BAB I PENDAHULUAN. ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

COPING REMAJA AKHIR TERHADAP PERILAKU SELINGKUH AYAH

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB II KAJIAN PUSTAKA. proses penyesuaian diri seseorang dalam konteks interaksi dengan lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. Didalam kehidupan sehari-hari, kita banyak menjumpai keluarga yang tidak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merasa senang, lebih bebas, lebih terbuka dalam menanyakan sesuatu jika berkomunikasi

BAB I PENDAHULUAN. Keluarga yang bahagia dan harmonis merupakan dambaan dari setiap

BAB I PENDAHULUAN. pada masa remaja, salah satunya adalah problematika seksual. Sebagian besar

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Manusia memerlukan mitra untuk mengembangkan kehidupan yang layak bagi

BAB I PENDAHULUAN. sepasang suami istri namun juga keinginan setiap anak di dunia ini, tidak seorang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHALUAN. A. Latar Belakang Masalah. status sebagai orang dewasa tetapi tidak lagi sebagai masa anak-anak. Fase remaja

BAB I PENDAHULUAN. Hampir semua penduduk di dunia ini hidup dalam unit-unit keluarga. Setiap

HUBUNGAN ANTARA POLA ASUH DEMOKRATIS ORANG TUA DAN KEMANDIRIAN DENGAN KEMAMPUAN MENYELESAIKAN MASALAH PADA REMAJA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUIAN. A. Latar Belakang Masalah. meningkat. Remaja menjadi salah satu bagian yang sangat penting terhadap

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menimbulkan konflik, frustasi dan tekanan-tekanan, sehingga kemungkinan besar

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

Bab I Pendahuluan. Mahasiswa masuk pada tahapan perkembangan remaja akhir karena berada pada usia 17-

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dasar perilaku perkembangan sikap dan nilai kehidupan dari keluarga. Salah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga menurut Lestari (2012) memiliki banyak fungsi, seperti

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan dalam Mencapai Derajat Sarjana (S-1) Psikologi

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB I PENDAHULUAN. dan berfungsinya organ-organ tubuh sebagai bentuk penyesuaian diri terhadap

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. bagi setiap kalangan masyarakat di indonesia, tidak terkecuali remaja.

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. diri dan lingkungan sekitarnya. Cara pandang individu dalam memandang dirinya

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP PERCERAIAN ORANG TUA DENGAN OPTIMISME MASA DEPAN PADA REMAJA KORBAN PERCERAIAN. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. sudut pandang saja. Sehingga istilah pacaran seolah-olah menjadi sebuah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menentukan arah dan tujuan dalam sebuah kehidupan. Anthony (1992)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB I PENDAHULUAN. Masa dewasa awal, merupakan periode selanjutnya dari masa remaja. Sama

SM, 2015 PROFIL PENERIMAAN DIRI PADA REMAJA YANG TINGGAL DENGAN ORANG TUA TUNGGAL BESERTA FAKTOR-FAKTOR YANG MEMENGARUHINYA

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

BAB 1 PENDAHULUAN. Sepanjang sejarah kehidupan manusia, pernikahan merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

HUBUNGAN ANTARA KONSEP DIRI DENGAN ASERTIVITAS PADA REMAJA DI SMA ISLAM SULTAN AGUNG 1 SEMARANG. Rheza Yustar Afif ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keluarga itu adalah yang terdiri dari orang tua (suami-istri) dan anak. Hubungan

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dan menjadi tempat yang penting dalam perkembangan hidup seorang manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia memiliki fitrah untuk saling tertarik antara laki-laki dan

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hubungan Antara Persepsi Terhadap Pola Kelekatan Orangtua Tunggal Dengan Konsep Diri Remaja Di Kota Bandung

PENYESUAIAN DIRI REMAJA PUTRI YANG MENIKAH DI USIA MUDA

BAB 1 PENDAHULUAN. Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia,1998), seringkali menjadi tema dari banyak artikel, seminar, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. hakekat itu, manusia selalu berusaha untuk selalu memenuhi kebutuhannya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dewasa dikatakan waktu yang paling tepat untuk melangsungkan pernikahan. Hal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Setiap anak apabila dapat memilih, maka setiap anak di dunia ini akan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Bagi sebagian besar orang, masa remaja adalah masa yang paling berkesan

BAB I PENDAHULUAN. diandalkan pada saat individu mengalami kesulitan (Orford, 1992). Dukungan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang penting dalam kehidupan seseorang,

BAB I PENDAHULUAN. mengenal awal kehidupannya. Tidak hanya diawal saja atau sejak lahir, tetapi keluarga

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Jelia Karlina Rachmawati, 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menyenangkan dan muncul dalam bermacam-macam bentuk dan tingkat kesulitan,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Beberapa teori akan dipaparkan dalam bab ini sebagai pendukung dari dasar

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Harga diri pada remaja di panti asuhan dalam penelitian Eka Marwati (2013). Tentang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mempunyai hak yang sama dengan orang dewasa.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menyenangkan. Apalagi pada masa-masa sekolah menengah atas. Banyak alasan. sosial yang bersifat sementara (Santrock, 1996).

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Subjek berasal dari keluarga tidak harmonis, sejak kecil subjek berada dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. jumlah remaja dan kaum muda berkembang sangat cepat. Antara tahun 1970 dan

BAB I PENDAHULUAN. berupa ejekan atau cemoohan, persaingan tidak sehat, perebutan barang

BAB I PENDAHULUAN. kemandirian sehingga dapat diterima dan diakui sebagai orang dewasa. Remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Latifah

BAB I PENDAHULUAN. jangka waktunya berbeda bagi setiap orang tergantung faktor sosial dan budaya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB I PENDAHULUAN. saling mengasihi, saling mengenal, dan juga merupakan sebuah aktifitas sosial dimana dua

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi perbaikan perilaku emosional. Kematangan emosi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai manusia yang telah mencapai usia dewasa, individu akan

BAB I PENDAHULUAN. lainnya khususnya di lingkungannya sendiri. Manusia dalam beraktivitas selalu

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan adalah suatu hubungan yang sakral atau suci dan pernikahan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. memiliki konsep diri dan perilaku asertif agar terhindar dari perilaku. menyimpang atau kenakalan remaja (Sarwono, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. Dalam hidup semua orang pasti akan mengalami kematian, terutama kematian

BAB I PENDAHULUAN. berketetapan untuk tidak menjalankan tugas dan kewajiban sebagai suami-istri. Pasangan

BAB II LANDASAN TEORI

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah. Sejak lahir sampai dewasa manusia tidak pernah lepas dari suatu ikatan yang bernama keluarga. Manusia lahir dalam suatu keluarga, dibesarkan dalam lingkup keluarga sampai akhirnya dewasa dan siap untuk membentuk keluarga sendiri. Keluarga yang harmonis akan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan anak, akan tetapi sering terjadi bahwa suatu keluarga yang seharusnya menjadi tempat seorang anak tumbuh kembang justru hancur karena perceraian. Perceraian merupakan suatu peristiwa pemutusan ikatan nikah secara hukum yang dikarenakan berbagai macam persoalan (Graham, www.sabda.org, 1993). Tingginya angka perceraian menjadi salah satu penyebab anak kehilangan keluarga atau salah satu sosok orang tua mereka yang biasanya selalu ada memberikan contoh dan berperan untuk mereka. Tercatat oleh Divisi Monitoring Legal Resources Center-Keadilan Jender dan Hak Asasi Manusia (LRC-KJHAM) selama tahun 2001-2003 telah terjadi 510 kasus perceraian di kota Semarang dan pada tahun 2004 terjadi peningkatan menjadi 1.317 kasus perceraian (Fathoni, www.suaramerdeka.com, 27 mei 2005). Pelaksana tugas Panitera Sekretaris Pengadilan Agama Kota Semarang Tontowi, Kamis, menyebutkan, pada Januari 2009 perceraian mencapai 172 kasus, Febuari 195 kasus, Maret 222 kasus, dan Mei 2009 1

2 mencapai 836 kasus. Melihat kecenderungan peningkatan angka perceraian tersebut, diperkirakan, akhir tahun ini akan masuk lebih dari 2000 perkara mengingat 2008 lalu terdapat 1.886 sidang perceraian (www.republika.co.id, 04 Juni 2009) Meskipun yang menjalani perceraian adalah orang tua akan tetapi sering kali justru anaklah yang lebih merasakan akibatnya. Pada umumnya orang tua bercerai lebih siap menghadapi perceraian dibandingkan dengan anak anak. Hal ini dikarenakan sebelum bercerai biasanya didahului dengan proses berfikir dan pertimbangan yang matang, sehingga sudah ada persiapan secara mental dan fisik. Akan tetapi tidak demikian dengan anak, mereka tiba tiba saja harus menerima keputusan yang dibuat orang tua tanpa sebelumnya mempunyai ide atau bayangan bahwa hidup mereka akan berubah. Perceraian dalam keluarga manapun merupakan peralihan besar dan penyesuaian utama bagi anak. Beberapa anak bahkan tidak bisa terbebas dari dampak perceraian orang tuanya. Perasaan terluka, marah, terabaikan dan tidak dicintai terus menetap di hati sampai mereka dewasa (Cole, 2004, h. 1-3). Survey yang dilakukan oleh Bugeiski dan Graziano pada tahun 1990 (dikutip Widyarini, www.kompas.com, 18 Maret 2005) menyatakan bahwa 2 tahun pertama setelah perceraian merupakan masa masa yang sangat sulit bagi anak, mereka biasanya kehilangan minat untuk pergi dan mengerjakan tugas tugas sekolah, bersikap bermusuhan, agresif, depresi dan dalam beberapa kasus ada yang bunuh diri.

3 Seorang anak yang mengalami kasus perceraian dalam keluarganya memiliki kemungkinan yang lebih besar untuk kehilangan peran seorang ayah daripada seorang ibu yang memberikan ciri, fungsi serta karakteristik secara psikologis dalam hidupnya. Secara fisik maupun secara mental anak memiliki kedekatan yang lebih dengan ibu daripada dengan ayah sehingga lebih besar kemungkinan seorang anak kehilangan peran seorang ayah daripada seorang ibu. Seorang anak biasanya lebih dekat dengan ibunya karena secara tradisional perempuan identik sebagai seorang pengasuh dari anak-anaknya sehingga ibu adalah sosok yang lebih dekat dan lebih sering ditemui oleh anak. Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Shirley & Frederick (dikutip oleh Dagun, 1990, h. 14) dalam keluarga seringkali peran ibu juga lebih besar dan lebih banyak bila dibandingkan dengan peran seorang ayah. Pengadilan biasanya memberikan hak perwalian dan pemeliharaan anak dibawah umur kepada ibu. Dasarnya adalah Kompilasi Hukum Islam pasal 105 yang mengatakan anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya dan didukung dengan yurisprudensi Mahkamah Agung yang menyatakan bahwa anak dibawah asuhan ibunya. Jika anak sudah bisa memilih maka anak dipersilahkan memilih antara ayah atau ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya (www.hukumonline.com, 24 Maret 2009). Dalam masalah hak asuh anak penulis menemui dari pengalaman pribadinya ketika terjadi perceraian seorang anak cenderung memilih tinggal dengan ibu, hal ini disebabkan adanya pandangan masyarakat yang

4 menggambarkan seorang ibu tiri sebagai sosok yang jahat dan menyiksa anak tirinya. Adanya mitos-mitos mengenai ibu tiri yang jahat ternyata cukup mempengaruhi anak dalam mengambil keputusan untuk tinggal bersama ibu. Hal ini didukung oleh kemungkinan seorang ayah untuk menikah lagi setelah bercerai dan memiliki keluarga baru yang pasti akan menyita perhatian ayah sehingga hubungan dengan anak dari pernikahan terdahulunya menjadi kurang. Dampak dari perceraian akan lebih muncul pada anak yang ketika orang tuanya bercerai telah memasuki usia remaja, hal ini dikarenakan munculnya kognisi sosial pada diri remaja untuk mulai dapat merasakan dan menempatkan diri pada pendapat orang lain (Monks dkk, 1998, h.276). Peristiwa perceraian merupakan suatu hal yang memukul perasaan remaja dan menyakitkan apapun alasannya karena mereka akan berbeda dengan remaja lain dari keluarga harmonis dan orang tua yang lengkap. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Hewitt (dikutip Santrock, 2003, h.125) pada Gene seorang gadis berusia 15 tahun yang bereaksi terhadap perceraian orang tuanya dengan pergi ke kamar pribadinya, menutup diri, sedih dan tidak keluar kamar lebih dari sehari. Gene terus menyalahkan orang tuanya dan menganggap perceraian orang tuanya adalah bencana. Menurut Monks (1998, h.276) seorang remaja selain mengalami perkembangan secara fisik juga mengalami perkembangan peran sosial, dimana terjadi gejolak emosi dan konflik untuk bertumbuh menjadi seorang dewasa. Pada masa ini terjadi pemisahan diri dari orang tua ke

5 arah teman sebaya. Pada remaja yang orang tuanya bercerai proses memisahkan diri akan menjadi lebih sulit karena remaja yang tumbuh dari keluarga yang orang tuanya bercerai cenderung memiliki pandangan negatif terhadap dirinya maupun orang lain dan menarik diri untuk berinteraksi sosial dari lingkungannya (Bali Post, 16 April 2008). Perceraian orang tua merupakan salah satu faktor eksternal yang mempengaruhi perkembangan remaja, hal ini dikarenakan masa remaja merupakan masa sturm and drang, yaitu periode yang berada dalam dua situasi antara keguncangan, penderitaan, asmara dan pemberontakan (Bachtiar, 2004, h.25). Pada masa ini remaja mengalami ketegangan secara psikologis dan merupakan masa penuh dengan permasalahan. Dengan banyaknya gejolak dan perubahan ketika terjadi perceraian remaja mengalami lebih banyak permasalahan dibandingkan dengan usia perkembangan lainnya, hal ini disebabkan ketika terjadi perceraian orang tua lingkungan remaja juga ikut mengalami perubahan yang mempengaruhi tumbuh kembang remaja. Perceraian merupakan hal yang terjadi di luar diri remaja tetapi mempengaruhi persepsi diri dan perilakunya. Pernyataan ini didukung oleh Pudjijogyanti (1985, h.23-24) yang mengatakan bahwa akibat dari perceraian orang tua adalah anak akan mengalami kehilangan figur identifikasi dan adanya stigma dari masyarakat. Jika dibandingkan dengan remaja laki laki, proses pemisahan diri menuju teman sebaya lebih sulit terjadi pada remaja perempuan khususnya

6 pada masyarakat Jawa di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh adanya interaksi antara sifat khas perempuan dan nilai-nilai masyarakat Indonesia yaitu seorang perempuan harus dapat memelihara dan merawat. Oleh karena itu, pada remaja perempuan hubungan dan peran orang tua memiliki pengaruh yang lebih besar dibandingkan pada remaja laki laki (Monks dkk, 1998, h.277). Hal ini mengakibatkan dampak dari perceraian yang diikuti dengan hilangnya peran seorang ayah akan lebih nampak pada remaja perempuan dibandingkan dengan remaja laki laki. Menurut Riphat (1999, h.34-35) hal ini disebabkan peranan ayah akan mempengaruhi kualitas feminim remaja perempuan dengan mengamati ibu dan melihat reaksi ayah, remaja perempuan dapat mengembangkan intuisi dan sikapnya. Ketika remaja perempuan tumbuh tanpa seorang ayah maka akan kehilangan peran yang memberi gambaran serta pengetahuan praktis tentang seorang laki laki dan akan berpengaruh ketika kelak harus berinteraksi dengan lawan jenis. Hetherington (dikutip Santrock, 2003, h.199) mengatakan bahwa remaja perempuan yang tidak mempunyai ayah berperilaku dengan salah satu cara yang ekstrim terhadap laki laki, mereka sangat menarik diri, pasif dan minder atau kemungkinan yang kedua terlalu aktif, agresif dan genit. Remaja perempuan yang malu malu, kaku, dan menjaga jarak dengan laki laki lebih sering berasal dari keluarga yang ayahnya meninggal. Mereka yang mencari perhatian laki laki, yang menunjukan perilaku heteroseks yang terlalu dini dan terlihat lebih terbuka dan tidak

7 menjaga jarak dengan laki laki lebih sering berasal dari keluarga bercerai. Remaja perempuan yang tidak memiliki ayah dimungkinan akan memiliki sikap suka menyendiri, tidak mau bergaul, menjadi introvert atau tertutup dan berontak (Hurlock, 1991, h.250). Perilaku remaja perempuan yang terlalu ekstrim terhadap laki laki atau terlalu minder dapat menimbulkan berbagai dampak negatif terhadap pergaulan dan diri remaja putri tersebut. Pada remaja perempuan yang terlalu minder untuk berinteraksi dengan teman sebayanya akan mengalami hambatan dalam perkembangan sosialnya, sedangkan pada remaja perempuan yang terlalu agresif dalam berinteraksi dengan lawan jenis jika tidak berhati hati dalam menjaga diri dapat terjerumus dalam perilaku seks bebas yang dapat menimbulkan kehamilan yang tidak diinginkan dan aborsi yang dapat membahayakan remaja perempuan tersebut. Seperti halnya yang penulis temui bahwa remaja perempuan yang terlalu agresif dengan lawan jenisnya sering kali mendapat stigma buruk sebagai perempuan murahan dan tidak sedikit yang dimanfaatkan sehingga kehilangan keperawanan bahkan hingga mengalami kehamilan di luar nikah. Akan tetapi tidak semua remaja perempuan yang tidak memilki ayah memiliki dampak negatif. Penulis juga menemui banyak remaja perempuan yang tidak memilki ayah baik akibat perceraian maupun kematian justru dapat hidup mandiri dan lebih dewasa jika dibandingkan dengan teman sebayanya yang memiliki keluarga utuh. Dari beberapa hal diatas dapat dilihat bahwa

8 perceraian yang diikuti dengan hilangnya seorang ayah akan lebih berdampak pada perilaku remaja perempuan khususnya dalam perilaku heteroseksualnya. Salah satu tugas perkembangan seorang remaja perempuan adalah memperoleh hubungan yang lebih matang dengan lawan jenis, adanya kematangan seks yang dicapai sejak awal masa remaja menyebabkan para remaja mengadakan hubungan sosial yang terutama ditekankan pada hubungan dengan lawan jenis (Mappiare, 1982, h.95). Tambunan (1992, h.81) mengatakan bahwa pada masa remaja sangat wajar bila perilaku heteroseksual mulai tampak dan remaja mulai menjalin hubungan dengan lawan jenis, namun ia juga mengemukakan ada pula perilaku heteroseksual remaja menuju arah yang salah. Heteroseksual dapat diartikan sebagai suatu taraf perkembangan dan tercapainya masa tertarik pada lawan jenis kelamin (Chaplin, 1999, h.201), sedangkan perilaku heteroseksual pada remaja dapat diartikan sebagai hasil pengaruh biologis, yaitu dorongan dorongan seks yang pada usia tersebut dirasakan sebagai kebutuhan mendesak dan ingin dipuaskan, terutama sebagai masa untuk belajar saling mengenal, mencintai, dan menilai dengan harapan kelak menjadi pasangan hidup di kemudian hari (Hadiwardoyo, 1990, h.46). Perilaku heteroseksual pada remaja dapat dilihat dari perilaku para remaja yang mulai membuka diri untuk berinteraksi bukan hanya dengan teman sebaya yang sejenis kelamin tetapi juga dengan lawan jenis

9 kelamin. Biasanya pada masa ini para remaja mulai menjalin hubungan khusus yang disebut berpacaran. Salah satu faktor yang mempengaruhi perilaku heteroseksual seorang remaja adalah ada atau tidaknya pengalaman pribadi dengan suatu obyek psikologis yang nantinya akan menimbulkan kecenderungan terhadap obyek tertentu. Selain pengalaman pribadi, pengaruh dari orang lain yang dianggap penting juga mempengaruhi bagaimana seorang remaja akan bersikap terhadap lawan jenis (Azwar, 1992, h.25). Beberapa hal di atas menunjukan bahwa pada perkembangannya seorang remaja perempuan memiliki tugas untuk mulai memiliki perilaku heteroseksual. Dalam tugas perkembangan ini, remaja perempuan membutuhkan pengalaman pribadi dengan suatu obyek psikologis dan pengaruh dari orang yang dianggap penting. Pengaruh dan pengalaman pribadi didapatkan melalui hubungan anak dengan ayah dan ibu. Dengan mengamati ibu dan melihat reaksi ayah, remaja perempuan dapat mengembangkan intuisi dan sikapnya untuk kelak remaja perempuan berinteraksi dengan lawan jenis kelamin. Akan tetapi tingginya angka perceraian menyebabkan banyak remaja perempuan memiliki kemungkinan untuk kehilangan seorang ayah sehingga sosok yang memberi contoh dalam berinteraksi dengan lawan jenis kelamin. Berdasarkan hal yang dipaparkan di atas timbul pertanyaan Bagaimanakah perilaku heteroseksual seorang remaja perempuan yang kehilangan ayah akibat perceraian.?

10 B. Tujuan Penelitian. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami bagaimanakah perilaku heteroseksual seorang remaja perempuan yang kehilangan ayah akibat perceraian. C. Manfaat Penelitian. 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan memberikan sumbangan ilmiah dalam perkembangan bidang psikologi perkembangan anak dan remaja. 2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan masukan bagaimana meminimalkan perilaku heteroseksual yang negatif bagi remaja perempuan yang diakibatkan kehilangan ayah akibat perceraian.