BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN. A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the

dokumen-dokumen yang mirip
1. PENDAHULUAN. meningkat pula frekuensi lalu lintas transportasi laut yang mengangkut manusia

PENERAPAN YURISDIKSI NEGARA DALAM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. Oleh: Ida Ayu Karina Diantari

BAB II KONVENSI KEJAHATAN PENERBANGAN SEBAGAI SEBUAH TINDAK PIDANA TERORISME MENURUT INSTRUMEN HUKUM INTERNASIONAL

BAB I PENDAHULUAN. frekuensi lalulintas transportasi laut yang mengangkut manusia dan barangbarang/

BAB II KEDAULATAN NEGARA DI RUANG UDARA BERDASARKAN KONVENSI CHICAGO D. Pengertian Ruang Udara dan Wilayah Udara Indonesia

BAB II PENGATURAN PEMBAJAKAN KAPAL DI LAUT MENURUT KETENTUAN HUKUM LAUT INTERNASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 1976 TENTANG PENGESAHAN KONVENSI TOKYO 1963, KONVENSI THE HAGUE 1970, DAN KONVENSI MONTREAL 1971

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

1 Keamanan Laut dan Tnaggung Jawab Indonesia: Tantangan dan Kendala, makalah TNI-AL yang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2006 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PUSAT KAJIAN ADMINISTRASI INTERNASIONAL LAN (2006) 1

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

No Laut Kepulauan (archipelagic sea lane passage) dan jalur udara di atasnya untuk keperluan lintas kapal dan Pesawat Udara Asing sesuai denga

ZONASI LAUT TERITORIAL. Oleh Dr. Ir. HJ. KHODIJAH ISMAIL, M.Si

II. TINJAUAN PUSTAKA

Hak Lintas Damai di Laut Teritorial

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

KERJA SAMA KEAMANAN MARITIM INDONESIA-AUSTRALIA: TANTANGAN DAN UPAYA PENGUATANNYA DALAM MENGHADAPI KEJAHATAN LINTAS NEGARA DI PERAIRAN PERBATASAN

BAB V KESIMPULAN. wilayah, tindakan atas hak dan kewajiban yang dilakukan di laut baik itu oleh

pres-lambang01.gif (3256 bytes)

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. konflik yurisdiksi antara negara pantai dengan negara bendera kapal. Konflik

Pembagian Kewenangan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Peraturan Perundang-Undangan Di Perairan Indonesia

ANTARA PIRACY DAN ARMED ROBBERY DI LAUT (Tinjauan Singkat Keamanan di Selat Malaka)

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia memiliki sejarah

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN HUKUM INTERNASIONAL MENGENAI BAJAK LAUT. Bajak laut (pirate) adalah para perampok di laut yang bertindak di luar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2014 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERJANJIAN ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA MENGENAI BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

LAMPIRAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 8 TAHUN 1994 TENTANG PENGESAHAN PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, II, III

PELAKSANAAN PRINSIP YURISDIKSI UNIVERSAL MENGENAI PEMBERANTASAN KEJAHATAN PEROMPAKAN LAUT DI WILAYAH INDONESIA

BAB V PENUTUP. yang mengalami kecelakaan di perairan Indonesia koordinasi terhadap

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Pada tahun 1982, tepatnya tanggal 10 Desember 1982 bertempat di Jamaika

ANALISIS PERJANJIAN EKSTRADISI ANTARA REPUBLIK INDONESIA DAN AUSTRALIA, 22 APRIL 1992

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2016 TENTANG PENGESAHAN MARITIME LABOUR CONVENTION, 2006 (KONVENSI KETENAGAKERJAAN MARITIM, 2006)

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME

2018, No BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan: 1. Wilayah Udara adalah wilayah kedaulatan udara di a

Keywords: UNCLOS 1982, Laut Yuridiksi Nasional, Pembajakan dan Perompakan

ISPS CODE Seri: Manajemen Pelabuhan

BAB II TINJAUAN UMUM KASUS PEMBAJAKAN KAPAL MAERSK ALABAMA DI PERAIRAN SOMALIA. 2.1 Kasus Pembajakan Kapal Maersk Alabama di Perairan Somalia

Hukum Laut Indonesia

BAB V PENUTUP. 1. Mengenai Perkembangan Penegakan Hukum Terhadap Kapal. Fishing (IUUF) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. perlindungan langsung dari salah satu negara.

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2018 TENTANG PENGAMANAN WILAYAH UDARA REPUBLIK INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 1992 TENTANG PELAYARAN [LN 1992/98, TLN 3493]

Kata Kunci : Yurisdiksi Indonesia, Penenggelaman Kapal Asing, UNCLOS

KONVENSI ASEAN TENTANG PEMBERANTASAN TERORISME

KONVENSI INTERNASIONAL TENTANG PENCARIAN DAN PERTOLONGAN MARITIM, 1979 (Hamburg, 27 April 1979)

Lex Crimen Vol. VI/No. 8/Okt/2017. Kata kunci: Tindak Pidana, Pendanaan, Terorisme.

PENGATURAN HUKUM PENANGGULANGAN PEMBAJAKAN DAN PEROMPAKAN LAUT DI WILAYAH PERAIRAN INDONESIA

Journal of International Relations, Volume 2, Nomor 3, Tahun 2016, hal Online di

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PELANGGARAN HAM YANG BERAT. Muchamad Ali Safa at

PENDAHULUAN. memiliki luas daratan kurang lebih km 2, serta Zona Ekonomi

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PEMBAJAKAN DI LAUT MELALUI YURISDIKSI MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL. Yordan Gunawan ABSTRACT

NCB Interpol Indonesia - Perjanjian Ekstradisi Antara Pemerintah Republik Indonesia Dan Philipina Selasa, 27 Juli :59

BAB I PENDAHULUAN. Laut memiliki peranan penting baik itu dalam sudut pandang politik,

22/09/2014 SEMINAR NASIONAL HUKUM LAUT FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ERLANGGA. Senin, 22 September 2014

Telah menyetujui sebagai berikut: Pasal 1. Untuk tujuan Konvensi ini:

PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR PER.03/MEN/2009 TENTANG PENANGKAPAN IKAN DAN/ATAU PENGANGKUTAN IKAN DI LAUT LEPAS

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2002 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA TERORISME [LN 2002/106, TLN 4232]

SAN REMO MANUAL TENTANG HUKUM PERANG DI LAUT BAB I KETENTUAN UMUM. Bagian I Ruang Lingkup Penerapan Hukum

PERENCANAAN KAWASAN PESISIR

TANGGUNGJAWAB NEGARA TERHADAP WARGA NEGARA INDONESIA YANG MENJADI KORBAN PEMBAJAKAN KAPAL DITINJAU DARI HUKUM LAUT INTERNASIONAL SKRIPSI

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Diadaptasi oleh Dewan Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Januari 2002

PERATURAN STATUTORI JURUSAN TEKNIK PERKAPALAN DAN TRANSPORTASI LAUT KATA PENGANTAR

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 4 TAHUN 1976 (4/1976) Tanggal: 27 APRIL 1976 (JAKARTA)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang

ATURAN PERILAKU BAGI APARAT PENEGAK HUKUM

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 42 TAHUN 2007 TENTANG

1998 Amandments to the International Convention on Maritime Search and Rescue, 1979 (Resolution MCS.70(69)) (Diadopsi pada tanggal 18 Mei 1998)

HUKUM PIDANA TRANSNASIONAL. Transnasional Internasional Dr. Trisno Raharjo, S.H. M.Hum.

KEPPRES 10/1997, PENGESAHAN PERSETUJUAN ANTARA PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA DAN PEMERINTAH KERAJAAN YORDANIA HASHIMIAH MENGENAI PELAYARAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 36 TAHUN 2002 TENTANG

Penegakan Hukum Terhadap Pembajakan di Laut Melalui Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional (Suatu Upaya Menghapus Budaya Impunitas)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENGANTAR ILMU DAN TEKNOLOGI KEMARITIMAN. Dr. Ir. Hj. Khodijah Ismail, M.Si www. Khodijahismail.com

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PUSANEV_BPHN. Beberapa Perundang-undangan yang terkait dengan Tugas TNI Angkatan Laut KUMDANG 1. Oleh : DISKUM TNI AL

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG LANDAS KONTINEN INDONESIA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. Keberadaan disruptive passenger atau unruly passenger merupakan salah

PUSANEV_BPHN. Prof. Dr. Suhaidi,SH,MH

BAB IV TINJAUAN HUKUM TERHADAP PENCURIAN IKAN OLEH KAPAL ASING DIPERAIRAN ZONA EKONOMI EKSKLUSIF BERDASARKAN UNDANG-

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

BAB II ATURAN-ATURAN HUKUM INTERNASIONAL TENTANG PEROMPAKAN A. Perompakan Menurut UNCLOS (United Nations Convention on the Law of the Sea) Dalam Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-bangsa (United Nation Convention on The Law of The Sea) UNCLOS 1982 yang mengatur tentang perompakan terdapat di dalam pasal 100-107. Didalam pasal 100 disebutkan bahwa aksi kejahatan Piracy (perompakan) merupakan tindakan ilegal yang terjadi di laut lepas atau disuatu tempat diluar yurisdiksi suatu negara. Kemudian dalam pasal 101 UNCLOS 1982, yang isinya sebagai berikut : a. Setiap tindakan kekerasan atau penahanan yang tidak syah, atau setiap tindakan memusnahkan, yang dilakukan untuk tujuan pribadi oleh awak kapal atau penumpang dari suatu kapal atau pesawat udara swasta dan ditujukan : i. Di laut lepas, terhadap suatu kapal atau pesawat udara lain atau terhadap orang atau barang yang ada diatas kapal atau pesawat udara demikian; ii. Terhadap suatu kapal, pesawat udara, orang atau barang disuatu tempat di luar yurisdiksi Negara manapun; b. Setiap tindakan turut serta secara sukarela delam pengoperasian suatu kapal atau pesawat udara dengan mengetahui fakta yang membuatnya suatu kapal atau pesawat udara pembajak.

c. Setiap tindakan mengajak atau dengan sengaja membantu tindakan yang disebutkan dalam sub ayat (a) atau (b). Dari isi pasal diatas dapatlah kita ambil kesimpulan bahwa perompakan di laut dapat disebut sebagai piracy apabila memenuhi unsur-unsur sebagai berikut: 1. Merupakan tindak kekerasan yang tidak sesuai hukum; 2. Untuk tujuan pribadi; 3. Yang dilakukan kepada awak atau penumpang dari private ship atau private aircraft; 4. Terjadi di laut bebas (high seas) atau di tempat lain di luar yurisdiksi nasional suatu negara. Dalam definisi tersebut dikatakan bahwa perompakan yang diatur dalam Konvensi ini merupakan tindakan kejahatan yang terjadi di laut bebas. Namun sebaliknya kegiatan pelanggaran terhadap kapal-kapal di dalam laut teritorial tidak dapat dianggap sebagai perompakan menurut hukum internasional. Karena pada kenyataannya justru sebagian besar insiden perompakan terjadi di laut teritorial suatu negara. Jadi mengenai aksi perompakan yang sering terjadi di perairan Somalia jika mengacu pada konvensi ini maka hal ini kurang relevan dengan kenyataan yang sebenarnya. Mengingat bahwa perompakan yang terjadi di Somalia terjadi baik di luar laut teritorial maupun di sekitar perairan laut negaranya.

Pada pasal 105 UNCLOS yang berbunyi ; di laut lepas, atau disetiap tempat lain di luar yurisdiksi Negara mananpun setiap negara dapat menyita suatu kapal atau pesawat udara perompak atau suatu kapal atau pesawat udara yang telah diambil oleh perompak dan berada dibawah pengendalian perompak dan menangkap orang-orang yang menyita barang yang ada di kapal. Pengadilan Negara yang telah melakukan tindakan penyitaan itu dapat menetapkan hukuman yang akan dikenakan, dan juga dapat menetap kan tindakan yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal, pesawat udara atau barangbarang, dengan tujuan tunduk pada hak-hak pihak ketiga yang telah bertindak dengan itikad baik. 19 Dari isi pasal diatas dapat kita menarik suatu kesimpulan bahwa kapal laut yang digunakan untuk melakukan kejahatan perompakan dapat dilakukan penyitaan oleh pihak ketiga atau negara lain yang mana penyitaan kapal perompak tersebut berada diluar yurisdiksi negara manapun. Pengadilan negara ketiga tersebut dapat memberikan hukuman yang akan dikenakan kepada pelaku perompakan serta menetapkan tindakan apa yang akan diambil berkenaan dengan kapal perompak tersebut. Sedangkan kapal atau pesawat udara yang berhak menyita karena perompakan tercantum dalam Pasal 107 yang berbunyi : Suatu penyitaan karena perompakan hanya dapat dilakukan oleh kapal perang atau pesawat militer, atau kapal atau pesawat udara lain yang secara jelas diberi tanda dan dapat dikenal sebagai dinas pemerintah dan yang diberi wewenang untuk melakukan hal tersebut. 20 Dalam pasal 105 UNCLOS 1982 disebutkan bahwa setiap negara manapun dapat menyita suatu kapal yang telah diambil oleh perompakdan berada dibawah pengendalian perompak dan menangkap orang-orang yang menyita barang yang 19 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982, Pasal 105 20 Ibid. Pasal 107

ada di kapal di setiap tempat lain di luar yurisdiksi negara manapun. Sedangkan dari pengegakan hukum terhadap pelaku perompakan UNCLOS 1982 memberikan kewenangan kapada negara yang telah melakukan tindakan penangkapan untuk menetapkan hukuman yang akan dikenakan kepada pelaku perompakan sesuai dengan hukum nasionalnya, dan juga dapat menetapkan tindakan apa yang akan diambil berkenaan dengan kapal-kapal dan barangbarang, yang dilakukan dengan itikad baik dari negara tersebut. B. Perompakan Menurut IMO (International Maritime Organization) Perompakan saat ini telah mengalami perubahan-perubahan baik dalam taktik, persenjataan maupun ruang lingkup operasi. Selain itu pada saat sekarang ini, perompakan telah dimasukkan kedalam kejahatan internasional dan diatur dalam hukum internasional. Organisasi Maritim Internasional (International Maritime Organization-IMO) merupakan salah satu badan organisasi internasional yang mengatur tentang perompakan di dunia. IMO mengeluarkan defenisinya tentang perompakan. Definisi yang dikeluarkan oleh IMO berdasarkan hukum laut internasional (United Nation Convention on the Law of the Sea) tahun 1982: 21 any illegal acts of violence or detention, or any act of depredation, committed for private ends by the crew or the passengers of a private ships or a private aircraft, and directed on the high seas against another ships or aircraft, or against persons or property on board such ship or aircraft; against a ship, aircraft, persons, or property in a place outside the jurisdiction of any state. setiap tindakan ilegal kekerasan atau penahanan, atau tindakan penjarahan, berkomitmen untuk tujuan pribadi oleh awak atau penumpang dari kapal pribadi atau pesawat pribadi, dan diarahkan di laut lepas terhadap yang lain kapal atau pesawat udara, atau terhadap orang atau 21 Ibid, Pasal 101

properti di kapal atau pesawat udara;. terhadap kapal, pesawat terbang, orang, atau properti di tempat di luar yurisdiksi negara manapun " Definisi IMO tersebut memiliki lima karakteristik yaitu : 22 1) Pembajakan laut harus melibatkan tindakan kriminal seperti kekerasan, penyekapan atau penjarahan. 2) Pembajakan laut harus dilakukan di laut lepas atau tempat lain diluar yurisdiksi sebuah negara. Ketentuan tersebut membatasi defenisi pada sebuah tindakan kekerasan atau penahanan illegal terhadap sebuah kapal di laut bebas atau di wilayah lainnyadi luar yurisdiksi sebuah negara. Sehingga, aksi perompakan dan pembajakan yang dilakukan di dalam wilayah laut teritorial suatu negara tidak akan dimasukkan kedalam istilah bajak laut. Oleh karena itu IMO mendefinisikan serangan kriminal dengan senjata terhadap kapal di dalam perairan teritorial sebagai perompakan bersenjata, bukan aksi bajak laut. Pembedaan ini akan berdampak sekali kepada perlakuan hukum terhadap para tersangka termasuk prosedur penangkapan, penahanan dan pengadilan serta vonis hukuman. 3) Defenisi UNCLOS tentang pembajakan laut adalah harus melibatkan dua kapal (two ships requirement). Bajak laut harus menggunakan sebuah kapal untuk menyerang kapal lain. Oleh karena itu, dengan definisi tersebut maka penyerangan yang dilakukan oleh penumpang atau awak kapal yang berasal dari dalam kapal tidak termasuk aksi perompakan. Begitu juga dengan 22 Defenisi Bajak Laut IMO. http://stayaware.wordpress.com/2008/10/29/defenisi-bajaklaut-imo. Diakses Pada 28 Mei 2012

penyerangan terhadap kapal yang sedang melabuh di pelabuhan dari atas dermaga. 4) Pembajakan laut harus dilakukan demi tujuan pribadi, yang mana tidak dimasukkan aksi terorisme atau kegiatan lingkungan sebagai aksi bajak laut. 5) Serangan oleh kapal angkatan laut tidak dapat disebut aksi perompakan karena serangan bajak laut harus dilakukan oleh awak atau penumpang kapal milik pribadi. Dan berdasarkan Pasal 2.2 dari International Maritime Organization Maritime Security Commite (Organisasi Maritim Internasional Komite Keamanan Maritim) (IMO MSC) Circular No. 984 tentang the Draft Code of Practice for the Investigation of the Crimes of Piracy and Armed Robbery Against Ships (Naskah kode praktek Investigasi terhadap Kejahatan Perompakan dan Perampokan bersenjata terhadap kapal), Armed robbery against ship (perompakan terhadap kapal) didefinisikan sebagai berikut: 23 Armed robbery against ships means any unlawful act of violence or detention or any act of depredation, or threat thereof, other than an act of piracy, directed against a ship or against persons or property on board such a ship, within a State s jurisdiction over such offenses perompakan bersenjata terhadap kapal merupakan suatu ancaman atau tindak kekerasan yang tidak sesuai dengan hukum, selain dari tindak perompakan, atau pembunuhan terhadap tawanan, terhadap kapal, individu, harta kekayaan, yang dilakukan didalam wilayah yurisdiksi suatu negara (IMO Draft Code of Practice). 23 Pembajakan dan Perompakan Bersenjata Terhadap Kapal-Kapal, http://www.imo.org/ourwork/security/piracyarmedrobbery/pages/default.aspx Diakses Pada 28 Mei 2012

Dalam definisi yang dijelaskan oleh IMO di atas semakin mempertegas perbedaan dari aksi perompakan, yaitu sebagaimana tercantum dalam UNCLOS 1982 bahwa perompakan terjadi diluar yurisdiksi suatu negara. Sedangkan aksi kejahatan yang dilakukan di dalam wilayah yurisdiksi suatu negara disebut sebagai armed robbery (perampokan bersenjata). Kekhawatiran akan tindakan melanggar hukum yang mengancam keselamatan kapal dan penumpang kapal dan awak kapal pada tahun 1980-an, IMO mengadakan sebuah koferensi pada Maret 1988 di Roma. Dalam konferensi ini lahirlah sebuah Konvensi Pemberantasan Tindakan Melawan Hukum terhadap Keselamatan Navigasi Maritim (Konvensi Roma 1988). Tujuan utama Konvensi ini adalah memastikan bahwa diambilnya tindakan yang tepat terhadap orangorang yang melakukan tindakan yang melanggar hukum terhadap kapal-kapal, termasuk penyitaan kapal dengan kekerasan, tindakan kekerasan terhadap orangorang di kapal. Tindakan melanggar hukum dalam Konvensi ini terdapat dalam Pasal 3 yang berbunyi: 24 1. Setiap orang yang melakukan kejahatan jika orang tersebut secara melawan hukum dan dengan sengaja: a) Merebut atau mengambil kendali atas kapal dengan kekerasan atau ancaman daripadanya atau bentuk intimidasi lainnya; atau 24 Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation (Rome, march 1988), Pasal 3

b) Melakukan tindakan kekerasan terhadap orang di atas kapal jika tindakan yang kemungkinan besar akan membahayakan navigasi yang aman bagi kapal itu; atau c) Menghancurkan sebuah kapal atau menyebabkan kerusakan pada kapal atau muatannya yang kemungkinan akan membahayakan navigasi yang aman bagi kapal itu; atau d) Ditempatkan atau dengan sengaja menempatkan dikapal, dengan cara apapun alat-alat yang kemungkinan akan merusak kapal itu atau menyebabkan kerusakan pada kapal itu, atau muatannya yang membahayakan atau mungkin membahayakan navigasi yang aman dari sebuah kapal; atau e) Menghancurkan atau merusak fasilitas nevigasi lautatau mengganggu jalannaya kegiatan mereka, jika tindakan tersebut akan membahayakan navigasi yang aman bagi kapal; atau f) Memberikan informasi yang salah, sehingga membahayakan navigasi aman kapal; g) Melukai atau membunuh seseorang,sehubungan dengan percobaan setiap tindak pidana yang ditetapkan dalm sub ayat (a) sampai (f) Dilihat dari segi penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan di laut (perompakan) IMO menyerahkannya kepada negara-negara untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk menetapkan yurisdiksinya atas tindak pidana yang dilakukan. Sehingga para pelaku dapat dihukum sesuai dengan hukum nasional negara mereka. Keterlibatan negara yang diharapkan oleh Imo adalah dengan menetapkan suatu tindakan pembajakan sebagai tindak pidana, mengakuinya sebagai perbuatan melawan hukum dan memiliki sifat pida dengan menetapkan kewajiban untuk melarang dilakukan mencegah, menuntut, dan memidana.

Dalam Pasal 11 Konvensi Roma 1988 dijelaskan bahwa setiap negara mengupayakan untuk memasukkan kejahatan-kejahatan di laut (perompakan) sebagai kejahatan yang dapat di ekstradisi. Hal ini diharapkan dapat memimalkan lepasnya para perompak dari pemidanaan, akibat dari belum adanya hukum nasional yang menetapkan tindakan pembajakan sebgai tindakan yang melawan hukum di negra yang menangkap para pelaku pembajakan. C. Perompakan Menurut IMB (International Maritime Bureau) International Maritime Bureau (IMB), mempunyai definisi piracyperompakan yang lebih luas dari pada yang diatur dalam UNCLOS 1982 Pasal 101. Dalam laporan IMB dikatakan bahwa perompakan hendaknya diartikan sebagai: act of boarding any vessel with the intent to commit theft or any other crime and with the intent or capability to use force in the furtherance thereof tindakan menumpang terhadap kapal dengan tujuan untuk mencuri atau tindakan kejahatan lainnya dengan dorongan untuk menggunakan kekerasan. Sehubungan dengan hal tersebut diatas, segala tindakan ataupun itikad untuk melakukan tindakan kejahatan di laut wilayah maupun di perairan kepulauan suatu negara dianggap sebagai tindakan pembajakan. Definisi ini juga berlaku bagi kapal-kapal yang sedang berada di pelabuhan untuk maksud bongkar muat. Lebih luasnya definisi pembajakan yang digunakan oleh IMB dapat dipahami, mengingat IMB sebagai suatu organisasi maritim (non government) yang didirikan oleh International Chambers of Commerce (ICC) dan didukung oleh suatu industri maritim yang mempunyai kepentingan besar terhadap

keselamatan pelayaran di laut. Sehingga walaupun masalah definisi ini masih ada perbedaan satu sama lain, data-data IMB selalu dijadikan rujukan di dunia maritim internasional. Sejalan dengan UNCLOS 1982 dan IMO, IMB juga menekankan penegakan hukum kepada para pelaku perompakan kapada negara-negara yang memiliki kepentingan dalam hal pemberantasan pembajakan. IMB tidak memiliki aturan secara khusus tentang pemidanaan para perompak, tatapi IMB memiliki Pusat Pelaporan Pembajakan yang bertugas untuk memberikan informasi kepada negara pemilik kapal agar dapat melakukan penegakan hukum terhadap aksi tersebut.