BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dengan tindakan korektif yang ditujukan kepada penyebab itu serta dengan upaya

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja

BAB I PENDAHULUAN. dikehendaki, yang mengacaukan proses yang telah diatur dari suatu aktivitas dan

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan harta benda. Kecelakaan kerja banyak akhir-akhir ini kita jumpai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. landasan kerja dan lingkungan kerja serta cara-cara melakukan pekerjaan dan proses

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Keselamatan dan Kesehatan Kerja. subkontraktor, serta safety professionals.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. konstruksi juga memiliki karakteristik yang bersifat unik, membutuhkan sumber

adalah 70-80% angkatan kerja bergerak disektor informal. Sektor informal memiliki

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Tidak terduga oleh karena dibelakang peristiwa itu tidak terdapat unsur kesengajaan,

BAB IITINJAUAN PUSTAKA TINJAUAN PUSTAKA. A. Manajemen Sumberdaya Manusia Manajemen Sumberdaya Manusia adalah penarikan seleksi,

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Dalam proses pembangunan nasional, titik berat pembangunan nasional

PENGARUH KESEHATAN, PELATIHAN DAN PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI TERHADAP KECELAKAAN KERJA PADA PEKERJA KONSTRUKSI DI KOTA TOMOHON

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Tujuan K3. Mencegah terjadinya kecelakaan kerja. Menjamin tempat kerja yang sehat, bersih, nyaman dan aman

PENDAHULUAN. beberapa faktor yang saling berkaitan satu dengan yang lain. Ketimpangan oleh

BAB IV HASIL DAN ANALISA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENDAHULUAN. yang memiliki peran penting dalam kegiatan perusahaan. dari potensi bahaya yang dihadapinya (Shiddiq, dkk, 2013).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kecelakaan kerja yang menimpa pekerja disebuah proyek. konstruksi bisa terjadi karena faktor tindakan manusia itu sendiri

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. karakteristik yaitu bersifat unik, membutuhkan sumber daya (manpower,

commit to user 6 BAB II LANDASAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Tempat Kerja Didalam Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

LAMPIRAN 1 PEDOMAN TEKNIS KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA

MANAJEMEN RISIKO KECELAKAAN KERJA PADA PROYEK PEMBANGUNAN PERLUASAN HOTEL MERCURE 8 LANTAI PONTIANAK


BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan dan keselamatan kerja perlu dilakukan karena menurut Undang-Undang

BAB III LANDASAN TEORI

BAB IV HASIL PEMBUATAN DAN PEMBAHASAN. Sebelum melakukan proses pembuatan rangka pada incinerator terlebih

MODUL PELATIHAN BERBASIS KOMPETENSI SEKTOR KONSTRUKSI SUB SEKTOR SIPIL EDISI 2012 PELAKSANA LAPANGAN PEKERJAAN JALAN

KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN

BAB V PELAKSANAAN PEKERJAAN STRUKTUR ATAS

MODUL 9 SISTEM MANAJEMEN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA. (Tangga dan Beban) TINGKAT : XI PROGRAM KEAHLI AN TEKNI K PEMANFAATAN TENAGA LI STRI K

K3 Konstruksi Bangunan

BAB V PELAKSANAAN PEKERJAAN. terhitung mulai dari tanggal 07 Oktober 2013 sampai dengan 07 Desember 2013

KEBIJAKAN KEMNAKER DALAM PEMBINAAN KOMPETENSI AHLI K3 KONSTRUKSI

BAB I PENDAHULUAN. industri atau yang berkaitan dengannya (Tarwaka, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan perlu melaksanakan program keselamatan dan kesehatan kerja

URGENSI DAN PRINSIP K3 PERTEMUAN #2 TKT TAUFIQUR RACHMAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA INDUSTRI

BAB III METODE & DATA PENELITIAN

BAB III METODE PENELITIAN

BAB 1 PENDAHULUAN. ILO menghasilkan kesimpulan, setiap hari rata-rata orang meninggal, setara

BAB II LANDASAN TEORI. dan proses produksi (Tarwaka, 2008: 4). 1. Mencegah dan Mengurangi kecelakaan.


KECELAKAAN TAMBANG. Oleh : Rochsyid Anggara

BAB 1 : PENDAHULUAN. berskala besar, menengah ataupun kecil. Hal ini berpengaruh terhadap ketatnya

BAB I PENDAHULUAN. mencapai 5,9% di bulan Agustus 2014 (International Labour Organization Key

BAB 1 : PENDAHULUAN. masalah-masalah baru yang harus bisa segera diatasi apabila perusahaan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. kesadaran dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud kesehatan

BAB V PELAKSANAAN PEKERJAAN. pengamatan struktur plat lantai, pengamatan struktur core lift.

TIN211 - Keselamatan dan Kesehatan Kerja Industri. Tujuan Pembelajaran

PERATURAN PERUNDANGAN TERKAIT K3 KEMENTERIAN PEKERJAAN UMUM DAN PERUMAHAN RAKYAT DIREKTORAT JENDERAL BINA KONSTRUKSI

BAB V PEMBAHASAN. keselamatan kerja yang diantaranya adalah program Lock Out Tag

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perkembangan pesat dunia industri konstruksi bangunan di Indonesia

PENGELOLAAN OPERASI K3 PERTEMUAN #6 TKT TAUFIQUR RACHMAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA INDUSTRI

BAB VIII PEKERJAAN PESRTA KERJA PRAKTEK

BAB 1 PENDAHULUAN. Potensi bahaya dan risiko kecelakaan kerja antara lain disebabkan oleh

Rem Kantilever. Panduan Dealer. JALANAN MTB Trekking. Keliling Kota/ Sepeda Nyaman

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Kepuasan memiliki bermacam-macam arti, masing-masing bidang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN

Ditinjau dari macam pekerjan yang dilakukan, dapat disebut antara lain: 1. Memotong

Tujuan Pembelajaran Taufiqur Rachman 1

SANITASI DAN KEAMANAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. dan keahlian serta lingkungan. Tindakan tidak aman dari manusia (unsafe act)

ANALISIS RESIKO KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA PADA INSTALASI LAUNDRY

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Keselamatan Kerja adalah Keselamatan yang bertalian dengan mesin,

BAB 1 : PENDAHULUAN. faktor yaitu, unsafe action dan unsafe condition. OHSAS menyebutkan risiko

BAB I PENDAHULUAN. setiap 15 detik karena kecelakaan kerja dan 160 pekerja mengalami sakit akibat kerja.

Identifikasi Kecelakaan Kerja Pada Industri Konstruksi Di Kalimantan Selatan

#7 PENGELOLAAN OPERASI K3

PERATURAN PERUNDANGAN TERKAIT K3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keselamatan kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat,

BAB I PENDAHULUAN. akan ditimbulkan akibat aktivitas-aktivitas yang ditimbulkan seperti kecelakaan

BAB I PENDAHULUAN. tenaga kerja dari kecelakaan atau penyakit akibat kerja (Ramli, 2013).

PELATIHAN INSPEKTOR LAPANGAN PEKERJAAN JALAN (SITE INSPECTOR OF ROADS)

METODE PELAKSANAAN Pekerjaan Bekisting Raka Pratama

SELAMAT DATANG TUKANG BEKISTING DAN PERANCAH

BAB 1 : PENDAHULUAN. pertumbuhan industry dan perdagangan serta merupakan segmen usaha yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. dimanapun selalu ada risiko terkena penyakit akibat kerja, baik didarat, laut,

BAB V PEMBAHASAN. TM PT. PLN (Persero) Distribusi Jawa Timur Area Madiun telah diperoleh

BAB I PENDAHULUAN. yang bekerja mengalami peningkatan sebanyak 5,4 juta orang dibanding keadaan

BAB III METODE PEMBUATAN

KESEHATAN KERJA. oleh; Syamsul Rizal Sinulingga, MPH

BABV PELAKSANAAN PEKERJAAN. perencana. Dengan kerjasama yang baik dapat menghasilkan suatu kerja yang efektif

luas lantai bangunan dikalikan satuan harga per m2 nya. Satuan harga bangunan

PENILAIAN RISIKO KECELAKAAN KERJA PADA PENGGUNA SCAFFOLDING DI PROYEK PEMBANGUNAN HOTEL GATOT SUBROTO MEDAN TAHUN 2012

BAB V METODE PELAKSANAAN PEKERJAAN. Dalam melaksanakan suatu proyek konstruksi, diperlukan adanya suatu

PERATURAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.08/MEN/VII/2010 TAHUN 2010 TENTANG ALAT PELINDUNG DIRI

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kecelakaan Kerja 2.1.1 Pengertian Kecelakaan Kerja Kecelakaan tidak terjadi kebetulan, melainkan ada sebabnya. Oleh karena ada penyebabnya, sebab kecelakaan harus diteliti dan ditemukan, agar untuk selanjutnya dengan tindakan korektif yang ditujukan kepada penyebab itu serta dengan upaya preventif lebih lanjut kecelakaan dapat dicegah dan kecelakaan serupa tidak berulang kembali (Suma mur, 2009). World Health Organization (WHO) mendefinisikan kecelakaan sebagai suatu kejadian yang tidak dapat dipersiapkan penanggulangan sebelumnya sehingga menghasilkan cedera yang riil. Kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak diduga semula yang dapat menimbulkan korban jiwa dan harta benda (Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor: 03/Men/1998). Menurut (OHSAS 18001, 1999) dalam Shariff (2007), kecelakaan kerja adalah suatu kejadian tiba-tiba yang tidak diinginkan yang mengakibatkan kematian, luka-luka, kerusakan harta benda atau kerugian waktu. Berdasarkan UU No. 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja, kecelakaan kerja adalah suatu kejadian yang tidak diduga semula dan tidak dikehendaki, yang mengacaukan proses yang telah diatur dari suatu aktivitas dan dapat menimbulkan kerugian baik korban manusia maupun harta benda. Sedangkan menurut UU No. 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, kecelakaan kerja adalah

kecelakaan yang terjadi dalam pekerjaan sejak berangkat dari rumah menuju tempat kerja dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui. 2.1.2 Teori Kecelakaan Kerja Teori kecelakaan kerja adalah suatu kejadian tiba-tiba yang tidak diinginkan yang mengakibatkan kematian, luka-luka, kerusakan harta milik atau kerugian waktu. Salah satu teori yang berkembang untuk menjelaskan terjadinya kecelakaan kerja yang diusulkan oleh H.W. Heinrich yang dikenal sebagai teori Domino Heinrich. Dalam teori tersebut dijelaskan bahwa kecelakaan terdiri atas lima faktor yang saling berhubungan, yaitu : (1) kondisi kerja, (2) kelalaian manusia, (3) tindakan tidak aman, (4) kecelakaan, dan (5) cedera. Kelima faktor ini tersusun seperti kartu domino yang diberdirikan. Jika satu kartu jatuh, maka kartu ini akan menimpa kartu lain hingga kelimanya akan roboh secara bersama. Ilustrasi ini mirip dengan efek domino, jika satu bangunan roboh, kejadian ini akan memicu peristiwa beruntun yang menyebabkan robohnya bangunan lain. Menurut Heinrich, kunci untuk mencegah kecelakaan adalah dengan menghilangkan tindakan tidak aman yang merupakan poin ketiga dari lima faktor penyebab kecelakaan yang menyumbang 98% terhadap penyebab kecelakaan. Jika dianalogikan dengan kartu domino, maka jika kartu nomor 3 tidak ada lagi, seandainya kartu nomor 1 dan 2 jatuh maka tidak akan menyebabkan jatuhnya semua kartu. Dengan adanya jarak antara kartu kedua dengan kartu keempat, maka ketika kartu kedua terjatuh tidak akan sampai menimpa kartu nomor 4. Akhirnya kecelakaan pada poin 4 dan cedera pada poin 5 dapat dicegah.

Teori Frank E. Bird Petersen mendefinisikan kecelakaan sebagai suatu kejadian yang tidak dikehendaki, dapat mengakibatkan kerugian jiwa serta kerusakan harta benda dan biasanya terjadi sebagai akibat dari adanya kontak dengan sumber energi yang melebihi ambang batas atau struktur. Teori ini memodifikasi teori Domino Heinrich dengan mengemukakan teori manajemen yang berisikan lima faktor dalam urutan suatu kecelakaan, antara lain : a. Manajemen kurang control b. Sumber penyebab utama c. Gejala penyebab langsung d. Kontak peristiwa e. Kerugian gangguan (tubuh maupun harta benda) 2.1.3 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Kecelakaan Kerja Kecelakaan kerja yang terjadi menurut Suma mur (2009) disebabkan oleh dua faktor, yaitu : 1. Faktor manusia itu sendiri yang merupakan penyebab kecelakaan meliputi aturan kerja, kemampuan pekerja (usia, masa kerja/pengalaman, kurangnya kecakapan dan lambatnya mengambil keputusan), disiplin kerja, perbuatan-perbuatan yang mendatangkan kecelakaan, ketidakcocokan fisik dan mental. Kesalahan-kesalahan yang disebabkan oleh pekerja dan karena sikap yang tidak wajar seperti terlalu berani, sembrono, tidak mengindahkan instruksi, kelalaian, melamun, tidak mau bekerja sama, dan kurang sabar. Kekurangan kecakapan untuk mengerjakan sesuatu karena tidak mendapat pelajaran mengenai pekerjaan. Kurang sehat fisik dan mental seperti adanya cacat, kelelahan dan penyakit. Diperkirakan 85% dari

kecelakaan kerja yang terjadi disebabkan oleh faktor manusia. Hal ini dikarenakan pekerja itu sendiri (manusia) yang tidak memenuhi keselamatan seperti lengah, ceroboh, mengantuk, lelah dan sebagainya. 2. Faktor mekanik dan lingkungan, letak mesin, tidak dilengkapi dengan alat pelindung, alat pelindung tidak pakai, alat-alat kerja yang telah rusak. Faktor mekanis dan lingkungan dapat pula dikelompokkan menurut keperluan dengan suatu maksud tertentu. Misalnya di perusahaan penyebab kecelakaan dapat disusun menurut kelompok pengolahan bahan, mesin penggerak dab pengangkat, terjatuh di lantai dan tertimpa benda jatuh, pemakaian alat atau perkakas yang dipegang dengan manual (tangan), menginjak atau terbentur barang, luka bakar oleh benda pijar dan transportasi. Kira-kira sepertiga dari kecelakaan yang menyebabkan kematian dikarenakan terjatuh, baik dari tempat yang tinggi maupun di tempat datar. Lingkungan kerja berpengaruh besar terhadap moral pekerja. Faktor-faktor keadaan lingkungan kerja yang penting dalam kecelakaan kerja terdiri dari pemeliharaan rumah tangga (house keeping), kesalahan disini terletak pada rencana tempat kerja, cara menyimpan bahan baku dan alat kerja tidak pada tempatnya, lantai yang kotor dan licin. Ventilasi yang tidak sempurna sehingga ruangan kerja terdapat debu, keadaan lembab yang tinggi sehingga orang merasa tidak enak kerja. Pencahayaan yang tidak sempurna misalnya ruangan gelap, terdapat kesilauan dan tidak ada pencahayaan setempat.

2.1.4 Klasifikasi Kecelakaan Kerja Menurut Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) tahun 1962 dalam Suma mur (1987), klasifikasi kecelakaan kerja sebagai berikut : 1. Berdasarkan jenis pekerjaan a) Terjatuh b) Tertimpa benda jatuh c) Tertumbuk atau terkena benda-benda d) Terjepit oleh benda e) Gerakan-gerakan melebihi kemampuan f) Pengaruh suhu tinggi g) Terkena arus listrik h) Kontak bahan berbahaya atau radiasi 2. Berdasarkan penyebab a) Mesin, misalnya mesin pembangkit tenaga listrik, mesin penggergajian kayu, dan sebagainya. b) Alat angkut dan angkat, misalnya mesin angkat dan peralatannya, alat angkut darat, udara dan air c) Peralatan lain misalnya dapur pembakar dan pemanas, instalasi pendingin, alat-alat listrik, bejana bertekanan, tangga, scaffolding dan sebagainya. d) Bahan-bahan, zat-zat dan radiasi, misalnya bahan peledak, debu, gas, zat-zat kimia, dan sebagainya. e) Lingkungan kerja (diluar bangunan, didalam bangunan dan dibawah tanah).

3. Berdasarkan sifat luka atau kelainan a) Patah tulang b) Dislokasi (keseleo) c) Regang otot d) Memar dan luka dalam yang lain e) Amputasi f) Luka di permukaan g) Gegar dan remuk h) Luka bakar i) Keracunan-keracunan mendadak j) Pengaruh radiasi 4. Berdasarkan letak kelainan atau luka di tubuh a) Kepala b) Leher c) Badan d) Anggota atas e) Anggota bawah f) Banyak tempat g) Letak lain yang tidak dapat dimasukan klasifikasi tersebut

2.1.5 Kerugian Oleh Karena Kecelakaan Korban kecelakaan kerja mengeluh dan menderita, sedangkan sesama pekerja ikut bersedih dan berduka cita. Kecelakaan seringkali disertai terjadinya luka, kelainan tubuh, cacat bahkan juga kematian. Gangguan terhadap pekerja demikian adalah suatu kerugian besar bagi pekerja dan juga keluarganya serta perusahaan tempat ia bekerja. Tiap kecelakaan merupakan suatu kerugian yang antara lain tergambar dari pengeluaran dan besarnya biaya kecelakaan. Biaya yang dikeluarkan akibat terjadinya kecelakaan seringkali sangat besar, padahal biaya tersebut bukan semata-mata beban suatu perusahaan melainkan juga beban masyarakat dan negara secara keseluruhan. Biaya ini dapat dibagi menjadi biaya langsung meliputi biaya atas P3K, pengobatan, perawatan, biaya angkutan, upah selama tidak mampu bekerja, kompensasi cacat, biaya atas kerusakan bahan, perlengkapan, peralatan, mesin dan biaya tersembunyi meliputi segala sesuatu yang tidak terlihat pada waktu dan beberapa waktu pasca kecelakaan terjadi, seperti berhentinya operasi perusahaan oleh karena pekerja lainnya menolong korban, biaya yang harus diperhitungkan untuk mengganti orang yang ditimpa kecelakaan dan sedang sakit serta berada dalam perawatan dengan orang baru yang belum biasa bekerja pada pekerjaan di tempat terjadinya kecelakaan (Suma mur, 2009) 2.1.6 Pencegahan Kecelakaan Kerja Pencegahan kecelakaan berdasarkan pengetahuan tentang penyebab kecelakaan. Sebab-sebab kecelakaan pada suatu perusahaan diketahui dengan mengadakan analisis setiap kecelakaan yang terjadi. Metode analisis penyebab

kecelakaan harus benar-benar diketahui dan diterapkan sebagaimana mestinya. Selain analisis mengenai penyebab terjadinya suatu peristiwa kecelakaan, untuk pencegahan kecelakaan kerja sangat penting artinya dilakukan identifikasi bahaya yang terdapat dan mungkin menimbulkan insiden kecelakaan di perusahaan serta mengases besarnya risiko bahaya. Pencegahan kecelakaan kerja menurut Suma mur (2009) ditujukan kepada lingkungan, mesin, peralatan kerja, perlengkapan kerja dan terutama faktor manusia. 1. Lingkungan Syarat lingkungan kerja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu : a. Memenuhi syarat aman, meliputi higiene umum, sanitasi, ventilasi udara, pencahayaan dan penerangan di tempat kerja dan pengaturan suhu udara ruang kerja b. Memenuhi syarat keselamatan, meliputi kondisi gedung dan tempat kerja yang dapat menjamin keselamatan c. Memenuhi penyelenggaraan ketatarumahtanggaan, meliputi pengaturan penyimpanan barang, penempatan dan pemasangan mesin, penggunaan tempat dan ruangan 2. Mesin dan peralatan kerja Mesin dan peralatan kerja harus didasarkan pada perencanaan yang baik dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku. Perencanaan yang baik terlihat dari baiknya pagar atau tutup pengaman pada bagian-bagian mesin atau perkakas yang bergerak, antara lain bagian yang berputar. Bila pagar atau tutup pengaman telah terpasang, harus diketahui dengan pasti efektif tidaknya pagar atau tutup

pengaman tersebut yang dilihat dari bentuk dan ukurannya yang sesuai terhadap mesin atau alat serta perkakas yang terhadapnya keselamatan pekerja dilindungi. 3. Perlengkapan kerja Alat pelindung diri merupakan perlengkapan kerja yang harus terpenuhi bagi pekerja. Alat pelindung diri berupa pakaian kerja, kacamata, sarung tangan, yang kesemuanya harus cocok ukurannya sehingga menimbulkan kenyamanan dalam penggunaannya. 4. Faktor manusia Pencegahan kecelakaan terhadap faktor manusia meliputi peraturan kerja, mempertimbangkan batas kemampuan dan ketrampilan pekerja, meniadakan halhal yang mengurangi konsentrasi kerja, menegakkan disiplin kerja, menghindari perbuatan yang mendatangkan kecelakaan serta menghilangkan adanya ketidakcocokan fisik dan mental. 2.2 Industri Konstruksi Bentuk perlindungan terhadap tenaga kerja telah diatur pemerintah dalam UU No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-undang ini mencakup berbagai hal dalam perlindungan pekerja meliputi upah, kesejahteraan, jaminan sosial tenaga kerja dan termasuk juga masalah keselamatan dan kesehatan kerja. Tidak hanya itu, pemerintah juga mengatur peraturan bagi pekerja di bidang konstruksi, yang diatur melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-01/MEN/1980 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan.

Sebagai tindak lanjut dikeluarkannya Peraturan Menakertrans tersebut, pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Tenaga Kerja No.Kep.174/MEN/1986-104/KPTS/1986: Pedoman Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Tempat Kegiatan Konstruksi. Pedoman yang selanjutnya disingkat sebagai pedoman K3 konstruksi ini merupakan pedoman yang dapat dianggap sebagai standar K3 untuk konstruksi di Indonesia. Aspek K3 untuk bidang konstruksi juga diterapkan di Amerika Serikat melalui Occupational Safety and Health Administration (OSHA, 1926), dengan dikeluarkan pedoman K3 termasuk untuk bidang konstruksi. Pedoman ini bertujuan agar tercapainya keselamatan dan kesehatan kerja, bukan hanya sekedar sebagai aturan, tetapi juga disempurnakan secara terus menerus dan mengakomodasikan masukanmasukan dari pengalaman pelaku konstruksi di lapangan sehingga akan menumbuhkan kesadaran untuk mengikuti peraturan agar tercapainya keselamatan dan kesehatan kerja. Dalam prosedur keselamatan kerja konstruksi ada beberapa jenis izin kerja yang harus dipatuhi dan dibuat oleh para pekerja sebelum memulai pekerjaannya, antara lain : a. Izin kerja bekerja di ketinggian atau working at height permit. Izin ini dibutuhkan oleh pekerja-pekerja scaffolding yang lebih banyak bekerja di ketinggian. b. Izin kerja pada tempat terbatas atau confine space permit. Izin ini dibutuhkan untuk semua pekerja yang bekerja berada di tempat terbatas, maksudnya

bukan hanya sempit, dalam atau bertekanan tinggi, tetapi juga minim ventilasi dan asupan oksigen. c. Izin kerja panas atau hot work permit. Izin ini diperlukan untuk semua pekerja yang melakukan pekerjaan mengelas, menggerinda, memotong atau menghaluskan material logam dengan peralatan listrik. d. Izin kerja aman atau safe work permit. Izin ini merupakan inti dari semua izin kerja yang telah disebutkan sebelumnya. Karena izin kerja aman harus tetap ada bersamaan izin kerja lain yang dibutuhkan (Ahira, 2012). Dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER- 01/MEN/1980 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja pada Konstruksi Bangunan dijelaskan bahwa pada setiap pekerjaan konstruksi bangunan harus diusahakan pencegahan atau dikurangi terjadinya kecelakaan atau sakit akibat kerja terhadap tenaga kerjanya. Disetiap tempat kerja harus dilengkapi dengan sarana untuk keperluan keluar masuk dengan aman. Tempat-tempat kerja, tangga-tangga, loronglorong dan gang-gang tempat orang bekerja atau sering dilalui harus dilengkapi dengan penerangan yang cukup sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Semua tempat kerja juga harus mempunyai ventilasi yang cukup sehingga dapat mengurangi bahaya debu, uap dan bahaya lainnya. 2.3 Scaffolding 2.3.1 Pengertian Scaffolding Scaffolding adalah bangunan peralatan (platform) yang dibuat untuk sementara dan digunakan sebagai penyangga tenaga kerja, bahan-bahan serta alat-alat pada setiap pekerjaan konstruksi bangunan termasuk pekerjaan pemeliharaan dan

pembongkaran. Scaffolding yang sesuai dan aman harus disediakan untuk semua pekerjaan yang tidak dapat dilakukan dengan aman oleh seseorang yang berdiri di atas konstruksi yang kuat dan permanen, kecuali apabila pekerjaan tersebut dapat dilakukan dengan aman dan mempergunakan tenaga. Scaffolding harus diberi lantai papan yang kuat dan rapat sehingga dapat menahan dengan aman tenaga kerja, peralatan dan bahan yang dipergunakan. Lantai scaffolding harus diberi pagar pengaman, apabila tingginya lebih dari 2 meter. (Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. PER-01/MEN/1980) Scaffolding dibuat apabila pekerjaan bangunan gedung sudah mencapai ketinggian 2 meter dan dan tidak dapat dijangkau oleh pekerja. Scaffolding harus dibuatkan untuk semua pekerjaan yang tidak dapat dijamin keamanannya bila dikerjakan pada ketinggian yang melebihi 2 meter dengan menggunakan scaffolding yang memenuhi standar. 2.3.2 Jenis dan Fungsi Scaffolding Scaffolding digunakan dengan tujuan sebagai tempat untuk bekerja yang aman bagi pekerja konstruksi sehingga keselamatan kerja terjamin dan sebagai pelindung bagi pekerja yang lain seperti pekerja yang berada di bawah agar terlindung dari jatuhnya bahan atau alat. Berdasarkan fungsinya, konstruksi scaffolding menurut Frick dan Setiawan (2012) dapat dibagi atas : 1. Konstruksi scaffolding kerja panggung Terbuat dari bambu atau kasau (4x6 atau 5x7 cm) sebagai kerangka scaffolding. Di bagian atasnya diberi lantai papan (kayu atau bambu) untuk tukang dan bahan

bangunan. Scaffolding jenis ini dapat dipindah-pindah dengan mudah karena biasanya ukuran scaffolding tersebut tidak besar. 2. Konstruksi scaffolding pengaman Scaffolding jenis ini berfungsi sebagai pengaman tukang dan buruh yang bekerja pada ketinggian lebih dari 5 m diatas permukaan tanah, atau sebagai panggung pengaman bagi orang yang harus lewat dekat tempat bangunan, misalnya jika tempat bangunan terletak pada sisi jalan raya dan sebagainya, sehingga mereka aman terhadap debu dan bahan bangunan atau alat-alat yang jatuh. 3. Konstruksi scaffolding penyangga tegak dan mendatar Scaffolding ini ditujukan untuk menahan bagian gedung yang harus dipertahankan pada waktu membongkar sebagian atau mengadakan perbaikan terhadapnya sehingga tidak akan runtuh. Secara umum scaffolding dapat dibagi atas : A. Scaffolding andang Scaffolding andang digunakan pada pekerjaan yang tingginya 2,5-3 m. apabila pekerjaan lebih tinggi maka scaffolding andang tidak dapat digunakan lagi. Scaffolding andang dibagi menjadi beberapa jenis, yaitu : 1) Scaffolding andang kayu Scaffolding andang kayu dapat dipindah-pindahkan dan dapat dibuat dengan cepat. Untuk tinggi scaffolding tidak dapat disetel. Scaffolding ini biasanya digunakan untuk pekerjaan pada ketinggian yang tidak lebih dari 3 m, sedangkan untuk pekerjaan pada ketinggian lebih dari 3 m digunakan scaffolding tiang.

Gambar 2.1 Scaffolding andang kayu 2) Scaffolding andang bambu Scaffolding andang bambu dapat dipindah-pindah dan sebagai pengikatnya memakai tali ijuk, karena tali ijuk ini tahan terhadap air, panas. Perancang andang bambu ini sudah disetel terlebih dahulu, sehingga panjang dan tingginya tidak dapat disetel. Biasanya scaffolding andang bambu dapat dipakai pada ketinggian pekerjaan tidak lebih dari 3 meter, mengenai kaki andang bambu ada yang pakai 2 atau 3 pasang. Gambar 2.2 Scaffolding andang bambu 3) Scaffolding besi Scaffolding besi sangat praktis dan efisien karena pemasangannya mudah dan dapat dipindah-pindahkan. Tinggi scaffolding besi dapat disetel untuk jarak kaki scaffolding yang satu dengan yang lain 180 cm dengan tebal papan 3 cm. Gambar 2.3 Scaffolding besi

B. Scaffolding tiang Scaffolding tiang digunakan apabila pekerjaan sudah mencapai diatas 3 m. Scaffolding tiang dapat dibuat lebih dari 10 m tergantung kebutuhan. Scaffolding tiang dapat dibagi atas : 1) Scaffolding tiang dari bambu Pada umumnya scaffolding bambu banyak dipakai oleh pekerja di lapangan, baik pada bangunan bertingkat maupun tidak, dikarenakan : a. Bambu mudah didapat, kuat, dan murah b. Pemasangan scaffolding bambu mudah c. Mudah dibongkar dan dapat dipasang kembali tanpa merusak bambu d. Bahan pengikatnya pakai tali ijuk Gambar 2.4 Scaffolding tiang dari bambu 2) Sistem Scaffolding Bambu dengan Konsol dari Besi Sistem scaffolding bambu dengan konsol besi hanya ditahan oleh satu tiang bambu saja, berbeda dengan scaffolding yang ditahan oleh beberapa tiang. Keuntungan dari sistem scaffolding bambu dengan konsol besi adalah : a. Tidak terlalu banyak bambu yang dibutuhkan b. Cara pemasangannya lebih cepat daripada scaffolding bambu c. Lebih praktis dan menghemat tempat

d. Pemasangan konsol dapat dipindah dari tingkat 1 ketingkat diatasnya e. Untuk tiang bambu tidak perlu dipotong Gambar 2.5 Sistem scaffolding bambu dengan konsol dari besi 3) Scaffolding Tiang Besi atau Pipa Pada scaffolding tiang dari besi atau pipa memakai kopling sebagai alat penyambung, untuk penyetelannya lebih cepat dibandingkan scaffolding tiang bambu. Gambar 2.6 Scaffolding Tiang Besi atau Pipa C. Scaffolding besi beroda Scaffolding besi beroda ini terbuat dari pipa galvanis. Pada scaffolding besi beroda dapat dipasang di lapangan atau di dalam ruangan. Fungsi rodanya adalah untuk memindahkan scaffolding. Pada scaffolding besi beroda sedikit lain dari scaffolding yang ada, karena disini bagian-bagian dari tiangnya sudah berbentuk kuzen, sehingga penyetelan/pemasangannya lebih mudah dan praktis.

D. Scaffolding besi tanpa roda Gambar 2.7 Scaffolding besi beroda Gambar 2.8 Scaffolding besi tanpa roda (1) Kaki pipa berulir, (2) kusen bangunan, (3) penguat vertikal, (4) tiang sandaran, (5) sambungan pasak, (6) papan panggung, (7) panggung datar, (8) papan pengaman, (9) tiang sandaran, (10) penutup sandaran, (11) konsol penyambung, (12) penopang, (13) konsol keluar, (14) tiang sandaran tangga, (15) pinggiran tangga, (16) anak tangga, (17) sandaran tangga, (18) sandaran dobel. E. Scaffolding menggantung Pada scaffolding menggantung digunakan pada pekerjaan pemasangan eternit, pekerjaan finishing pengecatan eternit, plat beton, dan sebagainya. Jadi scaffolding menggantung digunakan pada pekerjaan bagian atas saja dan pelaksanaannya scaffolding digantungkan pada bagian atas bangunan seperti pada dengan memakai tali atau rantai besi.

Gambar 2.9 Scaffolding menggantung Jenis scaffolding sangat beragam, namun yang paling sering digunakan adalah jenis scaffolding bingkai dan pipa. Standar internasional untuk scaffolding adalah jenis scaffolding pipa, sedangkan di Indonesia scaffolding yang paling sering digunakan adalah scaffolding bingkai (frame scaffolding). Gambar 2.10 Scaffolding bingkai Komponen scaffolding bingkai terdiri dari : a) Bingkai utama (main frame) Main frame merupakan salah satu bagian vital dari sebuah scaffolding yang berfungsi sebagai pembentuk dan penyangga utama dari bentuk konstruksi sebuah scaffolding. Apabila dilihat secara visual kondisi main frame sudah bengkok dan berkarat yang dapat mengakibatkan berkurangnya daya kekuatan dari sebuah scaffolding. Untuk scaffolding dasar, bagian bawah main frame dipasangi jack base dan bagian atasnya dipasangi joint pin (untuk membuat tingkat scaffolding selanjutnya).

Gambar 2.11 Ukuran main frame b) Ladder frame Ladder frame adalah bingkai yang digunakan pada susunan puncak dari scaffolding. Ladder frame terpasang hanya pada kedua sisi dari scaffolding yang berfungsi sebagai pembatas pada pekerja yang melakukan aktivitas bekerja diatas scaffolding. Sering kali yang pekerja lakukan adalah memasang platform pada ladder frame, hal tersebut sangat keliru dan secara tidak sadar pekerja tersebut membahayakan dirinya sendiri. Gambar 2.12 Ukuran ladder frame c) Cross brace Cross brace adalah palang yang berfungsi untuk mempersatukan sepasang main frame sehingga didapatkan konstruksi scaffolding yang kuat. Gambar 2.13 Cross brace

d) Arm lock Arm lock adalah pengunci/penguat dari 2 susunan atau lebih scaffolding agar susunan scaffolding tidak mudah goyang. Arm lock dipasang antara susunan main frame satu ke susunan main frame yang berada diatasnya, lebih tepatnya terpasang pada konektor pada cross brace. Gambar 2.14 Arm lock (a) dan arm lock yang terpasang pada scaffolding (b) e) Jack base Jack base adalah alat yang berfungsi sebagai alas kaki dari scaffolding, konstruksinya berulir sehingga dapat menyesuaikan dengan jarak dari lantai. Gambar 2.15 Jack base f) Joint pin Joint pin adalah sebuah alat yang digunakan untuk menyambung scaffolding satu dengan scaffolding lainnya secara vertikal sehingga memungkinkan untuk dibuat menjadi lebih dari 1 tingkatan scaffolding. Diameter atas dan bawah joint pin dibuat lebih kecil dari diameter lubang dari main frame, namun pada bagian tengah joint pin diameternya sama dengan diameter lubang main frame.

Gambar 2.16 Joint pin g) U-Head Jack U-Head Jack adalah alat yang pada umumnya dipasang pada bagian atas scaffolding yang berfungsi menyanggah konstruksi diatasnya. Bentuk yang seperti huruf U memungkinkan untuk mengapit bagian konstruksi diatasnya yang juga sebagai penahan dari scaffolding agar tidak mudah goyah. Alat ini tidak efektif digunakan pada konstruksi bagian atas yang rata. Gambar 2.17 U-Head Jack h) Platform Platform (papan scaffolding) adalah alat yang diletakkan pada susunan scaffolding yang diinginkan yang akan digunakan pekerja sebagai penopang pijakan dalam melakukan pekerjaan. Platform harus kuat (terbuat dari logam) menopang badan pekerja dan peralatan yang mungkin digunakan.

Gambar 2.18 Platform i) Stair Stair (tangga) adalah alat yang berfungsi sebagai akses pekerja untuk dapat menuju susunan scaffolding yang dikehendaki. Keberadaan stair (tangga) ini sangat penting, seringkali pekerja menaiki scaffolding dengan memanjat sambungan besi horizontal pada main frame padahal itu bukanlah berfungsi sebagai tangga. Perlu diperhatikan juga, apabila dipasangi stair (tangga) juga harus dipasang handrail, untuk pegangan tangan saat menaiki tangga. Gambar 2.19 Stair j) Horizontal Frame Horizontal frame adalah bingkai besi yang membujur berfungsi sebagai penguat susunan scaffolding. Apabila scaffolding lebih dari 1 susunan, maka harus memakai horizontal frame pada kedua sisi scaffolding. Gambar 2.20 Horizontal frame (a) dan pada penggunaannya (b)

Peralatan tambahan (Attachments) 1. Pipa support Pipa support ini biasanya digunakan pada saat pembongkaran bekisting. Gambar 2.21 Pipa support 2. Swivel Clamp Swivel clamp adalah penjepit yang berbentuk lingkaran dan dapat diputar 360 o, biasanya digunakan untuk menjepit pipa besi untuk membuat hand rail pada stair (tangga). Gambar 2.22 Swivel clamp Scaffolding dapat disusun dengan dua cara, yaitu : A. Pararel Construction Susunan scaffolding pararel dengan peralatan yang dibagi menjadi yaitu untuk stair (tangga) dan platform. Hal tersebut dapat mengantisipasi apabila terjadi

pertemuan antara 2 orang yang lajunya berlawanan. Susunan scaffolding pararel adalah susunan yang paling sering digunakan. Gambar 2.23 Pararel Construction B. Staggered Construction Susunan scaffolding staggered construction hanya menggunakan 1 jalur yaitu hanya dipakai stair (tangga) saja. Keuntungannya dapat menghemat platform, namun kekurangannya tidak dapat mengantisipasi apabila terjadi pertemuan antara 2 orang yang lajunya berlawanan dan harus menggunakan jenis stair (tangga) yang sedikit dimodifikasi dengan penambahan plat besi di ujung tangga. Selain itu juga konstruksi scaffolding akan mudah goyah apabila dinaiki pekerja. Gambar 2.24 Staggered construction

Seringkali kondisi scaffolding yang sudah berkarat, bengkok dan secara visual sudah tidak layak masih sering digunakan padahal hal tersebut dapat mempengaruhi daya kekuatan dari scaffolding tersebut. Selain itu pijakan scaffolding yang kurang sejajar (tinggi sebelah) dapat menyebabkan susunan dari scaffolding yang tidak sejajar, sehingga rentan untuk roboh. Hal yang diperhatikan juga adalah besi horizontal pendek pada sisi kanan dan kiri main frame bukan berfungsi sebagai tangga, namun banyak juga pekerja yang menaiki scaffolding melalui bagian tersebut. Padahal besi horizontal pendek tersebut berfungsi sebagai penguat main frame. Apabila bagian tersebut dipijaki maka besar kemungkinan untuk besi patah dan kaki terperosok sehingga dapat mencederai pekerja. Gambar 2.25 Pijakan scaffolding yang salah. Menaiki scaffolding dapat dilakukan dengan memasang tangga (stair) yang sesuai standar dan selalu memasang handrail pada tangga tersebut. Handrail biasanya adalah dari pipa besi yang terpasang dengan menggunakan swivel clamp. Cat walk atau platform yang digunakan sesuai standar yang selayaknya, bukan menggunakan platform yang terbuat dari kayu triplek atau sejenisnya. Untuk pijakan scaffolding yang menggunakan roda, apabila saat digunakan pekerja seharusnya keempat roda dikunci agar tidak bergeser saat diatasnya ada pekerja. Akan lebih baik lagi apabila keempat roda dikunci dan menggunakan penyangga pada keempat sisi scaffolding, seperti terlihat pada gambar di bawah ini (Khoizin, 2012) :

Gambar 2.26 Scaffolding yang menggunakan roda 2.4 Risiko Kecelakaan Kerja pada Proyek Konstruksi Kecelakaan kerja di sektor konstruksi merupakan penyumbang angka kecelakaan kerja terbesar pada beberapa tahun terakhir ini di samping kecelakaan kerja di sektor lainnya. Pekerjaan-pekerjaan yang paling berbahaya adalah pekerjaan yang dilakukan pada ketinggian dan pekerjaan galian. Pada kedua jenis pekerjaan ini kecelakaan kerja yang terjadi cenderung serius bahkan sering kali mengakibatkan cacat tetap dan kematian. Jatuh dari ketinggian adalah risiko yang sangat besar dapat terjadi pada pekerja yang melaksanakan kegiatan konstruksi pada elevasi tinggi. Biasanya kejadian ini akan mengakibat kecelakaan yang fatal. Sementara risiko tersebut kurang dihayati oleh para pelaku konstruksi, dengan sering kali mengabaikan penggunaan peralatan pelindung (personal fall arrest system) yang sebenarnya telah diatur dalam pedoman K3 konstruksi. Berdasarkan hasil evaluasi atas kejadian-kejadian kecelakaan kerja selama ini dapat disimpulkan beberapa faktor penyebab terjadi kecelakaan baik yang telah menimbulkan korban jiwa maupun luka-luka meliputi terjadinya kegagalan konstruksi yang antara lain disebabkan tidak dilibatkannya ahli teknik konstruksi, penggunaan metode pelaksanaan yang kurang tepat, lemahnya pengawasan pelaksanaan konstruksi di lapangan, belum sepenuhnya melaksanakan ketentuan-

ketentuan atau peraturan-peraturan yang menyangkut K3 yang telah ada, lemahnya pengawasan penyelenggaraan K3, kurang memadainya baik dalam kualitas dan kuantitas ketersediaan peralatan pelindung diri dan kurang disiplinnya para tenaga kerja didalam mematuhi ketentuan mengenai K3 yang antara lain pemakaian alat pelindung diri kecelakaan kerja. Dengan masih tingginya angka kecelakaan kerja pada tempat kegiatan konstruksi serta adanya tuntutan global dalam perlindungan tenaga kerja,diperlukan upaya-upaya kedepan untuk mewujudkan tecapainya zero accident di tempat kegiatan konstruksi. Zero accident adalah suatu kondisi dimana kecelakaan kerja pada suatu perusahaan atau industri tidak terjadi kecelakaan kerja (angka kecelakaan kerja nol). Oleh karena itu diperlukan peran dari semua pihak agar dapat mewujudkan zero accident tersebut (Wiryanto, 2012) 2.5 Penilaian Risiko Kecelakaan Kerja Risiko merupakan probability atau kemungkinan ataupun kecenderungan untuk terjadinya kecelakaan maupun kematian (Sanders, 1993). Risiko juga dikatakan sebagai ukuran dari kemungkinan atau kecenderungan dan dampak yang dapat diakibatkan oleh bahaya-bahaya yang terdapat dari kegiatan maupun kondisi tertentu. (Brauer, 1990). Sedangkan menurut Cross, risiko adalah likelihood (kemungkinan) bahwa sakit dan cedera karena suatu bahaya akan terjadi pada individu tertentu atau kelompok individu yang terpajan. Ukuran dari risiko tergantung pada seberapa mungkin (how likely) hazard tersebut kontak dengan pekerja dan kekuatannya (magnitude). Definisi lain dari risiko adalah probabilitas/kemungkinan dari suatu efek

buruk tertentu untuk terjadi (the probability of a specific adverse effect to occur) (Holmberg, et al.) dalam Health Psychology in Action. Berdasarkan berbagai definisi risiko yang telah dijelaskan dapat disimpulkan bahwa risiko merupakan ukuran kemungkinan (probability) dengan besarnya dampak (qonsequence) dari suatu keadaan yang dapat menimbulkan kecelakaan. Untuk dapat mengenali risiko terlebih dahulu harus diperoleh pemahaman mengenai what is at risk. Teknik yang dapat digunakan untuk mengenali risiko adalah dengan mengumpulkan dan menelaah dokumen-dokumen organisasi 1) Mereview struktur dan bagan organisasi 2) Melakukan wawancara dengan pihak terkait a. Ruang Lingkup Penilaian risiko dapat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan identifikasi risiko. Identifikasi risiko adalah tahapan yang sangat kritikal dalam proses penilaian risiko yaitu merekam semua risiko baik yang sudah maupun belum dikendalikan melalui pengendalian inten. Proses yang dilakukan dalam tahap identifikasi risiko adalah: 1) Menginventarisasi data kejadian/peristiwa komprehensif yang mempengaruhi organisasi 2) Menentukan sumber-sumber risiko, antara lain hubungan bisnis dan hukum, lingkungan ekonomi, perilaku manusia, kejadian alam, lingkungan politik, isu teknologi, aktivitas manajemen dan aktivitas individu.

3) Menentukan area yang terkena pengaruh risiko, antara lain aset dan sumber daya, pendapatan, biaya, pegawai, masyarakat, kinerja, waktu dan jadual aktivitas, lingkungan. 4) Menentukan penyebab dan skenario risiko. 2.6 Kerangka Konsep Gambar 2.27 Kerangka Konsep Penelitian