: MUHAMMAD RIFAI LUBIS NPM

dokumen-dokumen yang mirip
PENULISAN HUKUM / SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, serta memperkuat ikatan rasa kesatuan dan persatuan bagi

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

KEDUDUKAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

I. PENDAHULUAN. Hukum merupakan seperangkat aturan yang diterapkan dalam rangka menjamin

PERATURAN WALIKOTA MALANG NOMOR 53 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN PELAKSANAAN TUGAS PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. yang telah tercakup dalam undang-undang maupun yang belum tercantum dalam

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian tindak pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2007 TENTANG KOORDINASI, PENGAWASAN DAN PEMBINAAN PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

I. PENDAHULUAN. dirasakan tidak enak oleh yang dikenai oleh karena itu orang tidak henti hentinya

PERATURAN KEPALA KEPOLISIAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN OLEH PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

AKIBAT HUKUM PENGHENTIAN PENYIDIKAN PERKARA PIDAN DAN PERMASALAHANNYA DALAM PRAKTIK

I. PENDAHULUAN. Fenomena penyalahgunaan dan peredaran narkotika merupakan persoalan

GUBERNUR BANTEN PERATURAN GUBERNUR BANTEN

BAB I PENDAHULUAN. Ketentuan Pasal 184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana

II. TINJAUAN PUSTAKA. sehingga mereka tidak tahu tentang batasan umur yang disebut dalam pengertian

RINGKASAN SKRIPSI/ NASKAH PUBLIKASI TANGGUNG JAWAB KEJAKSAAN DALAM PRA PENUNTUTAN UNTUK MENYEMPURNAKAN BERKAS PERKARA PENYIDIKAN

SKRIPSI PERANAN PENYIDIK POLRI DALAM MENCARI BARANG BUKTI HASIL TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR RODA DUA DI WILAYAH HUKUM POLRESTA PADANG

NASKAH AKADEMIK PELAKSANAAN PERKAP NO. 14 TAHUN 2012 TENTANG MANAJEMEN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA DALAM PROSES PENYIDIKAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. Pertama, hal Soerjono Soekanto, 2007, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Cetakan

BAB I PENDAHULUAN. dapat lagi diserahkan kepada peraturan kekuatan-kekuatan bebas dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Negara Indonesia adalah negara bardasarkan hukum bukan

I. PENDAHULUAN. Kebebasan dasar dan hak dasar itu yang dinamakan Hak Asasi Manusia (HAM), yang

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

Lex et Societatis, Vol. III/No. 3/Apr/2015. TUGAS DAN WEWENANG POLISI PAMONG PRAJA DALAM PENEGAKAN HUKUM 1 Oleh : Vinny Nottrela Ughude 2

BUPATI BANDUNG BARAT PROVINSI JAWA BARAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Proses peradilan yang sesuai dengan prosedur menjadi penentu

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP BENDA CAGAR BUDAYA DI KOTA MALANG ABSTRAKSI

PERLINDUNGAN HUKUM ATAS HAK TERHADAP TERSANGKA DI TINGKAT PENYIDIKAN OLEH KEPOLISIAN

BUPATI CILACAP PERATURAN BUPATI CILACAP NOMOR 38 TAHUN 2014 TENTANG SEKRETARIAT PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor antara lain, keadaan geografis

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

JURNAL PENEGAKAN HUKUM OLEH POLRI TERHADAP TINDAK PIDANA PENCURIAN KENDARAAN BERMOTOR DENGAN KEKERASAN DI KABUPATEN SLEMAN

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

- 2 - BAB I KETENTUAN UMUM

BAB I PENDAHULUAN. 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-iii. Dalam Negara

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan tanpa kecuali. Hukum merupakan kaidah yang berupa perintah

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

BUPATI LUWU TIMUR PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LUWU TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2014 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

GANTI RUGI ATAS KESALAHAN PENANGKAPAN, PENAHANAN PASCA PUTUSAN PENGADILAN 1 Oleh: David Simbawa 2

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. 1. Upaya yang dilakukan Polisi DIY dalam Penanggulangan Tindak. pidana Kesusilaan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan tersebut selain melanggar dan menyimpang dari hukum juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam konstitusi Indonesia, yaitu Pasal 28 D Ayat (1)

WEWENANG KEPOLISIAN DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DI POLDA BALI

BAB I PENDAHULUAN. negara harus berlandaskan hukum. Dalam Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. pengetahuan dan teknologi, mengakibatkan kejahatan pada saat ini cenderung

PROVINSI PAPUA BUPATI MERAUKE PERATURAN DAERAH KABUPATEN MERAUKE NOMOR 4 TAHUN 2015 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia. Peraturan perundang-undangan untuk mengatur jalannya

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA

BAB III PENUTUP. bencana terhadap kehidupan perekonomian nasional. Pemberantasan korupsi

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

Peran PPNS Dalam Penyidikan Tindak Pidana Kehutanan. Oleh: Muhammad Karno dan Dahlia 1

BAB I PENDAHULUAN. sesuai dengan norma hukum tentunya tidaklah menjadi masalah. Namun. terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan norma biasanya dapat

BUPATI SUKOHARJO PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BUPATI KUDUS PERATURAN BUPATI KUDUS NOMOR 2 TAHUN 2016 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di

TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA SURABAYA,

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB I PENDAHULUAN. pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang berbunyi Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

JURNAL TUNTUTAN GANTI KERUGIAN AKIBAT TIDAK SAHNYA PENANGKAPAN DAN PENAHANAN MELALUI PROSES PRAPERADILAN

PEMERINTAH KABUPATEN POLEWALI MANDAR

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2006 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik, maka berdasarkan

Fungsi Dan Wewenang Polri Dalam Kaitannya Dengan Perlindungan Hak Asasi Manusia. Oleh : Iman Hidayat, SH.MH. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. dalam penyidikan tindak pidana kehutanan. Kewenangan adalah. kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BEKASI

BAB I PENDAHULUAN. semua warga negara bersama kedudukannya di dalam hukum dan. peradilan pidana di Indonesia. Sebelum Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

BAB III PENUTUP. a. Faktor kemandirian kekuasaan kehakiman atau kebebasan yang. pengancaman pidana di dalam undang-undang.

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

- 1 - GUBERNUR JAWA TIMUR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 9 TAHUN 2004 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA

PEMERINTAH PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI SULAWESI SELATAN NOMOR 2 TAHUN 2013

PROVINSI JAWA BARAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARAWANG,

BAB I PENDAHULUAN. perundang-undangan yang berlaku. Salah satu upaya untuk menjamin. dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ( KUHAP ).

Jurnal Ilmiah Universitas Batanghari Jambi Vol.16 No.3 Tahun 2016

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

BAB III PENUTUP. praperadilan, maka dapat disimpulkan bahwa: akan memeriksa tuntutan tersebut. Tata cara atau acara dalam proses pemeriksaan

BUPATI BARITO UTARA PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN BARITO UTARA NOMOR 4 TAHUN 2016 TENTANG PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL DAERAH

PEMERINTAH KOTA TANJUNGPINANG

KEABSAHAN PENETAPAN STATUS TERSANGKA DALAM PROSES PENYELIDIKAN (STUDI KASUS PENISTAAN AGAMA Ir. BASUKI TJAHAJA PURNAMA)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, telah dijelaskan

MENTER! HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA

BAB III PENUTUP. pidana pembunuhan berencana yang menggunakan racun, yaitu: b. Jaksa Penuntut Umum membuat surat dakwaan yang merupakan dasar

I. PENDAHULUAN. merupakan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh setiap masyarakat agar

dikualifikasikan sebagai tindak pidana formil.

I. PENDAHULUAN. keteraturan, ketentraman dan ketertiban, tetapi juga untuk menjamin adanya

I. PENDAHULUAN. kereta api, maka di butuhkan pula keamanan dan kenyamanan kereta api. Masalah

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. dalam Undang Undang Dasar Repubik Indonesia (UUD 1945) Pasal 1 ayat (3).

LEMBARAN DAERAH PROPINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR : 120 TAHUN 1987 SERI : D

Transkripsi:

JURNAL KOORDINASI DAN PENGAWASAN OLEH POLRI TERHADAP PENYIDIK PEGAWAI NEGERI SIPIL (PPNS) DALAM PROSES PENYIDIKAN TINDAK PIDANA PERUSAKAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA Diajukan oleh : MUHAMMAD RIFAI LUBIS NPM : 100510284 Program Studi Program Kekhususan : Ilmu Hukum : Peradilan dan Penyelesaian Sengketa Hukum UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKRATA FAKULTAS HUKUM 2015

I. Judul : Koordinasi dan pengawasan oleh Polri terhadap PPNS dalam proses penyidikan tindak pidana perusakan bangunan cagar budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. II. Nama : Muhammad Rifai Lubis, P. Prasetyo Sidi Purnomo, SH.,M.S. III. Program Studi : Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta IV. Abstract In writing this paper the author discusses the coordination and supervision by the police against a civil servant investigators (investigators) in the interrogation of criminal damage heritage buildings in Yogyakarta. It is in the background, with many heritage buildings were damaged and missing. This study aims to find out about how the process of coordination and supervision of the investigation between the Police and investigators in law enforcement against criminal acts of destruction of cultural heritage buildings. Barriers as well as the efforts made by the Police, Cultural Heritage Preservation Hall (BPCP), and the culture and tourism department yogyakarta against law enforcement destruction of heritage buildings in Yogyakarta. In an effort to know the law enforcement, Barriers and attempts to heritage buildings, the method used approach is empirical juridical. Reviewing and analyzing the problems defined legally with empirical facts objectively view. Then all the data available in the descriptive analysis. Based on the research results. Author obtain answers to existing problems. That many heritage buildings were damaged and lost is due to the lack of law enforcement on cultural heritage buildings. Responding to the facts - the facts mentioned above, the enforcement and legal protection of cultural heritage should be further enhanced in Yogyakarta. Keywords : the coordination and supervision againts a civil servant investigators by the police, criminal damage heritage buildings.

BAB I : PENDAHULUAN. Latar Belakang Masalah Cagar budaya merupakan kekayaan budaya yang penting demi memupuk kesadaran jati diri bangsa dan mempertinggi harkat dan martabat bangsa, serta memperkuat ikatan rasa kesatuan dan persatuan bagi terwujudnya cita-cita bangsa pada masa depan. Yogyakarta telah dikenal sebagai kota budaya di Indonesia, namun sangat disayangkan atas nama pembangunan yang terjadi pada zaman sekarang ini seringkali membawa dampak negatif kepada keberadaan bangunan cagar budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Perlindungan hukum sangat dibutuhkan sehingga dapat mengurangi ancaman kerusakan dan kepunahan terhadap cagar budaya. Peran aparatur penegak hukum, khususnya penyidik, sangat strategis. Penyidik merupakan pintu gerbang utama dimulainya tugas pencarian kebenaran materiil karena melalui proses penyidikan sejatinya upaya penegakan hukum mulai dilaksanakan. Sudah ditentukan di dalam Undang - Undang Nomor 11 Tahun 2010 ketentuan mengenai penyidikan terhadap tindak pidana cagar budaya Pasal 100 bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil merupakan pejabat pegawai negeri sipil yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelestarian cagar budaya yang diberi wewenang khusus melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Hukum Acara Pidana terhadap Tindak Pidana Cagar Budaya. Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang pelestarian cagar budaya walaupun telah diberi kewenangan oleh undang undang untuk melakukan penyidikan sebagaimana disebut di atas, namun dalam pelaksanaan tugas dan kedudukannya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kedudukan institusi Polri sebagai kordinator pengawas (Korwas), menjadi hal yang kontra produktif apabila muncul pandangan bahwa PPNS dapat berjalan sendiri dalam melakukan penyidikan tanpa perlu koordinasi dengan penyidik utama yaitu Polri. Akibatnya dalam praktik penegakan hukum, tidak jarang muncul tumpang tindih kewenangan antara PPNS dan aparat Polri. Bahkan kondisi ini sering berakhir dengan munculnya permasalahan hukum, seperti terjadinya gugatan praperadilan terhadap institusi Polri karena dianggap aparat Polri melampaui kewenangannya dalam melakukan penyidikan. Sungguh ironis, aparat Polri yang sejatinya merupakan pengemban utama dalam penyidikan tindak pidana harus menghadapi gugatan ketika sedang melaksanakan tugas pokoknya. Maka dari permasalahan tersebut saya membuat judul penelitian hukum yaitu : Koordinasi dan Pengawasan oleh POLRI terhadap PPNS dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Perusakan Bangunan Cagar Budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan diatas maka dapat disimpulkan rumusan masalahnya yaitu Kendala Koordinasi dan Pengawasan oleh Polri

terhadap PPNS dalam Proses Penyidikan Tindak Pidana Perusakan Bangunan Cagar Budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Metodelogi Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan penelitian metode penelitian hukum normatif. Menurut Soerjono Soekanto yang dimaksud dengan penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder. Serta didukung dengan wawancara yaitu mengajukan pertanyaan kepada narasumber tentang obyek yang akan diteliti berdasarkan pedoman wawancara yang telah disusun sebelumnya untuk mendapatkan informasi yang diinginkan, BAB II : TINJAUAN TENTANG KOORDINASI DAN PENGAWASAN OLEH POLRI TERHADAP PPNS DALAM PENYIDIKAN TINDAK PIDANA CAGAR BUDAYA. Koordinasi dan Pengawasan oleh Polri terhadap PPNS dalam Penyidikan 1. Tinjauan tentang Kepolisian Menurut Pasal 1 Angka 1 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan Dalam Tindakan Kepolisian tertulis bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia yang selanjutnya disingkat Polri adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Sedangkan menurut Undang Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dimaksud dengan Kepolisian adalah segala hal - ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan Peraturan Perundang - Undangan. Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam kaitannya dengan pemerintahan adalah salah satu fungsi pemerintahan negara bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya ketentraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak azasi manusia. 2. Tinjauan tentang Penyidikan a. Penyidikan

Menurut Pasal 1 Angka 2 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan bahwa Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Tindakan penyidikan merupakan cara untuk mengumpulkan bukti bukti awal untuk mencari tersangka yang diduga melakukan tindak pidana dan saksi saksi yang mengetahui tentang tindak pidana tersebut. Sedangkan Penyidik Menurut Pasal 1 Angka 1 Undang Undang Nomor 8 tahun 1981 menyebutkan bahwa Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang undang untuk melakukan penyidikan. Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat (1) Penyidik adalah : a) Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia; b) Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang Undang. b. Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Menurut Pasal 1 Angka 11 Undang Undang Nomor 2 tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia menyebutkan bahwa Penyidik Pegawai Negeri Sipil adalah pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang berdasarkan peraturan perundang-undangan ditunjuk selaku penyidik dan mempunyai wewenang untuk melakukan penyidikan tindak pidana dalam lingkup undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing. Secara teknis proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil pada prinsipnya seperti proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh penyidik Polri. Perbedaaannya terletak pada kewenangan masing - masing, yaitu kewenangan penyidik pegawai negeri sipil diatur dalam Undang - Undang yang menjadi dasar hukumnya masing - masing dan di dalam Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M. 04. PW. 07. 03 Tahun 1984 tentang Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil, sedangkan kewenangan penyidik Polri pada dasarnya diatur dalam Hukum Acara Pidana. Berdasar Surat Keputusan tersebut, diatur bahwa penyidik pegawai negeri sipil tidak berwenang melakukan penangkapan dan atau penahanan. c. Pengertian Koordinasi dan Pengawasan Menurut Pasal 1 Angka 7 Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 tentang Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) bahwa Koordinasi adalah suatu bentuk hubungan kerja yang menyangkut bidang fungsi

kepolisian atas dasar sendi - sendi hubungan fungsional dengan mengindahkan tugas dan kewenangan masing - masing. Pengawasan adalah proses penilikan dan pengarahan terhadap pelaksanaan penyidikan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) untuk menjamin agar seluruh kegiatan yang dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pengertian koordinasi dalam penelitian ini adalah bentuk hubungan kerja antara penyidik pegawai negeri sipil di lingkungan Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta dan penyidik Polri di jajaran Satuan Dit Reserse Kriminal Khusus Polda Daerah Istimewa Yogyakarta, yang merupakan koordinator pengawas (Korwas) bagi penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), dalam rangka pelaksanaan penyidikan tindak pidana yang menyangkut bidang tertentu, yaitu pelanggaran Perusakan Bangunan Cagar Budaya atas dasar sendi - sendi hubungan fungsional dengan memperhatikan hierarki masing-masing instansi, sehingga tercapai hasil dan daya guna yang optimal. Hubungan tata cara pelaksanaan kooordinasi dan pengawasan terhadap Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dilakukan dalam dua bidang yaitu bidang pembinaan dan bidang operasional.. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Perusakan Bangunan Cagar Budaya 1. Tinjauan Tentang Tindak Pidana Kitab Undang Undang Hukum Pidana (WvS) atau yang dikenal dengan istilah strafbaarfeit. Kepustakaan tentang hukum pidana sering mempergunakan istilah delik, sedangkan pembuat undang undang dalam merumuskan Undang Undang mempergunakan istilah peristiwa pidana, atau perbuatan pidana, atau tindak pidana. Pengertian dari istilah strafbaarfeit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan Perundang Undangan, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman. Tindak pidana merupakan suatu perbuatan yang mengandung unsur perbuatan atau tindakan yang dapat dipidanakan dan unsur pertanggung jawaban terhadap pelaku. Tindak pidana menunjuk pada dilarang dan diancamnya perbuatan itu dengan suatu pemidanaan. 2. Tinjauan Tentang Bangunan Cagar Budaya Berdasarkan Piagam Burma (1981) yang merupakan standar penting dalam pelestarian bangunan, tempat tempat yang dilestarikan adalah tempat yang memiliki signifikan budaya. Pengertian Budaya disini berarti memiliki nilai estetika, sejarah, keilmuan, atau sosial untuk generasi muda masa lalu, sekarang dan nanti. Di jelaskan didalam Undang - Undang Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 1 yaitu Cagar

Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan. Bangunan cagar budaya dijelaskan didalam Pasal 1 ayat 3 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya yaitu bangunan cagar budaya adalah susunan binaan yang terbuat dari benda alam atau benda buatan manusia untuk memenuhi kebutuhan ruang berdinding dan/atau tidak berdinding, dan beratap.. Kendala dan Upaya Peningkatan Koordinasi dan Pengawasan oleh Polri terhadap PPNS dalam Penyidikan Tindak Pidana Perusakan Cagar Budaya di DIY Koordinasi yang dilakukan oleh Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta dengan penyidik pegawai negeri sipil di lingkungan Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istiwewa Yogyakarta yang disebut juga Korwas atau Koordinator Pengawas dalam hal ini adalah Direktorat Resersese Kriminal Khusus (Dit Reskrimsus) Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta yang bertugas menyelenggarakan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana khusus serta melakukan koordinasi, pengawasan operasional dan administrasi penyidikan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), pada dasarnya dibagi menjadi 2 bidang, yaitu bidang operasional dan bidang pembinaan. Adapun bentuk koordinasi bidang operasional yang dilakukan oleh petugas penyidik pegawai negeri sipil di lingkungan Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta dengan Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta adalah : a. Memberitahukan pelaksanaan penyidikan melalui laporan dimulainya penyidikan kepada penyidik Polri, untuk kemudian diteruskan kepada penuntut umum. b. Menyampaikan laporan perkembangan penyidikan, untuk perkara perkara tindak pidana perusakan cagar budaya yang proses penyidikannya menemukan beberapa kendala, seperti tidak hadirnya tersangka atau saksi sebagaimana waktu yang telah ditentukan, sehingga hal ini berpengaruh pada lamanya proses penyidikan. c. Meminta petunjuk terkait dengan penyidikan tindak pidana cagar budaya yang sedang ditangani. Petunjuk yang dimintakan kepada penyidik polri adalah dapat dibagi menjadi 3 (tiga), yaitu : 1) Petunjuk teknis, kaitannya dengan administrasi pelaporan dan berita acara pemeriksaan baik saksi maupun tersangka tindak pidana cagar budaya. Petunjuk ini dimintakan untuk meminimalkan pengembalian berkas

perkara, sehingga mempercepat proses penyidikan dan mengefektifkan sumber daya petugas PPNS yang terbatas dari segi jumlah. 2) Petunjuk taktis, berkaitan dengan keahlian dalam memperoleh keterangan dari saksi maupun tersangka. Permintaan petunjuk taktis tidak jarang diikuti dengan permintaan taktis, misalnya jika petugas mengalami kesulitan mendatangkan tersangka atau saksi. Pada beberapa perkara, setelah dilakukan 3 (tiga) kali pemanggilan panggilan tidak dipenuhi tanpa alasan yang sah, maka petugas PPNS meminta bantuan kepada penyidik Polri untuk melakukan penangkapan. Setelah tindakan penangkapan dilakukan, penyidik Polri segera melakukan pemeriksaan tentang ketidakhadiran tersangka atau saksi memenuhi panggilan tersebut. Selanjutnya penyidikan diserahkan kepada petugas PPNS dalam penanganan terhadap tindak pidana cagar budaya. 3) Petunjuk yuridis, berkaitan dengan peraturan perundang undangan yang disangkakan kepada pelaku tindak pidana cagar budaya. d. Menyerahkan Berkas Perkara hasil penyidikan (laporan dan Berita Acara Pemeriksaan) kepada penuntut umum melalui penyidik polri. Berkas perkara yang diserahkan 3 (tiga) rangkap dengan perincian : 1) Satu (1) Berkas untuk penyidik polri 2) Dua (2) Berkas untuk Penuntut Umum e. Melakukan konsultasi kaitan dengan penghentian penyidikan, dan memberitahukan hal itu kepada penyidik polri dan penuntut umum melalui laporan penghentian penyidikan. Koordinasi, Pengawasan dan Pembinaan diatas dilaksakan secara timbal balik antara penyidik Polri dengan petugas PPNS, sesuai dengan Pasal 2 Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2010 tentang Koordinasi, Pengawasan dan Pembinaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil, yang dilakukan berdasarkan prinsip prinsip : a. Kemandirian : yaitu koordinasi, pengawasan dan pembinaan dilaksanakan dengan tidak mengurangi eksistensi/keberadaan instansi PPNS dan dijalankan secara profesional; b. Legalitas : yaitu koordinasi, pengawasan dan pembinaan diselenggarakan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku; c. Kebersamaan : yaitu, koordinasi, pengawasan dan pembinaan tidak mengurangi integritas pimpinan dan kewenangan masing-masing instansi PPNS yang dilandasi sikap saling menghormati tugas dan kewenangan serta hierarki masing-masing; d. Akuntabilitas : yaitu koordinasi, pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh penyidik terhadap penyidik pegawai negeri sipil dalam proses pelaksanaan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik pegawai negeri sipil dapat dipertanggungjawabkan;

e. Transparansi : yaitu, koordinasi, pengawasan dan pembinaan memperhatikan asas keterbukaan dan bersifat informatif bagi pihak-pihak terkait; f. Efektif dan efesien : yaitu, koordinasi, pengawasan dan pembinaan yang dilakukan oleh penyidik terhadap PPNS dalam proses penyidikan tepat waktu, dengan biaya ringan serta berpedoman pada keseimbangan yang wajar antara sumber daya yang dipergunakan; dan g. Kewajiban : yaitu, koordinasi, pengawasan dan pembinaan terhadap penyidikan yang dilakukan PPNS, penyidik secara aktif diminta ataupun tidak diminta wajib memberikan petunjuk dan bantuan penyidikan yang diperlukan. Dalam menjalankan tugas tugas seperti yang telah diuraikan sebelumnya, terdapatnya beberapa kendala yang harus dihadapi oleh penyidik di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit.Reskrimsus) Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta dalam melakukan koordinasi, pengawasan operasional dan administrasi penyidikan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) antara lain : a. Kurangnya jumlah personil di Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta yang berwenang dalam melakukan koordinasi, pengawasan operasional dan administrasi penyidikan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di lingkungan Balai Pelestarian Cagar Budaya Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam tindak pidana perusakan bangunan cagar budaya. b. Terbatasnya kualitas personil di Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit.Reskrimsus) Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta dari sisi sumber daya manusia dalam hal berkoordinasi, pengawasan operasional dan administrasi penyidikan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) dalam hal penanganan tindak pidana perusakan bangunan cagar budaya, karena kurang adanya dukungan secara institusional dan struktural. c. Keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit. Reskrimsus) Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta untuk melakukan koordinasi, pengawasan operasional dan administrasi penyidikan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di lingkungan Balai Pelestarian Cagar Budaya Propinsi Daerah Istimeawa Yogyakarta dalam hal suatu tindak pidana perusakan bangunan cagar budaya. d. Dari Segi Operasional yaitu lamanya waktu yang diperlukan dalam pemberian petunjuk secara administratif. Waktu yang tidak sesuai dengan yang dijadualkan tersebut sehingga mempengaruhi keseluruhan proses penanganan perkara tindak pidana perusakan bangunan cagar budaya. e. Dari Segi Pembinaan yaitu tidak dilakukannya pembinaan secara berkala dan berkesinambungan dari pihak koordinasi dan pengawas Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Dit. Reskrimsus) Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta terhadap penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), berpengaruh

pada tingkat profesionalitas penyidik pegawai negeri sipil. Di samping itu, di sisi lain pembinaan yang didasarkan pada program instansi, tidak jarang terbentur dengan keterbatasan sarana dan prasarana, salah satunya anggaran dana sehingga pembinaan juga dikondisikan pelaksanaannya. Dari jumlah kendala yang dihadapi tersebut, rangkaian upaya yang ditempuh oleh Dit. Reskrimsus Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta dalam meningkatkan koordinasi dan pengawasan terhadap penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di lingkungan Balai Pelestarian Cagar Budaya Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta adalah : a. Terkait dengan kurangnya jumlah personil dalam hal koordinasi, pengawasan operasional dan administrasi penyidikan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, mengusulkan penambahan personil sesuai dengan mekanisme rekruitmen. b. Menyampaikan usulan program pelatihan kepada Kepala Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta untuk melaksanakan peningkatan kualitas penyidik dari sisi sumber daya manusia mengenai suatu tindak pidana cagar budaya. c. Direktorat Reserse Kriminal Khusus Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta mengusulkan kepada instansi terkait (pemerintah pusat) untuk pengadaan sarana dan prasarana dalam mendukung pelaksanaan operasional guna mendukung jangkauan operasional terhadap banyaknya potensi potensi terjadinya tindak pidana terhadap bangunan cagar budaya yang ada di Daerah Istimewa Yogyakarta. d. Dari Segi Operasional adalah ditempuhnya jalur konsultatif dengan melakukan kontak langsung dengan penyidik Polri jika mengalami kesulitan dan kendala dalam melakukan penyidikan tindak pidana terhadap perusakan bangunan cagar budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta, untuk mensiasati lamanya waktu yang diperlukan melalui mekanisme administrasi. Dan sebagai upaya proaktif dalam berkoordinasi dengan penyidik Polri. e. Dari Segi Pembinaan adalah memaksimalkan produktifitas penyidik pegawai negeri sipil dengan penempatan dan penjadualan kerja yang sangat diperhatikan. Diharapkan melalui pembagian kerja tersebut, secara tiddak langsung berkontribusi dalam peningkatan kualitas kerja masing-masing personil. BAB III : PENUTUP 1. Kesimpulan

Berdasarkan rumusan masalah dalam bab I yang terdahulu maka penulis merumuskan kesimpulan sebagai berikut : Berdasarkan pembahasan hasil penelitian dalam bab II diatas dapat disimpulkan kendala yang dihadapi oleh pihak Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda DIY dalam koordinasi dan pengawasan terhadap penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) mengenai tindak pidana cagar budaya adalah Minimnya jumlah personil yang dimiliki, terbatasnya kualitas penyidik Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta dari segi sumber daya manusianya dalam penanganan tindak pidana perusakan bangunan cagar budaya dan keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta. Serta kendala dari segi operasional dan dari segi pembinaan. 2. Saran 1. Untuk Penyidik Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta. Kurang berkala dan berkesinambungnya koordinasi dan pengawasan antara penydik Polri dengan penyidik pegawai negeri sipil (PPNS), utamanya dalam bidang pembinaan, dimana pelaksaannya dilakukan sesuai kebutuhan, di satu sisi memang dapat dilihat sebagai kebaikan. Tetapi perlu juga diperhatikan, bahwa akan lebih optimal apabila terdapat keteraturan pelaksanaan koordinasi di bidang pembinaan. 2. Untuk penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) di lingkungan Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta. Kedepan hendaknya upaya preventif yang dilakukan jajaran satuan Balai Pelestarian Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta dapat lebih ditingkatkan. Utamanya dalam mensosialisasikan pentingnya melindungi dan melestarikan bangunan cagar budaya dan adanya peraturan peraturan cagar budaya yang mengandung sanksi pidana bagi pelanggarnya. Hal ini dimaksudkan selain untuk menurukan tingkat perusakan bangunan cagar budaya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Juga dalam upaya peningkatan kesadaran hukum dan mencerdaskan masyarakat khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta yang dikenal sebagai kota budaya di Indonesia. Dimana pada gilirannya masyarakat juga memiliki pemahaman yang lebih baik terhadap eksistensi bangunan cagar budaya. Buku : DAFTAR PUSTAKA Soerjono Soekanto, 2004, Faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta....,1983, Penegakan Hukum, BPHN dan Bina Cipta, Jakarta. Dinas pariwisata dan kebudayaan kota yogyakarta, 2009, Panduan Pelestarian Bangunan Warisan Budaya, dinas pariwisata dan kebudayaan, yogyakarta.

Barda Nawawi Arief., 2002, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, Cetakan ke 2, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Herimanto dan Winarno., 2010, Ilmu Sosial dan Budaya Dasar, PT. Bumi Aksara, Jakarta. Zainuddin Ali., 2013, Metode Penelitian Hukum, Sinar Grafika, Jakarta. Satjipto Rahardjo, 1983, Masalah Penegakan Hukum, Sinar Baru, Bandung. H. Oka Yoeti, 2006, Pariwisata Budaya: Masalah dan Solusinya, PT Pradnya Paramita, Jakarta. Yahya Harahap, 2004, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Penyidikan dan Penuntutan), Sinar Grafika, Jakarta. Andi Hamzah, 1986, Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana, PT Ghalia Indonesia, Jakarta Timur. Soesilo Yuwono, 1982, Penyeleseian Perkara Pidana Berdasarkan KUHAP Sistem dan Prosedurnya, Percetakan OFFset Alumni, Bandung. Lilik Mulyadi, 2007, Hukum Acara Pidana: Normatif, Teoretis, Praktik dan Permasalahnya, Alumni, Bandung. Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, 2010, Hukum Acara Pidana dalam Teori dan Praktek, PT Ghalia Indonesia, Bogor. Hari Sasangka, 2007, Penyidikan, Penahanan, Penuntutan, dan Praperadilan Dalam Teori dan Praktek Untuk Praktisi, Dosen dan Mahasiswa, CV.Mandar Maju, Bandung. Bambang Purnomo, 1985, Asas-Asas Hukum Pidana, PT Ghalia, Jakarta Timur. Soejono, Ilmu Kejiwaan Kejahatan, PT Kaya Nusantara, Bandung. P.A.F. Lumintang, 1997, Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT.Citra Aditya Bakti, Bandung. Moeljatno, 2002, Asas Asas Hukum Pidana, PT Rineka Cipta. Peraturan Perundang undangan : Undang Undang Dasar 1945 Amendemen ke-4 Undang Undang No 11 Tahun 2010 tentang Benda Cagar Budaya Undang Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2012 Tata Cara Pelaksanaan Koordinasi, Pengawasan, dan Pembinaan Teknis Terhadap Kepolisian Khusus, Penyidik Pegawai Negeri Sipil, dan Bentuk-Bentuk Pengamanan Swakarsa. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan Kitab Undang Undang Hukum Acara Pidana. Surat Keputusan Menteri Kehakiman Nomor M. 04. PW. 07. 03 Tahun 1984 tentang Wewenang Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2010 tentang Koordinasi, Pengawasan dan Pembinaan Penyidikan bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil. Peraturan Daerah Yogyakarta Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Kawasan dan Benda Cagar Budaya. Skripsi : Andrea Angelina Cipta Wijaya, Perlindungan Hukum Terhadap Benda Cagar Budaya di kota malang. Website : http://polisijaya.blogspot.com/p/ppns.html. http://pospolisi.wordpress.com/2012/11/03/tugas-dan-wewenang-polri/