BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebanyakan informasi yang disuguhkan kepada masyarakat diterima begitu saja

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. umum dan pola hidup. Penelitian Agoestina, (1982) di Bandung (dalam

erotis, sensual, sampai perasaan keibuan dan kemampuan wanita untuk menyusui. Payudara juga dikaitkan dengan kemampuan menarik perhatian pria yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah 2014

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN KETIDAKPUASAN SOSOK TUBUH (BODY DISSATISFACTION) PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

PENERIMAAN DIRI PADA WANITA BEKERJA USIA DEWASA DINI DITINJAU DARI STATUS PERNIKAHAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. ditandai dengan adanya perkembangan yang pesat pada individu dari segi fisik, psikis

BAB I PENDAHULUAN. dijumpai. Ketidakseimbangan jumlah antara laki-laki dan perempuan banyak

BAB I PENDAHULUAN. lebih banyak dari pada penduduk berjenis kelamin laki-laki. Sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN. diberikan dibutuhkan sikap menerima apapun baik kelebihan maupun kekurangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menempuh berbagai tahapan, antara lain pendekatan dengan seseorang atau

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sebuah perkawinan seseorang akan memperoleh keseimbangan hidup baik secara

A. LATAR BELAKANG Perselingkuhan dalam rumah tangga adalah sesuatu yang sangat tabu dan menyakitkan sehingga wajib dihindari akan tetapi, anehnya hal

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dimulai dari masa anak-anak, remaja, dewasa, dan usia lanjut. Setiap peristiwa

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi perbaikan perilaku emosional. Kematangan emosi merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Narkoba adalah zat kimia yang dapat mengubah keadaan psikologi seperti

BAB I PENDAHULUAN. hubungan yang baik antara dirinya dan lingkungan (Kristiyani, 2001). Penyesuaian diri

BAB I PENDAHULUAN. orang disepanjang hidup mereka pasti mempunyai tujuan untuk. harmonis mengarah pada kesatuan yang stabil (Hall, Lindzey dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pertumbuhan dan perkembangan manusia merupakan hal yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

HUBUNGAN ANTARA PENERIMAAN DIRI DENGAN KESTABILAN EMOSI PADA REMAJA PASCA PUTUS CINTA

BAB I PENDAHULUAN. artinya ia akan tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Manajemen Konflik. tindakan pihak lain. Apabila dua orang individu masing-masing berpegang pada

BAB I PENDAHULUAN. Pernikahan merupakan ikatan lahir batin dan persatuan antara dua pribadi yang berasal

BAB 1 PENDAHULUAN. (Santrock,2003). Hall menyebut masa ini sebagai periode Storm and Stress atau

BAB I PENDAHULUAN. setelah masa anak-anak dan sebelum dewasa (WHO, 2014). Masa remaja adalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Individu pada hakikatnya selalu mengalami proses pertumbuhan dan

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kasus perceraian di Indonesia saat ini bukanlah menjadi suatu hal yang asing

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Masa remaja adalah suatu tahap antara masa kanak kanak dengan

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan. Rentang kehidupan manusia terbagi menjadi sepuluh tahapan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. UKM Olahraga merupakan salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa sebagai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. mencari pengalaman hidup serta ingin menuntut ilmu yang lebih tinggi di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dalam kehidupan remaja, karena remaja tidak lagi hanya berinteraksi dengan keluarga

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa berhubungan dengan lingkungannya atau dengan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. bahkan kalau bisa untuk selama-lamanya dan bertahan dalam menjalin suatu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pernikahan merupakan salah satu tahapan dalam kehidupan manusia. Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. matang dari segi fisik, kognitif, sosial, dan juga psikologis. Menurut Hurlock

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat penting serta mahal nilainya. 2011). Cahyono (2008) menambahkan penyakit jantung koroner, stroke sebagian

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan periode yang penting, walaupun semua periode

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. terjadi perubahan-perubahan baik dalam segi ekonomi, politik, maupun sosial

BAB I PENDAHULUAN. matang baik secara mental maupun secara finansial. mulai booming di kalangan anak muda perkotaan. Hal ini terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. baik dari faktor luar dan dalam diri setiap individu. Bentuk-bentuk dari emosi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terbatas pada siswa baru saja. Penyesuaian diri diperlukan remaja dalam menjalani

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. bagi mahasiswa-mahasiswi sangat beragam. Mereka dapat memilih jurusan sesuai

BAB I PENDAHULUAN. berkesinambungan dalam kehidupan manusia. Perkembangan adalah perubahanperubahan

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

BAB I. Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau KDRT diartikan setiap perbuatan. terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja banyak permasalahan yang harus dihadapi, salah satunya

KEMATANGAN EMOSI DAN PERSEPSI TERHADAP PERNIKAHAN PADA DEWASA AWAL: Studi Korelasi pada Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

BAB I PENDAHULUAN. untuk jangka waktu lama dan bersifat residif (hilang-timbul). Sampai saat ini

BAB 1 PENDAHULUAN. Berdasarkan perkembangan seseorang, semakin meningkatnya usia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hasil survei yang dilakukan Hotline Pendidikan dan Yayasan Embun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tahap perkembangan psikososial Erikson, intimacy versus isolation, merupakan isu

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEMAMPUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN SKRIPSI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dari tahapan demi tahapan perkembangan yang harus dilalui. Perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial yang memiliki dorongan untuk

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Bab I Pendahuluan. dengan identitas ego (ego identity) (Bischof, 1983). Ini terjadi karena masa remaja

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Natasha Ghaida Husna, 2013

BAB 1 PENDAHULUAN. dan tahun untuk pria (BKKBN, 2011). Penyebab terjadinya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kebutuhan mencari pasangan hidup untuk melanjutkan keturunan akan

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

BAB I PENDAHULUAN. (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarik menarik. perkawinan antara manusia yang berlaian jenis itu.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap perkembangannya akan mengalami masa berhentinya haid yang dibagi

KEMATANGAN EMOSI PADA REMAJA PUTRI YANG MELAKUKAN PERNIKAHAN DINI DI DESA KALIAGUNG KABUPATEN KULON PROGO SKRIPSI

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. remaja sering mengalami kegoncangan dan emosinya menjadi tidak stabil

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penurunan kondisi fisik, mereka juga harus menghadapi masalah psikologis.

BAB II KAJIAN TEORI. dibaca dalam media massa. Menurut Walgito, (2000) perkawinan

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. zaman sekarang dapat melakukan pekerjaan yang dilakukan oleh kaum pria.

BAB I PENDAHULUAN. Pada kodratnya Tuhan menciptakan manusia untuk saling berpasang-pasangan

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari anak-anak ke fase remaja. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. bekerja merupakan suatu kesempatan dimana seseorang dapat. mengembangkan dirinya, mencapai prestise, memperoleh suatu jabatan yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kehadiran anak umumnya merupakan hal yang dinanti-nantikan

BAB I PENDAHULUAN. Memasuki ambang millennium ketiga, masyarakat Indonesia mengalami

KEPUASAN PERNIKAHAN DITINJAU DARI KEMATANGAN PRIBADI DAN KUALITAS KOMUNIKASI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. karena pengaruh hormonal. Perubahan fisik yang terjadi ini tentu saja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap individu akan melewati tahap-tahap serta tugas perkembangan mulai dari lahir

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

PENERIMAAN DIRI PADA LANJUT USIA DITINJAU DARI KEMATANGAN EMOSI

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Proses mental seseorang dapat mempengaruhi tuturan seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keluarga merupakan tempat utama dimana seorang anak tumbuh dan

BAB I PENDAHULUAN. mengenal awal kehidupannya. Tidak hanya diawal saja atau sejak lahir, tetapi keluarga

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada saat ini tidak hanya suami saja yang harus bekerja untuk memenuhi

BAB I PENDAHULUAN. memiliki keinginan untuk mencintai dan dicintai oleh lawan jenis. menurut

Perkembangan Sepanjang Hayat

BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang Masalah Jelia Karlina Rachmawati, 2014

Seorang wanita yang telah berkeluarga dan memiliki anak, secara otomatis. memegang tanggung j awab membantu anak dalam mengembangkan semua

BAB I PENDAHULUAN. atau interaksi dengan orang lain, tentunya dibutuhkan kemampuan individu untuk

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pesatnya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi membawa dampak yang tidak sedikit. Salah satunya adalah penerimaan informasi yang begitu cepat. Kebanyakan informasi yang disuguhkan kepada masyarakat diterima begitu saja tanpa proses penyaringan yang ketat, tanpa memperhatikan keadaan mereka, dan tanpa memperhitungkan akibatnya jika mereka menelan bulat-bulat informasi tersebut dan menggunakannya dalam kehidupan sehari-hari. Informasi yang diterima masyarakat terutama mengenai gaya hidup yang sekarang lebih didominasi oleh penampilan fisik yang menarik, kehidupan keluarga yang sempurna, pekerjaan yang mapan, kehidupan sosial yang mendukung, serta gaya hidup yang membiasakan kita melihat dan mengalami kekerasan, perselingkuhan, dan persaingan sosial tidak sedikit yang benar-benar diterima oleh masyarakat kita untuk dijadikan acuan dalam kehidupan sehari-hari. Seperti yang dilakukan oleh Arifin, seorang suami 45 tahun yang tega menghajar istrinya dengan ikat pinggang hanya karena merasa bahwa sang istri tidak mampu lagi memuaskan kebutuhan biologisnya, bahkan secara terang-terangan ia telah menjalin hubungan dengan seorang gadis berusia 16 tahun untuk membuktikan bahwa ia masih mampu memperoleh yang lebih baik dari istrinya (Jo, 17 Oktober 2006). Kaum perempuan juga tidak lepas dari pengaruh tersebut. Banyak yang mereka lakukan sebagai upaya untuk mengatasi perubahan penampilan fisiknya dengan menggunakan produk-produk berteknologi canggih yang iklannya menawarkan kemampuan untuk mengendalikan proses penuaan dalam waktu

2 singkat, contohnya saja kosmetik, terapi suntik hormon, bedah plastik, sedot lemak, dan penggunaan silikon. Apabila hal ini tidak ditanggapi secara bijak dan menelannya mentah-mentah tanpa informasi lebih lanjut bukan dampak positif dan hasil memuaskan yang diperoleh, melainkan dapat menimbulkan dampak yang merugikan secara medis seperti kanker kulit. Diana, ibu rumah tangga berusia 49 tahun yang bekerja sebagai karyawan di perusahaan asing menjadi korban silikon yang ia gunakan untuk memperindah bibir dan kelopak matanya, wajahnya bengkak dan ia selalu mengeluh kepanasan, kini ia memutuskan untuk keluar dari pekerjaan karena keadaannya itu (Yoyok, 17 Oktober 2006). Fenomena di atas merupakan sebagian kecil masalah yang dihadapi individu karena keinginannya untuk menjadi lebih baik seperti harapan mereka. Sebagian besar kasus tersebut menimpa individu usia dewasa madya. Menurut Hurlock (1991), usia dewasa madya merupakan masa transisi kembali, dimana mereka sudah tidak lagi dalam kategori usia remaja, tetapi mereka juga belum bisa dikatakan memasuki usia lanjut. Selain itu juga adanya kesenjangan antara harapan dan kenyataan, dimana individu dewasa madya berharap bahwa mereka masih tetap menarik, kuat, dan mampu menjalankan serta mendapatkan apapun yang mereka inginkan, tetapi kenyataannya mereka telah berubah, mereka tidak menyadari bahwa selama manusia berkembang terjadi perubahan-perubahan. Perubahan-perubahan yang mengiringi individu saat memasuki usia dewasa madya antara lain adalah penurunan daya akomodasi mata, sehingga individu pada usia dewasa madya mulai kesulitan melihat objek-objek dekat (Kleni & Schiber dalam Santrock, 2002). Pendengaran yang mulai menurun, tubuh menjadi semakin pendek karena otot-otot mulai lemah, berat badan yang cenderung bertambah, serta tanda-tanda keriput yang mulai tampak (Santrock, 2002). Selain itu Hurlock (1991),

3 juga mengatakan bahwa wanita akan mengalami menopause saat memasuki usia dewasa madya. Usia dewasa madya, seperti halnya usia-usia lain dalam perkembangan, juga akan ditandai adanya tugas-tugas perkembangan yang harus dijalani di dalam masa hidupnya sesuai dengan norma masyarakat dan norma kebudayaan (Havighurst dalam Monks dkk, 1998). Havighurst (dalam Hurlock, 1991), membagi tugas-tugas perkembangan periode dewasa madya menjadi empat kategori utama, yaitu penyesuaian diri terhadap perubahan fisik dan fisiologis, penyesuaian diri terhadap perubahan minat, penyesuaian diri terhadap kejuruan, yaitu pemantapan dan pemeliharaan standar hidup yang relatif mapan, serta penyesuaian diri terhadap kehidupan keluarga. Apabila individu dewasa madya tidak berhasil menjalankan tugas-tugas perkembangan tersebut, maka individu akan merasakan kesedihan dan perasaan tidak bahagia. Sedangkan keberhasilan individu dalam menjalankan tugas-tugas perkembangan tersebut akan memberikan perasaan berhasil dalam hidup dan bahagia (Havighurst dalam Monks dkk, 1998), dimana salah satu komponen kebahagiaan bagi individu adalah adanya penerimaan diri (Hurlock, 1993). Penerimaan diri adalah keinginan untuk memandang diri apa adanya dan mengenali diri sebagaimana adanya. Individu dengan penerimaan diri akan mengetahui segala kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya dan mampu mengelolanya (Hurlock, 1993). Pannes (dalam Hurlock, 1991), menyatakan bahwa penerimaan diri adalah suatu keadaan dimana individu memiliki keyakinan dan karakteristik dirinya, serta mau dan mampu untuk hidup dalam keadaan tersebut. Mereka

4 memiliki kepastian akan kelebihan-kelebihannya, dan tidak mencela kekurangankekurangan dirinya. Individu yang mempunyai penerimaan diri mengetahui potensi yang dimilikinya dan dapat menerima kelemahannya. Individu dewasa madya yang dapat menerima perubahan-perubahan yang berkaitan dengan proses penuaan dan tidak menganggapnya sebagai suatu kekurangan serta kelemahan akan gembira dalam menjalani kehidupannya. Hal ini disebabkan individu dengan penerimaan diri mempunyai toleransi terhadap frustrasi atau kejadian-kejadian yang menjengkelkan dan toleransi terhadap kelemahan-kelemahan dirinya sebagai manusia yang memiliki kelemahan dan kelebihan (Hjelle dan Ziegler, 1981). Individu dengan penerimaan diri merasa bahwa dengan karakteristik tertentu yang dimiliki, baik kelebihan maupun kekurangan yang ada pada dirinya adalah bagian dari diri yang tidak terpisahkan, yang selanjutnya dihayati sebagai anugerah. Semua yang ada pada dirinya dirasakan sebagai sesuatu yang menyenangkan, sehingga individu tersebut mempunyai keinginan untuk terus dapat menik mati kehidupan. Perubahan apapun yang terjadi yang berkaitan dengan proses menua dapat diterima oleh individu yang memiliki penerimaan diri dengan hati lapang. Individu dewasa madya yang dapat menerima dirinya dengan hati lapang dapat dilihat dari individu yang memiliki kemampuan pada dirinya dalam menjalani kahidupan, menganggap dirinya berharga sebagai manusia yang sederajat dengan individu lainnya, menyadari dan tidak merasa malu dengan keadaan dirinya, menempatkan dirinya sebagaimana manusia lainnya sehingga individu lain dapat menerimanya, bertanggung jawab atas semua perbuatannya, menerima pujian atau celaan secara objektif, mempercayai prinsip atau standar

5 hidupnya tanpa harus diperbudak oleh opini individu lain, dan tidak mengingkari atau merasa bersalah atas dorongan atau emosi yang ada dalam dirinya (Sheerer dalam Cronbach, 1963). Individu dewasa madya yang tidak mampu menerima dirinya dapat kita lihat dari sifat mereka yang tidak mau menerima perubahan-perubahan pada dirinya, yaitu individu yang menghabiskan seluruh waktu dan tenaganya untuk kembali muda agar tetap menjadi dirinya yang sempurna tanpa perubahanperubahan (Rubin dalam Sari & Nuryoto, 2002). Lebih lanjut Rubin (dalam Sari dan Nuryoto, 2002), juga menjelaskan bahwa semakin banyak usaha yang dikerahkan oleh individu untuk melakukan mekanisme pertahanan diri, maka semakin banyak tenaga yang dicuri yang sebenarnya tenaga itu dapat digunakan untuk melakukan hal-hal yang sesuai dengan usianya dan menarik minatnya. Pada intinya semakin banyak waktu dan tenaga yang dihabiskan individu agar senantiasa terlihat muda, individu ini akan semakin tidak berdaya, lalu semakin putus asa, dan akhirnya malah akan semakin terlihat tua. Rubin (dalam Sari dan Nuryoto, 2002), mengatakan bahwa hal itu terjadi dikarenakan ketidakmatangan emosi yang dimiliki individu, karena individu yang emosinya matang tidak akan menghabiskan seluruh waktu dan tenaganya untuk kembali muda. Individu dengan kematangan emosi mengetahui bagaimana cara menghadapi perubahan yang terjadi pada dirinya. Dapat dikatakan bahwa individu dewasa madya yang matang emosinya mampu menyikapi secara positif perubahan-perubahan yang terjadi yang berkaitan dengan proses penuaan dirinya. Kematangan emosi merupakan suatu keadaan tercapainya tingkat kedewasaan dalam perkembangan emosi. Orang yang matang emosinya mampu

6 menahan atau mengontrol emosi yang timbul secara baik dalam berbagai situasi (Chaplin, 1999). Individu dikatakan telah mencapai kematangan emosi apabila mampu menunggu waktu yang tepat untuk melepaskan emosi dengan menunjukkan suatu sikap yang dapat diterima oleh lingkungannya. Emosi yang matang ditandai oleh kemampuan untuk memberikan reaksi emosional yang stabil, tidak brubah-ubah dari satu suasana hati ke suasana hati lainnya (Hurlock, 1991). Overstreet (dalam Schneiders, 1964), menyebutkan bahwa individu yang memiliki kematangan emosi dapat terlihat dari adanya sikap untuk belajar, memiliki rasa tanggung jawab, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif, memiliki kemampuan untuk bersosialiasai, beralih dari egosentrisme ke sosiosentrisme, serta falsafah hidupnya terintegrasi. Kematangan emosi seharusnya sudah dicapai pada akhir masa remaja, akan tetapi kematangan emosi pada akhir masa remaja akan berbeda dengan kematangan emosi pada individu yang lebih tua. Semakin bertambah usia individu, maka emosinya diharapkan akan lebih matang dibanding dengan periode-periode sebelumnya. Hal ini dapat dipahami karena konsep kematangan amosi tidak menunjukkan pada suatu kondisi yang statis, atau tujuan akhir yang ingin dicapai seorang individu pada suatu periode kehidupannya, tetapi kematangan yang menunjukkan adanya proses menjadi matang, yang berarti adanya usaha peningkatan dan perbaikan yang akan terus berkembang (Skinner dalam Sari & Nuryoto, 2002). Pada akhirnya individu dewasa madya yang memiliki kematangan emosi akan mampu menerima dirinya seperti apa adanya, sehingga mudah beradaptasi dengan lingkungan (Mouly dalam Sari & Nuryoto, 2002). Secara

7 bertentangan, individu yang tidak memiliki kematangan emosi akan memandang dirinya secara depresif atau malah terlalu membanggakan masa lalunya, atau menggunakan mekanisme pertahanan diri untuk menghadapi perubahanperubahan diri yang berkaitan dengan pertambahan usia. Oleh karena itu dip erlukan kematangan emosi dalam menghadapi perubahan-perubahan tersebut, karena semakin matang emosi seseorang, maka akan semakin mampu ia menerima perubahan-perubahan, khususnya perubahan yang berkaitan dengan proses menua yang terjadi pada dirinya. Gambaran mengenai kondisi individu dewasa madya yang telah dikemukakan tersebut mendorong peneliti untuk melakukan penelitian mengenai hubungan antara kematangan emosi dengan penerimaan diri pada dewasa madya. Apakah individu dewasa madya yang matang emosinya dapat menerima perubahan-perubahan yang berkaitan dengan proses menua yang terjadi pada dirinya secara lebih baik dibandingkan dengan individu dewasa madya yang kematangan emosinya rendah. Oleh karena itu, peneliti melakukan penelitian dengan judul Hubungan antara Kematangan Emosi dengan Penerimaan Diri pada Dewasa Madya. B. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui hubungan antara kematangan emosi dengan penerimaan diri pada dewasa madya. 2. Untuk mengetahui tingkat kematangan emosi pada dewasa madya. 3. Untuk mengetahui tingkat penerimaan diri pada dewasa madya.

8 C Manfaat Penelitian Adapun manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dalam bidang psikologi, terutama psikologi perkembangan. 2. Manfaat praktis Bila hipotesis dalam penelitian ini terbukti, maka diharapkan dapat memberikan manfaat: a. Penelitian ini berguna bagi individu dewasa madya agar dapat dijadikan sebagai tambahan pengetahuan dan cerminan dalam menjalani periode dewasa madya. Dimana individu dewasa madya yang memiliki penerimaan diri yang kurang dapat diatasi dengan meningkatkan kematangan emosinya. b. Bagi masyarakat yang memiliki minat terhadap masalah kematangan emosi dan penerimaan diri, penelitian ini dapat memberikan wawasan dan pemahaman baru mengenai masalah tersebut terutama yang berkaitan dengan individu dewasa madya.