BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah makhluk sosial yang selalu hidup berkelompok, bersamasama,

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN TEORITIS

BAB I PENDAHULUAN. semua rumah sakit, salah satunya Rumah Sakit Umum Daerah Soreang. jabatan dilakukan pada bulan Maret tahun 1999.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pelayanan kesehatan masyarakat memiliki peran besar dalam pelayanan kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Lebih dari 35 tahun yang lalu burnout menjadi isu yang. menarik ketika para peneliti Maslach dan Freudenberger mulai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Burnout. menjadi sinis tentang karier mereka. Penjelasan umum tentang. pergaulan dan merasa berprestasi rendah.

Ada sebuah ungkapan yang menyatakan bahwa burnout adalah suatu syndrome dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sebuah organisasi atau perusahaan yang maju tentunya tidak lain didukung

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Banyak orang yang menginginkan untuk bekerja. Namun, tak jarang

BAB 1 PENDAHULUAN. Psikologi dalam sebuah organisasi memberikan peranan penting pada

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Karyawan perusahaan sebagai makhluk hidup merupakan sumber daya

BAB I PENDAHULUAN. yang dididik secara formal dan diberikan wewenang untuk menerapkan ilmu

Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui hubungan antara dukungan rekan kerja dan sindroma burnout pada perawat ICU Rumah Sakit X Bandung.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia adalah individu yang selalu belajar. Individu belajar berjalan, berlari,

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah hak setiap orang merupakan salah satu slogan yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan pesat, terutama di kota-kota besar. Banyaknya jumlah rumah sakit tersebut

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Jones (2007) mendefinisikan gaya kepemimpinan sebagai cara seorang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 2.1 Konflik Pekerjaan Keluarga (Work-Family Conflict) Yang et al (2000) mendefinisikan konflik pekerjaan keluarga (work family

BAB 1 PENDAHULUAN. mandiri untuk menangani kegawatan yang mengancam jiwa, sebelum dokter

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan suatu lembaga yang memberikan pelayanan

BAB I PENDAHULUAN. Terdapat beberapa karakteristik anak autis, yaitu selektif berlebihan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Prevalensi penderita skizofrenia pada populasi umum berkisar 1%-1,3% (Sadock

BAB I PENDAHULUAN. sumber daya manusia yang berkualitas tinggi. Masyarakat semakin berkembang

BAB I PENDAHULUAN. dalam bentuk tertentu, dalam kadar berat ringan yang berbeda dan dalam. Tak seorang pun bisa terhindarkan dari stres.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan yang memadai sangat dibutuhkan. Di Indonesia, puskesmas dan rumah

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah sebuah negara berkembang yang terbebas dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Rumah sakit merupakan salah satu bentuk sarana kesehatan yang memiliki

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. Perawat dalam pelayanan kesehatan dapat diartikan sebagai tenaga

BAB II LANDASAN TEORI A. BURNOUT

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit Ridogalih berdiri pada tahun 1934 yang memulai pelayanan

BAB 1 PENDAHULUAN. perawat adalah salah satu yang memberikan peranan penting dalam. menjalankan tugas sebagai perawat.

BAB I PENDAHULUAN. Bandung. Rumah sakit X merupakan rumah sakit swasta yang cukup terkenal di

BAB I PENDAHULUAN. Burnout pada guru telah didefinisikan sebagai respon terhadap kesulitan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi setiap manusia.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. merupakan inti dari sifat biologis, kognitif, dan aturan-aturan sosial.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terampil maka dalam proses perencanaan tujuan tersebut akan mengalami banyak

STRATEGI COPING UNTUK MEMPERTAHANKAN PERKAWINAN PADA WANITA YANG SUAMINYA MENGALAMI DISFUNGSI SEKSUAL

BAB 2. Tinjauan Pustaka

BAB I PENDAHULUAN. ( diselenggarakan pemerintah dan masyarakat yang berfungsi untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang Masalah. Di era global seperti saat ini, sumber daya manusia (SDM) sangat

Bab 1 Pendahuluan 1.1 Latar Belakang

maupun sebagai masyarakat profesional (Nursalam, 2013).

BAB 1 PENDAHULUAN. memberikan pelayanan kesehatan yang bersifat dasar spesialistik dan

TINGKAT EMPATI DAN SIKAP ALTRUISTIK PADA PERAWAT RUMAH SAKIT UMUM DENGAN RUMAH SAKIT JIWA

Proses Adaptasi Psikologi Ibu Dalam Masa Nifas

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. menyebabkan peranan komunikasi menjadi lebih penting dalam pemberian asuhan

BAB I PENDAHULUAN. Rumah sakit merupakan salah satu bentuk sarana kesehatan, baik yang

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. semakin menyadari pentingnya mendapatkan pendidikan setinggi mungkin. Salah

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009 tentang. Kesehatan menjelaskan bahwa tenaga kesehatan adalah setiap orang yang

BAB I PENDAHULUAN. Semakin sulitnya kondisi perekonomian di Indonesia menjadikan. persaingan diantara perusahaan-perusahaan semakin ketat.

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. jawab dalam memberikan pelayanan yang bermutu kepada masyarakat sesuai

PSIKOLOGI UMUM 2. Stress & Coping Stress

BAB I PENDAHULUAN. pembelajaran di tingkat perguruan tinggi, baik di universitas, institut

BAB I PENDAHULUAN. kualitas yang melayani, sehingga masalah-masalah yang terkait dengan sumber

Dari aspek pengungkapan dan pertukaran informasi, komunikasi digolongkan menjadi 2 bentuk sebagai berikut.

BAB I PENDAHULUAN. ini disebabkan oleh ulah manusia itu sendiri, yaitu merupakan penyakit AIDS,

BAB I PENDAHULUAN. Perusahaan merupakan bentuk organisasi yang didirikan untuk

HUBUNGAN ANTARA INTENSITAS KOMUNIKASI SUAMI ISTRI DENGAN KECENDERUNGAN BERSELINGKUH PADA ISTRI

BAB I PENDAHULUAN. atau organisasi. Menurut Robbins (2008) perusahaan atau organisasi ini

BAB I PENDAHULUAN. permasalahan, persoalan-persoalan dalam kehidupan ini akan selalu. pula menurut Siswanto (2007; 47), kurangnya kedewasaan dan

STRATEGI COPING PERAWAT RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA ( Fenomena pada Perawat di RSJD Surakarta )

BAB 1 PENDAHULUAN. tuntut untuk cepat menjadikan seseorang karyawan dapat menampilkan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. tersebut dan tujuan atau akhir daripada gerakan atau perbuatan. Motivasi

******* Dedicated for God,pap,mum,brother and sister..

BAB 1 PENDAHULUAN. antara satu sama lain. Pada tahap akademik mahasiswa mendapatkan teori-teori

HUBUNGAN ANTARA SENSE OF HUMOR DENGAN STRES KERJA PADA KARYAWAN. Skripsi. Untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-1

BAB I PENDAHULUAN. pekerjaan berdasarkan jenis kelamin yang sangat luas di semua Negara (Anker,

BAB I PENDAHULUAN. lain dan kelak dapat hidup secara mandiri merupakan keinginan setiap orangtua

BAB I PENDAHULUAN. Membentuk sebuah keluarga yang bahagia dan harmonis adalah impian

BAB I PENDAHULUAN. masa kanak-kanak, masa remaja, masa dewasa yang terdiri dari dewasa awal,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kemudian dilanjutkan ke tahapan selanjutnya. Salah satu tahapan individu

BAB I PENDAHULUAN. Kepuasan kerja (job satisfaction) merupakan sasaran penting dalam. yang memiliki lebih sedikit jumlah pegawai yang puas.

BAB I PENDAHULUAN. dengan perjanjian (Hasibuan, 2007). Sedangkan menurut kamus besar bahasa

BAB II LANDASAN TEORITIS. tahun 1973 (Farber, 1991; Widiyanti, Yulianto & Purba, 2007). Burnout. dengan kebutuhan dan harapan (Rizka, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. setiap orang untuk dapat beraktivitas dengan baik. Dengan memiliki tubuh yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Kebahagiaan. mengacu pada emosi positif yang dirasakan individu serta aktivitas-aktivitas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan harapan. Masalah tersebut dapat berupa hambatan dari luar individu maupun

BAB I PENDAHULUAN. pelayanan kesehatan yang setiap hariberhubungan dengan pasien. Rumah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian kecerdasan emosional

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupannya, keberhasilan seseorang tidak hanya ditentukan oleh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penunjang. Menurut Para Ahli Rumah sakit adalah suatu organisasi tenaga medis

Pengaruh Kelelahan Emosional Dan Motivasi Belajar Siswa Terhadap Hasil Belajar Matematika. Meilantifa

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi dalam dunia medis, telah membawa banyak

BAB I PENDAHULUAN. (Sumber: diakses pada 25/04/2014 pukul WIB)

BAB I PENDAHULUAN. dengan menjadi mahasiswa di suatu perguruan tinggi.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu usaha sadar yang dilakukan oleh manusia

BAB I PENDAHULUAN. memberikan pelayanan rawat inap, rawat jalan dan gawat darurat. Rumah

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara berkembang yang sedang melakukan. pembangunan pada berbagai bidang. Dalam melaksanakan pembangunan dan

HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP INSENTIF DAN BERPIKIR POSITIF DENGAN MOTIVASI BERPRESTASI

BAB I PENDAHULUAN. diselenggarakan oleh pemerintah atau masyarakat yang berfungsi untuk

BAB I PENDAHULUAN. berhubungan dengan bidang keilmuan yang diambilnya. (Djarwanto, 1990)

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

o Ketika hasil pekerjaan saya yang saya harapkan tidak tercapai, saya malas untuk berusaha lebih keras lagi

1. Bagaimana gambaran burnout pada anggota. 2. Mengapa terjadi burnout pada anggota polisi. 3. Bagaimana dampak burnout pada anggota

MODUL PERKULIAHAN. Kesehatan Mental. Kesehatan Mental yang Berkaitan dengan Kesejahketaan Psikologis (Penyesuaian Diri)

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Manusia adalah makhluk sosial yang selalu hidup berkelompok, bersamasama, saling berhubungan atau berkomunikasi, dan saling mempengaruhi. Hidupnya selalu bergabung dalam suatu ruang sosial atau medan sosial, maka tingkah lakunya selalu ada dalam kaitan relasi antar manusia. Relasi ini dapat terjalin dalam suatu hubungan keluarga maupun di luar keluarga, misalnya di lingkungan tempat tinggal, institusi pendidikan, tempat kerja, organisasi, dan lingkungan sosial lainnya. Di dalam kehidupan sosial, orang selalu dituntut untuk menciptakan dan mencapai keserasian, serta kebahagiaan hidup bersama. Salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah aktivitas kerja. Kerja merupakan aktivitas dasar dan hal yang esensial dalam kehidupan manusia. Seseorang bekerja karena ada harapan yang hendak dicapainya. Orang berharap bahwa aktivitas kerja yang dilakukan akan membawanya pada suatu keadaan yang lebih baik dari pada keadaan sebelumnya. Pekerjaan akan memberi status serta mengikat seorang individu dan masyarakat. Kerja juga merupakan aktivitas sosial yang dapat memberi isi dan makna pada kehidupan seseorang. Bekerja pada hakikatnya tidak hanya untuk kepentingan sendiri, tapi juga memberi manfaat bagi orang lain (Anorogo dalam Insan, 2004). Salah satu jenis profesi yang dewasa ini banyak dibutuhkan dan bergerak di bidang pelayanan sosial adalah perawat. Perawat merupakan profesi yang

2 bersifat kemanusiaan yang dilandasi rasa tanggung jawab dan pengabdian, sehingga layanan keperawatan menyangkut upaya kemanusiaan yang pelaksanaannya membutuhkan ketulusan, saling menghargai dan kebijaksanaan terhadap manusia (Gunarsa, 1995). Seorang perawat memiliki tugas pokok merawat pasien untuk mempercepat proses penyembuhan. Dalam menangani pasien seorang perawat membutuhkan keterampilan-keterampilan tertentu yang sudah harus dikuasai sebelumnya. Gunarsa (1995) menyatakan perawat sebagai seorang yang telah dipersiapkan melalui pendidikan untuk turut serta merawat dan menyembuhkan orang sakit, usaha-usaha rehabilitasi, pencegahan penyakit, yang dilaksanakan sendiri atau di bawah pengawasan dokter atau suster kepala. Dari sini tampak bahwa cakupan kerja seorang perawat cukup luas, tidak hanya merawat tetapi sampai pada tindakan rehabilitasi, dan oleh karena itu dibutuhkan persyaratanpersyaratan tertentu untuk dapat melakukan tugas tersebut. Demikian halnya dengan perawat ICU yang merupakan salah satu bagian dalam bidang keperawatan. Perawat pada bagian ini setiap harinya dihadapkan pada pasien dengan kondisi kritis. Mereka dituntut untuk selalu siap memberikan pertolongan yang tepat dengan waktu yang singkat sehingga dibutuhkan ketrampilan-ketrampilan khusus serta pengalaman yang memadai. Sebelum menjadi perawat ICU, seorang perawat terlebih dahulu mengikuti pelatihanpelatihan antara lain: ICU/ICCU, ACLS, BHD/PPGD, Fluid Therapy, dan mahir ICU.

3 Perawat ICU bertugas merawat pasien-pasien yang berada dalam kondisi kritis, mereka harus memonitor keadaan pasien dan perubahan kondisi akibat pengobatan serta mencegah komplikasi yang mungkin terjadi. Perawat ICU juga harus cekatan dalam memberikan pertolongan pertama ketika kondisi pasien kritis, mereka harus selalu siap memberikan dan menyediakan perlengkapan yang diperlukan oleh dokter dalam menangani pasien yang kritis, serta dituntut teliti dalam memberikan obat-obatan yang ditugaskan dokter selama durasi waktu yang telah ditentukan dan melaksanakan tindakan pelimpahan wewenang dari dokter. Di samping itu, perawat ICU harus membuat daftar inventarisasi alat dan obat di ruangan perawatan khusus dan melaksanakan pertemuan rutin di ICU. Berdasarkan hasil survai pada enam orang perawat ICU, diperoleh data empat orang (66,6%) perawat ICU menyatakan pekerjaannya merupakan pekerjaan yang berat, di mana mereka harus tetap siaga untuk memonitor keadaan pasien baik pada saat siang ataupun malam hari, harus siap memberikan pertolongan pertama ketika kondisi pasien kritis, serta membutuhkan keterampilan-keterampilan khusus dalam menjalankan tugasnya. Sisanya, dua orang (33,4%) menyatakan bahwa pekerjaan perawat ICU merupakan pekerjaan yang tidak memberatkan mereka, dimana pekerjaan perawat ICU pada dasarnya dianggap sama dengan pekerjaan lainnya. Dengan kata lain, bagi mereka pekerjaan sebagai seorang perawat ICU tidak terlalu sulit dan merasa senang bekerja sebagai perawat ICU. Berdasarkan hasil survai ini terungkap bahwa lebih dari sebagian jumlah perawat ICU menyatakan pekerjaannya tergolong berat.

4 Tuntutan pekerjaan yang berat menjadikan perawat ICU rentan terhadap stres. Ditambah lagi situasi dimana perawat ICU terkadang harus menerima kematian pasien yang ditanganinya. Tak jarang kematian pasien dapat dihayati sebagai sebuah kegagalan bagi mereka. Munculnya perasaan bersalah dan tidak berdaya karena gagal menolong pasien menimbulkan stres yang tinggi bagi perawat ICU. Mau tidak mau, senang tidak senang, setiap hari perawat ICU harus berhadapan dengan situasi demikian meskipun tak jarang kemampuan yang dimilikinya tidak cukup untuk mengatasi tuntutan dari lingkungan. Bila hal ini terjadi terus menerus dan tidak ada penanganan segera, maka akan meningkat ke arah ketegangan emosional dan berakhir dengan sindroma burnout. Dari sejumlah permasalahan yang pernah dialami oleh enam orang perawat ICU, dua orang (33,4 %) perawat ICU mengungkapkan sering mengalami kelelahan dalam bekerja, kurang bergairah, merasa tegang, cemas, dan lelah secara emosi, menjadi sinis, ingin cuti dan terus menerus mengeluh. Menurut Maslach (1982) hal tersebut merupakan gejala-gejala sindroma burnout. Selebihnya empat orang (66,6 %) perawat ICU lainnya mengungkapkan jarang mengalami keluhan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa perawat ICU mengalami gejala-gejala sindroma burnout, hanya saja berbeda derajat yang dirasakan. Dalam situasi demikian, perawat ICU membutuhkan dukungan dari orangorang disekitarnya yang dapat menurunkan stresnya. Massholder (dalam Insan, 2004) menyebutkan bahwa interaksi sosial yang baik di antara anggota kelompok kerja menunjukkan adanya sedikit atau bahkan tidak adanya ketegangan kerja.

5 Bila di antara perawat ICU, rekan kerja, dan atasan atau dokter terjalin hubungan yang baik, maka perawat ICU akan bekerja dengan perasaan senang karena merasa mendapat dukungan sosial dari lingkungan sekitarnya. Survai yang dilakukan pada enam orang perawat ICU, diperoleh data bahwa enam orang (100%) perawat ICU mengakui bahwa dukungan keluarga membantu mereka untuk mengurangi stres yang dirasakan. Dalam setting pekerjaan dukungan yang dinilai membantu mereka dalam menurunkan stresnya adalah berasal dari rekan kerja. Hal ini dinyatakan oleh lima orang (83,3%) perawat ICU, yaitu merasa stresnya berkurang setelah sharing dan bercanda dengan rekan kerja dan menghilangkan ketegangan dengan pergi ke kantin bersama. Sedangkan satu orang lainnya (16,7%) menyatakan arahan-arahan dan petunjuk-petunjuk dari dokter membantu mereka untuk mengurangi stres yang dirasakan. Berdasarkan hasil survai ini terungkap bahwa selain dari keluarga, sumber dukungan yang dinilai signifikan oleh sebagian besar perawat ICU adalah berasal dari rekan kerja. Dari pemaparan di atas, diketahui bahwa bila perilaku rekan kerja dinilai sebagai dukungan, maka sindroma burnout yang dirasakan menurun. Adanya kerja sama dan saling pengertian dengan rekan kerja membuat perawat ICU bekerja lebih optimal. Sebaliknya, bila perilaku rekan kerja dinilai bukan sebagai dukungan, maka sindroma burnout dirasakan meningkat sehingga hasil kerja tidak optimal dan sering mendapat teguran baik dari rekan kerja, maupun dari atasan. Di sisi lain, perawat ICU mengalami sindroma burnout meskipun dukungan rekan

6 kerja dinilai tinggi serta mengalami sindroma burnout dengan taraf rendah meskipun kurangnya dukungan dari rekan kerja. Melihat fenomena ini, muncul pertanyaan dalam diri peneliti, apakah terdapat hubungan antara dukungan rekan kerja dan sindroma burnout pada perawat ICU Rumah Sakit X Bandung?. 1.2 Identifikasi Masalah Apakah terdapat hubungan antara dukungan rekan kerja dan sindroma burnout pada perawat ICU Rumah Sakit X Bandung. 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian Memperoleh gambaran mengenai dukungan rekan kerja dan sindroma burnout pada perawat ICU Rumah Sakit X Bandung. 1.3.2 Tujuan Penelitian Mengetahui hubungan antara dukungan rekan kerja dan sindroma burnout pada perawat ICU Rumah Sakit X Bandung.

7 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Ilmiah Memberikan informasi bagi bidang ilmu Psikologi khususnya Psikologi klinis mengenai hubungan antara dukungan rekan kerja dan sindroma burnout pada perawat ICU Rumah Sakit. Menjadi informasi tambahan yang mendorong bagi peneliti lain untuk mengadakan penelitian lebih lanjut mengenai topik yang sama. 1.4.2 Kegunaan Praktis Memberikan informasi kepada lembaga pendidikan perawat yakni akademi keperawatan yang bisa dimanifestasikan dalam upaya pengembangan diri perawat untuk mengatasi sindroma burnout di dalam pekerjaan sebagai seorang perawat ICU Rumah Sakit. Memberi informasi kepada pihak Rumah Sakit mengenai sindroma burnout sehingga dapat menjadi bahan pertimbangan dalam mengatasi sindroma burnout pada perawat ICU Rumah Sakit. Memberikan informasi bagi perawat ICU Rumah Sakit mengenai sindroma burnout sehingga dapat mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki (misalnya: dukungan rekan kerja) dalam rangka mencegah atau mengatasi sindroma burnout di dalam pekerjaan sebagai perawat ICU Rumah Sakit.

8 1.5 Kerangka Pemikiran Sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan RI No.1239 tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat, perawat adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat, baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam menjalankan praktik keperawatan, perawat harus senantiasa meningkatkan mutu pelayanan profesinya, dengan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pendidikan dan pelatihan sesuai dengan bidang tugasnya. Dalam melaksanakan praktik keperawatan, perawat juga dituntut melakukan peran dan fungsi sebagaimana yang diharapkan oleh profesi dan masyarakat sebagai pengguna jasa pelayanan keperawatan (Kusnanto, 2004), demikian halnya dengan perawat ICU. Setiap hari perawat ICU dituntut untuk melaksanakan persiapan asuhan keperawatan, yaitu: persiapan ruang dan tempat tidur pasien, persiapan alat dan bahan yang akan dipergunakan untuk melaksanakan tindakan keperawatan, serta siap fisik dan mental untuk melaksanakan asuhan keperawatan. Selain itu, perawat ICU juga bertugas untuk menerima pasien baru sesuai prosedur, melaksanakan tindakan keperawatan lanjutan yang diberi wewenang oleh dokter, melaksanakan observasi tanda-tanda vital dan keadaan umum pasien, melaksanakan pendidikan kesehatan bagi pasien dan keluarga pasien, melakukan persiapan pasien pulang sesuai prosedur, membuat daftar inventaris alat dan obat di ruangan perawatan khusus, membuat catatan keperawatan serta mengikuti pertemuan rutin di ICU. Asuhan keperawatan tersebut dilaksanakan perawat ICU selama 24 jam dengan pembagian tugas beregu. Dalam rangka meningkatkan kompetensinya, perawat

9 ICU juga diwajibkan untuk mengikuti program bimbingan dan pelatihan, serta mengikuti program pengembangan karir keperawatan. Tugas-tugas yang demikian berat menjadikan perawat ICU rentan terhadap stres. Dalam menghadapi situasi demikian, perawat membutuhkan dukungan dari orang-orang terdekatnya untuk mengurangi situasi yang dianggap stres baginya. Salah satu sumber dukungan sosial menurut Ganster, Fusilier, dan Mayes (1986) adalah rekan kerja. Lebih jauh Maslach (1982) mengungkapkan bahwa adanya masalah dalam berhubungan dengan anggota kelompok atau rekan kerja dapat memicu burnout. Rekan kerja dapat menjadi sumber stres emosional yang mengembangkan kelelahan emosional dan dapat pula menjadi sumber dukungan yang dapat membantu menahan burnout. Rekan kerja dapat menjadi sumber dukungan sosial baik secara formal misalnya: dukungan kelompok profesional dan pertemuan-pertemuan staff, maupun secara informal misalnya: sharing ketika makan siang ataupun saat istirahat (Maslach 1982 : 111). Dengan kata lain, rekan kerja merupakan significant person terkait dengan sindroma burnout. Selain dukungan rekan kerja, sumber dukungan sosial lainnya adalah dukungan keluarga dan atasan. Keluarga termasuk kelompok yang terdekat dengan perawat ICU. Perawat ICU sebagai anggota keluarga akan menjadikan keluarga sebagai tumpuan harapan, tempat bercerita, tempat bertanya, dan tempat mengutarakan keluhan-keluhan bilamana perawat ICU sedang menghadapi masalah. Demikian pula dengan supervisor (atasan), dapat menjadi sumber dukungan sosial yang berharga, dalam hal memberi arahan, nasehat, petunjuk, dan penghargaan atas pekerjaan yang dilakukan perawat ICU.

10 House (1981) mengemukakan bahwa dukungan rekan kerja merupakan suatu transaksi interpersonal yang meliputi: dukungan emosional, dukungan penghargaan, dukungan instrumental, dan dukungan informasi. Melalui dukungan emosional rekan kerja memberikan perhatian dan afeksi, berempati serta bersedia mendengarkan keluh kesah perawat ICU. Hal ini membuat perawat ICU merasa nyaman, mendapatkan ketentraman hati, merasa menjadi bagian dan merasa dicintai pada saat mengalami stres. Dukungan penghargaan menitik-beratkan pada ekspresi rekan kerja mengenai hal positif pada diri perawat, membesarkan hati atau setuju pada ide atau perasaan perawat, perbandingan positif perawat dengan rekan perawat lain seperti rekan perawat yang lebih berkekurangan atau lebih buruk. Dukungan ini membantu terbangunnya rasa harga diri, kompeten dan bernilai. Sedangkan dukungan instrumental (yang tampak), meliputi rekan kerja memberikan bantuan langsung dalam bentuk materi, tenaga dan waktu serta memberikan pelayanan dan bantuan lainnya kepada perawat sehingga dia akan mengatasi stresnya dengan baik. Terakhir adalah dukungan informasi, yang bisa berupa memberikan nasehat, pemecahan masalah, arahan-arahan, keterangan dan umpan balik mengenai bagaimana sebaiknya perawat yang mengalami stres bertingkah laku. Dengan adanya dukungan informasi ini perawat diharapkan mampu memahami dan mengatasi stresnya lebih efektif. Menurut Lazarus (1984), reaksi stres muncul ketika perawat ICU menilai suatu kondisi lingkungan sebagai suatu yang membebani atau melampaui kemampuan yang dimilikinya, serta mengancam kesejahteraan dirinya. Dengan kata lain, perawat ICU secara terus-menerus akan menilai keadaan dan

11 hambatan yang terdapat di lingkungan, serta menilai kemampuan dirinya untuk mengatasi tuntutan tersebut. Apabila perawat ICU merasakan adanya ketidakseimbangan antara tuntutan dan kemampuan yang dimilikinya, maka stres akan muncul. Penghayatan terhadap derajat stres berbeda antara perawat ICU yang satu dengan yang lainnya meskipun kondisi kerja yang dihadapi sama. Dalam hal ini penilaian kognitif akan memberikan bobot terhadap stres yang dialami, apakah akan dinilai sebagai sesuatu yang mengancam atau tidak. Apabila perawat ICU menghayati kondisi kerja (antara lain: perilaku rekan kerja) sebagai sesuatu yang mengancam, maka derajat stres akan semakin tinggi. Sebaliknya, apabila perawat ICU menghayati kondisi kerja (antara lain: perilaku rekan kerja) sebagai sesuatu yang tidak mengancam atau mendukung, maka derajat stres akan menurun. Singkatnya, stres bergantung antara lain pada mekanisme penilaian kognitif. Lazarus mendefinisikan penilaian kognitif sebagai suatu proses evaluatif yang menentukan mengapa suatu interaksi antara manusia dan lingkungannya bisa menimbulkan stres. Lebih lanjut, Cherniss (1980) mengungkapkan bahwa dalam organisasi pelayanan masyarakat (Rumah Sakit), interaksi sosial antara perawat dengan pasien, rekan kerja, atasan, dan yang lainnya mempunyai efek kritis terhadap stres kerja dan sindroma burnout. Situasi stres yang berlangsung terus menyebabkan kelelahan emosional yang bersifat segera dan dalam jangka waktu singkat yang disebut strain. Perawat mulai cemas, tegang dalam melayani pasien dan gugup. Bila hal ini berlangsung terus-menerus, dalam jangka waktu panjang dan perawat ini tidak mampu

12 mengatasi kondisi strain, maka berakhir dengan reaksi penarikan diri secara psikologis yang dikatakan oleh Maslach (1982) sebagai burnout. Sindroma burnout memunculkan tingkah laku perawat ICU yang gampang tersinggung kepada rekan kerja, pasien dan keluarga pasien, merasa putus asa karena menghadapi kematian, malas pergi kerja, tidak puas dengan hasil kerjanya, merasa tidak dihargai dalam pekerjaan, perasaan ingin berhenti bekerja (Maslach, 1982). Lebih lanjut dijelaskan bahwa beban emosional yang terlalu berat yang menyebabkan kelelahan emosional merupakan inti dan awal terjadinya burnout. Sindroma ini terjadi karena adanya keterlibatan emosional yang intensif dalam kurun waktu yang lama dan berlangsung terus-menerus. Maslach (1982) mengungkapkan bahwa sumber-sumber burnout adalah keterlibatan dengan orang lain, keadaan kerja, dan karakteristik perawat ICU (kepribadian, usia, jenis kelamin, latar belakang budaya, status perkawinan, pendidikan). Dalam hal keterlibatan dengan orang lain, perawat ICU tidak diberi kesempatan untuk memilih perawat atau dokter mana yang akan bekerja bersamanya. Juga sedikit/tidak ada kemungkinan mengalihkan pasien sulit atau tidak menyenangkan kepada perawat lain. Situasi yang demikian dapat dihayati perawat ICU Rumah Sakit X sebagai situasi yang berat dan membebaninya. Ditambah lagi dengan tugas-tugas perawat ICU yang tidak sedikit dan tuntutan supaya mereka selalu bersikap ramah dan sopan dalam menghadapi pasien dan keluarga pasien. Sementara karakteristik perawat ICU memampukan atau tidak memampukannya perawat ICU menghadapi situasi demikian. Salah satu karakteristik kepribadian yang rentan terhadap burnout adalah individu yang

13 idealis dan antusias (Farber, 1991; Maslach, 1982; Pines dan Aronson, 1989). Pines (1989) mencatat bahwa burnout lebih banyak terjadi pada nilai dan usaha sebagian besar orang untuk memenuhi cita-cita pekerjaan mereka. Karena memiliki komitmen berlebihan dan melibatkan diri secara mendalam di pekerjaan akan merasa kecewa ketika imbalan dari usahanya tidaklah seimbang. Mereka akan merasa gagal dan berdampak pada menurunnya penilaian terhadap kompetensi diri. Oleh karena itu, bila ketiga hal tersebut dinilai menjadi hal yang tidak menyenangkan, maka memunculkan stres. Stres meningkat, berlangsung dalam jangka waktu lama dan tidak segera diatasi akan menimbulkan strain yang berakhir pada burnout. Simpton-simpton sindroma burnout pada perawat dikelompokkan ke dalam tiga aspek sindroma burnout, yaitu: pertama, Emotional Exhaustion yang meliputi perasaan hampa, merasa lelah untuk merawat pasien, energi terkuras habis selesai melaksanakan tugas jaga, merasa frustrasi, tidak tahu harus berbuat apa untuk membantu proses penyembuhan pasien, pekerjaan untuk merawat pasien menjadi berat. Keadaan ini disebabkan oleh tuntutan psikologis dan emosional yang besar dalam program layanan sosial. Pekerjaan dan tanggung jawab yang dipikul para perawat untuk turut serta merawat dan menyembuhkan orang sakit, usaha-usaha rehabilitasi, dan pencegahan penyakit membawa beban yang tidak sedikit. Kelelahan emosional merupakan inti sindrom burnout. Aspek kedua adalah Depersonalization yang meliputi bersikap sinis perawat terhadap pasien, perawat membatasi kontak terhadap pasien, mudah marah terhadap keluarga pasien, khawatir akan pekerjaan. Kecenderungan untuk

14 mendepersonalisasikan pasien yang dihadapinya. Padatnya jadwal dan banyaknya hal-hal yang harus dikerjakan, dapat mengarahkan para perawat cenderung berorientasi untuk sekedar menyelesaikan tugas dan tidak lagi memperhatikan kebutuhan emosi para pasiennya. Terakhir adalah aspek Lack of Personal Accomplishment yang meliputi merasa sia-sia dan tidak memperoleh manfaat bekerja sebagai seorang perawat, tujuan pribadi untuk mengembangkan karier sebagai seorang perawat terabaikan. Keadaan ini muncul karena kegagalan-kegagalan dalam usaha menyelesaikan tugas dengan baik sehingga mengakibatkan gejala stres dan depresi. Ketika seseorang yakin bahwa apapun yang dilakukannya sudah tidak memberikan hasil yang baik, ia akan berhenti berusaha.

15

16 1.6 Asumsi Penelitian Berdasarkan uraian tersebut, peneliti mengasumsikan bahwa: Profesi perawat ICU merupakan salah satu profesi layanan sosial yang rentan terhadap stres dan sindroma burnout. Setiap perawat ICU mempunyai derajat sindroma burnout yang berbeda. Perilaku rekan kerja dapat dihayati sebagai dukungan atau tidak. Dukungan rekan kerja dapat membantu menurunkan derajat stres pada perawat ICU. Intensitas dan frekuensi stres yang meningkat dapat memunculkan strain (ketegangan). Strain akan berakhir menjadi sindroma burnout. Sindroma burnout dipengaruhi oleh keterlibatan dengan orang lain, keadaan kerja, dan karakteristik perawat. Sindroma burnout ditampilkan dalam bentuk emotional exhaustion, depersonalization, dan lack of personal accomplishment. 1.7 Hipotesis Penelitian Selanjutnya dari asumsi-asumsi tersebut, peneliti mengajukan hipotesis penelitian sebagai berikut: Terdapat hubungan antara dukungan rekan kerja dan sindroma burnout pada perawat ICU Rumah Sakit X Bandung.