II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pembangunan Pariwisata Pesisir dan Lautan Berkelanjutan

dokumen-dokumen yang mirip
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tata Ruang dan Konflik Pemanfaatan Ruang di Wilayah Pesisir dan Laut

MUHAMMAD IQBAL SYAHPUTRA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. positif yang cukup tinggi terhadap pendapatan negara dan daerah (Taslim. 2013).

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. manusia terutama menyangkut kegiatan sosial dan ekonomi. Peranan sektor

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Data menunjukkan bahwa sektor pariwisata di Indonesia telah. Olehkarenanya, sektor ini menjadi sangat potensial untuk dikembangkan

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

dan (3) pemanfaatan berkelanjutan. Keharmonisan spasial mensyaratkan bahwa dalam suatu wilayah pembangunan, hendaknya tidak seluruhnya diperuntukkan

I. PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi seperti sekarang ini, pembangunan kepariwisataan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kekayaan jenis flora dan fauna yang sangat tinggi (Mega Biodiversity). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS

TINJAUAN PUSTAKA Ruang dan Penataan Ruang

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

PENDAHULUAN. lebih pulau dan memiliki panjang garis pantai km yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia mempunyai kekayaan alam dan keragaman yang tinggi dalam

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sedangkan kegiatan koleksi dan penangkaran satwa liar di daerah diatur dalam PP

2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Terumbu Karang

1. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENANGANAN TERPADU DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ALAM DI WILAYAH PESISIR, LAUTAN DAN PULAU

ANALISIS DAYA DUKUNG MINAWISATA DI KELURAHAN PULAU TIDUNG, KEPULAUAN SERIBU

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia adalah negara kepulauan yang begitu kaya, indah dan

BAB I PENDAHULUAN. BT dan 6 15'-6 40' LS. Berdasarkan pada ketinggiannya Kabupaten Indramayu

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

KONSEP PENGEMBANGAN KAWASAN WISATA BAHARI

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Sumberdaya alam adalah unsur lingkungan yang terdiri atas sumberdaya alam

KAJIAN PROSPEK DAN ARAHAN PENGEMBANGAN ATRAKSI WISATA KEPULAUAN KARIMUNJAWA DALAM PERSPEKTIF KONSERVASI TUGAS AKHIR (TKP 481)

BAB I PENDAHULUAN. artinya bagi usaha penanganan dan peningkatan kepariwisataan. pariwisata bertujuan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi,

BAB I PENDAHULUAN. alam dan jasa lingkungan yang kaya dan beragam. Kawasan pesisir merupakan

Laporan Akhir Kajian Iventarisasi Potensi Sumber Daya Alam di Kabupaten Pelalawan Tahun 2009 PENDAHULUAN

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

KAJIAN DAMPAK PENGEMBANGAN WILAYAH PESISIR KOTA TEGAL TERHADAP ADANYA KERUSAKAN LINGKUNGAN (Studi Kasus Kecamatan Tegal Barat) T U G A S A K H I R

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. keterbelakangan ekonomi, yang lebih dikenal dengan istilah kemiskinan, maka

PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

I PENDAHULUAN. masyarakat serta desakan otonomi daerah, menjadikan tuntutan dan akses masyarakat

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar Untuk Keperluan Budidaya

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia dikenal sebagai Negara Kepulauan (Archipilagic State) terbesar di

berbagai macam sumberdaya yang ada di wilayah pesisir tersebut. Dengan melakukan pengelompokan (zonasi) tipologi pesisir dari aspek fisik lahan

Bab 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang

KRITERIA KAWASAN KONSERVASI. Fredinan Yulianda, 2010

PENDAHULUAN. daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia terkenal dengan kekayaan

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hutan mangrove merupakan ekosistem yang penting bagi kehidupan di

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

BAB I PENDAHULUAN km dan ekosistem terumbu karang seluas kurang lebih km 2 (Moosa et al

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Nations Convention on the Law of the sea/ Konvensi Perserikatan Bangsa

*14730 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 7 TAHUN 2004 (7/2004) TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENGARUH AKTIVITAS PARIWISATA TERHADAP KEBERLANJUTAN SUMBERDAYA WISATA PADA OBYEK WISATA PAI KOTA TEGAL TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1 PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

Kimparswil Propinsi Bengkulu,1998). Penyebab terjadinya abrasi pantai selain disebabkan faktor alamiah, dikarenakan adanya kegiatan penambangan pasir

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7 TAHUN 2004 TENTANG SUMBER DAYA AIR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. besar sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil, disisi lain masyarakat yang sebagian

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan menjadi lebih baik, wilayah pesisir yang memiliki sumber daya alam

5.1. Analisis mengenai Komponen-komponen Utama dalam Pembangunan Wilayah Pesisir

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia Timur. Salah satu obyek wisata yang terkenal sampai mancanegara di

PENDAHULUAN Latar Belakang

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB II DISKIRPSI PERUSAHAAN

Definisi dan Batasan Wilayah Pesisir

ANALISIS KESESUAIAN PEMANFAATAN LAHAN YANG BERKELANJUTAN DI PULAU BUNAKEN MANADO

Transkripsi:

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Pembangunan Pariwisata Pesisir dan Lautan Berkelanjutan Konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan di dunia sudah populer sejak akhir Tahun 1980 an. Konsep ini muncul sebagai masukan terhadap paradigma dari konsep pariwisata yang pada awalnya hanya mementingkan segi ekonominya saja, yaitu pemasukan dan banyaknya jumlah pengunjung, padahal potensi ekonomi yang tidak terkendali tanpa memperhatikan faktor kelestarian lingkungan akan dapat merusak kawasan pengembangan itu sendiri. Beberapa bukti telah tampak dengan adanya kerusakan aset-aset lingkungan, hilangnya biodiversity, polusi, kemiskinan dan tersisihnya penduduk lokal. Kondisi tersebut terjadi akibat adanya konsep pembangunan pariwisata yang keliru. Kondisi demikian telah melahirkan kesadaran bersama untuk mencegah dan memperbaikinya. Lembagalembaga dunia, misalnya Commision on Sustainable (CSD) dan World Tourism Organization (WTO), bersepakat menyusun langkah nyata dan sistematis dalam penanggulangannya (Cooper et al. 1998). Meningkatnya popularitas pariwisata berkelanjutan di dunia saat itu berimbas pula ke Indonesia, antara lain ditandai dengan maraknya seminar, mau pun kajian tentang pariwisata berkelanjutan baik yang diprakarsai oleh pemerintah mau pun kalangan perguruan tinggi. Melalui forum diskusi dan hasil kajian, diketahui beberapa karakteristik utama dari konsep pembangunan berkelanjutan, yaitu (1) pemanfaatan lingkungan secara lestari, (2) berpihak pada pembentukan masyarakat madani dan sensitif terhadap nilai sosial budaya masyarakat, dan (3) mampu memberikan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi daerah dan nasional. Ketiga karakteristik tersebut, mendudukkan pariwisata Indonesia sebagai suatu konsep operasional pengembangan pariwisata menuju pembangunan pariwisata yang berkelanjutan (Dephutbun 2000). Pembangunan pariwisata berkelanjutan merupakan suatu konsep operasional pengembangan dan penyelenggaraan pariwisata yang merujuk pada pengertian sebagaimana yang direkomendasikan oleh Asia-Pasific Ministers Conference in Tourism and Environtment di Maldives pada Tahun 1997, yaitu pemanfaatan lingkungan untuk memenuhi kepentingan pariwisata masa kini dan perbesaran

9 peluang di masa mendatang, mengelola pemanfaatan pariwisata untuk kepentingan ekonomi, sosial, keindahan dan peningkatan mutu kehidupan manusia dengan tetap menjaga integritas budaya, proses ekologi, keanekaragaman biologi dan unsur-unsur pendukungnya. Penerapan konsep pembangunan pariwisata berkelanjutan tersebut berlaku bagi pengembangan dan penyelenggaraan pariwisata di berbagai kawasan wisata termasuk di kawasan pesisir dan lautan (Cooper et al. 1998). Menurut Dahuri (2003), pembangunan pariwisata pesisir dan lautan secara berkelanjutan di Indonesia, pada hakikatnya adalah upaya mengembangkan dan memanfaatkan objek dan daya tarik wisata bahari di kawasan pesisir dan lautan berupa kekayaan alam yang indah, keanekaragaman flora dan fauna dengan menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan secara ekologis, ekonomis dan sosial. Dahuri (2003) menambahkan, suatu kawasan pesisir dan lautan baru dapat dikatakan berkelanjutan secara ekologis apabila basis (ketersediaan stok) sumber daya alamnya dapat dipelihara secara stabil, tidak terjadi ekspoitasi berlebihan terhadap sumber daya yang dapat diperbaharui (renewable resource), tidak terjadi pembuangan limbah yang melampaui kapasitas asimilasi lingkungan dan mengimbangi pemanfaatan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui (renewable resource) dengan upaya pengembangan bahan substitusinya secara memadai termasuk di dalamnya pemeliharaan hayati, stabilitas siklus hidrologi, dan kondisi ikllim. Untuk keberlanjutan secara ekonomi, aspek ekonomi merupakan representasi dari permintaan manusia terhadap sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan di wilayahnya. Permintaan tersebut dapat berasal dari penduduk yang bermukim di wilayah pesisir atau dari penduduk luarnya. Oleh sebab itu, pembangunan berkelanjutan dari perspektif ekonomi adalah bagaimana mengelola agar permintaan agregat terhadap sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan tersebut tidak melampaui kemampuan wilayah pesisir dan lautan untuk menyediakannya, sedangkan suatu kawasan pembangunan dianggap berkelanjutan secara sosial adalah apabila kebutuhan dasar (sandang, pangan, perumahan, kesehatan dan pendidikan) seluruh penduduknya terpenuhi, terjadi distribusi pendapatan dan kesempatan berusaha secara adil.

10 Gilbert (2003) mengemukakan, bahwa mengingat begitu banyaknya unsur yang berinteraksi dalam satu kegiatan pariwisata, maka dalam upaya mendorong pembangunan dan pengembangan kegiatan pariwisata berkelanjutan, sangat diperlukan keterlibatan pihak swasta dan partisipasi masyarakat setempat baik langsung maupun tak langsung, hal ini bertujuan untuk mengantisipasi berbagai dampak yang ditimbulkan serta memperkecil kemungkinan timbulnya konflik. 2.2 Wisata Bahari Sebagai Ekowisata Menurut Undang-Undang No 9 Tahun 1990 tentang Pariwisata, pariwisata diartikan sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan wisata termasuk pengusahaan objek dan daya tarik wisata serta usaha-usaha yang terkait di bidang tersebut. Wisata bahari merupakan salah satu bagian dari pariwisata. Menurut Dahuri (2003), wisata bahari diartikan sebagai kegiatan wisata yang berkaitan langsung dengan sumber daya pesisir dan lautan, baik di daratan pesisir, di atas permukaan perairan pesisir dan laut mau pun kegiatan yang dilakukan di bawah permukaan perairan pesisir dan laut. Jenis-jenis kegiatan yang termasuk di dalam wisata bahari adalah memancing, berperahu, berenang, berjemur, berolahraga pantai, menyelam, berselancar dan lain-lain. Ekowisata dalam teori dan prakteknya muncul dari adanya anggapan bahwa kegiatan pariwisata cenderung merusak sumber daya alam dan nilai-nilai budaya serta tradisi masyarakat di lokasi objek wisata. Anggapan ini melahirkan berbagai istilah baru dengan beragam konsep yang ditawarkan bagi pariwisata, antara lain pariwisata alternatif, pariwisata yang bertanggung jawab, pariwisata berbasis komunitas dan ekowisata. Diantara konsep-konsep tersebut, ekowisata dianggap paling populer, karena dapat mengakomodasikan kebutuhan-kebutuhan dari gerakan konservasi dan menerjemahkan prinsip-prinsip ekologi ke dalam praktek pengelolaan kegiatan pariwisata yang berkelanjutan (Dephutbun 2000). Konsep ekowisata juga didukung oleh adanya trend pasar terbaru seperti perjalanan pertualangan (adventure travel) dan gaya hidup kembali ke alam (back to nature), sehingga gerakan konservasi lingkungan menganggap konsep ekowisata ini sebagai suatu instrumen konservasi yang bersifat mandiri dengan beberapa alasan, yaitu (1) dapat memodali sendiri kegiatan usahanya, (2)

11 menciptakan suatu alternatif untuk menghadapi eksploitasi sumber daya alam, dan (3) sebagai sarana pendidikan bagi masyarakat dalam menjaga dan memelihara kelestarian sumber daya alam (Dephutbun 2000). Ekowisata merupakan kegiatan wisata yang berbasis kepada keindahan alam dan membantu dalam menjaga kelestarian lingkungan. Tujuan utama ekowisata adalah sebagai sumber pendapatan ekonomi baik bagi pemerintah maupun masyarakat lokal, tanpa mengorbankan lingkungan dan bersifat berkelanjutan. Dalam perkembangannya, ada beberapa prinsip penting dalam ekowisata yaitu (1) berbasis lingkungan alami, (2) mendukung konservasi, (3) pemanfaatan yang merujuk pada etika, (4) berdampak minimal, (5) memberikan manfaat sosialekonomi kepada masyarakat, (6) kepuasan wisatawan dan (7) manajemen pengelolaan yang mendukung seluruh unsur-unsur tersebut (Fennell 2001) Salah satu potensi sumber daya pesisir dan lautan yang dapat dikembangkan untuk memperoleh manfaat ekonomi adalah adanya potensi keindahan alam, baik keindahan alam pantai, pulau-pulau kecil dan alam bawah laut berupa keindahan terumbu karang yang dapat dimanfaatkan sebagai pariwisata bahari (Idris 2001). Dengan menerapkan prinsip-prinsip ekowisata, maka pembangunan pariwisata bahari yang berwawasan lingkungan diharapkan akan dapat tercapai dengan baik. 2.3 Tata Ruang Wilayah Pesisir Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Perencanaan tata ruang yang dimaksud dalam undang-undang tersebut adalah suatu proses untuk menentukan struktur ruang dan pola ruang yang meliputi penyusunan dan penetapan rencana ruang. Pemanfaatan ruang yang dimaksud adalah upaya mewujudkan struktur ruang dan pola ruang sesuai dengan rencana tata ruang melalui penyusunan dan pelaksanaan program beserta pembiyaannya, sedangkan pengendalian pemanfaatan ruang adalah upaya untuk mewujudkan tertib tata ruang. Undang- Undang tersebut juga menegaskan bahwa pemanfaatan ruang yang dilakukan saat ini harus mengacu pada fungsi ruang yang ditetapkan dalam rencana tata ruang, dan harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan penatagunaan tanah,

12 penatagunaan air, penatagunaan udara, dan penatagunaan sumber daya alam lain yang ada di sekitarnya. Rustiadi et al. (2007) mengemukakan, saat ini urgensi atas penataan ruang timbul sebagai akibat dari tumbuhnya kesadaran akan pentingnya intervensi positif atas kehidupan sosial dan lingkungan guna meningkatkan kesejahteraan yang berkelanjutan. Secara lebih spesifik, penataan ruang dilakukan sebagai (1) optimasi pemanfaatan sumber daya guna terpenuhinya efisiensi dan produktivitas, (2) alat dan wujud distribusi sumber daya guna tepenuhinya prinsip pemeataan, keberimbangan dan keadilan, dan (3) menjaga keberlanjutan pembangunan. Perencanaan tata ruang wilayah pesisir hendaknya didasarkan pada pendekatan hierarki yang diklasifikasikan menjadi tiga zona, yaitu zona pemanfaatan, zona konservasi dan zona preservasi. Zona pemanfaatan meliputi pemukiman, industri, pelabuhan, perikanan dan pertambangan, zona konservasi meliputi kawasan hutan mangrove dan terumbu karang, sedangkan zona preservasi meliputi ekosistem alami seperti hutan, sungai, terumbu karang dan lautan (Budiharsono 2001) Tata ruang wilayah pesisir dikelompokkan melalui pengaturan penggunaan lahan wilayah ke dalam unit-unit yang homogen ditinjau dari keseragaman fisik, non fisik, sosial, budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan. Wilayah pesisir dikenal sebagai daerah peralihan antara ekosistem daratan dan lautan. Terkonsentrasinya kehidupan dan berbagai kegiatan pembangunan di wilayah pesisir bukanlah merupakan suatu kebetulan, melainkan disebabkan oleh tiga alasan ekonomi, yaitu (a) wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan yang secara biologis sangat produktif, (b) wilayah pesisir menyediakan berbagai kemudahan praktis dan relatif lebih mudah bagi kegiatan industri, pemukiman dan kegiatan lainnya dibandingkan dengan yang dapat disediakan oleh daerah lahan atas, (c) wilayah pesisir pada umumnya memiliki panorama keindahan yang dapat dijadikan objek rekreasi dan pariwisata yang menarik dan menguntungkan (Idris 2001). Penataan dan pemanfaatan sumber daya pesisir relatif lebih dinamis dibandingkan dengan sumber daya daratan. Dari ketiga aspek yang mempengaruhi penataan ruang, yaitu aspek ekologi, sosial dan ekonomi, ketiganya relatif lebih

13 dinamis pada penataan dan pemanfaatan sumber daya pesisir. Pada penataan dan pemanfaatan sumber daya pesisir, perubahan aspek ekologi harus menjadi perhatian secara khusus, karena sumber daya dan ekosisitem pesisir mempunyai kaitan yang erat satu sama lainnya. Perubahan yang terjadi pada satu ekosistem pesisir akan mempengaruhi ekosistem lainnya. Disamping akibat alamiah, wilayah pesisir dapat juga berubah karena akibat perbuatan manusia seperti reklamasi dan konservasi hutan mangrove (Budiharsono 2001). 2.4 Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Kabupaten Deli Serdang Kawasan pantai Kabupaten Deli Serdang merupakan wilayah pesisir yang mempunyai hamparan mangrove yang luas dengan ketebalan yang bervariasi antara 50-150 meter. Daerah pantai di kawasan Pantai Kabupaten Deli Serdang didominasi oleh pantai berpasir, baik pasir kwarsa maupun feldspar. Keadaan fisik pantai berpasir sangat dipengaruhi oleh gerakan ombak, khususnya dalam pembentukan ukuran partikel. Luas kawasan pesisir Kabupaten Deli Serdang adalah 13.133,44 hektar. Kawasan ini cukup subur, suhu udara tinggi, kelembaban udara tinggi dan curah hujan relatif tinggi. Topografi pantai umumnya landai dengan perairan laut yang relatif dangkal (Bappeda Sumut 2004) Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah dinyatakan bahwa wilayah daerah provinsi terdiri atas wilayah daratan dan wilayah laut sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau kearah perairan kepulauan, sedangkan kewenangan daerah kabupaten/kota sejauh sepertiga dari batas laut daerah provinsi. Melalui pelimpahan kewenangan tersebut, maka daerah dapat lebih leluasa dalam merencanakan dan mengelola sumber daya pesisirnya, termasuk jasa lingkungan lainnya bagi kepentingan pembangunan daerah itu sendiri. Dengan semangat otonomi daerah tersebut, Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang telah melakukan pengelolaan sumber daya pesisirnya melalui tahapan kebijakan pengelolaan pesisir terpadunya, antara lain (1) mengidentifikasi isu-isu pengelolaan sumber daya pesisir, (2) persiapan atau perencanaan program, (3) adopsi program dan pendanaan, (4) pelaksanaan program, dan (5) monitoring dan evaluasi.

14 Idris (2001) mengemukakan, bahwa untuk memanfaatkan potensi sumber daya pesisir secara lestari, maka perlu diterapkan prinsip dan mekanisme Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (PWPT) termasuk sumber daya pulau-pulau kecil. Pertimbangan untuk menerapkan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu tersebut antara lain adalah (1) wilayah pesisir merupakan salah satu kawasan di bumi yang memiliki produktivitas yang sangat tinggi (2) pesisir banyak memiliki jasa lingkungan yang indah dan nyaman untuk tempat rekreasi dan pariwisata (3) wilayah pesisir memiliki tingkat kepadatan penduduk dan intensitas pembangunan industri yang tinggi, sehingga lingkungan pesisir sering mendapat tekanan manusia yang tinggi. 2.5 Aspek-aspek yang Berkenaan dengan Pemanfaatan Ruang Wisata Bahari di Kawasan Pesisir 2.5.1 Aspek Biofisik Aspek biofisik merupakan kondisi fisik yang berhubungan dengan kesesuaian dan kemampuan lingkungan serta sangat tergantung pada kapasitas sumber daya dan kemampuan lingkungan untuk mengasimilasi dampak seperti kemampuan ekologis lahan, erosi dan iklim seperti pengaruh jumlah curah hujan (Budiharsono 2001). Kawasan pesisir Bandara Internasional Kuala Namu memiliki pantai yang didominasi oleh pantai berpasir, baik pasir kwarsa maupun feldspar. Keadaan fisik pantai ini dipengaruhi oleh gerakan ombak, khususnya dalam pembentukan ukuran partikel. Kawasan ini cukup subur, suhu udara tinggi, kelembaban udara tinggi dan curah hujan relatif tinggi. Topografi pantai umumnya landai dengan perairan pantai yang relatif dangkal (Bappeda Sumut 2004). Kawasan pesisir di sekitar Bandara Internasional Kuala Namu yang berpotensi sebagai kawasan pengembangan wisata bahari adalah Desa Durian dan Desa Pantai Labu di Kecamatan Pantai Labu serta Desa Beringin dan Desa Kuala Namu di Kecamatan Beringin. Keempat desa ini berada di kawasan pesisir dan yang dekat dengan pantai pesisir timur dengan keindahan pantai yang cukup menarik dengan berbagai kegiatan wisata yang bisa dilakukan seperti berperahu, berenang, berjemur dan olahraga pantai. Fasilitas yang dapat dibangun untuk

15 mendukung kegiatan wisata tersebut dapat berupa penginapan (hotel), restoran, ketersediaan air bersih dan dermaga kapal sederhana untuk kapal wisatawan. Dahuri (2003) mengemukakan bahwa setiap wilayah pesisir dan lautan Indonesia memiliki karakteristik alam yang berbeda-beda, sehingga tidak semua jenis wisata bahari dapat dikembangkan sekaligus. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan oleh pemerintah daerah ketika ingin mengembangkan objek wisata bahari di wilayah pesisirnya, apakah pesisirnya layak atau tidak dikembangkan kegiatan wisata bahari. Demikian pula halnya dengan kawasan pesisir di Desa Durian, Desa Pantai Labu serta Desa Beringin dan Desa Kuala Namu di Kabupaten Deli Serdang. Pengukuran penilaian kelayakan secara biofisik untuk melakukan aktifitas wisata bahari di pesisir daratan dan perairan di keempat desa tersebut harus dilakukan untuk mengetahui jenis wisata bahari apa saja yang dapat dilakukan di daerah tersebut. Pengukuran kelayakan dapat diketahui melalui penelitian baik yang dilakukan oleh pemda mau pun pihak pengembang wisata. Salah satu metode yang biasa digunakan untuk mengukur tingkat kelayakan wisata bahari di suatu kawasan pesisir adalah dengan menggunakan analisis kesesuaian lahan melalui analisis Sistem Informasi Geografi (SIG) atau menggunakan standar kriteria yang diperlukan untuk kelayakan wisata bahari yang ditetapkan oleh lembaga nasional/internasional yang berwenang. Dari hasil analisis kesesuaian lahan tersebut akan diketahui kawasan-kawasan mana saja yang layak dikembangkan aktifitas wisata bahari. 2.5.2 Aspek Ekonomi Adanya rencana Pemerintah Daerah Kabupaten Deli Serdang yang akan menggunakan sebagian lahan yang ada di Desa Durian, Desa Pantai Labu, Desa Beringin dan Desa Kuala Namu untuk kepentingan pembangunan wisata bahari, akan berdampak bagi sumber pendapatan atau per ekonomian di keempat desa tersebut. Menurut Adrianto (2007), eksplorasi sumber daya alam secara ekonomi di wilayah pesisir untuk pengembangan wisata bahari khususnya fasilitas penunjang wisata, akan menyebabkan hilangnya ekosistem atau suatu sumber daya alam kawasan, sehingga hal tersebut akan menjadi masalah ekonomi.

16 Hilangnya ekosistem akan mengakibatkan hilangnya kemampuan ekosistem tersebut dalam menyediakan barang dan jasa. Dalam beberapa kasus, hilangnya ekosistem ini tidak dapat kembali, misalnya lahan pertanian, lahan pertambakan dan hutan mangrove, sehingga kuantifikasi manfaat maupun kerugian akibat hilangnya ekosistem atau sumber daya lahan tersebut harus dilakukan agar proses pengambilan keputusan dalam rangka pengembangan wisata pesisir dapat berjalan dengan tetap memperhatikan aspek keadilan (fairness) terhadap masyarakat lokalnya. Salah satu metode yang biasa dilakukan untuk melihat sejauh mana tingkat kerugian maupun manfaat masyarakat lokal dari adanya pengembangan wisata bahari di wilayah pesisir adalah dengan metode analisis valuasi ekonomi. Menurut Dahuri (2003), analisis valuasi ekonomi digunakan untuk mengetahui nilai-nilai ekonomi yang terkandung dalam suatu sumber daya pesisir, baik nilai guna mau pun nilai fungsional yang perlu diperhitungkan dalam menyusun kebijakan pengelolaan sumber daya alam. 2.5.3 Aspek Sosial Masyarakat Aspek sosial masyarakat merupakan kondisi sosial masyarakat yang terdapat di dalam suatu kawasan dengan melihat kemampuan dan kondisi sosial masyarakat lokal untuk mendukung pembangunan atau pengembangan yang akan dilakukan di suatu kawasan (Gilbert 2003). Masyarakat lokal di pesisir biasanya sangat rentan terhadap konflik akibat adanya berbagai kepentingan dari pihakpihak tertentu dalam memanfaatkan sumber daya pesisir, sehingga adanya konflik kepentingan antara pemanfaatan dan pelestarian sumber daya pesisir perlu disiasati dengan hati-hati karena kelestarian sumber daya dan pertumbuhan sosial masyarakat sangat bergantung pada pengelolaan sumber daya dan perencanaan pembangunan yang baik (Alfie 2007). Apabila dilihat secara seksama, pemanfaatan ruang untuk pengembangan wisata bahari dan pelaksanaan pembangunan dari masing-masing kegiatan yang ada di kawasan pesisir Bandara Internasional Kuala Namu khususnya di Desa Durian dan Desa Pantai labu di Kecamatan Pantai Labu serta Desa Beringin dan Desa Kuala Namu di Kecamatan Beringin, belum cukup memperhatikan aspek

17 sosial masyarakat sekitar. Pemanfaatan ruang kawasan pesisir bandara lebih memperhatikan kepentingan pihak bandara dan pihak pengembang wisata (investor), sehingga kurang berorientasi kepada kepentingan publik. Untuk itu perlu diketahui sejauh mana persepsi (penolakan atau persetujuan) dan respon masyarakat di keempat desa tersebut dalam upaya untuk mempertahankan keberadaannya dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di sekitarnya melalui metode survei dengan mewawancarai penduduknya.