TINJAUAN PUSTAKA. Penjelasan Umum, Manfaat dan Fungsi Hutan. kesinambungan kehidupan manusia dan makhluk lainnya (Pamulardi,1994).

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI

PERATURAN PEMERINTAH Nomor 68 Tahun 1998, Tentang KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan adalah suatu lapangan pertumbuhan pohon-pohon yang secara. keseluruhan merupakan persekutuan hidup alam hayati beserta alam

Ekologi Hidupan Liar HUTAN. Mengapa Mempelajari Hidupan Liar? PENGERTIAN 3/25/2014. Hidupan liar?

NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.14/Menhut-II/2007 TENTANG TATACARA EVALUASI FUNGSI KAWASAN SUAKA ALAM, KAWASAN PELESTARIAN ALAM DAN TAMAN BURU

NOMOR 27 TAHUN 1999 TENTANG ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. ekosistemnya. Pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Hutan di Indonesia memiliki peran terhadap aspek ekonomi, sosial maupun. (Reksohadiprodjo dan Brodjonegoro 2000).

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

Suhartini Jurusan Pendidikan Biologi FMIPA UNY

RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF PENGELOLAAN KAWASAN KONSERVASI TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan,

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

BAB I PENDAHULUAN. Kawasan suaka alam sesuai Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 adalah sebuah

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

TINJAUAN PUSTAKA. Ecotouris, dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi ekowisata. Ada

Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 Tentang : Kawasan Suaka Alam Dan Kawasan Pelestarian Alam

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Bagi manusia, lahan sangat dibutuhkan dalam menjamin kelangsungan hidup

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

19 Oktober Ema Umilia

PLASMA NUTFAH. OLEH SUHARDI, S.Pt.,MP

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB VII KAWASAN LINDUNG DAN KAWASAN BUDIDAYA

Berikut beberapa penyebab kepunahan hewan dan tumbuhan: 1. Bencana Alam

TINJAUAN PUSTAKA. Hutan secara konsepsional yuridis dirumuskan di dalam Pasal 1 Ayat (1)

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KONSEP MODERN KAWASAN DILINDUNGI

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.49/Menhut-II/2014 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Kawasan Gunung Merapi adalah sebuah kawasan yang sangat unik karena

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. hidup Indonesia terdapat dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat. Kaedah

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

BAB I PENDAHULUAN. hutan hujan tropis yang tersebar di berbagai penjuru wilayah. Luasan hutan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 47 TAHUN 1997 TENTANG RENCANA TATA RUANG WILAYAH NASIONAL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

BAB I PENDAHULUAN. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tentang. sumber daya alam. Pasal 2 TAP MPR No.IX Tahun 2001 menjelaskan

BAB I PENDAHULUAN. lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan (UU RI No. 41

BAB I PENDAHULUAN. perubahan iklim (Dudley, 2008). International Union for Conservation of Nature

Keputusan Presiden No. 32 Tahun 1990 Tentang : Pengelolaan Kawasan Lindung

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

KAWASAN KONSERVASI UNTUK PELESTARIAN PRIMATA JURUSAN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

PELESTARIAN HUTAN DAN KONSERFASI ALAM

KEANEKARAGAMAN HAYATI (BIODIVERSITY) SEBAGAI ELEMEN KUNCI EKOSISTEM KOTA HIJAU

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM

TINJAUAN PUSTAKA. 3. Sebagai penghalang sampainya air ke bumi melalui proses intersepsi.

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG


TINJAUAN PUSTAKA. Hutan memiliki defenisi yang bervariasi, menurut Undang-Undang Nomor

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Taman Nasional

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN III

BAB I PENDAHULUAN. merupakan modal dasar bagi pembangunan berkelanjutan untuk kesejahteraan

BAB I PENDAHULUAN. berbeda dengan keadaan aslinya (Hairiah, 2003). Hutan menjadi sangat penting

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 63 TAHUN 2002 TENTANG HUTAN KOTA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Konservasi Lingkungan. Lely Riawati

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

SMP NEGERI 3 MENGGALA

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA No.378, 2010 KEMENTERIAN KEHUTANAN. Kawasan Hutan. Fungsi. Perubahan.

I. PENDAHULUAN. kayu, rotan, getah, dan lain-lain, tetapi juga memiliki nilai lain berupa jasa

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB. I. PENDAHULUAN A.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang disebutkan di atas, terdapat unsur-unsur yang meliputi suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. dan fauna yang tersebar diberbagai wilayah di DIY. Banyak tempat tempat

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR: P. 34/Menhut-II/2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

Penyelamatan Ekosistem Sumatera Dalam RTR Pulau Sumatera

Peta Jalan Penyelamatan Ekosistem Sumatera 2020 Dalam RTR Pulau Sumatera

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sumber daya yang kita miliki terkait dengan kepentingan masyarakat

Potensi Kota Cirebon Tahun 2010 Bidang Pertanian SKPD : DINAS KELAUTAN PERIKANAN PETERNAKAN DAN PERTANIAN KOTA CIREBON

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

I. PENDAHULUAN. manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Pemanfaatan tersebut apabila

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

PENDAHULUAN. Ekosistem /SDAL memiliki nilai guna langsung dan tidak langsung

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan hutan sebagai bagian dari sebuah ekosistem yang memiliki

Transkripsi:

TINJAUAN PUSTAKA Penjelasan Umum, Manfaat dan Fungsi Hutan Berdasarkan Undang Undang No 41 tahun 1999 Pasal 1 ayat 2 bahwa hutan adalah suatu kesatuan ekosistem yang berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohanan dalam persekutuan alam dan lingkungan yang satu dengan yang lainnya tidak dapat dipisahkan. Hutan mempunyai banyak manfaat (Multi Benefit) yang sangat berguna bagi kesinambungan kehidupan manusia dan makhluk lainnya (Pamulardi,1994). Hutan memiliki manfaat yang cukup besar bagi masyarakat selain menyediakan kayu dan produk produk lainnya, hutan menyimpan sejumlah besar informasi genetik, mengatur iklim dan tata air, melindungi dan memperkaya tanah, mengendalikan hama dan penyakit, mengatur penyerbukan tanaman dan menyebarkan benihnya, menjaga kualitas air, menyediakan pemandangan yang indah dan memberi nilai estetika dan lain lain (Santoso, dan Robert, 2002) Manfaat hutan berdasarkan bentuk dan wujudnya dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu manfaat tangible (langsung) dan manfaat intangible (tidak langsung). Manfaat langsung adalah manfaat yang dapat dirasakan dan dinikmati secara langsung oleh masyarakat baik hasil hutan yang berupa kayu maupun hasil hutan bukan kayu seperti rotan, bambu, getah, sayuran hutan, buah buahan, madu dan lain lain. Manfaat tidak langsung yaitu manfaat hutan yang tidak langsung dinikmati oleh masyarakat, tetapi dapat dirasakan keberadaan hutan itu sendiri seperti dapat mengatur tata air, mencegah terjadinya erosi, rekreasi, mengatur iklim dll (Bergen dan Lowenstein, 1991).

Berdasarkan kemampuan untuk dipasarkan, manfaat hutan dapat dibedakan menjadi dua (2) yaitu, manfaat marketable dan manfaat non marketable. Manfaat marketable adalah barang dan jasa hasil hutan yang sudah dikenal nilainya atau ada harga pasarnya baik dalam skala internasional, nasional, maupun lokal, contohnya: kayu bulat. Manfaat non marketable adalah barang dan jasa hasil hutan yang belum dikenal nilai pasarnya, contohnya: tanaman obat, sayuran hutan, rumput hutan, dan manfaat intangible seperti perlindungan dan pengaturan tata air, manfaat rekreasi (Bergen dan Lowenstein, 1991). Fungsi hutan ditinjau dari sisi sosial ekonomi, sifat alam sekitarnya, dan sifat sifat lainnya yang berhubungan dengan kehidupan manusia, maka dapat dikatakan bahwa hutan berperan sebagai sumberdaya yang menjadi salah satu modal dalam pembangunan, baik dari segi produksi hasil hutan atau fungsi plasma nuftah maupun penyangga kehidupan. Walaupun hutan memiliki fungsi konservasi, fungsi lindung,dan fungsi produksi, namun fungsi utama hutan tidak akan berubah yakni untuk mempertahankan kesuburan tanah, keseimbangan tata air, dan mencegah terjadinya erosi (Arief, 2001). Secara umum manfaat hutan dapat berasal dari penggunaan sumberdaya hutan secara langsung dimana manfaatnya dapat dinilai dengan harga pasar, seperti kayu, rotan dan lain sebagainya. Demikian pula manfaat lainnya seperti penggunaan untuk rekreasi/pariwisata, dapat dinilai, dan besaran nilainya sangat bergantung pada cara penggunaannya. Namun manfaat tidak langsung dari sumber daya hutan seperti mendukung aktifitas ekonomi, pertanian, perikanan, peternakan, transportasi, perhotelan, pengendali tata air, pengaturan iklim, mencegah erosi dan lain-lain sulit dinilai berdasarkan nilai moneter. Manfaat yang besar dari hutan tersebut dianggap

sebagai manfaat sosial dan sulit dinilai berdasarkan harga pasar walaupun manfaat ini telah banyak diakui masyarakat (Effendi dan Sylviani, 2007). Kawasan konservasi terdiri dari kawasan suaka alam, kawasan pelestarian alam,dan taman buru. Kawasan suaka alam terdiri dari cagar alam dan suaka margasatwa, sedangkan kawasan pelestarian alam terdiri dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam. Di dalam UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya bahwa, cagar alam merupakan kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya secara alami (BKSDAH Sumut II, 2002). Pola yang umum pengelolaan kawasan konservasi di lapangan adalah penonjolan upaya-upaya preventif berupa perlindungan hutan dengan kegiatan-kegiatan patroli dan pelarangan-palarangan jalur-jalur akses masyarakat terhadap hutan. Hal ini menimbulkan pemikiran negatif terhadap pengelolaan kawasan hutan misalnya bahwa kawasan hutan, terutama kawasan konservasi, tidak termanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat (Saraan dan Nopandry, 2007). Fungsi Suaka Margasatwa Suaka margasatwa adalah kawasan suaka alam yang mempunyai ekosistem asli, memiliki ciri khas berupa keanekaragaman dan keunikan jenis satwanya. Suaka margasatwa bertujuan untuk melindungi dan melestarikan kelangsungan hidup satwa tertentu agar tidak punah. Selain itu dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Cagar alam merupakan kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan tata lingkungannya. Kawasan ini untuk melindungi dan

melestarikan flora dan fauna yang hidup di dalamnya yang mempunyai nilai tertentu agar dapat berkembang sesuai dengan kondisi aslinya. Selain itu cagar alam juga dipergunakan untuk kepentingan ilmu pengetahuan, pendidikan, dan rekreasi (Saraan dan Nopandry, 2007). Keanekaragaman hayati dan hewani di Indonesia membuat perlunya sebuah tempat untuk melindungi dan melestarikan keragaman tersebut. Karenanya, pemerintah Indonesia membuat beberapa tempat, diantaranya adalah cagar alam dan suaka margasatwa. Adapun kriteria untuk penunjukkan dan penetapan sebagai kawasan Suaka Margasatwa: 1. Merupakan tempat hidup dan perkembangbiakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasinya 2. Merupakan habitat dari suatu jenis satwa langka dan atau dikhawatirkan akan punah 3. Memiliki keanekaragaman dan populasi satwa yang tinggi 4. Merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu; dan atau 5. Mempunyai luasan yang cukup sebagai habitat jenis satwa yang bersangkutan. Beberapa kegiatan yang dilarang karena dapat mengakibatkan perubahan fungsi kawasan Suaka Margasatwa alam adalah : 1. Melakukan perburuan terhadap satwa yang berada di dalam kawasan 2. Memasukan jenis-jenis tumbuhan dan satwa bukan asli ke dalam kawasan 3. Memotong, merusak, mengambil, menebang, dan memusnahkan tumbuhan dan satwa dalam dan dari kawasan 4. Menggali atau membuat lubang pada tanah yang mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa dalam kawasan, atau

5. Mengubah bentang alam kawasan yang mengusik atau mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa. Larangan juga berlaku terhadap kegiatan yang dianggap sebagai tindakan permulaan yang berkibat pada perubahan keutuhan kawasan, seperti : 1. Memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan, atau 2. Membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil, mengangkut, menebang, membelah, merusak, berburu, memusnahkan satwa dan tumbuhan ke dan dari dalam kawasan (e-smartschool, 2007). Penilaian Sumberdaya Hutan Sumberdaya hutan (SDH) Indonesia menghasilkan berbagai manfaat yang dapat dirasakan pada tingkatan lokal, nasional, maupun global. Manfaat tersebut terdiri atas manfaat nyata yang terukur (tangible) berupa hasil hutan kayu, hasil hutan non kayu seperti rotan, bambu, damar dan lain-lain, serta manfaat tidak terukur (intangible) berupa manfaat perlindungan lingkungan, keragaman genetik dan lain-lain. Saat ini berbagai manfaat yang dihasilkan tersebut masih dinilai secara rendah sehingga menimbulkan terjadinya eksploitasi SDH yang berlebih. Hal tersebut disebabkan karena masih banyak pihak yang belum memahami nilai dari berbagai manfaat SDH secara komperehensif. Untuk memahami manfaat dari SDH tersebut perlu dilakukan penilaian terhadap semua manfaat yang dihasilkan SDH ini. Penilaian sendiri merupakan upaya untuk menentukan nilai atau manfaat dari suatu barang atau jasa untuk kepentingan manusia (Nurfatriani, 2001). Manfaat SDH sendiri tidak semuanya memiliki harga pasar, sehingga perlu digunakan pendekatan-pendekatan untuk mengkuantifikasi nilai ekonomi SDH dalam

satuan moneter. Sebagai contoh manfaat hutan dalam menyerap karbon, dan manfaat ekologis serta lingkungan lainnya. Karena sifatnya yang non market tersebut menyebabkan banyak manfaat SDH belum dinilai secara memuaskan dalam perhitungan ekonomi. Tetapi saat ini, kepedulian akan pentingnya manfaat lingkungan semakin meningkat dengan melihat kondisi SDA yang semakin terdegradasi. Untuk itu dikembangkan berbagai metode dan teknik penilaian manfaat SDH, baik untuk manfaat SDH yang memiliki harga pasar ataupun tidak, dalam satuan moneter. Ukuran nilai ini dapat diekspresikan melalui waktu, tenaga, barang atau uang, dimana seseorang bersedia memberikannya untuk memperoleh, memiliki atau menggunakan barang dan jasa yang dinilai (Nurfatriani, 2001). Penilaian adalah penentuan nilai manfaat suatu barang ataupun jasa bagi manusia atau masyarakat. Adanya nilai yang dimiliki oleh suatu barang ataupun jasa (sumberdaya lingkungan) pada gilirannya akan mengarahkan perilaku pengambil keputusan yang dilakukan oleh individu, masyarakat ataupun organisasi. Jika nilai sumberdaya hutan, ataupun lebih spesifik barang dan jasa hutan sudah tersedia informasinya, seperti halnya harga berbagai produk yang ada dipasar, maka pengelola hutan dapat memanfaatkannnya untuk berbagai keperluan seperti pengambilan keputusan pengelolaan, perencanaan, dll (Bahruni, 1999). Metode penilaian manfaat hutan pada dasarnya dibagi dalam dua kelompok yaitu metode atas dasar pasar dan metode pendekatan terhadap pasar yaitu pendekatan terhadap kesediaan membayar. Metode pendekatan terhadap pasar ini oleh beberapa ahli ekonomi telah dikembangkan dan diaplikasikan untuk menilai manfaat hutan yang tidak memiliki harga pasar dalam satuan moneter. Metode ini mencoba untuk menggambarkan permintaan konsumen, sebagai contoh kesediaan membayar konsumen

(willingness to pay-wtp) terhadap manfaat hutan yang tidak memiliki harga pasar dalam satuan moneter, atau kesediaan menerima konsumen (willingness to accept WTA) terhadap kompensasi yang diberikan kepada konsumen untuk manfaat yang hilang dalam satuan moneter (Nurfatriani, 2001). Berdasarkan hal diatas untuk menentukan nilai sumberdaya hutan yang dimanfaatkan tersebut, maka dalam penelititan ini digunakan beberapa metode penilaian,yaitu : metode nilai pasar, metode nilai relative, dan metode biaya pengadaan. Metode nilai pasar digunakan jika barang dan jasa dijual di pasar, sehingga diperoleh nilai dari barang dan jasa tersebut. Nilai pasar merupakan harga barang dan jasa yang ditetapkan oleh penjual dan pembeli tanpa intevensi pihak lain (kompetisi sempurna) di pasar. Selama terjadi informasi pasar maka sumber penilaian yang dianggap paling baik atau paling kuat adalah nilai pasar (Affandi dan Patana, 2002). Metode nilai relative dihitung dari hasil perkalian jumlah volume hasil hutan tertentu dengan harga relative (harga relative barang tersebut terhadap harga barang lain yang sudah diketahui pasarnya). Prinsip metode nilai relative ini adalah nilai suatu barang yang belum ada pasarnya dibandingkan dengan barang lain yang sudah diketahui pasarnya. Metode biaya pengadaan merupakan biaya korbanan yang sudah dikeluarkan untuk mencapai tujuan, sehingga diartikan sebagai usaha yang dikorbankan untuk mengadakan barang dan jasa yang dikonsumsi. Metode ini didasarkan pada kesediaan membayar (willingness to pay), yang diartikan sebagai jumlah korbanan yang bersedia dibayarkan konsumen untuk setiap tambahan sesuatu yang dikonsumsi. Metode penilaian ini dapat dihitung dengan rumus : Ni = Bpi / JVi Keterangan : N = Nilai ekonomi hasil hutan (Rp/unit volume)

BP = Biaya Pengadaan Hasil Hutan (Rp/ pengambilan) JV = Jumlah Volume Hasil Hutan (Unit Volume/pengambilan) i = Jenis Hasil Hutan Yang Diambil (Affandi dan Patana,2002). Masyarakat Sekitar Hutan Masyarakat sekitar hutan adalah masyarakat yang tinggal di kawasan hutan baik yang memanfaatkan secara langsung maupun tidak langsung hasil hutan tersebut. Hutan bagi masyarakat di sekitarnya merupakan sumber untuk memperoleh pangan, papan, obat-obatan, kayu bakar, lahan perluasan pertanian dan pemukiman, tempat penggembalaan, tempat melakukan kegiatan spiritual, dan lain-lain. Dalam masyarakat biasanya terdapat perbedaan status diantara anggota masyarakatnya. Perbedaan tersebut dapat berasal dari faktor keturunan, ekonomi, pendidikan, keterampilan, agama, atau sumber-sumber lain yang bernilai penting bagi masyarakat. Reaksi kelompok sosial menurut statusnya akan berbeda beda terhadap suatu objek, termasuk terhadap objek berupa hutan. Masyarakat sekitar hutan mempunyai sistem hubungan sosial, ekonomi dan budaya tersendiri dengan lingkungan (Kasim dan Murad, 2001). Masyarakat sekitar dan dalam hutan pada umumnya merupakan masyarakat tertinggal, kondisi sosial ekonomi dan golongan masyarakat ini pada umumnya masih rendah. Hal ini salah satu disebabkan oleh adanya pengabaian kepentingan masyarakat dalam kegiatan pemanfaatan hutan. Sehingga pada akhirnya timbul kecemburuan sosial masyarakat setempat terhadap pelaksanaan pembangunan kehutanan. Selama ini upaya mensejahterakan masyarakat setempat belum berhasil dan belum secara tepat mengakomodasikan kepentingan sosial budaya dan ekonomi (Darusman dan Sukarjito, 1998).

Ciri-ciri budaya msyarakat meliputi hubungan interpersonal saling menguntungkan, persepsi terhadap kehidupan kurang baik, bersifat kekeluargaan, kurang bersifat inofativ, berserah kepada nasib, sempitnya pandangan terhadap dunia dan berempati rendah. Pembangunan masyarakat pedesaan di dalam atau di sekitar hutan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan kehutanan, keberhasilannya sangat dipengaruhi oleh tingkat peran serta masyarakat dalam pelaksanaannya (Darusman dan Sukarjito, 1998).