BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang

JURNAL REALISASI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN (LPSK) DALAM MEMBERIKAN PERLINDUNGAN TERHADAP SAKSI DAN KORBAN DI DAERAH

BAB III PENUTUP A. KESIMPULAN. Hak-hak korban pelanggaran HAM berat memang sudah diatur dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Adanya ketidakseimbangan antara perlindungan terhadap. korban kejahatan dengan perlindungan terhadap pelaku, merupakan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PIMPINAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN REPUBLLIK INDONESIA,

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan menyimpang yang ada dalam kehidupan masyarakat. maraknya peredaran narkotika di Indonesia.

JURNAL IMPLEMENTASI HAK KORBAN UNTUK MENDAPATKAN RESTITUSI MENURUT UNDANG UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

MAKALAH. Pengadilan HAM dan Hak Korban Pelanggaran Berat HAM. Oleh: Eko Riyadi, S.H., M.H.

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. sosial yang khususnya berkaitan dengan hukum, moralitas serta ketidakadilan.

Dengan Persetujuan Bersama. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA dan PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:

Aktivitas Perlindungan Saksi Dan Korban Dalam Lingkup Kerja Lpsk. Disusun Oleh: Kombes Pol (Purn). basuki Haryono, S.H., M.H.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PADA RAPAT PARIPURNA DPR-RI TANGGAL 18 JULI 2006

Program Pascasarjana Ilmu Hukum FAKULTAS HUKUM Universitas Brawijaya

Presiden, DPR, dan BPK.

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian

BAB I PENDAHULUAN. Hak Asasi merupakan isu pesat berkembang pada akhir abad ke-20 dan pada permulaan

2018, No terhadap korban tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, terorisme, perdagangan orang, penyiksaan, kekerasan seksual, da

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 44 TAHUN 2008 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2018 TENTANG PEMBERIAN KOMPENSASI, RESTITUSI, DAN BANTUAN KEPADA SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hukum berkembang mengikuti perubahan zaman dan kebutuhan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 27 TAHUN 2004 TENTANG KOMISI KEBENARAN DAN REKONSILIASI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAMPINGAN SAKSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

2017, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang d

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. peraturan-peraturan tentang pelanggaran (overtredingen), kejahatan

SKRIPSI UPAYA POLRI DALAM MENJAMIN KESELAMATAN SAKSI MENURUT UNDANG-UNDANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN INISIATIF DPR RI

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 43 TAHUN 2017 TENTANG PELAKSANAAN RESTITUSI BAGI ANAK YANG MENJADI KORBAN TINDAK PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian:

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan

Rabu, 24 September 2014

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : KEP 558 /A/J.A/ 12/ 2003 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 2014 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 5 TAHUN 2010 TENTANG TUGAS DAN FUNGSI LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BAB I PENDAHULUAN. buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. mengadakan wawancara terhadap responden yang telah ditentukan oleh penulis,

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

PERATURAN LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG PENYELESAIAN PELANGGARAN KODE ETIK DAN PELANGGARAN DISIPLIN BERAT

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2002 TENTANG

LATAR BELAKANG MASALAH

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan nasional Indonesia bertujuan mewujudkan manusia

BAB I PENDAHULUAN. maraknya penggunaan media elektronik mulai dari penggunaan handphone

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

BAB III PENUTUP. sebagai jawaban dari permasalahan dalam penulisan hukum ini yakni bahwa:

BAB I PENDAHULUAN. terbendung lagi, maka ancaman dahsyat semakin mendekat 1. Peredaran

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN. ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

BAB I PENDAHULUAN. kepentingan dan hak asasi yang menderita. 1 Korban kejahatan yang pada

BAB III LEMBAGA PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN MENURUT UNDANG-UNDANG RI NO 13 TAHUN 2006

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Indonesia adalah negara berdasarkan UUD 1945 sebagai konstitusi

Lex Crimen Vol. IV/No. 1/Jan-Mar/2015. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK KORBAN TERORISME 1 Oleh: Wahyudi Iswanto 2

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 2002 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. hidup, tumbuh dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

BAB I PENDAHULUAN. diperbincangkan dan dilansir media massa di seluruh dunia saat ini. Definisi terorisme

BAB II PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP SAKSI DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA

BAB I PENDAHULUAN. oleh manusia dan tidak pula diberikan oleh Undang-undang. HAM sudah melekat

MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK INDONESIA RISALAH SIDANG PERKARA NOMOR 75/PUU-XIII/2015

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembicaraan tentang anak dan perlindungan tidak akan pernah

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Berbicara hukum, menyebabkan kita akan dihadapkan dengan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pergaulan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) pasal 27 butir 1 menentukan: segala warga negara bersamaan kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Meskipun ada ketentuan yang demikian itu di dalam UUD 1945, di dalam kenyataan masih ada penerapan yang tidak sama antara orang yang satu dengan yang lain Sehubungan dengan persamaan setiap orang di mata hukum dalam kenyataan masih banyak menimbulkan permasalahan karena tidak terwujudnya rasa keadilan orang yang satu dengan orang yang lain. Praktik penegakan hukum dalam kenyataannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip tersebut, sehingga diperlukan upaya penegakan hukum yang adil bagi semua orang. Pada umumnya tindak pidana yang terjadi menimbulkan korban, pelaku tindak pidana memerlukan orang lain untuk dijadikan korban perbuatannya. Dapat dikatakan korban mempunyai peran fungsional dalam terjadinya tindak pidana. Tindak pidana (kejahatan) dapat terjadi karena ada pihak yang berperan, sadar atau tidak sadar, dikehendaki atau tidak oleh korban. 1 Lahirnya Undang Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, memberikan harapan baru bagi 1 G. Widiartana, 2009, Viktimologi Perspektif Korban Dalam Penanggulangan Kejahatan, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm. 26 1

2 korban yang dalam sistem peradilan pidana tidak pernah diuntungkan dalam segi apapun, bahwa salah satu alat bukti yang sah dalam proses peradilan pidana adalah keterangan Saksi dan/atau Korban yang mendengar, melihat, atau mengalami sendiri terjadinya suatu tindak pidana. Kenyataan menunjukkan bahwa berperannya korban sebagai saksi tersebut menambah derita yang dialami secara psikologis. Dengan lahirnya Undang Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban lahir pula lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK),yaitu adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban.Berdasarkan UU Kewenangan yang diberikan pada lembaga perlindungan saksi dan korban adalah sebagai berikut : 1. LPSK merupakan lembaga mandiri, berkedudukan di ibu kota negara RI dan dapat mempunyai perwakilan-perwakilan di daerah sesuai keperluan. 2. LPSK bertanggung jawab menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban, LPSK bertanggung jawab kepada Presiden, LPSK membuat laporan secara berkala tentang pelaksanaan tugasnya kepada DPR paling sedikit 1 tahun. 3. Keanggotaan terdiri dari 7 (tujuh) yang berasal dari unsur profesional yang mempunyai pengalaman di bidang hukum, HAM, akademisi dan sebagainya, masa jabatan anggota LPSK 5 tahun, anggota LPSK di angkat oleh presiden dengan persetujuan DPR, dan dapat diajukan kembali satu

3 kali masa jabatan berikutnya. LPSK terdiri dari Pimpinan ( Ketua dan Wakil Ketua merangkap anggota) dan anggota. 4. Sekretariat, yang membantu LPSK dalam pelaksanaan tugasnya. Kewenangan yang besar perlu diimbangi dengan kinerja lembaga perlindungan saksi dan korban serta SDM.Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban merupakan satu langkah positif dalam upaya perlindungan saksi dan korban, yang selama ini pengaturannya masih bersifat sektoral. Adanya upaya untuk mengatur secara khusus dalam satu undang-undang boleh dikatakan sebagai langkah maju dalam rangka perlindungan terhadap korban, dan itu sesuai dengan amanat yang telah diletakkan dalam pembukaan UUD 1945: melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Pengatruan HAM dalam UUD 1945 tersebut sesuai pula dengan kesepakatan masyarakat internasional sebagaimana tercermin dalam The united Nation Declaration of Basic Principles of justice for Victims of Crime and abuse of Power 2 Pasal 11 Undang Undang Nomor 13 tahun 2006, tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan LPSK dapat membuka cabang jika diperlukan, kenyataannya korban akibat kejahatan di daerah begitu banyak dan mereka mempunyai hak untuk diberikan perlindungan tanpa terkecuali oleh LPSK tersebut, sesuai dengan asas equality before the law. 2 Abdul Wahid dan Muhamad Irfan,2011,Perlindungan Terhadap korban kekerasan seksual,cetakan kedua, PT.Refika Aditama, Bandung,hlm.25

4 Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, penulis melakukan penelitian untuk penulisan hukum/skripsi dengan judul realisasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Dalam memberikan Perlindungan terhadap Korban dan saksi di Daerah B. Rumusan Masalah Bertolak dari latar belakang masalah sebagaimana diuraikan di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana upaya LPSK dalam memberikan Perlindungan bagi korban dan saksi di daerah? 2. Apa kendala yang dihadapi LPSK dalam memberikan Perlindungan bagi korban dan saksi di daerah? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang diangkat penulis, maka tujuan penelitian hukum / skripsi ini adalah : 1. Untuk memperoleh data dan mengkaji cara korban yang ada di daerah mendapatkan perlindungan dari LPSK 2. Untuk mengetahui dan mengkaji kendala-kendala apa saja yang dialami LPSK dalam Memberikan perlindungan terhadap Korban di Daerah D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Bagi perkembangan ilmu pengetahuan, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran terhadap korban yang ada di Daerah

5 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para penegak hukum Negara Republik Indonesia yaitu polri, kejaksaan, hakim dan terlebih khusus bagi lembaga perlindungan saksi dan korban, dalam hal permintaan perlindungan bagi korban yang ada di daerah. E. Keaslian Penelitian Penelitian dengan judul Realisasi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) dalam memberikan perlindungan terhadap saksi dan korban Di Daerah merupakan asli hasil karya penulis sendiri dan bukan merupakan plagiasi dan atau duplikasi dari hasil karya penelitian penulis lain. Apabila hasil penelitian ini dikemudian hari terdapat hal hal yang dicurigai melanggar hukum, maka penulis akan mempertanggungjawabkan hal tersebut di hadapan hukum. Sebagai perbandingan, penulis mengajukan 3 (tiga) hasil penelitian/penulisan hukum terdahulu, yaitu sebagai berikut : 1. Andrianto Widi Baskoro, NPM 07 0509672, Universitas Atma Jaya Yogyakarta,dengan judul Perlindungan Hukum Terhadap Korban Pelanggaran Ham Berat Melalui Kompensasi Berdasarkan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dengan rincian sebagai berikut : a. Rumusan Masalah : Mengapa pengaturan tentang kompensasi terhadap korban pelanggaran HAM berat dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak dapat di implementasikan?

6 b. Tujuan penelitian Untuk mengetahui kendala-kendala dalam mengimplementasikan tentang kompensasi terhadap korban pelanggaran HAM berat dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. c. Hasil Penelitian 1) Kendala yuridis Pengaturan kompensasi dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban tidak sesuai dengan prinsip prinsip dasar dan pedoman hak atas pemulihan untuk korban pelanggaran hukum HAM internasional dan hukum humaniter dan deklarasi prisip prinsip dasar keadilan bagi korban kejahatan dan penyalahgunaan kekuasaan. Ketentuan dalam Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban masih menggantungkan adanya kesalahan dari terdakwa, artinya korban pelanggaran HAM berat akan mendapatkan kompensasi apabila terdakwa dinyatakan bersalah oleh pengadilan demikian pula sebaliknya, apbila terdakwa tidak dinyatakan bersalah oleh pengadilan, gugur pula hak korban pelanggaran HAM berat untuk mendapatkan kompensasi. 2) Belum efektifnya Lembaga KOMNAS HAM dalam melakukan penyilidikan terhadap kasus kasus pelanggaran HAM berat yang

7 terjadi di Indonesia berkaitan dengan rekomendasi yang diberikan KOMNAS HAM sebagai salah satu syarat para korban pelanggaran HAM berat mengajukan kompensasi ke pengadilan HAM melalui LPSK, menyebabkan kasus kasus pelanggaran HAM berat tidak dapat diajukan ke Pengadilan HAM, sehingga menutup kemungkinan korban pelanggaran HAM berat mendapatkan kompensasi. 3) Prosedur pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc untuk mengadili kasus kasus pelanggaran HAM yang terjadi pada masa lalu harus mendapatkan persetujuan dari Presiden Republik Indonesia yang diusulkan oleh DPR, menyebabkan sulitnya membawa pelaku pelanggaran HAM berat pada masa lalu yang notabene pelaku pelanggaran HAM berat tersebut adalah orang orang yang mempunyai kekuasaan pada masa lalu menyebabkan para korban pelanggaran HAM berat pada masa lalu tidak dapat menuntut haknya mendapatkan kompensasi melalui Pengadilan HAM. 2. Maria Kurniawati Lim, NPM 07 05 09601, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Implementasi Hak korban untuk mendapatkan Restitusi Menurut Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban :

8 a. Rumusan masalah : 1) Bagaimana bentuk perlindungan hukum terhadap saksi dalam proses peradilan pidana setelah berlakunya Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban? 2) Kendala apa saja yg dihadapi terkait perlindungan hukum terhadap saksi dalam proses peradilan pidana setelah berlakunya Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban? b. Tujuan Penelitian 1) Untuk mengetahui bentuk Perlindungan hukum terhadap saksi dalam proses peradilan pidana setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban 2) Mengetahui kendala-kendala apa saja yang dihadapi terkait perlindungan hukum terhadap saksi dalam proses pidana setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan saksi dan korban. c. Hasil Penelitian 1) Kendala yuridis Kendala yuridis yakni kendala yang dihadapi berkaitan dengan upaya perlindungan saksi dengan mengacu pada isi ketentuan Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. Kendala yuridis perlindungan saksi yang ditemukan penulis sebagai berikut:

9 a) Hak asasi dalam Undang Undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban masih terbatas diberikan kepada saksi tindak pidana tertentu antara lain : tindak pidana korupsi, tindak pidana narkotika/psikotropika dan tindak pidana terorisme. Jika mencermati ketentuan pasal 5 ayat (2) yang menyatakan bahwa hak saksi pada pasal 5 ayat (1) diberikan kepada saksi tindak pidana dalam kasus kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK dapat disimpulkan bahwa tidak semua saksi bisa mendapatkan perlindungan, Sedangkan dalam ketentuan Pasal 28 Undang Undang No. 13 Tahun 2006, terdapat empat syarat untuk memperoleh perlindungan yang berlaku kumulatif. Keempat syarat ini dalam pelaksanaannya tidak bisa dipisahkan satu sama lain. b) Tidak adanya ketentuan pemberian penterjemah bagi saksi yang menderita cacat seperti buta dan/atau tuli. Pasal 5 ayat (1) huruf d Undang Undang No. 13 Tahun 2006 ini dalam penjelasann menyatakan bahwa hak mendapat penerjemah diberikan kepada saksi yang tidak lancar berbahasa Indonesia untuk memperlancar persidangan. c) Adanya kendala berkaitan dengan kurangnya dana. Hak hak saksi sebagaimana yang tercantum dalam pasal 5 ayat (1) terutama dalam huruf j, k dan m dalam realisasinya tentu

10 membutuhkan biaya yang besar.biaya yang dibutuhkan ini di tanggung oleh Negara.Mengingat dalam pembentukan LPSK sendiri sudah menelan banyak biaya, jika ditambah lagi dengan realisasi hak hak Saksi tentu membutuhkan biaya yang sangat banyak. Oleh karena itu Negara dalam hal ini pemerintah harus mendukung dalam hal dana khusus berkaitan dengan pemenuhan hak hak ini. Kekurangan dana yang dimiliki oleh pemerintah akan menjadi masalah ketika harus ada realisasi pemenuhan hak hak Saksi tersebut. Hal ini akan menjadi masalah lagi ketika bukan saja satu Saksi yang ditangani, melainkan banyaknya jumlah Saksi yang membutuhkan perlindungan. d) Sebelum terbentuknya Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) secara merata di setiap daerah Indonesia. Berdasarkan ketentuan Pasal 11 Undang Undang No.13 Tahun 2006 tentang perlindungan Saksi dan Korban, diatur bahwa LPSK berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik Indonesia dan mempunyai perwakilan di daerah sesuai keperluan. Ketentuan ini secara tidak langsung telah mengisyaratkan bahwa tidak ada kewajiban mendirikan LPSK di setiap daerah. Hal ini akan menyulitkan bagi Saksi yang ingin mengajukan permohonan perlindungan terkait dengan adanya ancaman yang dialaminya. Apabila domisili Saksi berada diluar wilayah jakarta, akan menghambat perolehan perlindungan bagi Saksi dimana akan

11 membutuhkan banyak waktu dan biaya demi memperoleh perlindungan. Justru yang akan terjadi adalah tidak berlakunya Undang Undang ini secara efektif sesuai dengan yang diharapkan. Setiap saksi justru tidak bisa memperoleh perlindungan walaupun mungkin segala ketentuan tentang syarat syarat untuk memperoleh perlindungan dapat dipenuhi. 2) Kendala non Yuridis Kendala non yuridis yakni kendala yang dihadapi berkaitan dengan upaya perlindungan Saksi yang tidak mengacu pada isi ketentuan Undang Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, namun mempengaruhi pelaksanaan upaya perlindungan Saksi. Kendala non Yuridis dalam upaya perlindungan Saksi yakni masih kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai Undang Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Sosialisasi LPSK belum optimal, banyak pihak yang belum tahu apa itu LPSK bahkan UU PSK tidak diketahui ada. Undang Undang Perlindungan Saksi dan Korban ini diundangkan pada bulan Agustus 2006 dan termasuk Undang Undang yang baru dalam kurun waktu 5 Tahun belakangan ini. Masyarakat belum mengetaui dan memahami secara utuh terutama mengenai Undang Undang No. 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terutama tata cara pengajuan permohonan untuk mendapatkan perlindungan Saksi.

12 3. Hendrik Renyaan, NPM080509823 Universitas Atma jaya Yogyakarta, Implementasi Hak Korban untuk mendapatkan Restitusi menurut Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban a. Rumusan masalah: Bagaimanakah Implementasi Hak Korban Untuk Mendapatkan Restitusi Menurut Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban? b. Tujuan Penelitian 1) Untuk mengetahui implementasi hak korban untuk mendapatkan restitusi menurut Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban. 2) Untuk memperoleh data yang berkaitan langsung dengan hak korban untuk mendapatkan restitusi. c. Hasil Penelitian 1) Kendala Yuridis Peraturan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi, Restitusi,dan Bantuan Kepada Saksi Dan Korban tidak mengatur dengan jelas tentang hukum acara apa yang dipakai dalam memberikan fasilitas tersebut, misalnya kekuasaan hakim dalam menunda perkara pokok tetapi membuat persidangan khusus restitusi atau alat apa yang dijadikan hakim untuk meyakini bahwa permohonan restitusi itu layak

13 dikabulkan jika permohonan restitusi itu disampaikan sebelum pembacaan putusan. 2) Kendala non Yuridis Kendala non yuridis yakni kendala yang di hadapi di luar peraturan yang ada dalam Implementasi Hak Korban untuk mendapatkan Restitusi menurut Undang Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban..Kendala lain muncul ketika Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban menggunakan metode penyerahaan permohonan restitusi sebelum pembacaan tuntutan, seperti apa jaksa bisa mengeksekusi putusan restitusi, apakah menjadi satu kesatuan dengan putusan acara pokok atau terpisah. Kendala lain yang dikemukakan beliau datang dari pemohon restitusi itu sendiri, menurut beliau terkadang pemohon restitusi sulit untuk menilai apa yang dibutuhkan pemohon dari restitusi, butuh sejumlah uang atau butuh pengakuan atau hal hal apa yang dibutuhkan, hal tersebut terkandang menjadi kendala karena korban juga sulit untuk mengasumsikan itu F. Batasan Konsep 1. Korban a. Menurut Pasal 1 ayat (2) Undang Undang nomor 13 tahun 2006, Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Korban adalah seseorang yang

14 mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana b. Menurut Arief Gosita korban ialah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. c. Korban secara luas pengertian diartikan bukan hanya sekedar korban yang menderita langsung,akan tetapi korban tidak langsung pun juga mengalami penderitaan yang dapat diklarifikasi sebagai korban. 3 2. Perlindungan Menurut Pasal 1 ayat (6) Undang Undang nomor 13 tahun 2006, Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Perlindungan adalah segala upaya pemenuhan hak dan pemberian bantuan untuk memberikan rasa aman kepada Korban yang wajib dilaksanakan oleh LPSK atau lembaga lainnya sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini. 3. LPSK Menurut pasal 1 ayat (3) Undang-Undang nomor 13 tahun 2006, Tentang Perlindungan saksi dan korban,lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, yang selanjutnya disingkat LPSK, adalah lembaga yang bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada Saksi dan/atau Korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. 3 Rena Yulia,2010,Viktimologi Perlindungan Hukum terhadap korban kejahatan,graha ilmu,yogyakarta,hlm 50-51

15 G. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian. Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, yaitu penelitian yang berfokus pada norma hukum positif 2. Sumber Data. Sumber data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah berupa data sekunder,sebagai data utama, dan data primer sebagai data penunjang. a. Bahan hukum primer 1) Undang Undang Dasar 1945, Pasal 28d butir 1. 2) Undang Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Pasal 1 butir 2, butir 3, dan butir 6, Pasal 11 ayat (2), dan ayat (3) 3) Peraturan Pemerintah Nomor 2 tahun 2002 tentang tata cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia. b. Bahan hukum sekunder Berupa pendapat hukum dari berbagai buku yang berkaitan dengan korban, hukum perlindungan saksi dan korban, dan kamus serta bahan dari internet. 3. Metode pengumpulan data Data dalam penelitian ini dikumpulkan dengan cara :

16 a. Studi kepustakaan dilakukan dengan membaca, mempelajari, dan memahami buku buku, peraturan perundang undangan, pendapat hukum, dan non hukum yang erat kaitannya dengan materi yang diteliti. b. Wawancara adalah suatu bentuk komunikasi verbal.wawancara dalam penelitian ini dilakukan langsung kepada petugas dan atau staf Lembaga Perlindungan Saksi Dan Korban yaitu bapak Samuel Febriyanto, S.I.Kom seorang asisten Unit diseminasi dan Humas Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, untuk memperoleh data langsung berapa banyak korban tindak pidana yang mendapatkan perlindungan. 4. Analisis data Analisis data dilakukan secara kualitatif, yaitu data data yang ada dihubungkan,diperbandingkan dan diuraikan dalam kata kata dan atau kalimat kalimat. Setelah di lakukan analisis kemudian dengan metode berfikir induktif, yaitu pola berfikir yang mendasarkan pada hal hal yang bersifat khusus, kemudian ditarik kesimpulan yang bersifat umum.

17 H. Sistematika Skripsi 1. BAB I PENDAHULUAN Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah,tujuan penelitian, manfaat penelitian, keaslian penelitian, batasan konsep, metode penelitian, dan sistematika skripsi. 2. BAB II PEMBAHASAN Bab ini berisi konsep/variabel pertama Hak Korban Tindak Pidana,konsep/variabel kedua Pentingnya perlindungan bagi Korban Tindak Pidana, dan hasil penelitian. 3. BAB III PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dan saran