PENDAHULUAN. hujan tropis Indonesia diperkirakan seluas 1,148,400-an kilometer persegi yang

dokumen-dokumen yang mirip
TINJAUAN PUSTAKA. Hutan memiliki defenisi yang bervariasi, menurut Undang-Undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Setiap manusia memiliki tingkat kebutuhan yang berbeda-beda tergantung

KERUSAKAN LAHAN AKIBAT PERTAMBANGAN

BAB I PENDAHULUAN. terhadap pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam yang ada.

PENDAHULUAN. termasuk ekosistem terkaya di dunia sehubungan dengan keanekaan hidupan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Pembangunan KSDAE di Eko-Region Papua Jakarta, 2 Desember 2015

PENDAHULUAN. peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan sosial, pembangunan dan

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG

BAB I PENDAHULUAN. manusia jugalah yang melakukan kerusakan di muka bumi ini dengan berbagai

BAB I PENDAHULUAN. alam baik itu berupa sumber daya tanah, air, udara dan sumber daya alam lainnya

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. kadang-kadang tidak mencukupi (Ekstensia, 2003). Peran sektor pertanian di Indonesia terlebih di Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional.hal ini disebabkan hutan itu bermanfaat bagi sebesar-besarnya

BAB 1 PENDAHULUAN. hayati terkaya (mega biodiveristy). Menurut Hasan dan Ariyanti (2004),

2016, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik

PENDAHULUAN. hutan yang dialih-gunakan menjadi lahan usaha lain. Agroforestry adalah salah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PEMANFAATAN SUMBER MATA AIR DALAM KAWASAN HUTAN

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

PERATURAN MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.32/Menlhk-Setjen/2015 TENTANG HUTAN HAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Sumber daya alam merupakan titipan Tuhan untuk dimanfaatkan sebaikbaiknya

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Hutan Indonesia dikenal memiliki keanekaragaman sumber daya hayati yang

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 1998 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN EKOSISTEM LEUSER PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

Laporan Penelitian Implementasi Undang-Undang No. 18 Tahun 2013 dalam Penanggulangan Pembalakan Liar

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. itu merupakan suatu anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa. Menurut UU RI No.

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang. Potensi Sumber Daya Alam di Indonesia yang sangat melimpah

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan komunitas vegetasi pantai tropis dan subtropis yang

disinyalir disebabkan oleh aktivitas manusia dalam kegiatan penyiapan lahan untuk pertanian, perkebunan, maupun hutan tanaman dan hutan tanaman

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia memiliki banyak kekayaan alam yang melimpah dengan berbagai

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK BARAT. Nomor 4 Tahun 2007 Seri E Nomor 4 Tahun 2007 NOMOR 4 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN JASA LINGKUNGAN

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melimpah. Salah satu kekayaan alam yang dimiliki Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. fungsi lindung dan fungsi konservasi semakin berkurang luasnya. Saat ini

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 32 TAHUN 1990 TENTANG PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

BAB I PENDAHULUAN. daerah maupun nasional yang saat ini kondisinya sangat memperihatinkan, kerusakan

Materi USULAN KEBIJAKAN KHUSUS PRESIDEN R.I

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

ARAHAN PENGEMBANGAN KAWASAN TAMAN HUTAN RAYA NGARGOYOSO SEBAGAI OBYEK WISATA ALAM BERDASARKAN POTENSI DAN PRIORITAS PENGEMBANGANNYA TUGAS AKHIR

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI LINGKUNGAN HIDUP DAN KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR P.01/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. berbeda (Riyadi, 2002) dalam Ishak, Marenda 2008.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BATANG HARI NOMOR 16 TAHUN 2001 TENTANG PEMBENTUKAN PERUSAHAAN DAERAH BATANG HARI MITRA HUTAN LESTARI

BAB I PENDAHULUAN. tiga gerakan yaitu gerakan sistem sunda di bagian barat, gerakan sistem pinggiran

BAB I PENDAHULUAN. sektor sosial budaya dan lingkungan. Salah satu sektor lingkungan yang terkait

BAB I PENDAHULUAN. yang disebutkan di atas, terdapat unsur-unsur yang meliputi suatu kesatuan

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG TATA CARA PERUBAHAN PERUNTUKAN DAN FUNGSI KAWASAN HUTAN

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

2015 ANALISIS KONFLIK ANTARA MASYARAKAT DENGAN PERHUTANI AKIBAT PENGAMBILAN LAHAN KEHUTANAN

BAB I PENDAHULUAN. sekarang tanpa harus merugikan generasi yang akan datang. longsor dan banjir. Namun kekurangan air juga dapat menimbulkan masalah

PASAL DEMI PASAL. Pasal 1. Cukup jelas. Pasal 2. Cukup jelas. Pasal 3. Cukup jelas. Pasal 4. Cukup jelas. Pasal 5. Cukup jelas. Pasal 6.

BAB I PENDAHULUAN spesies tumbuhan, 940 spesies diantaranya merupakan tumbuhan obat dan

Menimbang : Mengingat :

SMP kelas 7 - BIOLOGI BAB 6. PERAN MANUSIA DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGANLatihan Soal 6.2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN PADA TANAH MILIK DAN KEBUN RAKYAT

BAB I PENDAHULUAN. hasilhutan non kayu adalah hasil hutan yang didapat secara langsung.air bersih

BAB I PENDAHULUAN. Cisolok Kabupaten Sukabumi Universitas Pendidikan Indonesia repository.upi.edu perpustakaan.upi.edu

I. PENDAHULUAN. Hutan merupakan bagian penting dari negara Indonesia. Menurut angka

NOTA DINAS Nomor: ND. /II-PHM/2012

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR JAWA TENGAH,

I. PENDAHULUAN. Dampak penambangan yang paling serius dan luas adalah degradasi, kualitas

TINJAUAN PUSTAKA. berhasil menguasai sebidang atau seluas tanah, mereka mengabaikan fungsi tanah,

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang memiliki keanekaragaman hayati

Contoh Makalah Penelitian Geografi MAKALAH PENELITIAN GEOGRAFI TENTANG LINGKUNGAN HIDUP DI INDONESIA

SERI E PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 03 TAHUN 2004 TENTANG PENETAPAN DAN PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. bawah tanah. Definisi hutan menurut Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang

I. PENDAHULUAN. Salah satu permasalahan yang dihadapi negara yang sedang berkembang

BAB I PENDAHULUAN. (2009) saat ini Indonesia memiliki luas kawasan hutan seluas juta

BAB I. PENDAHULUAN. sebagai sebuah pulau yang mungil, cantik dan penuh pesona. Namun demikian, perlu

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

Tenggara yakni Malaysia, Singapura, dan Brunai Darusalam. Oleh karena itu perlu ditetapkan berbagai langkah kebijakan pengendaliannya.

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-Undang Kehutanan Nomor 41 tahun 1999, hutan adalah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumberdaya alam, termasuk di

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Hutan lindung sesuai fungsinya ditujukan untuk perlindungan sistem

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG

I. PENDAHULUAN. Gambar 1. Kecenderungan Total Volume Ekspor Hasil hutan Kayu

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.14/Menhut-II/2006 TENTANG PEDOMAN PINJAM PAKAI KAWASAN HUTAN MENTERI KEHUTANAN,

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 47 / KPTS-II / 1998 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HUMBANG HASUNDUTAN NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG LAHAN GAMBUT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI HUMBANG HASUNDUTAN,

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.8/Menhut-II/2014

BUPATI KUTAI BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI BARAT NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG

Transkripsi:

PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia merupakan negara terbesar ketiga yang mempunyai hutan tropis terluas di dunia dan menduduki peringkat pertama di Asia Pasifik. Luas hutan hujan tropis Indonesia diperkirakan seluas 1,148,400-an kilometer persegi yang mempunyai kekayaan hayati yang begitu besar, mulai dari tambang, flora dan faunanya. Khusus dari hasil hutannya, hutan tropis Indonesia mempunyai kurang lebih 400 spesies dipterocarp yang merupakan jenis kayu komersial paling berharga di Asia Tenggara (http://www.mediaindonesia.com, 10 November 2010). Kerusakan hutan di Indonesia tidak hanya terjadi pada hutan produksi tetapi juga telah terjadi pada hutan lindung. Padahal, hutan lindung memiliki fungsi yang spesifik terutama berkaitan dengan ketersediaan air. Air merupakan sumber kehidupan yang sangat penting terhadap keberlanjutan kehidupan bagi semua mahluk hidup. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan yang menjelaskan bahwa hutan lindung merupakan kawasan hutan karena keadaan sifat alamnya diperuntukkanguna pengaturan tata air, pencegahan banjir dan erosi serta pemeliharaan kesuburan tanah (Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan). Melihat potensi yang begitu besar dari hasil hutan Indonesia, tidak salah apabila pemerintah menjadikan sektor kehutanan menjadi salah satu sumber devisa negara yang utama untuk menunjang pertumbuhan ekonomi bangsa. Tetapi dalam prakteknya, dorongan untuk melakukan pertumbuhan ekonomi secara signifikan dengan memanfaatkan potensi hutan tidak diimbangi dengan upaya pemeliharaan lingkungan yang berkelanjutan. Terjadilah eksploitasi besar-besaran

terhadap potensi hutan Indonesia. Hutan lindung/konservasi yang sewajarnya menjadi kawasan konservasi dan pemeliharaan lingkungan-pun tidak bisa menghindar dari arogansi investor-investor modal yang ingin mengeruk keuntungan sebesar-besarnya (http://www.mediaindonesia.com, 10 November 2010). Di antara hingar bingar penentuan pemenang Pemilu Presiden, bangsa ini mendengar adanya selentingan adanya poltik uang untuk menggolkan Perpu Pertambangan di Hutan Lindung. Koran Tempo (5 Oktober 2004) memberitakan bahwa Menteri Kehutanan pun masih enggan berkomentar mengenai masalah sensitif ini. Beberapa ornop lingkungan yang menggabungkan dirinya dalam berbagi koalisi meminta peninjauan ulang atau bahkan pencabutan Perpu itu segera. Sementara, sejumlah rekan akademisi menanggapi dengan gurauan pahit bahwa sesungguhnya kalau dasar permintaan peninjauan ulang dan pencabutan adalah dugaan politik uang, maka sesungguhnya hampir seluruh peraturan yang dihasilkan oleh DPR periode lalu harus mendapat perlakuan yang sama. Dari sudut pandang konservasi, jelas bahwa penambangan di hutan lindung sangatlah mengandung risiko tinggi. Namun, sebagaimana yang dikemukakan oleh Adrian Phillips, Wakil Direktur UICN, spektrum permasalahan pertambangan di hutan lindung sesungguhnya lebih rumit dari yang kebanyakan diketahui orang. (http://www.korantempo.com, 18 January 2011). Istilah tambang rakyat secara resmi terdapat pada Pasal 2 huruf n, UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pertambangan. Dalam pasal ini disebutkan bahwa pertambangan rakyat adalah satu usaha pertambangan bahan-bahan galian dari semua golongan a, b dan c yang dilakukan oleh rakyat

setempat secara kecil-kecilan atau secara gotong-royong dengan alat-alat sederhana untuk pencaharian sendiri. Sementara itu untuk kata masyarakat lokal cendrung disandingkan dengan masyarakat adat dalam membedakan dua kelompok masyarakat yang tinggal dalam satu daerah. Masyarakat adat lebih dicirikan oleh aturan-aturan adat yang diwarisi secara turun temurun dengan rentang waktu yang sulit diukur. Sedangkan masyarakat lokal cendrung menggunakan ketentuan-ketentuan yang waktu pembuatannya lebih diketahui, sesuai dengan waktu kedatangan mereka kedaerah tersebut. Selain itu masyarakat lokal cendrung lebih plural dan beragam, jika dibandingkan dengan masyarakat adat (Undang-undang No 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan). Sebagai dampaknya, terjadi kerusakan lingkungan dan penurunan mutu ekosistem hutan. Tidak kurang 2 juta ha SDA Indonesia hancur setiap tahunnya. Bencana terjadi hampir di setiap daerah, mulai dari banjir, tanah longsor dan penurunan kualitas tanah yang korbannya tidak lain adalah masyarakat lokal setempat. Ironisnya, masyarakat lokal yang telah memanfaatkan hasil hutan untuk menggantungkan hidupnya dan telah berlangsung selama beratus-ratus tahun tidak menerima hak mereka atas eksploitasi yang dilakukan. Masyarakat setempat yang mempunyai hak atas "hutan adat" lambat laun tersingkir dari pemanfaatan hasil hutan dan terjadi pemiskinan warga lokal. Hal itu tentunya sebuah ironi karena pemanfaatan potensi tambang tidak diimbangi dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat (http://www.mediaindonesia.com, 10 November 2010). Hutan Lindung di desa Simpang Mandepo merupakan salah satu hutan lindung yang memiliki kontribusi penting bagi kehidupan masyarakat daerah

tersebut. Pengembangan hutan lindung sesuai dengan fungsi seharusnya menjadi suatu upaya yang harus difokuskan dalam peningkatan pendapatan masyarakat di daerah tersebut. Pemilihan Desa Simpang Mandepo Kecamatan Muara Sipongi dalam penelitian ini didasarkan atas masyarakat yang memiliki pendapatan yang berasal dari pemanfaatan hasil hutan non kayu serta pemanfaatan kawasan hutan lindung yang dijadikan sebagai lokasi pertambangan tradisional, yang dilakukan oleh masyarakat itu sendiri. Dengan keberadaan pertambangan maka dapat dilihat seberapa besar pengaruhnya terhadap pendapatan rumah tangga masyarakat sekitar kawasan. Berdasarkan uraian di atas, maka di perlukan suatu kajian tentang berapa besar dampak pertambangan di kawasan hutan lindung terhadap perubahan distribusi pendapatan rumah tangga. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan suatu penelitian mengenai Analisis Dampak Pertambangan Emas Secara Tradisional di Kawasan Hutan Lindung Terhadap Distribusi Pendapatan Rumah Tangga dengan studi kasus pertambangan tradisional yang berada dalam kawasan hutan lindung Desa Simpang Mandepo, Kecamatan Muara Sipongi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Perumusan masalah Desa Simpang Mandepo adalah salah satu desa yang berada di Kecamatan Muara Sipongi Kabupaten Mandailing Natal, yang masyarakatnya saat ini menggunakan kawasan areal hutan lindung sebagai tempat pertambangan tradisional.

Pertambangan di hutan lindung yang selama ini dilakukan oleh masyarakat Simpang Mandepo lebih difokuskan pada hasil yang diperoleh. Padahal pertambangan juga dapat mengakibatkan perubahan terhadap perilaku masyarakat terhadap penggunaan kawasan, contohnya berubahnya pekerjaan masyarakat yang dulunya bekerja sebagai petani tetapi setelah ada pertambangan mereka meninggalkan lahan pertaniannya dan memulai menjadi penambang. Pertambangan di kawasan hutan lindung tidak dapat dipisahkan dari dampak yang mungkin akan timbul, baik dampak ekologi maupun ekonomi. Berdasarkan kondisi tersebut maka muncul beberapa pertanyaan pokok yang terkait dengan masalah pertambangan di hutan lindung adalah : 1. Seberapa besar dampak pertambangan terhadap perubahan distribusi pendapatan rumah tangga akibat dilakukannya pertambangan pada areal hutan lindung. 2. Seberapa besar dampak pertambangan tradisional di kawasan hutan lindung terhadap kondisi lingkungan. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui dampak pertambangan terhadap perubahan distribusi pendapatan rumah tangga akibat dilakukannya pertambangan pada areal hutan lindung. 2. Untuk mengetahui dampak pertambangan tradisional di kawasan hutan lindung terhadap kondisi lingkungan.

Manfaat penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini sebagai berikut : 1. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi penting bagi penentu kebijakan, khususnya masyarakat pemilik lahan dan pihak pihak terkait untuk membuat kebijakan yang lebih baik terkait dengan pembukaan pertambangan emas tradisional pada kawasan Hutan lindung. 2. Memberikan informasi akan kondisi sosial ekonomi masyarakat desa Simpang Mandepo, Kecamatan Muarasipongi, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara.