BAB II TIMBULNYA LEMBAGA PISAH MEJA DAN RANJANG DALAM PENGATURAN MENGENAI PERKAWINAN MENURUT KUH PERDATA (BW)



dokumen-dokumen yang mirip
BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) BUKU KESATU ORANG

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) BUKU KESATU ORANG

AKIBAT PERKAWINAN & PUTUSNYA PERKAWINAN

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

Setiap orang yang melaksanakan perkawinan mempunyai tujuan untuk. pada akhirnya perkawinan tersebut harus berakhir dengan perceraian.

Langkah-langkah yang harus dilakukan Pemohon (Suami) atau kuasanya :

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

PERATURAN PEMERINTAHREPUBLIK INDONESIA NOMOR 9 TAHUN 1975 TENTANG PELAKSANAAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sebagaimana diketahui bahwa setiap perkawinan masing-masing pihak dari suami

BAB IV. Putusan Pengadilan Agama Malang No.0758/Pdt.G/2013 Tentang Perkara. HIR, Rbg, dan KUH Perdata atau BW. Pasal 54 Undang-undang Nomor 7

A. Analisis Proses Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan Agama Purwodadi

P U T U S A N. Nomor: 0219/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA LAWAN

Perkara Tingkat Pertama Cerai Gugat. Langkah-langkah yang harus dilakukan Penggugat (Istri) atau kuasanya :

TELAAH TINGGINYA PERCERAIAN DI SULAWESI UTARA (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN AGAMA)

BAB III KEWARISAN ANAK DALAM KANDUNGAN MENURUT KUH PERDATA 1. A. Hak Waris Anak dalam Kandungan menurut KUH Perdata

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PUTUSAN. Nomor : 0562/Pdt.G/2009/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN. Nomor : 0279/Pdt.G/2009/PA.Pas BISMILLAAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

TINJAUAN YURIDIS ANAK DILUAR NIKAH DALAM MENDAPATKAN WARISAN DITINJAU DARI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HAK DAN KEWAJIBAN ORANG TUA DAN ANAK (ALIMENTASI) MENURUT K.U.H. PERDATA DAN U.U. NO.1 TAHUN 1974 SUNARTO ADY WIBOWO,SH.

BAB III PERCERAIAN MENURUT UNDANG-UNDANG PERKAWINAN NO. 1 TAHUN Soemiyati dalam bukunya Hukum Perkawinan Nasional dan Undang-undang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Presiden Republik Indonesia,

PUTUSAN. Nomor : 0391/Pdt.G/2009/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

MATRIK PERBANDINGAN UNDANG-UNDANG RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG SEBAGAIMANA YANG TELAH DIUBAH DENGAN UNDANG-UNDANG NO

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

P U T U S A N. Nomor: 0211/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUKUM ACARA PERDATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WARISAN

PUTUSAN Nomor 0930/Pdt.G/2015/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. melawan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

sebagai berikut, dalam perkaranya : l a w a n Pengadilan Agama tersebut. TENTANG DUDUK PERKARANYA menerangkan hal-hal yang intinya sebagai berikut :

PERATURAN PEMERINTAH PENGGANTI UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1998 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG TENTANG KEPAILITAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

1. Penikmatan hak-hak kewargaan tidak tergantung pada hak-hak kenegaraan.

PENUNJUK Undang-undang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA. M e l a w a n

SALINAN P U T U S A N

P U T U S A N. Nomor XXXX/Pdt.G/2014/PA.Ktbm BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PUTUSAN. Nomor : 1173/Pdt.G/2008/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2004 TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PUTUSAN Nomor : 0849/Pdt.G/2012/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

SALINAN P U T U S A N Nomor 40/Pdt.G/2012/PA.Sgr. pada tingkat pertama, telah menjatuhkan putusan sebagai berikut, dalam perkara Cerai

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1995 TENTANG PERSEROAN TERBATAS DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PUTUSAN Nomor : 301/Pdt.G/2011/PA.Pkc.

PANDUAN MENGAJUKAN GUATAN CERAI

PUTUSAN. Nomor : 0689/Pdt.G/2009/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG Nomor: 7 TAHUN 1989 Tentang PERADILAN AGAMA Tanggal: 29 DESEMBER 1989 (JAKARTA) LN 1989/49; TLN NO PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

P U T U S A N Nomor 153/Pdt.G/2014/PA.Mtk

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

P U T U S A N. Nomor: 0072/Pdt.G/2010/PA.Spn BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MELAWAN

NOMOR 7 TAHUN 1989 TENTANG PERADILAN AGAMA

Perpajakan 2 Pengadilan Pajak

PUTUSAN. Nomor : 0814/Pdt.G/2010/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

P U T U S A N. Nomor : 06/PDT/2015/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS. 1. Pertimbangan Hakim dalam Memutuskan Perceraian (Putusan. Banyuwangi) perspektif UU No.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dinyatakan pada Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1995 (1/1995) Tanggal: 7 MARET 1995 (JAKARTA)

*14671 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 4 TAHUN 2004 (4/2004) TENTANG KEKUASAAN KEHAKIMAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB VII PERADILAN PAJAK

PROSEDUR DAN PROSES BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA

PUTUSAN Nomor:343/Pdt.G/2011/PA.Dum BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA


PUTUSAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MELAWAN

P U T U S A N Nomor 90/Pdt.G/2014/PTA Mks. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN. Nomor : 0954/Pdt.G/2011/PA.Pas. BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

menjatuhkan putusan sebagai berikut, dalam perkaranya : L a w a n Pengadilan Agama tersebut.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESI NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TENTANG DUDUK PERKARANYA

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERKUMPULAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. dinyatakan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Permohonan Cerai Talak antara pihak-pihak ; LAWAN. Termohon ;--

PUTUSAN. Nomor : 0512/Pdt.G/2009/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

P U T U S A N. Nomor: 0087/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA LAWAN

PUTUSAN. Nomor : 0824/Pdt.G/2010/PA.Pas BISMILLAHIRROHMAANIROHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB IV ANALISIS YURIDIS TERHADAP ALASAN-ALASAN MENGAJUKAN IZIN PERCERAIAN PEGAWAI NEGERI SIPIL DI LINGKUNGAN KANTOR PEMERINTAHAN KABUPATEN GRESIK

BAB III HAK WARIS ANAK SUMBANG. A. Kedudukan Anak Menurut KUH Perdata. Perdata, penulis akan membagi status anak ke dalam beberapa golongan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 1998 TENTANG

P U T U S A N. Nomor: 0133/Pdt.G/2010/PA.Spn. BISMILLAAHIRRAHMAANIRRAHIIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PUTUSAN. Nomor : 0971/Pdt.G/2012/PA.Pas BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA MELAWAN

P U T U S A N Nomor: 1479/Pdt.G/2014/PA. Pas

PUTUSAN Nomor 0938/Pdt.G/2015/PA. Pas

PENGADILAN TINGG P U T U S A N. Nomor : 237/PDT/2016/PT-MDN DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

PROSEDUR BERPERKARA DI PENGADILAN AGAMA JEMBER

P U T U S A N Nomor: 0108/Pdt.G/2010/PA.Spn.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 14 TAHUN 2002 TENTANG PENGADILAN PAJAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

BAB II TIMBULNYA LEMBAGA PISAH MEJA DAN RANJANG DALAM PENGATURAN MENGENAI PERKAWINAN MENURUT KUH PERDATA (BW) A. Pengertian Perpisahan Meja dan Ranjang Menurut KUH Perdata BW KUH Perdata (BW) tidak secara tegas menyatakan definisi tentang perpisahan meja dan ranjang. Namun demikian dari Pasal-pasal yang mengatur tentang perpisahan meja dan ranjang dapat dinyatakan bahwa perpisahan meja dan ranjang adalah suatu keadaan hukum dimana pasangan suami isteri yang masih terikat tali perkawinan tidak lagi memiliki kewajiban untuk tinggal bersama dalam satu atap rumah. 31 Seorang suami tidak lagi memiliki hak untuk mewajibkan isterinya tinggal bersama dalam rumah kediamannya. Demikian pula sebaliknya seorang isteri memperoleh kembali kebebasannya untuk menentukan sendiri tempat tinggal/rumah yang ingin didiaminya, dan tidak lagi wajib mengikuti tempat tinggal suaminya. Peristiwa pisah meja dan ranjang yang telah dilakukan pasangan suami isteri tersebut memiliki akibat hukum bagi pasangan suami isteri dibidang harta benda perkawinan yaitu : 32 1. Pengakhiran, percampuran harta benda perkawinan antara pasangan suami isteri tersebut seolah-olah telah terjadi suatu perceraian (Pasal 243 KUH Perdata BW). 31 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, SUMUR, Bandung, 1976, hlm. 23. 32 Kho Tjay Sing, Hukum Perdata, Jilid I (Hukum Perseorangan dan Keluarga), Loka Cipta, Semarang, 1984, hlm 12.

2. Penghentian sementara pengurusan atas harta isteri oleh suami (Pasal 244 KUH Perdata BW). 3. Apabila perpisahan meja dan ranjang diputuskan oleh hakim karena alasan tertentu sebagaimana tercantum dalam Pasal 233 KUH Perdata (BW), maka akibat-akibat dari keuntungan tertentu yang diperjanjikan antara pasangan suami-isteri serta pemberian nafkah adalah sama dengan hal perceraian. Tetapi hal tersebut di atas tidak berlaku apabila keputusan pisah meja dan ranjang diambil oleh suami-isteri tanpa mengajukan alasan. Dalam hal tersebut di atas wajib dibuat suatu akta otentik antara pasangan suami-isteri yaitu suatu perjanjian berdasarkan kesepakatan bersama yang berisikan hak dan kewajiban suami-isteri yang harus dipatuhi dan dilaksanakan bersama pada saat perpisahan meja dan ranjang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Perpisahan meja dan ranjang dapat menimbulkan Perceraian bila selama menjalani masa perpisahan meja dan ranjang pasangan suami-isteri tersebut tidak dapat mencapai suatu kesepakatan untuk berdamai. Sebaliknya apabila selama masa menjalani perpisahan meja dan ranjang dapat tercapai suatu kesepakatan untuk melakukan perdamaian maka demi undangundang peristiwa perpisahan meja dan ranjang tersebut batal demi hukum. Perdamaian antara pasangan suami-isteri yang menjalani perpisahan meja dan ranjang membawa konsekuensi hukum yaitu semua akibat hukum dari perkawinan diantara pasangan suami-isteri tersebut dinyatakan hidup/berlaku kembali, namun semua tindakan kepada pihak ketiga selama menjalani perpisahan meja dan ranjang sebelumnya tetap berlaku. Pasal 248 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa :

Perpisahan meja dan ranjang demi hukum menjadi batal karena perdamaian suami-isteri, dan hiduplah kembali karenanya segala akibat perkawinan, sementara itu dengan tidak mengurangi akan terus berlakunya perbuatanperbuatan perdata terhadap pihak ketiga, yang dilakukan kiranya dalam tenggang antara perpisahan dan perdamaian. Segala persetujuan antara suami-isteri bertentangan dengan ini, adalah batal. Pasal 119 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suamiisteri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Pasal 119 KUH Perdata (BW) ini memberikan penegasan bahwa sejak adanya perkawinan antara suami dan isteri, seluruh harta kekayaan yang diperoleh selama perkawinan tersebut berlangsung merupakan harta bersama (gono-gini) sepanjang tidak ditentukan lain melalui suatu perjanjian sebelum perkawinan tersebut dilangsungkan. Pasal 120 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, Sekedar mengenai labalabanya, persatuan harta kekayaan tersebut meliputi harta kekayaan suami dan isteri, bergerak dan tak bergerak, baik yang sekarang maupun yang kemudian, maupun pula yang mereka peroleh dengan cuma-cuma, kecuali dalam hal yang terakhir ini yang mewariskan atau yang menghibahkan dengan tegas menentukan sebaliknya. Pasal 120 KUH Perdata (BW) ini menegaskan tentang bagian-bagian yang menjadi harta bersama, termasuk harta kekayaan yang diperoleh secara Cuma-cuma dari pihak ketiga. Kemudian pihak ketiga yang memberikan harta kekayaan tersebut menentukan bahwa harta yang diberikannya tersebut merupakan harta bawaan yang terlepas dari harta bersama. Selanjutnya Pasal 121 KUH Perdata (BW) menyatakan

bahwa, Sekedar mengenai beban-bebannya, persatuan itu meliputi segala utang suami-isteri masing-masing yang terjadi, baik sebelumnya maupun sepanjang perkawinan. Pasal 124 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, Suami sendiri harus mengurus harta kekayaan persatuan. Suami diperbolehkan menjual, memindah tangankan dan membebaninya tanpa campur tangan isteri, kecuali memindah tangankan atau membebani barang-barang tak bergerak si isteri, surat-surat pendaftaran dalam buku besar tentang perutangan umum, surat-surat berharga lainnya dan hutang-piutang atas nama isteri, sekedar olehnya dimasukkan dalam persatuan, atau yang sepanjang perkawinan masuk kiranya dari pihak isteri di dalamnya. Suami bertindak sebagai kepala persatuan suami-isteri hanya dalam masa perkawinan tersebut masih berlangsung. Bila terjadi perceraian, maka segala wewenang suami terhadap harta persatuan menjadi gugur, karena Undang-Undang mengharuskan pembagian harta persatuan tersebut secara adil diantara pasangan suami-isteri itu. Dalam pasal 243 KUH Perdata (BW), dinyatakan bahwa, Perpisahan meja dan ranjang selamanya mengakibatkan perpisahan harta kekayaan dan karenanya merupakan alasan untuk mengadakan perpisahan persatuan, seolah-olah perkawinan telah dibubarkan. Selanjutnya Pasal 244 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, Karena perpisahan meja dan ranjang, pengurusan suami atas harta kekayaan isteri dipertangguhkan. Akibat hukum perpisahan meja dan ranjang terhadap harta kekeyaan suamiisteri yang diperoleh selama masa perkawinan (gono-gini) adalah sama dengan

perceraian, yakni diharuskannya dilakukan pembagian yang sama diantara suamiisteri tersebut dan secara otomatis mempertangguhkan untuk sementara waktu hak suami sebagai kepala persatuan suami-isteri dalam mengurus harta kekayaan persatuan tersebut. Artinya hak suami dalam pengurusan harta kekayaan isterinya untuk sementara waktu tidak dapat lagi dilaksanakannya. 33 B. Tujuan Diadakannya Lembaga Pisah Meja dan Ranjang dalam Pengaturan Hukum Perkawinan Menurut KUH Perdata (BW) Sebagaimana diketahui bahwa hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) dilahirkan di dunia barat yang sebahagian besar penduduknya beragama Kristen. Di dalam hal perkawinan, agama Kristen berpegang kepada prinsip bahwa sorang laki-laki hanyalah dapat kawin dengan seorang perempuan saja, dan seorang perempuan hanya dapat kawin dengan seorang laki-laki (Asas Monogami Absolut). Prinsip ini memperoleh penegasan dalam pasal 27 KUH Perdata (BW) yang berbunyi, Dalam waktu yang sama seorang laki-laki, hanya boleh mempunyai seorang isteri, dan seorang perempuan hanya boleh mempunyai seorang suami. Pelanggaran terhadap prinsip tersebut di atas tidak hanya menimbulkan batalnya perkawinan, tapi juga diancam hukuman menurut pasal 279 KUH Pidana. Pasal 279 KUH Pidana tersebut menyatakan bahwa, Diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun : 33 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Orang dan Hukum Keluarga, Nuansa Aulia Bandung, 2007, hlm, 59.

1. Barang siapa mengadakan perkawinan mengetahui bahwa pernikahan atau perkawinan-perkawinannya yang telah ada menjadi penghalang yang sah untuk itu. 2. Barang siapa mengadakan perkawinan padahal mengetahui bahwa perkawinan atau perkawinan-perkawinan pihak lain, menjadi penghalang untuk itu. Di samping itu KUH Perdata juga memperberat syarat-syarat untuk melakukan perceraian. Pasal 209 KUH Perdata (BW) mengatur tentang alasan-alasan yang diperbolehkan UU dalam menuntut suatu perceraian. Hanya dengan alasan yang disebutkan dalam pasal 209 KUH Perdata (BW) tersebut yang boleh dijadikan dasar dalam mengajukan tuntutan perceraian. Alasan-alasan yang termuat dalam pasal 209 KUH Perdata (BW) tersebut antara lain adalah: 1. Zinah, 2. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan iktikad jahat, 3. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atau dengan hukuman yang lebih berat yang diucapkan oleh hakim di pengadilan setelah perkawinan, 4. Melukai berat atau menganiyaya, sehingga membahayakan jiwa, pihak yang dilukai atau dianiyaya atau mengakibatkan lukaluka yang membahayakan. Dari rumusan yang terdapat dalam pasal 209 KUH Perdata (BW) tersebut diketahui bahwa alasan-alasan perceraian tersebut merupakan suatu perbuatan nyata yang harus dapat dibuktikan oleh pihak yang akan mengajukan tuntutan perceraian dalam hal perbuatan zina. Pihak suami atau isteri yang merasa dirugikan terhadap perbuatan pasangannya tersebut, harus dapat membuktikan secara nyata/otentik bahwa perbuatan zina tersebut telah terjadi atau telah dilakukan. Perbuatan zina

merupakan pengingkaran terhadap perkawinan itu sendiri yang menuntut suatu kesetiaan dari masing-masing pasangan. Karena itu KUH Perdata (BW) memandang perbuatan zina merupakan perbuatan yang melawan hukum yang tidak saja bisa mengakhiri perkawinan tapi juga pelakunya dapat dikenakan sanksi pidana. Demikian pula halnya dengan meninggalkan tempat tinggal bersama dengan niat jahat. Pasal 103 KUH Perdata (BW) dengan tegas menyatakan bahwa, Suami dan isteri, mereka harus saling setia menasehati, tolong menolong dan bantu membantu. Pasal 109 KUH Perdata (BW) selanjutnya menyatakan bahwa, Setiap suami wajib menerima diri isterinya dalam rumah yang di diaminya. Berwajiblah pula ia melindunginya dan memberi padanya segala apa yang diperlukan dan berpatutan dengan kedudukan dan kemampuannya. Dari rumusan pasal 103 dan 107 KUH Perdata (BW) tersebut di atas dapat ditegaskan bahwa pasangan suami-isteri harus saling tolong-menolong dan bantu membantu dalam satu rumah tangga yang didiami bersama diantara keduanya. Dengan demikian perbuatan meninggalkan tempat bersama apa lagi dengan iktikad jahat merupakan suatu perbuatan melawan hukum yang juga dapat dijadikan alasan penuntutan perceraian bagi salah satu pasangan yang merasa dirugikan dengan perbuatan tersebut. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun atau hukuman yang lebih berat dari itu, setelah perkawinan pada hakikatnya juga perbuatan melawan hukum terhadap ketentuan pasal 107 KUH Perdata (BW) tersebut di atas. Demikian pula halnya dengan melukai/menganiaya pasangan yang dapat

membahayakan/mengancam jiwa pasangan tersebut merupakan perbuatan yang melanggar ketentuan pasal 103 dan 107 KUH Perdata (BW) tersebut. Dari uraian tentang alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk melakukan penuntutan perceraian tersebut, dapat dikatakan bahwa seluruh perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh salah satu pasangan suami-isteri tersebut, harus dapat dibuktikan di pengadilan pada saat dilaksanakannya sidang tuntutan perceraian tersebut. Hakim dapat saja menolak tuntutan perceraian yang diajukan tersebut dengan alasan tidak kuatnya bukti yang diajukan di pengadilan. Kecuali di antara pasangan suami-isteri tersebut telah terjadi Mufakat Jahat untuk melakukan rekayasa hukum sehingga tuntutan perceraian tersebut dapat dikabulkan oleh hakim. Perbuatan melakukan tuntutan perceraian dengan mufakat jahat atau dengan persetujuan diantara pasangan suami-isteri tersebut adalah dilarang oleh KUH Perdata (BW). Pasal 208 KUH Perdata (BW) menegaskan pelarangan perbuatan tersebut dengan menyatakan, Perceraian suatu perkawinan sekali-kali tidak dapat dicapai dengan suatu persetujuan antara kedua belah pihak (pasangan suami-isteri tersebut). Apabila perceraian karena persetujuan suami-isteri tersebut dapat dibuktikan kebenarannya, maka hakim berwenang membatalkan tuntutan perceraian yang diajukan oleh pasangan suami-isteri tersebut. Memperhatikan uraian tentang alasanalasan agar dapat melakukan tuntutan terhadap perceraian tersebut, maka dapatlah dikatakan bahwa proses hukum untuk melakukan perceraian menurut KUH Perdata (BW) adalah cukup berat dan membutuhkan alasan-alasan yang jelas dan nyata serta terbukti kebenarannya. Hal ini mengindikasikan bahwa KUH Perdata (BW) pada

prinsipnya tidak menghendaki terjadinya perceraian dalam suatu perkawinan 34. Oleh karena itu diadakanlah suatu lembaga yang disebut lembaga pisah meja dan ranjang yang eksistensinya bertujuan untuk mengupayakan agar tidak terjadi suatu perceraian. Dalam kehidupan berumah tangga suatu perkawinan sering terjadi masalah-masalah yang harus dihadapi oleh pasangan suami-isteri yang tak jarang menimbulkan perbedaan pendapat, perselisihan bahkan pertengkaran antara pasangan suami-isteri tersebut karena permasalahan yang dihadapi itu. Perselisihan dan pertengkaran tersebut dapat pula menimbulkan keretakan dalam kehidupan berumah tangga yang pada akhirnya mengancam keutuhan perkawinan itu sendiri. Oleh karena itu dibutuhkan suatu ketenangan dan penurunan tingkat emosional dalam upaya menyelamatkan keutuhan suatu kehidupan berumah tangga (perkawinan). Untuk mencapai ketenangan dan penurunan tingkat emosional yang tinggi tersebut atau kejenuhan dalam kehidupan berumah tangga, mungkin saja diperlukan kesendirian untuk merenung dan memaknai kembali hakikat perkawinan tersebut. Apalagi dalam perkawinan itu telah dilahirkan anak-anak yang merupakan buah dari ikatan cinta pasangan suami-isteri. Untuk itulah diadakan lembaga pisah meja dan ranjang yang pada intinya adalah melakukan perpisahan kehidupan suami-isteri untuk tidak lagi hidup dalam satu rumah dan berusaha untuk memikirkan kehidupan masing-masing sesuai dengan pemikirannya sendiri. Dengan terjadinya pisah meja dan ranjang dalam perkawinan antara pasangan suami-isteri tersebut maka menimbulkan akibat hukum 34 K. Wanjik Soleh, Himpunan Peraturan dan Undang-Undang tentang Perkawinan, Ichtiar Baru, Jakarta 1974, hlm. 17.

baru bagi kedua belah pihak. Akibat hukum yang timbul dari peristiwa pisah meja dan ranjang tersebut diantaranya adalah tidak diwajibkannya lagi pasangan suamiisteri tersebut untuk tinggal bersama dalam satu atap/ rumah dan juga mengakibatkan terjadinya perpisahan harta kekayaan, dan juga bisa berdampak pada mengadakannya perpisahan persatuan seolah-olah perkawinan tersebut telah dibubarkan. Namun pada intinya perpisahan meja dan ranjang tidak mengakhiri suatu perkawinan, akan tetapi akibat hukumnya pada harta kekayaan seolah-olah sama dengan telah terjadinya perceraian 35. Lembaga pisah meja dan ranjang dapat digunakan oleh pasangan suamiisteri untuk mengevaluasi sikap dan perilaku masing-masing dan melakukan perbaikan-perbaikan terhadap sikap dan perilaku tersebut sehingga di harapkan dapat terjadi perdamaian diantara pasangan suami-isteri tersebut. Dengan terjadinya perdamaian, maka dengan sendirinya akan membatalkan perpisahan meja dan ranjang tersebut. Dengan batalnya perpisahan meja dan ranjang tersebut, maka keutuhan perkawinan dari pasangan suami-isteri tersebut kembali seperti semula dan yang paling penting adalah perceraian diantara pasangan suami-isteri dapat dihindari. Inilah sesungguhnya makna dari keberadaan lembaga pisah meja dan ranjang tersebut yakni mengupayakan agar perkawinan dapat terjaga dengan utuh dan perceraian dapat dicegah/dihindari semaksimal mungkin. Pada prakteknya lembaga pisah meja dan ranjang jarang/hampir tidak pernah digunakan oleh pasangan suami-isteri dalam menyelamatkan keutuhan perkawinan 35 Muhammad Anwar, Hukum Perkawinan menurut KUH Perdata (BW), Ghalia Indonesia, Bandung, 1999, hlm. 29.

atau menghindari terjadinya perceraian di kalangan golongan tionghoa dimana lembaga pisah meja dan ranjang tersebut berlaku sesuai dengan KUH Perdata (BW) 36. Dikalangan golongan tionghoa justru sering diumumkan di Media Cetak (surat kabar) tentang pernyataan putus hubungan antara pasangan suami-isteri agar dapat diketahui oleh pihak ketiga. Pernyataan putus hubungan yang sering dimuat dalam media cetak (Surat kabar) tersebut merupakan pernyataan yang mengindikasikan telah terjadi suatu perceraian antara pasangan suami-isteri tersebut dan merupakan pengumuman kepada pihak ketiga agar diketahui secara luas, khususnya bagi rekan-rekan bisnis pasangan suami-isteri tersebut. Dengan jarangnya lembaga pisah meja dan ranjang digunakan dalam upaya menyelamatkan keutuhan suatu perkawinan atau menghindari terjadinya suatu perceraian, maka tujuan diadakannya lembaga pisah meja dan ranjang tersebut dalam pengaturan perkawinan menjadi tidak tercapai/tidak menemui sasarannya. Hal ini bisa saja terjadi karena kurang dikenalnya lembaga pisah meja dan ranjang di kalangan golongan tionghoa. Pada umumnya pada bidang hukum perkawinan, golongan tionghoa hanya mengenal kata Perkawinan dan Perceraian dalam mengakhiri perkawinan. Sedangkan lembaga pisah meja dan ranjang nyaris terlupakan sebagai suatu lembaga yang dapat digunakan untuk melakukan penyelamatan atau untuk menghindari terjadinya suatu perceraian sebagaimana tujuan diadakannya lembaga tersebut dalam pengaturan perkawinan. 36 Abdurahman Fikri, Lembaga Pisah Meja dan Ranjang, dan Akibat Hukumnya, Mitra Persada, Jakarta, 1998, hlm 46.

Meskipun lembaga pisah meja dan ranjang bertujuan untuk menyelamatkan keutuhan suatu perkawinan atau menghindari terjadinya suatu perceraian, namun pada prakteknya sering pula mengalami kegagalan untuk mendamaikan pasangan suami-isteri tersebut. Apabila selama masa pisah meja dan ranjang tidak terjadi suatu perdamaian dan perpisahan tersebut telah berjalan genap 5 (lima) tahun lamanya, maka para pihak dapat menuntut supaya perkawinan dibubarkan. Pembubaran perkawinan yang dimaksud di sini adalah dengan melakukan penuntutan perceraian yang diajukan oleh salah satu pihak pasangan suami-isteri tersebut. Pasal 200 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, Apabila suami-isteri telah berpisah meja dan ranjang, baik karena salah satu alasan tersebut dalam pasal 233 KUH Perdata (BW) maupun atas permimtaan kedua belah pihak, dan perpisahan tersebut telah berjalan genap 5 (lima) tahun lamanya dengan tak adanya perdamaian antara kedua belah pihak, maka tiap-tiap mereka adalah leluasa menarik pihak yang lain di muka pengadilan dan menuntut, supaya perkawinan dibubarkan. Dari rumusan pasal 200 KUH Perdata tersebut diatas maka dapat dikatakan bahwa lembaga pisah meja dan ranjang juga memiliki keterbatasan dalam upaya menyelamatkan keutuhan perkawinan atau menghindari terjadinya suatu perceraian. Dengan demikian tidak ada jaminan keberhasilan dalam menyelamatkan keutuhan perkawinan atau untuk menghindari terjadinya perceraian, meskipun telah digunakan lembaga pisah meja dan ranjang tersebut. Dalam hal pasangan suami isteri menggunakan lembaga pisah meja dan ranjang dalam mengatasi masalah perselisisihan/pertengkaran dalam suatu kehidupan perkawinan, maka

konsekuensinya adalah perkawinan masih tetap utuh/berlangsung diantara pasangan suami-isteri tersebut, namun menimbulkan hak dan kewajiban yang sama seperti telah terjadinya perceraian. Untuk melakukan penuntutan perceraian, pasangan suami-isteri tersebut harus menunggu jangka waktu perpisahan meja dan ranjang tersebut sampai genap 5 (lima) tahun. Hal ini menimbulkan dampak hukuman dan juga psikologis bagi pasangan suami-isteri yang melakukan pisah meja dan ranjang tersebut. Dampak hukumnya adalah tidak diwajibkannya lagi pasangan suami-isteri untuk hidup bersama dalam satu rumah, dan terjadinya perpisahan harta kekayaan dan perpisahan persatuan antara pasangan suami-isteri tersebut. Dampak psikologisnya adalah kehidupan suami isteri yang terpisah satu sama lain meskipun masih terikat dalam suatu ikatan perkawinan menimbulkan pembatasan-pembatasan antara pasangan suami-isteri tersebut dalam merencanakan penggantian pasangan hidup selanjutnya dalam suatu perkawinan berikutnya. KUH Perdata (BW) melarang pasangan suamiisteri yang masih terikat tali perkawinan untuk melangsungkan perkawinan berikutnya, bahkan KUH Pidana mengancam perbuatan melangsungkan perkawinan berikutnya tersebut dengan ancaman pidana 5 (lima) tahun penjara sesuai dengan Pasal 279 ayat (1) KUH Pidana. Menurut Pasal 279 ayat (2) KUH Pidana menyatakan bahwa, Jika yang melakukan perbuatan tersebut menyembunyikan kepada pihak dan bahwa perkawinan yang telah ada akan menjadi penghalang yang sah untuk itu diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun. Selanjutnya pasal 280 KUH Pidana menyatakan bahwa, Barang siapa mengadakan perkawinan, padahal sengaja tidak memberitahukan kepada pihak lain bahwa ada penghalang yang sah,

diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun, apabila kemudian berdasarkan penghalang tersebut, perkawinan lalu dinyatakan tidak sah. Dari uaraian diatas dapat diketahui bahwa perpisahan meja dan ranjang tidak mengakhiri ikatan perkawinan yang telah terjadi antara pasangan suami isteri tersebut. Apabila salah satu pihak yang sedang berada dalam jangka waktu perpisahan meja dan ranjang tersebut melangsungkan perkawinan baik secara terang-terangan maupun secara sembunyi-sembunyi maka berdasarkan Pasal 279 dan Pasal 280 KUH Pidana maka pasangan yang melangsungkan perkawinan tersebut dapat diganjar dengan hukuman penjara. Perpisahan meja dan ranjang tidak pernah digunakan oleh golongan timur asing tionghoa bila terjadi permasalahan dalam kehidupan perkawinan mereka. 37 Pada umumnya bila dalam sebuah perkawinan telah terjadi banyak sekali perbedaan pendapat, perselisihan dan bahkan pertengkaran yang menjurus kepada penganiayaan atau kekerasan fisik yang dilakukan oleh pasangan suami-isteri tersebut terhadap pasangannya yang lain, maka pihak yang teraniaya ataupun tersakiti tersebut secara psikologis cenderung untuk mengakhiri perkawinan tersebut dengan tuntutan perceraian. 38 Rasa benci, emosional yang tinggi dan kejenuhan yang telah berlangsung cukup lama karena seringnya terjadi perselisihan, pertengkaran bahkan kekerasan fisik tersebut akan memicu pasangan tersebut untuk mengambil keputusan yang cenderung emosional pula dan tidak lagi dengan menggunakan pertimbangan 37 Wawancara dengan Mansyurdin, Panitra PenggantiPada Pengadilan Negeri Medan pada hari Rabu Tanggal 1 Juni 2011, Pukul 09.00 Wib di ruang kerjanya. 38 Wawancara dengan Darma Putra (Liem Te It) dan Suratna Chandra (Mei Ling Hwa), Pasangan Suami- Isteri golongan timur asing tiong hoa yang sedang mengalami proses hukum perceraian di Pengadilan Negeri Medan, pada Hari Rabu, Tanggal1 Juni 2011, Pukul 11.00 Wib di Pengadilan Negeri Medan.

akal pikiran yang arif dan bijaksana. Apabila pertimbangan masih didasarkan kepada akal pikiran yang sehat, arif dan bijaksana, maka pengambilan keputusan dari para pihak pasangan suami-isteri tersebut akan lebih condong mempertahankan keutuhan perkawinan tersebut dengan menempuh jalur pendekatan dari hati ke hati terhadap pasangannya sehingga dapat tercipta kembali kerukunan maupun keharmonisan hidup berumah tangga dalam suatu ikatan perkawinan yang sakral. Apabila langkah pendekatan (approach) dan hati ke hati gagal mencapai tujuan seperti yang diinginkan, maka masih bisa ditempuh upaya lainnya, yakni dengan menggunakan lembaga pisah meja dan ranjang yang tujuan akhirnya tetap mempertahankan keutuhan suatu perkawinan. Meskipun akibat hukum yang timbul dari peristiwa hukum pisah meja dan ranjang tersebut adalah sama dengan peristiwa hukum perceraian, namun tidak mengakhiri ikatan perkawinan yang telah terjadi diantara pasangan suami-isteri tersebut 39. Namun pada praktek pelaksanaannya di masyarakat golongan timur asing tionghoa, ternyata lembaga pisah meja dan ranjang tidak menjadi pilihan dalam menyelesaikan kemelut yang terjadi dalam suatu perkawinan. Para pihak yang mengalami masalah kemelut dalam kehidupan perkawinannya cenderung lebih memilih perceraian, sebagai solusi pemecahan masalah perkawinan tersebut. 40 Hal ini menunjukkan bahwa pandangan pasangan suami-isteri dalam perkawinan mulai megalami pergeseran nilai sehingga pada masa sekarang ini sering 39 RM Suryo Diningrat, Asas Monogami Absolut dalam Perkawinan menurut KUH Perdata (BW), Tarsito Bandung, 2001, hlm 29. 40 Wawancara dengan Wilton Leo (Ham Fu Hung ) dan Lina Gunawan (Acui Lien), Pasangan Suami-Isteri golongan timur asing Tionghoa yang sedang menjalani proses hukum perceraian di Pengadilan Negeri Medan pada Hari Senin, Tanggal 6 Juni 2011, Pukul 10.00 Wib di Pengadilan Negeri Medan.

kita saksikan di masyarakat khususnya pada golongan Timur Asing tionghoa, bahwa ikatan perkawinan yang seharusnya dijaga dan dipertahankan, menjadi begitu gampang untuk diakhiri melalui suatu tuntutan perceraian. Bahkan demi dikabulkannya tuntutan perceraian tersebut pasangan suami-isteri tersebut secara diam-diam melakukan suatu rekayasa hukum dengan persetujuan bersama sepakat untuk bercerai dengan mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Alasan yang dijadikan dasar tuntutan perceraian direkayasa sedemikian rupa oleh para pihak dengan persetujuan bersama agar tuntutan perceraian tersebut dapat dikabulkan oleh hakim di pengadilan. Sebagai contoh misalnya perbuatan zina, yang menurut KUH Perdata (BW) dapat dijadikan alasan untuk penuntutan perceraian di pengadilan, dijadikan dasar tuntutan, padahal sebenarnya perbuatan zina tersebut tidak benar dilakukan oleh pasangan suami-isteri tersebut. Namun oleh pasangan suami-isteri tersebut direkayasa sedemikian rupa sehingga seolah-olah perbuatan zina tersebut benar-benar dilakukan oleh salah seorang pasangan dari suami-isteri tersebut. Hal ini bertujuan agar tuntutan perceraian yang diajukan oleh salah seorang dari pasangan suami-isteri tersebut dapat dikabulkan oleh hakim di pengadilan. C. Pembubaran Perkawinan Setelah Perpisahan Meja dan Ranjang Pasal 201 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, Tuntutan pisah meja dan ranjang karena salah satu alasan sebagaimana tercantum dalam pasal 233 KUH Perdata (BW), maupun atas permintaan kedua belah pihak pasangan suami-isteri tersebut karena telah genap 5 (lima) tahun jangka waktu pisah meja dan ranjang diantara keduanya, harus segera ditolak bilamana pihak yang digugat, setelah tiga kali dari bulan ke bulan dipanggil di muka pengadilan, tidak datang menghadap atau datang mengahadap, melancarkan tantangan, atau pada akhirnya menyatakan dirinya sanggup berdamai dengan pihak lawan.

Dari rumusan pasal 201 KUH Perdata (BW) tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa meskipun jangka waktu perpisahan meja dan ranjang diantara pasangan suami-isteri tersebut telah mencapai 5 (lima) tahun dan oleh karena itu para pihak berhak mengajukan tuntutan perceraian terhadap pasangannya. Namun hakim harus segera menolak tuntutan perceraian yang diajukan pasangan suami-isteri tersebut apabila pihak yang digugat, setelah tiga kali dipanggil dari bulan ke bulan oleh pengadilan tidak datang menghadap, atau pihak tergugat mengatakan dirinya sanggup berdamai dengan pihak lawan (penggugat). Pernyataan dari pihak tergugat untuk sanggup berdamai dengan pihak lawan (penggugat) mengakibatkan hakim menolak tuntutan perceraian yang diajukan penggugat untuk sementara waktu dengan tujuan memberi kesempatan kepada pasangan suami-isteri yang sedang mengalami pisah meja dan ranjang tersebut untuk berdamai kembali. Hakim memerintahkan kedua pasangan suami-isteri tersebut untuk menghadap di muka pengadilan secara bersamasama dan secara langsung tanpa diwakilkan kepada orang lain atau kuasanya. Pasangan suami-isteri yang sedang menjalani masa perpisahan meja dan ranjang tersebut diwajibkan menghadap dimuka seorang anggota atau lebih hakim pengadilan yang pada tujuan akhirnya akan mencoba mendamaikan kedua belah pihak. Seandainya upaya memperdamaikan tersebut tidak berhasil dilakukan maka pengadilan harus memerintahkan pertemuan diulang sekali lagi, Jangka waktu pertemuan untuk kedua kali tersebut secepat-cepatnya dilaksanakan 3 (tiga) bulan dan paling lambat 6 (enam) bulan setelah pertemuan pertama yang gagal tersebut dilaksanakan. Jika ternyata ada alasan-alasan yang sah untuk tidak menghadap bagi

pasangan suami-isteri tersebut, maka anggota atau anggota-anggota yang ditunjuk tadi harus pergi ke rumah suami-isteri tersebut. Jika si suami atau isteri ataupun keduanya bertempat tinggal di luar daerah Hakim Pengadilan Negeri kepada siapa permintaan itu diajukan, maka pengadilan itu boleh meminta kepada Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya kedua suami-isteri tadi bertempat tinggal supaya melakukan perbuatan-perbuatan tersebut, yaitu 41 : 1. Menolak gugatan perceraian yang diajukan oleh salah satu pihak tersebut dengan alasan pihak tergugat tidak hadir/tidak datang menghadap setelah dipanggil secara wajar sebanyak 3 (tiga) kali dari bulan ke bulan dan pihak tergugat juga telah membuat pernyataan dalam bentuk tertulis tentang kesanggupan untuk berdamai dengan pihak lawan (penggugat). 2. Memerintahkan pasangan suami-isteri tersebut untuk datang menghadap ke pengadilan secara bersama-sama dan dengan hadir sendiri tanpa bisa diwakilkan oleh orang lain/ kuasanya dan hakim pengadilan akan mencoba memperdamaikan pasangan suami-isteri tersebut. 3. Jika ternyata pasangan suami-isteri tersebut tidak bisa datang menghadap ke depan pengadilan dengan alasan yang sah, maka hakim anggota yang ditunjuk oleh pengadilan harus pergi ke rumah pasangan suami-isteri tersebut untuk memperdamaikan pasangan suami-isteri tersebut di tempat kediamannya itu. Jika si suami atau isteri ataupun keduanya berdiam di luar wilayah Indonesia, maka 41 Taslim sastro hadi, Perkawinan yang Bersangkutan di LuarNegeri dan akibat Hukumnya, Perdata Agung, Jakarta, 2003, hlm 39.

bolehlah pengadilan Negeri meminta kepada pejabat pengadilan tempat mereka berdiam, supaya melakukan perbuatan-perbuatan sebagaimana yang telah diuraikan pada point 1 sampai dengan poin 3 di atas atau bolehlah pengadilan tersebut memerintahkan kepada jawatan perwakilan Indonesia yang mana dalam daerahnya mereka berdiam. Jawatan perwakilan tempat pasangan suami-isteri tersebut berdiam akan membuat berita acara perbuatan itu dan segera dikirimkan kepada pengadilan Negeri yang memerintahkan perbuatan-perbuatan tersebut dilaksanakan 42. Pasal 203 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, Apabila pertemuan untuk kedua halnya pun tak berhasil pula, maka Pengadilan Negeri setelah mendengar jawatan kejaksaan, harus memberikan putusannya dan mengabulkan permintaan itu, jika segala syarat dalam pengajuan perkara tersebut di atas telah dipenuhi dengan sebaik-baiknya. Sementara itu pengadilan leluasa setelah selesainya pemeriksaan mempertangguhkan putusannya selama 6 (enam) bulan, jika nampak olehnya kemungkinan-kemungkinan akan masih dapat tercapainya perdamaian. Dari rumusan pasal 203 KUH Perdata (BW) tersebut di atas dapat dijelaskan bahwa bila pertemuan kedua kalinya dalam upaya memperdamaikan pasangan suamiisteri tersebut juga mengalami jalan buntu atau gagal, maka Pengadilan Negeri setelah mendengar pertimbangan dan saran yang diajukan oleh jawatan kejaksaan harus mengambil suatu keputusan terhadap permasalahan yang dihadapi pasangan 42 Muchsan Ali, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan, Nuansa Aulia, Jakarta, 1996, hlm 53.

suami-isteri tersebut dan mengabulkan pengajuan tuntutan perceraian yang diajukan pihak pengugat (salah seorang pasangan suami-isteri tersebut). Pengabulan tuntutan perceraian yang diajukan oleh pihak penggugat oleh hakim di pengadilan dilakukan setelah hakim memeriksa dan meneliti secara seksama, tentang apakah segala syarat dan ketentuan yang seharusnya dilaksanakan dalam proses perdamaian antara pasangan suami-isteri tersebut telah berjalan dengan sebaik-baiknya. Apabila hakim pengadilan memandang bahwa segala upaya perdamaian antara pasangan suami-isteri tersebut belum dilaksanakan dengan sebaik-baiknya, maka hakim berwenang memerintahkan untuk melaksanakan terlebih dahulu segala syarat dan ketentuan yang menjadi kewajiban untuk dijalankan sebelum hakim mengambil keputusan. Meskipun seluruh syarat dan ketentuan tentang upaya perdamaian tersebut telah dilaksanakan sepenuhnya dan sebaik-baiknya, hakim masih punya kewenangan untuk mempertangguhkan putusannya selama 6 (enam) bulan, jika kiranya hakim masih melihat kemungkinan akan masih tercapainya perdamaian diantara pasangan suamiisteri tersebut 43. Pasal 204 KUH Perdata (BW) menyatakan bahwa, Terhadap putusan Pengadilan Negeri yang tidak memuaskan para pihak, dapat dimohonkan banding selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan. Pasal 204 KUH Perdata (BW) tersebut di atas menjelaskan bahwa apabila putusan Pengadilan Negeri tidak memuaskan baik bagi penggugat maupun tergugat maka terhadap putusan tersebut 43 Sulaiman Rasjid, Ketentuan Tentang Lembaga Pisah Meja dan Ranjang dan Prospek Pemberlakuaannya dalam Hukum Positip di Indonesia, Perdana Pustaka, Surabaya, 1993, hlm 73.