkungan Pemberantasan BNN KEPALA TIM OPERASI Kabid Kamtib Kanwil Kumham & Direktur di Lingkungan Pemberantasan BNN KEPALA TIM PENYELIDIKAN Ka Rutan, Ka Lapas, Kasubdit di lingk. Deputi Pemberantasan BNN Anggota : - BNN - Kanwil Kumham - Polresta/Poltabes - Ditjen PAS KEPALA TIM PENINDAKAN Ka Lapas, Ka Rutan, Kasubdit Tindak di lingk. Deputi Pemberantasan BNN Anggota : - BNN - Kanwil Kumham - Polresta/Poltabes - Ditjen PAS KEPALA TIM PENYIDIKAN PPNS Kumham dan Penyidik di lingk. Deputi Pemberantasan BNN Anggota : - BNN - Kanwil Kumham - Polresta/Poltabes - Ditjen PAS
URAIAN TUGAS SATUAN TUGAS P4GN 1. Pelindung Operasi Tugas : a. memberikan perlindungan terhadap pelaksanaan kegiatan operasi. b. memberikan arahan dan legalitas keabsahan terhadap pelaksanaan operasi. c. menetapkan kebijakan dan strategi operasi. 2. Kepala Pelaksana Operasi (Kalaks Ops) Tugas : a. memimpin dan bertanggung jawab atas seluruh pelaksanaan operasi. b. monitoring dan evaluasi kasus-kasus yang diungkap selama operasi, mulai dari proses penyelidikan, penindakan, penyidikan, pengembangan target operasi baru, proses penuntutan sampai dengan proses putusan di pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. c. Memberikan arahan pelaksanaan operasi kepada Kepala Tim dan anggota. d. Melaporkan pelaksanaan tugas operasi secara periodik dan insidentil kepada Pelindung Operasi. e. Bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Pelindung Operasi. 3. Wakil Kepala Pelaksana Operasi (Wakalaks Ops) Tugas : a. Membantu Kalaks Ops dalam memimpin dan mengendalikan pelaksanaan operasi. b. Membantu Kalaks Ops dalam memonitor kasus-kasus yang diungkap selama operasi mulai dari proses penyelidikan, penindakan, penyidikan, pengembangan target operasi baru, proses penuntutan sampai dengan proses putusan di pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. c. Membantu pelaksanaan operasi. d. Bertanggung jawab dan melaporkan pelaksanaan tugas operasi kepada Kalaks Ops. 4. Sekretaris Pelaksana Operasi (Seslaks Ops) a. merencanakan dan menyiapkan pengelolaan administrasi pelaksanaan dan sistem pelaporan operasi. b. menyelenggarakan gelar operasi dan analisis evaluasi. c. memberikan masukan dan saran kepada Kalaks Ops dalam rangka meningkatkan dinamika serta keberhasilan operasi. d. mempersiapkan dan menyusun laporan akhir pelaksanaan operasi. e. bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Kalaks Ops.
5. Bendahara Pelaksana Operasi (Bendlaks Ops) a. membuat Rencana Anggaran Biaya Operasi. b. mempersiapkan dukungan anggaran biaya operasi. c. memberikan masukan dan saran kepada Kalaks Ops terkait dukungan anggaran operasi. d. membuat dan menyusun laporan akhir pertanggungjawaban anggaran pelaksanaan operasi. e. bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Kalaks Ops. 6. Kepala Pelaksana Operasi Wilayah (Kalaks Opswil) a. memimpin, mengarahkan dan mengendalikan pelaksanaan operasi dari masing-masing Tim Operasi di wilayahnya untuk menindaklanjuti target operasi yang telah ditentukan. b. memberikan arahan langsung kepada Tim Operasi di wilayahnya untuk mencapai keberhasilan operasi. c. mengawasi dan memonitor sampai tuntas pelaksanaan penyidikan kasus-kasus sebagai hasil pelaksanaan operasi. d. memimpin langsung pelaksanaan operasi. e. bertanggung jawab dan melaporkan hasil pelaksanaan tugasnya kepada Kalaks Ops. 7. Wakil Kepala Pelaksana Operasi Wilayah (Wakalaks Opswil) a. membantu Kalaks Opswil dalam memimpin pelaksanaan operasi wilayah. b. mengarahkan dan mengendalikan pelaksanaan operasi di wilayahnya dalam menindaklanjuti target operasi. c. bertanggung jawab dan melaporkan pelaksanaan tugas operasi kepada Kalaks Opswil. 8. Kepala Tim Operasi (Katim Ops) a. memimpin, mengarahkan dan mengendalikan operasi masingmasing tim untuk menindaklanjuti target operasi yang telah ditentukan. b. memberikan arahan langsung pada tim operasi untuk keberhasilan pelaksanaan operasi. c. atas perintah Kalaks Opswil/Wakalaks Opswil, Katim Ops melakukan dukungan kepada Tim yang lain dalam pengungkapan target operasi antar wilayah. d. bertanggung jawab atas pelaksanaan tugasnya kepada Kalaks Opswil/Wakalaks Opswil.
9. Kepala Tim Penyelidikan (Katim Lidik) a. melaksanakan kegiatan penyelidikan dalam mendukung keberhasilan pelaksanaan operasi berdasarkan informasi dari intelijen dan Tim Analisa dan Penajaman Target Operasi. b. melaporkan hasil penyelidikan kepada Tim Penindakan. c. melaporkan hasil pelaksanaan penyelidikan kepada Katim Ops. d. menyampaikan laporan analisis dan evaluasi kepada Katim Ops. 10. Kepala Tim Penindakan (Katim Tindak) a. melakukan penindakan/penangkapan dan penyitaan pengamanan barang bukti untuk proses lebih lanjut. b. menyerahkan hasil penindakan/penangkapan dan penyitaan pengamanan barang bukti kepada Tim Penyidikan untuk dilakukan pemeriksaan. c. melaporkan hasil pelaksanaan tugas kegiatan kepada Kalaks Ops. d. mengevaluasi dan menyampaikan laporan hasil penindakan/penangkapan dan penyitaan pengamanan barang bukti kepada Katim Ops. 11. Kepala Tim Penyidikan (Katim Sidik) a. melakukan penyidikan dan pemberkasan perkara. b. menyampaikan berkas perkara, tersangka dan barang bukti kepada Penuntut Umum c. menyampaikan berkas perkara kepada tersangka. d. melaporkan hasil pemeriksaan penyidikan kepada Katim Ops. KEPALA BADAN NARKOTIKA NASIONAL REPUBLIK INDONESIA, MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA, GORIES MERE AMIR SYAMSUDIN