BAB I PENDAHULUAN. kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. yang disebabkan infeksi cacing filaria yang ditularkan melalui gigitan

BAB 1 PENDAHULUAN. Filariasis atau yang dikenal juga dengan sebutan elephantiasis atau yang

BAB I PENDAHULUAN. Prioritas pembangunan kesehatan dalam rencana strategis kementerian

BAB 1 : PENDAHULUAN. Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh cacing filaria yang

BAB I PENDAHULUAN. menular (emerging infection diseases) dengan munculnya kembali penyakit menular

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Filariasis (penyakit kaki gajah) adalah penyakit menular yang

BAB I PENDAHULUAN. penyakit yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria yang penularannya melalui

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penyakit Filariasis Limfatik atau penyakit Kaki Gajah merupakan salah

BAB 1 PENDAHULUAN. Deklarasi Milenium yang merupakan kesepakatan para kepala negara dan

BAB 1 PENDAHULUAN. disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk.

BAB 1 PENDAHULUAN. kaki gajah, dan di beberapa daerah menyebutnya untut adalah penyakit yang

Bab I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN.

BAB I PENDAHULUAN. Akibat yang paling fatal bagi penderita yaitu kecacatan permanen yang sangat. mengganggu produktivitas (Widoyono, 2008).

Filariasis cases In Tanta Subdistrict, Tabalong District on 2009 After 5 Years Of Treatment

BAB 4 HASIL PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh nyamuk Mansonia, Anopheles,

BAB I PENDAHULUAN. 1

GAMBARAN PEMBERIAN OBAT MASAL PENCEGAHAN KAKI GAJAH DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS WELAMOSA KECAMATAN WEWARIA KABUPATEN ENDE TAHUN ABSTRAK

ABSTRAK GAMBARAN PENYAKIT FILARIASIS DI KABUPATEN BEKASI, PROVINSI JAWA BARAT PERIODE

FAKTOR DOMINAN YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI KOTA PADANG TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada tahun 2013 jumlah kasus baru filariasis ditemukan sebanyak 24 kasus,

Rencana Nasional Program Akselerasi Eliminasi Filariasis di Indonesia. No ISBN :

KERANGKA ACUAN KERJA ( KAK ) KEGIATAN POMP FILARIASIS PUSKESMAS KAWUA

Gambaran Pengobatan Massal Filariasis ( Studi Di Desa Sababilah Kabupaten Barito Selatan Kalimantan Tengah )

BAB I PENDAHULUAN. menetap dan berjangka lama terbesar kedua di dunia setelah kecacatan mental (WHO,

ABSTRAK. Pembimbing I : Rita Tjokropranoto, dr., M.Sc Pembimbing II : Hartini Tiono, dr.,m. Kes

Proses Penularan Penyakit

DESCRIPTION OF KNOWLEDGE, ATTITUDE AND BEHAVIOR OF THE PEOPLE AT NANJUNG VILLAGE RW 1 MARGAASIH DISTRICT BANDUNG REGENCY WEST JAVA ABOUT FILARIASIS

BAB 1 PENDAHULUAN. agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat

Prevalensi pre_treatment

BAB 1 RANGKUMAN Judul Penelitian yang Diusulkan Penelitian yang akan diusulkan ini berjudul Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah.

PERILAKU MINUM OBAT ANTI FILARIASIS DI KELURAHAN RAWA MAMBOK Anti-filariasis Medicine Drinking Behavior in Rawa Mambok Village

ABSTRAK PREVALENSI FILARIASIS DI KOTA BEKASI PERIODE

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Analisis Spasial Distribusi Kasus Filariasis di Provinsi Nusa Tenggara Timur Tahun

Model Penyebaran Penyakit Kaki Gajah di Kelurahan Jati Sampurna

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Filariasis merupakan penyakit zoonosis menular yang banyak

BAB I PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh plasmodium yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Tujuan pembangunan berkelanjutan 2030/Suistainable Development Goals (SDGs)

Cakupan Pemberian Obat Pencegahan Massal Filariasis di Kabupaten Sumba Barat Daya Tahun

BAB 1 : PENDAHULUAN. Berdarah Dengue (DBD). Jumlah penderita dan luas daerah penyebarannya

BAB I PENDAHULUAN. Infeksi parasit pada saluran cerna dapat disebabkan oleh protozoa usus dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Filariasis limfatik merupakan penyakit tular vektor dengan manifestasi

PENGOBATAN FILARIASIS DI DESA BURU KAGHU KECAMATAN WEWEWA SELATAN KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA

PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU MASYARAKAT KECAMATAN MADANG SUKU III KABUPATEN OKU TIMUR TENTANG FILARIASIS LIMFATIK

FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN TINGKAT KEBERHASILAN PROGRAM PENCEGAHAN DAN PENANGGULANGAN FILARIASIS DI PUSKESMAS SE-KOTA PEKALONGAN TAHUN 2016

Juli Desember Abstract

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 : PENDAHULUAN. yang akan memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial ekonomis.

BAB 1 PENDAHULUAN. dari genus Plasmodium dan mudah dikenali dari gejala meriang (panas dingin

BAB 1 :PENDAHULUAN. masih merupakan masalah kesehatan utama yang banyak ditemukan di. hubungan status gizi dengan frekuensi ISPA (1).

ABSTRAK STUDI KASUS PENENTUAN DAERAH ENDEMIS FILARIASIS DI DESA RANCAKALONG KABUPATEN SUMEDANG JAWA BARAT TAHUN 2008

BAB I PENDAHULUAN. Demam Berdarah Dengue merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. penyakit menular menahun yang disebabkan oleh infeksi cacing filaria dan ditularkan

FAKTO-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN FILARIASIS DI PUSKESMAS TIRTO I KABUPATEN PEKALONGAN

UNIVERSITAS INDONESIA

2017, No Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116,

Rancangan KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

RISIKO KEJADIAN FILARIASIS PADA MASYARAKAT DENGAN AKSES PELAYANAN KESEHATAN YANG SULIT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

Kondisi Filariasis Pasca Pengobatan Massal di Kelurahan Pabean Kecamatan Pekalongan Utara Kota Pekalongan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. oleh virus. Campak disebut juga rubeola, morbili, atau measles. Penyakit ini

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) dalam beberapa tahun terakhir

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. derajat kesehatan masyarakat yang optimal. Upaya perbaikan kesehatan masyarakat

GAMBARAN KARAKTERISTIK PENDERITA FILARIASIS DI DESA SANGGU KABUPATEN BARITO SELATAN KALIMANTAN TENGAH

CAKUPAN PENGOBATAN MASSAL FILARIASIS DI KABUPATEN SUMBA BARAT DAYA TAHUN 2011 FILARIASIS MASS TREATMENT COVERAGE IN DISTRICT SOUTHWEST SUMBA 2011

BAB 1 PENDAHULUAN. (Harijanto, 2014). Menurut World Malaria Report 2015, terdapat 212 juta kasus

BAB I PENDAHULUAN. kemudian dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. Masa tunas dari

BAB I PENDAHULUAN I.1.

Pengumpulan Data Lapangan Tahun 2007

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

SOP POMP FILARIASIS. Diposting pada Oktober 7th 2014 pukul oleh kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Dengue adalah salah satu penyakit infeksi yang. dalam beberapa tahun terakhir ini menjadi masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Tenggara. Terdapat empat jenis virus dengue, masing-masing dapat. DBD, baik ringan maupun fatal ( Depkes, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. di negara berkembang. Badan kesehatan dunia, World Health Organitation

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) selalu merupakan beban

PENCEGAHAN PENYAKIT FILARIASIS OLEH KELUARGA DI DESA RUMPIN KECAMATAN RUMPIN KABUPATEN BOGOR

LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN AKHIR PKPP-2012

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

ANALISIS SITUASI FILARIASIS LIMFATIK DI KELURAHAN SIMBANG KULON, KECAMATAN BUARAN, KABUPATEN PEKALONGAN Tri Wijayanti* ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. distribusinya kosmopolit, jumlahnya lebih dari spesies, stadium larva

TUGAS PERENCANAAN PUSKESMAS UNTUK MENURUNKAN ANGKA KESAKITAN FILARIASIS KELOMPOK 6

BAB 1 PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan adalah upaya yang bertujuan untuk meningkatkan

BAB. I Pendahuluan A. Latar Belakang

3. BAB I. PENDAHULUAN

SAFII, 2015 GAMBARAN KEPATUHAN PASIEN TUBERKULOSIS PARU TERHADAP REGIMEN TERAPEUTIK DI PUSKESMAS PADASUKA KECAMATAN CIBEUNYING KIDUL KOTA BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit kusta merupakan salah satu jenis penyakit menular yang masih

BAB 1 PENDAHULUAN. terbesar baik pada bayi maupun pada anak balita. 2 ISPA sering berada dalam daftar

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan. keluarga dengan melaksanakan pembangunan yang berwawasan kesehatan,

BAB 1 PENDAHULUAN UKDW. kelompok B Arthropod Borne Virus (Arboviroses) dan ditularkan oleh nyamuk

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Indonesia sebagai negara yang beriklim tropis banyak menghadapi masalah kesehatan yang disebabkan oleh berjangkitnya penyakit-penyakit tropis. Salah satu penyakit tropis yang menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia adalah filariasis atau di Indonesia lebih dikenal dengan nama penyakit kaki gajah (elephantiasis) (Departemen Kesehatan RI, 1992). Filariasis adalah penyakit menular menahun yang disebabkan oleh cacing filaria dan ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk. Cacing tersebut hidup di saluran dan kelenjar getah bening dengan manifestasi klinik akut berupa demam berulang, peradangan saluran dan kelenjar getah bening. Pada stadium lanjut dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan, glandula mammae, dan scrotum. Gejala klinis akut dan kronis dari penyakit ini dapat menurunkan derajat kesehatan dan kualitas sumber daya manusia. Kecacatan yang ditimbulkan filariasis dapat menimbulkan stigma sosial bagi penderita dan keluarganya. Secara tidak langsung, filariasis dapat berdampak pada penurunan produktivitas kerja penderita, menjadi beban keluarga, masyarakat, dan menimbulkan kerugian ekonomi yang tidak sedikit bagi negara karena penderita tidak dapat bekerja secara optimal dalam waktu yang lama (Subdit Filariasis & Schistosomiasis Departemen Kesehatan RI, 2006f).

2 Diperkirakan sekitar 1/5 penduduk dunia atau 1,1 milyar penduduk di 83 negara berisiko terinfeksi filariasis. Pada tahun 2004, filariasis telah menginfeksi 120 juta penduduk di 83 negara di seluruh dunia, terutama negara-negara di daerah tropis dan beberapa daerah subtropis (Subdit Filariasis & Schistosomiasis Departemen Kesehatan RI, 2006a). Filariasis merupakan penyakit endemis di Indonesia. Berdasarkan data yang diperoleh dari Subdit Filariasis & Schistosomiasis, hingga Februari 2008 kasus kronis filariasis di Indonesia tercatat sebanyak 11.601 kasus yang tersebar di 385 kabupaten/kota di Indonesia. Diperkirakan kasus asimptomatik filariasis di Indonesia sebanyak 28.500.000 kasus dan 38,5 % kasus asimptomatik filariasis dunia ada di Indonesia. Berdasarkan hasil survei darah jari dan pertimbangan epidemiologi, kabupaten/kota endemis filariasis di Indonesia sudah mencapai 304 kabupaten/kota dari 441 kabupaten/kota yang ada di Indonesia. Tingkat endemisitas filariasis menurut hasil survei darah yang dilakukan di Indonesia pada tahun 1999 masih tinggi dengan rata-rata angka mikrofilaria (Mf rate) sebesar 3,1 % dengan rentang 0,5 19,64 %. Angka ini menunjukkan tingkat penularan filariasis di Indonesia cukup tinggi karena Mf rate yang dapat memutus rantai penularan filariasis adalah <1% (Data Subdit Filariasis & Schistosomiasis Departemen Kesehatan RI, 2008). Berdasarkan informasi dari staf Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, dilaporkan bahwa 10 kabupaten/kota dari 26 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jawa Barat merupakan daerah endemis filariasis. Kabupaten/kota tersebut yaitu Karawang, Tasikmalaya, Kota Bekasi, Bekasi, Subang, Purwakarta, Kota Depok, Bogor, Kota Bogor dan Kuningan. Hingga Februari 2008 kasus filariasis yang ditemukan di Provinsi Jawa Barat sebanyak 390 kasus kronis dan 485 kasus positif

3 mikrofilaria yang tersebar di 24 kabupaten/kota pada 133 kecamatan dan 240 desa/kelurahan. Rentang Mf rate di Provinsi Jawa Barat sebesar 0 % - 5,9 % (Data Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, 2008). Hasil penemuan kasus kronis filariasis yang dilakukan Dinas Kesehatan Kabupaten Subang dari tahun 2000 sampai 2007 ditemukan 24 kasus kronis filariasis yang tersebar di 12 kecamatan, 15 puskesmas dan 21 desa. Berdasarkan hasil survei darah jari yang dilakukan pada tahun 2004 2006 di 12 kecamatan dan 24 desa di Kabupaten Subang didapatkan rentang Mf rate yaitu 0 1,88 %. Dari hasil survei darah jari tersebut ada 6 desa yang memiliki Mf rate di atas 1 %, yaitu Rancahilir (1,87 %), Bongas (1,88 %), Sukamulya (1,08 %), Dawuan Kidul (1,69 %), Jambelaer (1,26 %) dan Curugrendeng (1,79 %). Bila terdapat 4 desa dengan Mf rate 1 % dan diperkuat dengan ditemukannya kasus kronis filariasis di suatu kabupaten/kota maka kabupaten/kota tersebut dinyatakan daerah endemis filariasis, dengan kata lain Kabupaten Subang dinyatakan sebagai daerah endemis filariasis (Data Dinas Kesehatan Kabupaten Subang, 2008). Pada tahun 1997, World Health Assembly menetapkan resolusi Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem, yang kemudian pada tahun 2000 diperkuat dengan keputusan WHO dengan mendeklarasikan The Global Goal of Elimination of Lymphatic Filariasis as a Public Health Problem by the Year 2020. Program pemberantasan filariasis sendiri telah dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1975, terutama di daerah-daerah endemis tinggi. Menteri Kesehatan pada tanggal 8 April 2002, di Desa Mainan, Kecamatan Banyuasin III, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan telah mencanangkan dimulainya eliminasi filariasis global di Indonesia dan menerbitkan surat edaran kepada Gubernur dan

4 Bupati/Walikota di seluruh Indonesia tentang Pelaksanaan Pemetaan Endemisitas Filariasis, Pengobatan Massal Daerah Endemis Filariasis dan Tatalaksana Kasus Klinis Filariasis di Semua Daerah (Surat Edaran Menteri Kesehatan nomor 612/MENKES/VI/2004) (Subdit Filariasis & Schistosomiasis Departemen Kesehatan RI, 2006a). Pengobatan massal filariasis merupakan salah satu pilar program eliminasi filariasis yang bertujuan untuk memutuskan rantai penularan filariasis sehingga terjadi pengurangan drastis mikrofilaria dalam darah tepi dan dengan demikian mengurangi potensi penularan oleh nyamuk (Subdit Filariasis & Schistosomiasis Departemen Kesehatan RI, 2006d). Berdasarkan wawancara dengan staf Subdit Filariasis & Schistosomiasis Departemen Kesehatan RI, diketahui bahwa pengobatan massal filariasis merupakan upaya untuk memutus transmisi penularan filariasis dengan memberikan 3 jenis obat filariasis (DEC, Albendazole, Paracetamol) secara cuma-cuma kepada masyarakat yang tinggal di daerah endemis filariasis. Untuk mendukung program eliminasi filariasis yang dicanangkan Departemen Kesehatan, pada tahun 2005 Kabupaten Subang melaksanakan pengobatan massal filariasis putaran pertama. Hingga penelitian ini dilakukan, pengobatan massal filariasis yang dilakukan Kabupaten Subang sudah sampai pada tahun ke tiga dan akan memasuki tahun ke empat (Data Dinas Kesehatan Kabupaten Subang, 2008). Dalam buku yang disusun Subdit Filariasis & Schistosomiasis, dkk. (2002), untuk mencapai cakupan pengobatan massal filariasis dan kepatuhan minum obat yang tinggi tergantung pada ketersediaan obat, efisiensi sistem distribusi obat, motivasi dari tenaga pelaksana eliminasi filariasis (kader), penyuluhan kepada

5 masyarakat tentang filariasis serta komitmen pejabat-pejabat politik dan pemerintah daerah setempat. Tomar & Kusnanto (2007) dalam penelitiannya mengatakan bahwa ada beberapa hal yang berhubungan dengan perilaku minum dan tidak minum obat filariasis pada masyarakat. Hal tersebut diantaranya kelompok masyarakat yang tidak terjangkau oleh petugas kesehatan, kurangnya informasi yang sampai kepada masyarakat, jauhnya jarak pemukiman masyarakat dari tempat pelaksanaan pengobatan massal, sulitnya petugas kesehatan menjangkau tempat pemukiman masyarakat serta adanya masyarakat yang bepergian keluar daerah. Untuk mengetahui perilaku minum obat filariasis di Kabupaten Subang, Jawa Barat tahun 2007, perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku minum obat filariasis pada kegiatan pengobatan massal filariasis di daerah tersebut. 1.2. Rumusan Masalah Dalam pelaksanaan pengobatan massal filariasis di daerah endemis filariasis, obat filariasis dibagikan secara cuma-cuma kepada masyarakat. Namun demikian masih ada saja masyarakat yang menolak untuk minum obat filariasis. Hal tersebut yang mendasari peneliti melakukan penelitian untuk mencari tahu faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan perilaku minum obat filariasis. Perumusan masalah penelitian ini adalah belum diketahuinya gambaran perilaku minum obat filariasis dalam pengobatan massal filariasis di Kabupaten Subang pada tahun 2007 dan hubungannya dengan beberapa faktor risiko perilaku minum obat tersebut.

6 1.3. Pertanyaan Penelitian 1. Bagaimana distribusi perilaku minum obat filariasis dalam pengobatan massal filariasis tahun 2007 di Kabupaten Subang berdasarkan faktor predisposisi (karakteristik demografi, pengetahuan tentang filariasis), faktor pemungkin (penerimaan obat filariasis, pendistribusian obat filariasis, ketersediaan Tenaga Pelaksana Eliminasi filariasis), faktor penguat (kontrol petugas pemberi obat filariasis), sosialisasi pengobatan massal filariasis (ada/tidaknya sosialisasi pengobatan massal filariasis, jenis sosialisasi pengobatan massal filariasis) dan efek samping obat filariasis? 2. Faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan perilaku minum obat filariasis di Kabupaten Subang, Jawa Barat tahun 2007? 1.4. Tujuan Penelitian 1.4.1. Tujuan Umum Diketahuinya gambaran perilaku minum obat filariasis dalam kegiatan pengobatan massal filariasis di Kabupaten Subang, Jawa Barat tahun 2007 dan beberapa faktor yang berhubungan dengan perilaku minum obat tersebut. 1.4.2. Tujuan Khusus 1. Diketahuinya distribusi perilaku minum obat filariasis dalam pengobatan massal filariasis tahun 2007 di Kabupaten Subang berdasarkan faktor predisposisi (karakteristik demografi, pengetahuan tentang filariasis), faktor pemungkin (penerimaan obat filariasis, pendistribusian obat filariasis, ketersediaan Tenaga Pelaksana Eliminasi filariasis), faktor penguat (kontrol petugas pemberi obat

7 filariasis), sosialisasi pengobatan massal filariasis (ada/tidaknya sosialisasi pengobatan massal filariasis, jenis sosialisasi pengobatan massal filariasis) dan efek samping obat filariasis. 2. Diketahuinya hubungan antara faktor predisposisi seperti karakteristik demografi (umur, jenis kelamin, suku, pendidikan, pekerjaan) dan pengetahuan tentang filariasis dengan perilaku minum obat filariasis di Kabupaten Subang, Jawa Barat. 3. Diketahuinya hubungan antara faktor pemungkin (penerimaan obat filariasis, pendistribusian obat filariasis, ketersediaan Tenaga Pelaksana Eliminasi filariasis) dengan perilaku minum obat filariasis di Kabupaten Subang, Jawa Barat. 4. Diketahuinya hubungan antara faktor penguat (kontrol petugas pemberi obat filariasis) dengan perilaku minum obat filariasis di Kabupaten Subang, Jawa Barat. 5. Diketahuinya hubungan antara sosialisasi pengobatan massal filariasis (ada/tidaknya sosialisasi pengobatan massal filariasis, jenis soialisasi pengobatan massal filariasis) dengan perilaku minum obat filariasis di Kabupaten Subang, Jawa Barat. 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Manfaat Teoritis 1. Hasil penelitian ini dapat menambah masukan teoritis mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku minum obat filariasis dalam pengobatan massal filariasis.

8 2. Hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan bagi peneliti lain sebagai perbandingan dari ilmu yang telah didapatkan. 1.5.2. Manfaat Aplikatif 1. Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam proses pengambilan keputusan yang terkait dengan usaha menurunkan kejadian filariasis di masyarakat. 2. Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan dalam proses pengambilan keputusan yang terkait dengan usaha meningkatkan perilaku minum obat filariasis di daerah yang melaksanakan pengobatan massal filariasis. 1.6. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan suatu penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku minum obat filariasis dalam pengobatan massal filariasis di Kabupaten Subang, Jawa Barat tahun 2007. Penelitian ini dilakukan pada bulan April Juli 2008. Kabupaten Subang, Jawa Barat dipilih sebagai lokasi penelitian dikarenakan: 1. Kabupaten Subang berkomitmen untuk mendukung program eliminasi filariasis dengan melaksanakan pengobatan massal filariasis selama minimal 5 tahun berturut-turut. 2. Waktu penelitian ini bersamaan dengan pelaksanaan survei cakupan pengobatan massal filariasis yang dilakukan Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat, sehingga memudahkan peneliti dalam melakukan pengumpulan data.

9 3. Belum diketahuinya faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku minum obat filariasis di Kabupaten Subang. Penduduk di Kabupaten Subang, Jawa Barat yang berusia di atas 14 tahun dan merupakan kelompok sasaran pengobatan massal filariasis (saat pengobatan massal berlangsung, penduduk sasaran bukan ibu hamil/menyusui, dalam keadaan sehat/tidak sakit berat, tidak lanjut usia) dipilih sebagai populasi studi. Hal ini dikarenakan populasi ini dianggap dapat memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini dan diharapkan telah meminum obat filariasis dalam kegiatan pengobatan massal filariasis. Penelitian dilakukan dengan menggunakan desain cross sectional dengan metode cluster sampling yang diadopsi dari Expanded Programme on Immunization (EPI) WHO dengan menggunakan data primer melalui kuesioner dan data sekunder dari Subdit Filariasis & Schistosomiasis Departemen Kesehatan RI, Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat dan Dinas Kesehatan Kabupaten Subang berupa data-data yang memperkuat latar belakang penelitian.