BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak usia dini merupakan saat seseorang mengalami perkembangan dan pertumbuhan yang sangat pesat dalam kehidupannya. Perkembangan dan pertumbuhan pada anak usia dini membutuhkan beragam stimulasi yang dapat membantunya untuk berkembang dengan baik sesuai dengan kebutuhan dan potensinya. Saat ini jumlah anak usia dini semakin meningkat. Sesuai dengan data di Departemen Kesehatan RI pada tahun 2010 jumlah anak usia dini (0-4 tahun) di Indonesia mencapai 23 juta, sedangkan pada tahun 2011 mencapai 23.009.874 dan pada tahun 2012 diperkirakan 23.352.721 (www.depkes.go.id: 2011). Jumlah tersebut menunjukkan jumlah anak-anak usia dini mengalami peningkatan yang signifikan dan membutuhkan bimbingan untuk mencapai perkembangan yang optimal. Perkembangan yang optimal adalah tercapainya tugas-tugas perkembangan dan terpenuhinya kebutuhan-kebutuhan yang sesuai dengan anak usia dini. Pertumbuhan fisik dan perkembangan kognitif, motorik, emosi, bahasa serta sosial merupakan beragam tugas perkembangan yang seyogyanya dicapai oleh anak-anak usia dini. Untuk mencapai perkembangan tersebut dibutuhkan pendidikan dan pembelajaran yang dapat menstimulasi anak mencapai perkembangan dan pertumbuhannya. 1
Sementara perkembangan sosial dibutuhkan oleh anak usia dini untuk belajar mengetahui dan memahami lingkungannya. Seperti yang dikemukakan oleh Norman (2011) manusia sejak lahir dikaruniai potensi sosialitas, artinya setiap individu memiliki kemampuan untuk mencapai tujuan hidupnya, tetapi juga merupakan sarana untuk pertumbuhan dan perkembangan kepribadiannya. Karena manusia pada hakikatnya adalah mahluk sosial yang membutuhkan kerjasama, empati, simpati, saling berbagi dan saling membantu dengan sesamanya. Salah satu aspek perkembangan anak adalah perkembangan sosial yaitu kemampuan berperilaku yang sesuai dengan lingkungan sosial. Salah satu aspek penting yang membedakan manusia dengan mahluk lain adalah derajat saling tolong, kerja sama dan memiliki kepedulian antara sesama manusia (Knafo, 2006:1). Dalam perkembangan sosial terdapat perilaku prososial dan anti sosial. Perilaku prososial yang ditampilkan dalam kehidupan masyarakat dikembangkan sejak usia dini dan dikenalkan oleh orangtua di rumah sebagai pendidik utama bagi anak-anak. Usia dini adalah saat yang paling tepat untuk mengenalkan, menumbuhkan dan mengembangkan sikap prososial. Seperti yang diungkapkan oleh Hera (2010), usia dini adalah salah satu tahapan untuk mengembangkan perilaku sosial sehingga perlu diberikan kesempatan untuk dapat bermain bersama teman-temannya. Dari usia 2-6 tahun, anak belajar melakukan hubungan sosial dan bergaul dengan orang-orang di lingkungan rumah terutama dengan anak-anak yang usianya sebaya. Mereka belajar menyesuaikan diri dan bekerja sama dalam kegiatan bermain. Studi lanjutan tentang kelompok anak menunjukkan bahwa sikap dan perilaku sosial yang terbentuk pada usia dini biasanya menetap dan hanya mengalami perubahan sedikit (Hurlock, 2006:261). 2
Perilaku sosial yang memberikan pengaruh positif dan memberikan keuntungan serta kenyamanan untuk orang lain disebut perilaku prososial. Seperti yang dikemukakan oleh Beaty (1998:147) perilaku prososial adalah perilaku positif yang diwujudkan dalam bentuk empati, murah hati, kerjasama dan kasih sayang. Sementara menurut Eisenberg (1982:647) perbuatan yang dimaksudkan untuk menolong atau memberikan kenyamanan psikologis kepada orang lain dalam bentuk empati dan simpati dikatakan sebagai perilaku prososial. Menurut beberapa penelitian, perilaku prososial adalah aspek yang akan memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perkembangan kognitif anak-anak. Seperti yang dikemukakan oleh Svetlova (2010:1), Dalton (2010:161-162), Smith (2002:465) perilaku prososial pada bayi dan balita ditentukan oleh pemikirannya terhadap perilaku orang dewasa di sekitarnya sebagai bentuk dari respon sosialnya. Perilaku prososial berkembang sesuai dengan periode usia (bayi, batita, balita, remaja dan dewasa) serta perilaku tersebut berhubungan dengan dukungan sosial dari agama, keluarga (ayah dan ibu), guru dan persahabatan teman sebaya. Kebalikan dari perilaku prososial adalah anti sosial yaitu perilaku yang menunjukkan keengganan untuk berhubungan dengan orang lain. Biasanya dilakukan dalam bentuk menyendiri, sedikit berbicara, berbohong dan sulit beradaptasi. Menurut Dalton (2010:4) perilaku anti sosial adalah menolak dan menarik diri untuk berbagi atau membantu orang lain termasuk kekerasan fisik dan perilaku non fisik seperti kekerasan verbal atau penolakan sosial. Kecenderungan saat ini, anak-anak banyak menghabiskan waktu dengan menonton acara televisi, menonton film-film anak dalam DVD dan bermain games dalam media teknologi. Bagi sebagian orangtua, yang terpenting adalah anaknya 3
nyaman serta aman di rumah untuk duduk dan diam. Akhirnya anak menjadi asing ketika bertemu dengan anak seusianya saat keluar rumah atau pun saat memulai sekolahnya. Sebagai contohnya terjadi pada anak laki-laki usia 3 tahun di sebuah komplek perumahan di kota Bandung yang menangis setiap bertemu dengan orang lain di luar keluarganya meski hanya dengan teman sebayanya di sekitar rumah, anak tersebut banyak menghabiskan waktu dengan menonton film-film DVD di rumahnya yang ditemani oleh pengasuhnya. Dengan demikian perkembangan sosialnya menjadi terbatas pada lingkungan rumah dan berkembangnya perilaku anti sosial pada anak usia dini. Kecenderungan-kecenderungan perilaku anak usia dini yang merasa asing dalam lingkungan sosial terlihat semakin meningkat karena didukung oleh pola bimbingan orangtua kepada anak-anaknya. Orangtua seringkali merasa khawatir jika anak bermain di luar rumah dengan teman-temannya. Adapun ketika anak menghabiskan waktu bersama teman-temannya terdapat kecenderungan anak menjadi egois dan ingin selalu diperhatikan oleh lingkungannya. Perilaku-perilaku pada anak usia dini dipengaruhi oleh keluarga dan orang-orang terdekatnya seperti pengasuh atau pun keluarga yang tinggal serumah. Sementara perilaku prososial merupakan nilai penting dalam mengembangkan hubungan sosial dengan lingkungan masyarakat, namun di sisi lain lingkungan cenderung mempengaruhi perilaku prososial anak usia dini. Ibrahim (2012) dalam www.tabloidnova.com mengemukakan peran orangtua dalam mengkondisikan lingkungan yang baik dalam menstimulasi anak berperilaku prososial dapat berupa: a) membimbing dan mengajarkan anak berperilaku yang positif; b) menjadi model yang baik bagi anak dalam berperilaku terhadap lingkungan sosial; c) membimbing anak 4
dalam mempelajari perilaku orang lain dalam lingkungannya; d) mendorong dan membantu kemampuan anak dalam bergaul dengan orang lain serta e) berpartisipasi aktif dalam mengembangkan perilaku sosial anak secara langsung di lingkungan sosialnya. Saat ini peran orangtua untuk membimbing anak dalam mengembangkan perilaku prososial semakin berkurang intensitasnya karena kesibukan orangtua khususnya ibu yang bekerja seharian, sehingga cenderung kurang memiliki waktu untuk berinteraksi dengan anak-anaknya. Kesibukan orangtua bekerja dan keterbatasan waktu dalam membimbing dan mendidik anak menjadi salah satu hambatan untuk mengembangkan perilaku sosial pada anak usia dini. Sehingga salah satu sikap terbaik orangtua untuk mengoptimalkan perkembangan anaknya adalah menitipkan anaknya ke TPA (Taman Penitipan Anak) yang biasanya berdekatan dengan lokasi pekerjaannya. Menurut pengamatan terhadap beberapa anak usia dini di satu komplek perumahan di kota Bandung, terdapat perbedaan yang cukup signifikan antara anak yang dititipkan di TPA dan anak yang diasuh di rumah. Anak yang dititpkan di TPA memperlihatkan perilaku prososial yang lebih baik ketika bergaul dengan teman sebayanya seperti toleransi, kerjasama, berbagi dan lebih familiar. Mereka juga terlihat mandiri, disiplin dan memiliki kosa kata yang lebih banyak dibandingkan anak-anak seusianya. Untuk anak yang diasuh oleh pengasuh di rumah, terlihat menyendiri, egois, pemalu atau ketika bergaul dengan teman sebayanya sikapnya selalu ingin mendominasi pergaulan. Kemampuan bicaranya pun masih terbatas dan menghindar dari pergaulan dengan teman sebaya. Pengamatan-pengamatan tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Hurlock (2006:261) anak yang mengikuti 5
pendidikan prasekolah melakukan penyesuaian sosial yang lebih baik dibandingkan dengan anak-anak yang tidak mengikuti pendidikan pra sekolah. Untuk menghindari permasalahan perilaku sosial yang semakin besar dihadapi anak usia dini maka terjadi fenomena masyarakat yang menarik akhir-akhir ini dalam meningkatkan pendidikan anak usia dini yaitu mempercepat anak untuk memasuki dunia persekolahan seperti play group (kelompok bermain), lembaga PAUD, TPQ (Taman Pendidikan Qur an), termasuk yang dititipkan di Taman Penitipan Anak (TPA). Meski taman penitipan anak bukanlah sekolah, namun masyarakat umum lazim mengatakan TPA adalah sekolah untuk anak usia dini. Keluarga muda yang memiliki anak usia dini cenderung memilih TPA untuk menitipkan anaknya dengan harapan mendapatkan pendidikan dan bimbingan yang lebih baik dibandingkan dengan pengasuhnya di rumah. Fenomena tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Susanto (2006:1), tentang adanya kecenderungan karir ganda yang terjadi di hampir setiap keluarga muda di perkotaan. Di satu sisi, mereka memiliki sedikit waktu untuk mendidik dan membimbing anak-anaknya di rumah namun di sisi lain secara ekonomi memiliki alokasi dana untuk menitipkan anak-anaknya ke TPA. Dengan demikian, pilihan keamanan dan kenyamanan orangtua dengan menitipkan anak ke TPA merupakan solusi terbaik untuk masa depan anaknya. Harapan orangtua menitipkan anaknya ke TPA adalah dapat tercapainya beragam aspek perkembangan yang dimiliki oleh anak-anak usia dini. Dengan asumsi semakin dini anak memasuki dunia persekolahan maka kemampuan akademiknya akan semakin baik. Namun, masalah selanjutnya adalah terjadi fenomena anak-anak yang cenderung tidak peduli terhadap lingkungannya. 6
TPA fungsinya sebagai rumah kedua untuk anak-anak usia dini yang memiliki pelayanan untuk orangtua yang kurang memiliki waktu dalam membimbing dan mendidik anak-anaknya secara optimal. Pengasuh di TPA akan memberikan pelayanan seperti memasak makanan anak, memberinya makan, menidurkan, mengajaknya bermain, memandikan, menggantikan pakaiannya dan yang terpenting adalah memberikan bimbingan secara intensif kepada anak-anak. Beberapa penelitian menjelaskan dampak anak-anak usia dini dititipkan di TPA. Penelitian di Amerika dalam jurnal Encyclopedian on Early Childhood Development (Jay Belsky, 2005:3) anak-anak yang menghabiskan waktunya di TPA memiliki ketidaknyamanan dengan ibunya karena kurangnya sentuhan, interaksi dan komunikasi. Rata-rata anak usia dini telah dititipkan di TPA sejak usianya masih dibawah satu tahun, sehingga pertumbuhan dan perkembangan awal kehidupannya dibimbing oleh para pengasuh di TPA. Meskipun TPA yang ditempati anak-anak tersebut berkualitas dan menjamin seluruh kebutuhan anak dengan sangat baik, namun mereka cenderung memiliki masalah perilaku pada usia 2 tahun, usia pra sekolah dan usia sekolah. Kendatipun demikian, untuk perkembangan kognitif dan linguistik anak-anak usia dini yang dititipkan di TPA memiliki kualitas yang lebih baik dibandingkan anak-anak seusianya. Menurut Clarke (2007:2) terdapat reaksi yang positif terhadap anak-anak usia dini yang dititipkan di TPA karena anak memiliki perubahan dalam keterampilan sosial, kemandirian dan memiliki kemajuan perkembangan dibandingkan dengan anak-anak lainnya. Sementara menurut penelitian Ipah Saripah (2006: 194) anak-anak di TPA telah mampu menampilkan perilaku prososial, yang dibuktikan dengan kemampuan anak dalam menunjukkan empati, murah hati, kerja sama, dan kasih 7
sayang. Penelitian Meiyani dalam Ipah saripah (2006:7) menunjukkan anak-anak membutuhkan bimbingan untuk mengembangkan perilaku prososialnya karena kesulitan atau kegagalan yang dialami anak dalam bidang ini ternyata tidak hanya berdampak terhadap aspek akademis, melainkan juga menyangkut aspek perkembangan pribadi, sosial, kematangan berfikir dan sistem nilai. TPA dikembangkan sebagai upaya untuk mengisi kesenjangan dalam pengasuhan, pembinaan dan bimbingan sosial kepada anak balita selama orangtuanya bekerja atau melaksanakan tugas (Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, 2011:7). Pengasuhan diartikan sebagai pembiasaan yang dilakukan secara konsisten untuk membentuk perilaku dan kepribadian anak. Sementara pembinaan dan bimbingan sosial adalah upaya membantu anak dalam mengembangkan tugas-tugas perkembangannya. Salah satunya terlihat di TPA Taman Bandung yang terletak di lingkungan kampus Universitas Pendidikan Indonesia dan memiliki sejumlah anak usia dini yang dititipkan oleh para orangtua yang memiliki aktivitas di sekitar kampus, baik sebagai ibu bekerja atau pun sebagai mahasiswa tingkat lanjut. Anakanak usia dini di TPA tersebut memperoleh beragam stimulasi yang dapat mengoptimalkan pertumbuhan fisik dan perkembangan psikologisnya. Seperti yang terjadi pada seorang anak laki-laki yang pada awal dititipkannya memiliki kecenderungan untuk selalu rewel dan tidak mau bergaul dengan teman sebayanya di TPA. Namun dengan beragam stimulasi yang diberikan oleh pengasuh selama beberapa minggu terlihat mulai menunjukkan sikap yang kooperatif dan mandiri. Begitu juga dengan anak perempuan yang berusia tiga tahun yang masih bersifat egosentris dalam bergaul dengan teman sebaya, selalu dititipkan ibunya yang 8
mahasiswa di TPA tersebut sehingga perkembangan psikologisnya mengalami peningkatan. Namun pendidikan dan pembelajaran di TPA masih memiliki keterbatasan dalam mengoptimalkan potensi anak-anak usia dini khususnya perilaku prososial. Secara umum, para pengasuh di TPA belum memiliki program bimbingan khususnya untuk mengembangkan sikap prososial anak usia dini sehingga seyogyanya terdapat program yang dapat membantu pengasuh dalam mengoptimalkan perkembangan sosial anak usia dini. Berdasarkan uraian tersebut maka perlu dikaji mengenai program bimbingan anak usia dini untuk mengembangkan perilaku prososial di TPA Taman Bandung. B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah Perilaku prososial menurut Hasting, Utendale & Sullivan (2007:639) didefinisikan sebagai tanggapan proaktif dan reaktif terhadap kebutuhan lain yang berfungsi untuk mendorong kesejahteraan orang lain. Sementara Rosen (2010:148) mendefiniskan perilaku prososial sebagai perilaku aktif yang menunjukkan perasaan sosial yang positif dan inklusif meliputi kerjasama, berbagi, peduli, mengekspresikan empati, ramah dan memberikan kebaikan kepada orang lain. Perilaku-perilaku tersebut merupakan perilaku yang sering dilakukan dan diperlihatkan oleh anak-anak usia dini. Pengembangan perilaku prososial anak usia dini menurut Hasting, Utendale & Sullivan (2007:643) dipengaruhi oleh beberapa faktor sebagai berikut. 9
a. Keluarga, profil orangtua yang sesuai untuk mengembangkan perilaku prososial pada anak usia dini adalah memberikan arahan dan bimbingan yang konsisten, memiliki kontrol emosi yang baik, fleksibel dan tanggap terhadap keinginan anak, hangat, banyak melakukan kegiatan bersama, memberikan kontrol perilaku terhadap anak, lebih banyak memberikan pujian dibandingkan kritikan, memberikan dorongan untuk melakukan kegiatan perilaku prososial. b. Saudara Kandung, sebagai media pelatihan dalam melakukan perilaku prososial pada anak usia dini karena dalam bermain akan belajar untuk mengetahui perbedaan persepsi, keinginan dan beragam perbedaan lainnya. Namun dengan saudara kandung khususnya kakak yang usianya lebih tua biasanya dapat memberikan pengasuhan, pengawasan dan contoh model dalam menerapkan perilaku prososial. c. Teman sebaya, setelah anak memasuki usia pra sekolah (3 tahun) anak akan menerima perlakuan spontan, berbagi, altruisme dari teman-temannya. Teman dijadikan sebagai model pembelajaran bagi anak usia pra sekolah dalam mengembangkan perilaku prososial sebagai hubungan timbal balik dari perilaku yang diperolehnya dari teman sebaya. d. Guru, profil guru yang hangat, peduli, memiliki hubungan yang dekat dengan anak, memiliki kontrol emosi dan mengembangkan sikap afektif lainnya. Sekolah sebagai lembaga pendidikan memiliki peran penting dalam mengembangkan perilaku prososial anak dengan membiasakan anak didiknya untuk saling menolong, menghargai dan menghormati terhadap teman, guru dan para pegawai sekolah lainnya. Akan lebih baik jika sekolah memiliki 10
program sosial yang berkala sebagai salah satu media pembelajaran bagi anak dalam mengembangkan perilaku prososial. Dari keempat faktor tersebut, penelitian ini dibatasi pada kegiatan bimbingan yang dilakukan oleh guru dan interaksi dengan teman sebaya di sekolah dalam mengembangkan perilaku prososial anak usia dini. 2. Rumusan Masalah Berpijak pada batasan masalah tersebut maka rumusan masalah penelitian ini adalah Bagaimana efektivitas program bimbingan melalui permainan untuk mengembangkan perilaku prososial pada anak usia dini? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Tujuan penelitian adalah merumuskan program bimbingan yang tepat dalam mengembangkan perilaku prososial anak usia dini di TPA Taman Bandung 2. Tujuan Khusus Tujuan khususnya adalah menghasilkan program bimbingan untuk mengembangkan perilaku prososial anak melalui bermain yang dilakukan oleh pengasuh sesuai dengan kondisi di TPA Taman Bandung D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoretis 11
Manfaat penelitian secara teoretis adalah memperkaya konsep bimbingan dan konseling yang berkaitan dengan anak usia dini. Terutama untuk meningkatkan kompetensi pengasuh di TPA dalam mengembangkan perilaku prososial yang selama ini belum tersentuh oleh konsep bimbingan dan konseling secara umum. 2. Manfaat Praktis a. Pengasuh Pengasuh diharapkan memperoleh pengetahuan dan keterampilan dalam bimbingan dan konseling khususnya bimbingan untuk mengembangkan perilaku prososial bagi anak usia dini. Bimbingan perilaku prososial yang dikembangkan dapat diintegrasikan dan dijadikan dasar dalam proses pengasuhan di TPA Taman. b. TPA Taman Pengelola TPA Taman memperoleh masukan mengenai perlunya pengembangan perilaku prososial pada anak usia dini sebagai dasar perilaku anak dalam berinteraksi dengan lingkungan sosial. c. Prodi Bimbingan dan Konseling Prodi Bimbingan dan Konseling memperoleh masukan mengenai pentingnya bimbingan pada anak usia dini, dengan demikian bimbingan yang komprehensif dapat ditujukan kepada semua tahapan usia individu yakni dari usia bayi, balita, anak, remaja, dewasa, keluarga, orangtua dan individu yang memiliki keterbatasan (ABK). d. Peneliti Selanjutnya 12
Program bimbingan yang dihasilkan diharapkan tidak hanya diterapkan di TPA Taman namun juga dapat berlaku untuk TPA lain dengan memperhatikan karakteristik dan keunikan masing-masing. E. Asumsi Penelitian Penelitian dilakukan dengan dilandasi beberapa asumsi-asumsi sebagai berikut. 1. Anak usia dini merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang membutuhkan beragam stimulasi untuk dapat mengembangkan potensinya secara optimal. 2. Salah satu tugas perkembangan anak usia dini adalah mengembangkan kemampuan sosial sebagai landasan dalam menjalani kehidupan bermasyarakat, sehingga dibutuhkan bimbingan untuk dapat berperilaku positif di masa depan. 3. Bimbingan merupakan salah satu upaya untuk membantu anak dalam memberikan keterampilan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhannya agar dapat menjalani kehidupannya dengan bermakna. 13
4. Taman Penitipan Anak adalah sarana untuk anak dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan kebutuhannya. 5. Anak-anak di TPA membutuhkan kegiatan-kegiatan yang dapat mengasah kemampuan berfikirnya, pengendalian emosi, penyaluran psikomotoriknya, kebersamaan, kepedulian dan empati terhadap teman sebaya atau pun lingkungannya. 6. Peran pengasuh di TPA memberi kontribusi positif dalam membimbing, melatih dan memberikan keterampilan sosial dalam bentuk empati,murah hati, kerjasama dan peduli kepada anak. 14