BAB I PENDAHULUAN. Masyarakat Buton dalam kehidupannya terikat kuat oleh tradisi lisan.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Bagian ini akan menguraikan tentang latar belakang, rumusan masalah

BAB I PENDAHULUAN. didik, sehingga menghasilkan peserta didik yang pintar tetapi tidak

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003 pasal I mengamanahkan bahwa tujuan

BAB I PENDAHULUAN. adalah generasi penerus yang menentukan nasib bangsa di masa depan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan pendidikan nasional dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kemajuan suatu bangsa dipengaruhi oleh akhlak bangsa tersebut.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan ditujukan untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. (aspek keterampilan motorik). Hal ini sejalan dengan UU No.20 tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. Karakter merupakan hal sangat esensial dalam berbangsa dan

I. PENDAHULUAN. karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan wahana mengubah kepribadian dan pengembangan diri. Oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Upaya mewujudkan pendidikan karakter di Indonesia yang telah

BAB I PENDAHULUAN. Bab Pendahuluan Ini Memuat : A. Latar Belakang, B. Fokus Penelitian,C. Rumusan

BAB I PENDAHULUAN. cinta kasih, dan penghargaan terhadap masing-masing anggotanya. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan sebuah negara. Untuk menyukseskan program-program

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sekolah merupakan suatu lembaga pendidikan formal yang mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. secara sadar dengan tujuan untuk menyampaikan ide, pesan, maksud,

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan di berbagai bidang pendidikan. Pendidikan sangat penting bagi

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm Depdikbud, UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta :

BAB I PENDAHULUAN. secara terus-menerus. Hal ini disebabkan karena pada dasarnya manusia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pembelajaran di sekolah baik formal maupun informal. Hal itu dapat dilihat dari

BAB I PENDAHULUAN. kewibawaan guru di mata peserta didik, pola hidup konsumtif, dan sebagainya

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pembangunan nasional. Menurut Samani dan Harianto (2011:1) paling tidak ada

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang berperan penting bagi pembangunan suatu bangsa, untuk itu diperlukan suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. telah berupaya meningkatkan mutu pendidikan. Peningkatan pendidikan diharapkan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan karakter merupakan salah satu upaya kebijakan dari pemerintah

BAB I PENDAHULUAN. hidup (life skill atau life competency) yang sesuai dengan lingkungan kehidupan. dan kebutuhan peserta didik (Mulyasa, 2013:5).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan mutlak yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Penurunan moral dalam diri masyarakat terlihat semakin nyata akhirakhir

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2013 NOMOR 23 SERI E

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Budi Utomo, 2014

BAB I PENDAHULUAN. hingga sekarang. Folklor termasuk dalam suatu kebudayaan turun-temurun yang

BAB I PENDAHULUAN. Di era Orde Baru perlu diketahui bahwa pendidikan karakter oleh pemerintah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Asep Rohiman Lesmana, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia sebagaimana tertuang dalam. Undang Undang No 2/1989 Sistem Pendidikan Nasional dengan tegas

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menjadi orang yang bermanfaat bagi bangsa dan negara. Setiap manusia harus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting dan menentukan bagi

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dalam konteks kebangsaan, pendidikan berperan untuk menyiapkan

BAB 1 PENDAHULUAN. keduanya. Sastra tumbuh dan berkembang karena eksistensi manusia dan sastra

BAB I PENDAHULUAN. Pembinaan moral bagi siswa sangat penting untuk menunjang kreativitas. siswa dalam mengemban pendidikan di sekolah dan menumbuhkan

BAB I PENDAHULUAN. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. sekaligus sebagai ujung tombak berdirinya nilai-nilai atau norma. mengembangkan akal manusia, mengingat fungsi pendidikan yaitu

BAB I PENDAHULUAN. peran orang tua sebagai generasi penerus kehidupan. Mereka adalah calon

BAB I PENDAHULUAN. Problem kemerosotan moral akhir-akhir ini menjangkit pada sebagian

BAB I PENDAHULUAN. serta bertanggung jawab. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. pengawasan orang tua terhadap kehidupan sosial anak, kondisi lingkungan anak

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan karakter dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Di samping

PENDIDIKAN KEPRAMUKAAN SEBAGAI PEMBENTUKKAN KARAKTER SISWA KELAS V SDN NGLETH 1 KOTA KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. potensi dirinya melalui proses pembelajaran ataupun dengan cara lain yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan hal yang utama untuk membentuk karakter siswa yang

BAB I PENDAHULUAN. pribadi dalam menciptakan budaya sekolah yang penuh makna. Undangundang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

A. Latar Belakang BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan hak bagi semua warga Negara Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. BP. Dharma Bhakti, 2003), hlm. 6. 2

I. PENDAHULUAN. Tujuan pendidikan nasional yang dirumuskan dalam Undang-undang nomor 20 tahun

I. PENDAHULUAN. memadai sebagai pendukung utama dalam pembangunan. Untuk memenuhi. penting. Hal ini sesuai dengan UU No 20 Tahun 2003 Tentang Sistem

BAB I PENDAHULUAN. anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

NILAI-NILAI SIKAP TOLERAN YANG TERKANDUNG DALAM BUKU TEMATIK KELAS 1 SD Eka Wahyu Hidayati

BAB I PENDAHULUAN. yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Hal ini dikarenakan melalui sektor pendidikan dapat dibentuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

KURIKULUM Kompetensi Dasar. Mata Pelajaran PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN. Untuk KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. dijelaskan secara jelas pada uraian berikutnya.

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pembentukan manusia sempurna melalui pendidikan, di dalam pendidikan berlaku

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan pada hakikatnya adalah untuk membantu peserta didik agar

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pendidikan mempunyai peran penting pada kehidupan saat ini, apabila

BAB I PENDAHULUAN. lawan jenis, menikmati hiburan di tempat-tempat spesial dan narkoba menjadi

BAB I PENDAHULUAN. Pada bab I ini, akan memaparkan beberapa sub judul yang akan digunakan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Dalam Acara ORIENSTASI STUDI DAN PENGENALAN KAMPUS BAGI MAHASISWA BARU TAHUN AKADEMIK 2016/2017. Drs. Suprijatna

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pendidikan merupakan kunci utama dalam terlaksananya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. dengan memudarnya sikap saling menghormati, tanggung jawab,

I. PENDAHULUAN. yang hidup di dalam masyarakat (Esten, 2013: 2). Sastra berkaitan

BAB I PENDAHULUAN. merubah dirinya menjadi individu yang lebih baik. Pendidikan berperan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan

PELATIHAN PENGEMBANGAN SILABUS DAN RPP MATA PELAJARAN IPS TERINTEGRASI PENDIDIKAN KARAKTER PADA GURU IPS SMP DI MGMP SLEMAN

BAB I PENDAHULUAN. produk dengan kualitas-kualitas yang lebih baik. Untuk memenuhi. sumberdaya manusia tersebut, pendidikan memiliki peran yang sangat

BAB I PENDAHULUAN. Kehidupan menyimpan nilai-nilai pendidikan karakter yang begitu kaya. Begitu

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Suatu proses pendidikan tidak lepas dari Kegiatan Belajar Mengajar

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. keluarga maupun masyarakat dalam suatu bangsa. Pendidikan bisa. dikatakan gagal dan menuai kecaman jika manusia - manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bangsa, oleh karena itu setiap individu yang terlibat dalam

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan, manusia dapat menemukan hal-hal baru yang dapat dikembangkan dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. didik. Tujuan yang diharapkan dalam pendidikan tertuang dalam Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan Pembukaan UUD 1945 dilatarbelakangi oleh realita permasalahan kebangsaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan merupakan kegiatan yang dilakukan dengan. sengaja agar peserta didik memiliki pengetahuan, sikap dan

BAB I PENDAHULUAN. Dunia saat ini dilanda era informasi dan globalisasi, dimana pengaruh dari

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat Buton dalam kehidupannya terikat kuat oleh tradisi lisan. Tradisi lisan tersebut berupa tuturan yang memberi ciri khas terhadap individu atau kelompok penuturnya. Salah satu bentuk tradisi lisan yang memberi ciri khas terhadap penuturnya adalah sastra lisan. Sastra lisan masyarakat Buton yang ditemukan di antaranya cerita, kisah, nasihat, petuah, hukum adat, ungkapan, peribahasa yang tumbuh dan berkembang secara lisan yang disampaikan dari orang tua ke anak, dari nenek ke cucu, paman ke kemenakan, dan hubungan sosial di lingkungannya. Sehubungan dengan pengungkapan kisah atau cerita lisan ini, Junus (1993:2) berpendapat bahwa cerita ialah perjalanan peristiwa yang dialami seseorang, ada yang memulakan dan mengakhiri dan ada yang menyebabkan terjadinya. Salah satu sastra lisan masyarakat Buton adalah cerita Wandiudiu. Cerita Wandiudiu merupakan salah satu sastra lisan masyarakat Buton, yang disampaikan melalui cerita yang selalu menyajikan kisah-kisah pembelajaran tentang kehidupan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wellek dan Warren (1993:109) bahwa sastra menyajikan kehidupan dan kehidupan sebagian besar merupakan kenyataan sosial. Wandiudiu diceritakan dengan bahasa daerah Buton yang penuh kiasan dan sarat dengan sindiran yang mengatakan kebenaran berupa petuah atau nasihat. Dalam cerita Wandiudiu, juga diungkap mengenai pendidikan baik

2 langsung maupun tidak langsung yang berhubungan dengan sikap, tingkah laku, pola pikir, dan moral masyarakat. Persoalan pendidikan moral atau budi pekerti (dalam ajaran Islam lebih dikenal sebagai akhlak) sampai saat ini masih menjadi fokus pembicaraan yang menarik untuk dikaji. Dalam kehidupan berbangsa di negara kita ini masih dihadapkan pada berbagai permasalahan moral, begitu pula dengan masyarakat Buton. Masyarakat Buton mengalami masalah dengan moral. Hal ini dapat dilihat dari masih tingginya kasus tindakan kekerasan, yang terjadi diantara para pelajar, antarmahasiswa, antarmasyarakat, dalam keluarga, maupun yang dilakukan oleh preman, bahkan oleh oknum penguasa. Tindak kriminalitas lainnya pun terjadi, seperti perampokan, disertai pemerkosaan dan pembunuhan, serta dekadensi moral, etika, sopan santun yang dilakukan oleh para pelajar. Dekadensi moral para pelajar dapat dilihat dengan meningkatnya ketidakjujuran pelajar, seperti, menyontek, suka membolos, suka mengambil barang milik orang lain. Di samping itu, berkurangnya rasa hormat terhadap orang tua, guru, dan figur yang seharusnya dihormati. Fakta lain adalah adanya gelombang perilaku yang merusak diri sendiri, seperti perilaku seks bebas, penyalahgunaan narkoba, dan perilaku bunuh diri. Di samping itu, sikap saling menghormati dan rasa kasih sayang di antara manusia semakin luntur dan semakin meningkatnya sifat kejam dan bengis terhadap sesama. Hal lainnya adalah korupsi, kolusi dan nepotisme serta berbagai persoalan lainnya yang mengarah pada terjadinya dekadensi moral bangsa semakin banyak terjadi.

3 Trend meningkatnya kekerasan dan kriminalitas tidak hanya pada aspek kuantitasnya, tetapi juga pada aspek kualitasnya. Hal ini terlihat dari jumlah angka kriminalitas dan peristiwa kekerasan yang semakin bertambah intensitasnya dari tahun ke tahun dengan berbagai modus operandi yang semakin kompleks dan canggih. Tidak hanya itu saja, subjek dan objek kekerasan juga semakin ekstensif, tidak hanya terbatas pada orang dewasa, tetapi juga mengorbankan anak-anak. Media massa memberitakan peristiwa-peristiwa pembunuhan, perkosaan, pelecehan seksual, pemukulan terhadap teman sejawat, bahkan tindakan bunuh diri menjadi fenomena yang cukup mengkhawatirkan bagi dunia anak-anak. Realitas di atas menyentak kesadaran bersama sebagai bangsa Indonesia yang memiliki kekayaan nilai, baik yang bersifat tradisional, maupun religius. Hal itu sebenarnya mampu dijadikan pedoman secara struktural dan kultural yang dapat mencegah munculnya perilaku-perilaku menyimpang tersebut. Namun, realitas yang terjadi justru sebaliknya, yaitu nilai-nilai moralitas yang ada ternyata belum memiliki efektivitas yang maksimal dan mampu mencegah timbulnya tindakan-tindakan menyimpang yang kini justru telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara das sein (realitas) dengan das sollen (idealitas). Berbagai argumentasi muncul terkait dengan adanya gap yang tajam antara idealitas dengan realitas. Misalnya, sistem pendidikan yang belum efektif menginternalisasikan nilai-nilai dalam kesadaran anak didik, pendidikan dalam keluarga yang kurang maksimal, sistem dakwah yang belum menyentuh kesadaran masyarakat, media yang tidak memihak kepentingan masyarakat, dan

4 sebagainya. Beberapa alasan tersebut perlu dikaji secara lebih mendalam sehingga diketahui faktor-faktor yang memberikan kontribusi munculnya peristiwa kekerasan dalam masyarakat dan keluarga. Semua pihak berharap pembangunan nasional dapat menciptakan jati diri bangsa yang disiplin, jujur, beretos kerja tinggi, dan berakhlak mulia, tetapi kenyataannya belum dapat diwujudkan bahkan cenderung menurun. Orang mulai menyadari pentingnya moral dan karakter bangsa yang berbudi pekerti luhur. Namun, dalam kurikulum pendidikan nasional, pendidikan budi pekerti secara spesifik belum menjadi mata pelajaran tunggal yang mandiri, tetapi secara eksplisif merupakan bagian integral dari pendidikan agama dan kewarganegaraan dan inklusif pada mata pelajaran sastra Indonesia. Tabel 1.1 Alokasi Waktu Pendidikan Agama dan Kewarganegaraa pada KTSP di Sekolah-Sekolah di Sulawesi Tenggara Jenis Mata Pelajaran Alokasi Waktu (Jam Pelajaran/JP) SD/MI SMP/MTs SMA/SMK/MA Pendikan Agama 3 JP 2 JP 2 JP Pendidikan Kewarganegaraan 2 JP 2 JP 2 JP Sumber: Pengolahan Data Lapangan Tujuan pendidikan nasional yang terkandung dalam Undang-undang No. 20, Tahun 2003 Pasal 3 adalah sebagai berikut: Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab Sehubungan dengan itu melalui pendidikan budi pekerti yang terintegrasi dalam pendidikan agama, sastra Indonesia dan kewarganegaraan, pendidik dapat

5 berkreasi menggunakan bahan ajar dari nilai-nilai luhur berupa kearifan lokal yang terdapat dalam cerita rakyat (folklore) baik lisan maupun tulisan. Namun demikian harapan dan cita-cita dari undang-undang ini belum tercapai. Ada tiga asumsi yang menyebabkan gagalnya pendidikan moral/budi pekerti ke dalam sikap dan perilaku siswa. Pertama, adanya anggapan bahwa persoalan pendidikan moral adalah persoalan klasik yang penanganannya adalah tanggung jawab guru saja. Kedua, rendahnya pengetahuan dan kemampuan guru dalam mengembangkan dan mengintegrasikan aspek-aspek moral/budi pekerti ke dalam setiap mata pelajaran yang diajarkan. Ketiga, proses pembelajaran mata pelajaran yang berorientasi pada akhlak dan moralitas serta pendidikan agama cenderung bersifat transfer of knowledge dan kurang diberikan dalam bentuk latihan-latihan pengalaman untuk menjadi corak kehidupan sehari-hari. Akhir-akhir ini banyak pihak mulai mengintensifkan tentang perlunya pendidikan moral, watak atau budi pekerti diajarkan di sekolah-sekolah. Kurikulum pada saat ini menempatkan pendidikan budi pekerti sebagai pendidikan yang terintegrasi dengan mata pelajaran lain dalam pembelajaran. Namun, sebagaimana dinyatakan dalam asumsi kegagalan pendidikan budi pekerti terdahulu bahwa pengintegrasian suatu muatan pembelajaran ternyata bukan pekerjaan mudah bagi sebagian guru. Oleh karena itu, diperlukan strategi tertentu agar pembelajaran pendidikan budi pekerti berjalan secara efektif. Cerita Wandiudiu yang telah melekat pada masyarakat Buton diasumsikan sampai dapat digunakan sebagai bagian dari sarana pembelajaran pendidikan budi pekerti, sekaligus sebagai solusi dari banyaknya tindakan kekerasan yang masih

6 terus berkembang. Dalam cerita Wandiudiu terungkap budi pekerti diajarkan dan diterapkan, akibat dari tidak adanya budi pekerti yang baik, kasih sayang, dan hal lainnya. Secara ringkas cerita Wandiudiu menceritakan tentang seorang perempuan malang yang rela menerima siksa dari lelaki pilihannya sendiri. Kasih sayang yang besar pada anak-anaknya menyebabkan ia rela diperlakukan kasar oleh lelaki yang seharusnya mengasihinya. Wandiudiu tidak tega melihat anaknya menjadi sasaran perlakuan kasar dari suaminya. Wandiudiu selalu melindungi anak-anaknya dalam rengkuh dekap pelukannya dari pukulan dan tendangan yang tidak lain adalah ayah mereka. Wandiudiu perempuan sabar bernasib tragis yang diikat takdir dalam kemiskinan yang memiriskan hati, dalam derita berbungkus cinta yang perih dari lelaki pembual. Sejatinya, persoalan pendidikan tidak hanya dapat diselesaikan dengan mengedepankan pembelajaran yang didapat oleh anak didik di sekolah, tetapi seharusnya bisa diselesaikan oleh keluarga dan masyarakat dengan mengambil pelajaran berupa amanat cerita Wandiudiu. Dalam hal ini Widja (2012:10) menyatakan bahwa pendidikan adalah proses pendidikan dari segi budaya hakikatnya sama saja dengan menempatkan posisi pendidikan sebagai bagian dari jaringan praktik kehidupan sosial budaya yang kompleks dari satu masyarakat. Hal ini berarti bahwa proses pendidikan tidak hanya harus dibatasi pada praktikpraktik pembelajaran di sekolah, tetapi merupakan konstruksi dari budaya setempat. Berdasarkan pemaparan di atas maka peneliti akan mengungkapkan praktik pemaknaan terhadap cerita Wandiudiu. Hasil pemaknaan cerita tersebut

7 dapat menjadi sarana pendidikan dan pembelajaran budi pekerti. Hal ini dimaksudkan agar siswa yang akan terjun ke masyarakat memiliki moral yang baik. 1.2 Rumusan Masalah Masalah yang dibahas di dalam penelitian terhadap cerita Wandiudiu ini adalah sebagai berikut. 1) Bagaimanakah bentuk wacana otoritarian ayah pada anak yang dijabarkan dalam cerita Wandiudiu. 2) Bagaimanakah fungsi wacana otoritarian ayah pada anak dalam cerita Wandiudiu bagi masyarakat Buton? 3) Apakah makna wacana otoritarian ayah pada anak dalam cerita Wandiudiu dalam masyarakat Buton? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengkaji, dan memahami, dan mendeskripsikan bentuk, fungsi, dan makna wacana otoritarian ayah pada anak dalam cerita Wandiudiu pada masyarakat Buton Sulawesi Tenggara. Selain itu penelitian ini mendalami kaitan berbagai latar belakang sosial dan budaya yang telah tumbuh dalam kehidupan sehari-hari di Buton dengan teks dan wacana otoritarian ayah terhadap anak.

8 1.3.2 Tujuan Khusus Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka secara khusus penelitian ini bertujuan sebagai berikut. 1) Untuk mengetahui bentuk wacana otoritarian ayah pada anak dalam cerita Wandiudiu pada masyarakat Buton 2) Untuk mengetahui fungsi wacana otoritarian ayah pada anak dalam cerita Wandiudiu pada masyarakat Buton. 3) Untuk menginterpretasi makna wacana otoritarian ayah pada anak dalam cerita Wandiudiu pada masyarakat Buton. 1.4 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini dibedakan atas dua, yakni manfaat teoretis dan manfaat praktis. Manfaat tersebut diuraikan sebagai berikut. 1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu pengetahuan, terutama yang berkaitan dengan kebudayaan masyarakat lokal Buton. Selain itu, hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai pengembangan wawasan keilmuan karya sastra, khususnya dalam pengkajian wacana sastra yang ada di Nusantara yang kini mulai terlupakan oleh masyarakat. 1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai berikut. 1) Pemerintah, khususnya pemerintah daerah dapat menentukan dan menetapkan kebijakan yang tepat dalam upaya pelestarian budaya-budaya lokal yang

9 dimiliki masyarakat yang memiliki arti penting dalam kehidupan masyarakat Buton pada khususnya. 2) Pihak-pihak yang peduli dengan pelestarian budaya-budaya lokal terutama yang berkaitan dengan cerita Wandiudiu oleh masyarakat yang semakin punah. 3) Penelitian khusus tentang kebudayaan masyarakat Buton atau yang mengkaji kearifan lokal secara umum. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi, menambah pengetahuan, pemahaman dan kesadaran tentang arti penting menggali dan memaknai cerita Wandiudiu sebagai bagian dari masa lalu.