BAB II PENGATURAN PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JUNTO UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001

dokumen-dokumen yang mirip
Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

I. PENDAHULUAN. kali di dalam peraturan penguasa militer nomor Prt/PM-06/1957, sehingga korupsi

URGENSI PENERAPAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA MENANGGULANGI TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB 1V PENUTUP. sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA KAITANNYA DENGAN SPLITSING DALAM PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2000 TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA

PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA HASNAWATI / D ABSTRAK

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

Lex Crimen Vol. V/No. 2/Feb/2016

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. menyatu dengan penyelenggarakan pemerintahan Negara 2. Tidak hanya di

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

A. KESIMPULAN. Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, Universitas Indonesia

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

BAB II ASAS PEMBUKTIAN TERBALIK MENURUT HUKUM ACARA PIDANA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

SISTEM PEMBEBANAN PEMBUKTIAN TERBALIK PADA TINDAK PIDANA KORUPSI

SUATU TINJAUAN TERHADAP PEMBUKTIAN DALAM UNDANG UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DR. WEMPIE JH. KUMENDONG, SH, MH NIP. :

LATAR BELAKANG MASALAH

I. PENDAHULUAN. kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat mengakibatkan perubahan kondisi sosial

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II PENGATURAN HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA. Di Indonesia langkah- langkah pembentukan hukum positif untuk

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

PENERAPAN SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM UPAYA PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB II PRAPERADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA. A. Sejarah Praperadilan dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Korupsi merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam sejarah perkembangan

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

MENGGAGAS SISTEM PEMBUKTIAN TERBALIK YANG TEPAT DAN APLIKABEL DALAM MENUNJANG EFEKTIFITAS PEMBERANTASAN KORUPSI DI INDONESIA

PENGANTAR HUKUM ACARA PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA. R. Herlambang Perdana Wiratraman Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, 2 Juni 2008

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

dengan aparatnya demi tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan harkat dan martabat manusia. Sejak berlakunya Undang-undang nomor 8 tahun 1981

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 21/PUU-XII/2014 Penyidikan, Proses Penahanan, dan Pemeriksaan Perkara

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai extra ordinary crime karena merupakan tindak pidana yang

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

BAB I PENDAHULUAN. melibatkan pemeriksaan investigatif oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

BAB I PENDAHULUAN. sehubungan dengan istilah pencucian uang. Dewasa ini istilah money

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 117/PUU-XII/2014 Bukti Permulaan untuk Menetapkan Sebagai Tersangka dan Melakukan Penahanan

I. PENDAHULUAN. kebebasan, baik yang bersifat fisik maupun pikiran. Oleh karena itu, Undang-Undang Dasar

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015

PERANAN HAKIM DALAM PENERAPAN PEMBALIKAN BEBAN PEMBUKTIAN DI PERSIDANGAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG. Oleh. I Gusti Ngurah Dhian Prismanatha

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum tentang Tindak Pidana Korupsi. Korupsi merupakan gejala masyarakat yang dapat dijumpai dimana-mana.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS

BAB I. Seiring dengan perkembangan internasional yang berdampak pada semakin

JURNAL OPINIO JURIS Vol. 13 Mei Agustus 2013

NOMOR : M.HH-11.HM th.2011 NOMOR : PER-045/A/JA/12/2011 NOMOR : 1 Tahun 2011 NOMOR : KEPB-02/01-55/12/2011 NOMOR : 4 Tahun 2011 TENTANG

EKSISTENSI SAKSI MAHKOTA SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PERKARA PIDANA

1. Beberapa rumusan pidana denda lebih rendah daripada UU Tipikor

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PEMBUKTIAN TERBALIK MENGENAI PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA MENURUT UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

TINDAK PIDANA KORUPSI SEBAGAI KEJAHATAN LUAR BIASA

Presiden, DPR, dan BPK.

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

BAB I PENDAHULUAN. kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya disamping. pembuktian dengan alat bukti keterangan saksi.

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB 1 PENDAHULUAN. setiap individu, sehingga setiap orang memiliki hak persamaan dihadapan hukum.

KEKHUSUSAN BEBAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG ( MONEY LAUNDERING )

MANFAAT DAN JANGKA WAKTU PENAHANAN SEMENTARA MENURUT KITAB UNDANG HUKUM ACARA PIDANA ( KUHAP ) Oleh : Risdalina, SH. Dosen Tetap STIH Labuhanbatu

MASUKAN KOALISI PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN ATAS PERUBAHAN UU NO. 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN.

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENCABUTANKETERANGAN TERDAKWA DALAM BERITA ACARA PEMERIKSAAAN (BAP) DAN TERDAKWA

Model Pengembalian Aset (Asset Recovery) Sebagai Alternatif Memulihkan Kerugian Negara Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi

Toddy Anggasakti dan Amanda Pati Kawa. Abstrak

BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut Undang-Undang ini.

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN. Hak asasi manusia merupakan dasar dari kebebasan manusia yang mengandung

Konvensi Internasional

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BAB I PENDAHULUAN. Acara Pidana (KUHAP) menjunjung tinggi harkat martabat manusia, dimana

BAB I PENDAHULUAN. sendiri dan salah satunya lembaga tersebut adalah Pengadilan Negeri. Saat

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

BAB II PENGATURAN PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA KORUPSI BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 JUNTO UNDANG-UNDANG NOMOR 20 TAHUN 2001 A. Pengaturan Perampasan Aset Dalam Perspektif Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1. Perampasan Aset dalam UUPTPK Perampasan aset dalam perkara tindak pidana korupsi dalam hal ini difokuskan kepada UU No.31 Tahun 1999 junto UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK). Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 ditegaskan: a. Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah: 1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut; 2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; 3. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; 4. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. b. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. c. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang- 32

undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. Berdasarkan rumusan Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 di atas, selain pidana tambahan yang ditentukan dalam Bab II KUH Pidana 72 untuk perkara tindak pidana korupsi ditentukan pidana tambahan sebagaimana ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) huruf a UU.No 31 Tahun 1999 pidana tambahan perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut. UU No.31 Tahun 1999 menempatkan perampasan aset (barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak) sebagai pidana tambahan bukan menempatkannya sebagai pidana pokok. Pidana tambahan yang dimaksud adalah pidana tambahan yang ditentukan dalam Pasal 10 huruf b KUH Pidana dan Pasal 18 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999. 73 Pidana tambahan yang ditentukan dalam Pasal 10 huruf b KUH Pidana adalah sebagai berikut: 74 a. Pencabutan hak-hak tertentu, yang menurut Pasal 35 ayat (1) KUH Pidana terdiri dari: Hak orang yang bersalah yang dapat dicabut dalam putusan hakim dalam hal yang ditentukan dalam kitab undang-undang ini atau dalam peraturan umum yang lain yaitu: 1) Menjabat segala jabatan atas jabatan tertentu; 2) Menjadi militer; 72 R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, (Bogor: Politeia, 1996), hal. 34. Jenis-jenis pidana tambahan menurut KUH Pidana yaitu: 1) Pencabutan beberapa hak tertentu; 2) Perampasan barang tertentu; dan Pengumuman keputusan hakim. 73 Ermansjah Djaja, Op. cit., hal. 209. 74 Ibid. Lihat juga: R. Soesilo, Op. cit., hal. 55.

3) Memilih dan dapat dipilih pada pemilihan yang dilakukan karena undangundang umum; 4) Menjadi penasihat atau wali atau wali pengawas atau pengampu atau pengampu pengawas atas orang lain dari pada anaknya sendiri; 5) Kekuasaan bapak, perwalian dan pengampuan atas anaknya sendiri; 6) Melakukan pekerjaan yang ditentukan. b. Perampasan barang-barang tertentu yang oleh Pasal 39 ayat (1) KUH Pidana ditentukan dapat dirampas: 1) Barang-barang kepunyaan terpidana yang diperoleh dengan kejahatan boleh dirampas; dan 2) Barang-barang kepunyaan terpidana yang dengan sengaja dipakai untuk mengerjakan kejahatan boleh dirampas. c. Pengumuman keputusan hakim. Pidana tambahan yang ditentukan dalam Pasal 18 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 menurut Ermansjah Djaja, terdiri dari: 75 a. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau tidak berwujud atau perampasan barang yang tidak bergerak yang tidak berwujud yang digunakan untuk atau diperoleh dari tindak pidana korupsi termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula harga yang menggantikan barang-barang tersebut. b. Pembayaran uang pengganti sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. c. Penutupsan seluruhnya atau sebahagian aset perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun. d. Pencabutan seluruhnya atau sebahagian hak-hak tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana dan penghapusan seluruhnya atau sebahagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No.31 Tahun 1999, perlu diperhatikan hal-hal sebagai berikut: 76 a. Penjatuhan pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) KUH Pidana, barang-barang yang dapat dirampas hanya kepunyaan terpidana. Demikian juga untuk menjatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) UU No.31 75 Ibid., hal. 209-210. 76 Ibid., hal. 210-216.

Tahun 1999, barang-barang yang dapat dirampas hanya kepunyaan terdakwa. Kepastian bahwa hanya barang-barang kepunyaan terdakwa yang dapat dirampas dapat dilihat dari ketentuan Pasal 19 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 yang menegaskan bahwa Putusan pengadilan mengenai perampasan barangbarang bukan kepunyaan terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan dirugikan. b. Penjatuhan pidana tambahan berupa perampasan barang-barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat (1) KUH Pidana tidak dapat dilakukan terhadap barang yang tidak berwujud karena yang dimaksud dengan barang dalam Pasal 39 ayat (1) KUH Pidana adalah hanya barang berwujud, sedangkan perampasan sebagaimana dimaksud dengan Pasal 18 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 dapat dilakukan terhadap barang-barang yang tidak berwujud. c. Alat-alat bukti yang sah antara lain seperti keterangan ahli sebagaimana dimaksud dengan Pasal 184 ayat (1) KUH Pidana dapat memberikan kesaksian atau pembuktian mengenai jumlah kekayaan yang diperoleh terdakwa tindak pidana korupsi, karena pelaksanaan pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No.31 Tahun 1999, pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. d. Maksud dari...harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No.31 Tahun 1999, jangan diartikan hanya sebatas harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana yang masih dikuasai oleh terpidana pada saat majelis hakim memutuskan perkaranya, tetapi harus diartikan termasuk pula harta benda yang diperoleh dari hasil tindak pidana korupsi yang pada saat majelis hakim memutuskan perkaranya, harta benda tersebut sudah dialihkan kekuasaannya kepada pihak lain. e. Pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c UU No.31 Tahun 1999, Penuntutan seluruh atau sebahagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun, yang dimaksud dengan penutupan seluruh atau sebahagian perusahaan adalah pencabutan izin usaha atau penghentian kegiatan untuk sementara waktu sesuai dengan putusan pengadilan. Tetapi di dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf c UU No.31 Tahun 1999 tidak secara jelas ditegaskan apakah perusahaan yang dimaksud perusahaan milik terpidana atau tindak pidana korupsi yang dilakukan di dalam lingkungan perusahaan dari perusahaan yang ditutup tersebut. f. Maksud dari...hak-hak tertentu... sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d UU No.31 Tahun 1999 bukan hanya pencabutan hak-hak sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) KUH Pidana tetapi termasuk hakhak yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana yang tidak termasuk hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) KUH Pidana. Maksud dari...keuntungan tertentu... sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf d UU No.31 Tahun 1999 pada dasarnya perumusannya

sama dengan perumusan Pasal 7 ayat (1) huruf c UU Darurat No.7 Tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi yaitu Pencabutan seluruh atau sebahagian hak-hak tertentu atau hak-hak penghapusan seluruh atau sebahagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh pemerintah berhubungan dengan perusahaannya untuk waktu selama-lamanay 2 (dua) tahun. g. Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c dan huruf d UU No.31 Tahun 1999 pada dasarnya adalah merupakan pidana tambahan yang berupa pencabutan hak-hak tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 huruf b angka 1 KUH Pidana. h. Sebagai suatu pidana tambahan, ketentuan yang diatur dalam Pasal 38 ayat (2) KUH Pidana berlaku juga untuk ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c dan huruf d UU No.31 Tahun 1999, maksdunya adalah pidana tambahan yang berupa penutupan perusahaan, pencabutan hak-hak tertentu dan penghapusan keuntungan tertentu tersebut, mulai diberlakukan sejak pada hari putusan pidana tambahan tersebut dijalankan dan bukan mulai berlaku pada hari mulai terpidana menjalankan pidana tambahan. Sehingga pelaksanaan atau eksekusi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf c dan huruf d UU No.31 Tahun 1999 tidak diperlukan, karena sudah dijalankan atau dilaksanakan oleh terpidana sejak pada hari putusan pidana tambahan dibacakan oleh majelis hakim. Bilamana terpidana tindak pidana korupsi tidak menjalankan atau tidak melaksanakan pidana tambahan berupa penutupan perusahaan dengan tetap menjalankan perusahaannya, kepada terpidana tersebut dapat dituntut dipidana dengan berdasarkan Pasal 277 KUH Pidana. Ketentuan Pasal 18 ayat (3) UU No.31 Tahun 1999, terdapat beberapa ketentuan agar terpidana tindak pidana korupsi yang dijatui pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU No.31 Tahun 1999 dapat dipidana dengan pidana penjara, apabila terpidana tidak ada lagi memiliki harta benda untuk membayar uang penggganti kerugian keuangan negara dan hasil lelang harta benda kepunyaannya pun tidak mencukupi untuk membayar uang pengganti tersebut. Selain itu, pidana penjara dimaksud terhadap terpidana yang tidak memiliki harta benda untuk membayar uang pengganti tersebut, tidak boleh melebihi ancaman maksimum dari ketentuan dalam undang-undang.

Selanjutnya mengenai adanya pihak ketiga yang beritikad baik sedang dibuktikan dalam sidang pengadilan terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, menurut ketentuan Pasal 19 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999, hakim tidak dibenarkan menjatuhkan putusan perampasan aset pihak ketiga yang beritikad baik. Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 19 ayat (1) UU.No 31 Tahun 1999 yaitu: Putusan pengadilan mengenai perampasan barang-barang bukan kepunyaan terdakwa tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga yang beritikad baik akan dirugikan. Berdasarkan ketentuan ini, dapat dipahami bahwa perampasan aset tidak dapat dikenakan kepada pihak ketiga yang beritikad baik yang berarti perampasan aset bersifat terbatas. Sebab, dapat dibatasi oleh karena adanya itikad baik yang harus dibuktikan oleh pihak ketiga tersebut dengan mengajukan keberatan selambat-lambatnya dua bulan setelah putusan hakim sebagaimana diegaskan dalam Pasal 19 ayat (2) ketentuan ini. Ketentuan Pasal 38 ayat (5) UU No.31 Tahun 1999 ditegaskan Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita. Berdasarkan ketentuan ini, jika dipahami maksud dalam penjelasannya dimaksudkan untuk menyelamatkan kekayaan negara. Hakim mendasarkan kepada tuntutan penuntut umum bukan kepada Jaksa Pengacara Negara (JPN). Perampasan aset dalam perkara tindak pidana korupsi menurut Pasal 38B UU No. 20 Tahun 2001 berlaku kepada salah satu ketentuan dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU No.31 Tahun 1999

serta Pasal 12 UU No.20 Tahun 2001. 77 Hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebahagian harta benda terdakwa apabila tidak dapat dibuktikannya bahwa harta bendanya itu diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi. Tuntutan perampasan aset dimaksud dalam pasal-pasal di atas dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada saat membacakan tuntutan perkara pokok. 78 Demikian sebaliknya, menurut Pasal 38B ayat 6 UU No. 20 Tahun 2001, ditegaskan apabila terdakwa dibebaskan atau dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, maka tuntutan perampasan harta benda harus ditolak oleh hakim. Ketentuan dalam Pasal 38B UU No.20 Tahun 2001 merupakan pembuktian terbalik yang dikhususkan pada perampasan harta benda yang diduga keras juga berasal dari tindak pidana korupsi berdasarkan salah satu dakwaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU No.31 Tahun 1999 dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 UU No.20 Tahun 2001 77 Paragraf 7 Penjelasan Umum UU No.20 Tahun 2001 dijelaskan pembuktian terbalik diberlakukan pada tindak pidana baru tentang gratifikasi dan terhadap tuntutan perampasan harta benda terdakwa yang diduga berasal dari salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini. 78 Selengkapnya bunyi Pasal 38B ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) UU No.20 Tahun 2011, sebagai berikut: 1. Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. 2. Dalam hal terdakwa tidak dapat membuktikan bahwa harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diperoleh bukan karena tindak pidana korupsi, harta benda tersebut dianggap diperoleh juga dari tindak pidana korupsi dan hakim berwenang memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. 3. Tuntutan perampasan harta benda sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diajukan oleh penuntut umum pada saat membacakan tuntutannya pada perkara pokok.

sebagai tindak pidana pokok. Pertimbangan apakah seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara diserahkan kepada hakim dengan pertimbangan prikemanusiaan dan jaminan hidup bagi terdakwa. Dasar pemikiran ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (6) ialah alasan logika hukum karena dibebaskannya atau dilepaskannya terdakwa dari segala tuntutan hukum dari perkara pokok, berarti terdakwa bukan pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus tersebut. Selanjutnya dalam Pasal 38C UU No.20 Tahun 2001 ditegaskan: Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Perampasan aset hasil tindak pidana korupsi menurut ketentuan Pasal 38C UU No.20 Tahun 2001 di atas, berlaku apabila status terdakwa berubah menjadi terpidana dengan ketentuan bahwa aset itu diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenalan perampasan ketika dibacakannya putusan hakim. Dalam hal ini perampasan aset dilakukan terhadap terpidana dan ahli warisnya dengan menggunakan gugatan perdata. Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 18 UU No.31 Tahun 1999 mengenai perampasan aset, berbeda dengan perampasan aset dalam model civil forfeiture. Perampasan aset yang dikenal di dalam UU No.31 Tahun 1999 junto UU No.20 Tahun 2001 adalah model criminal forfeiture yaitu dengan menggunakan jalur

hukum pidana. Sementara civil forfeiture digunakan jalur perdata dan sekaligus menggunakan jalur hukum pidana. 2. Perampasan Aset Melalui Gugatan Perdata Dalam UUPTPK Berdasarkan uraian mengenai pasal-pasal perampasan aset dalam UUPTPK sebagaimana di atas, dapat disimpulkan bahwa perampasan aset dapat dilakukan oleh JPU melalui tuntutannya di sidang pengadilan, akan tetapi perampasan aset itu dalam praktiknya diimplementasikan pada pembayaran uang pengganti yang tentunya hanya sebatas jumlah aset yang dirugikan oleh pelaku tindak pidana korupsi. 79 UUPTPK dapat dipahami bahwa gugatan perdata tidak dapat dijalankan secara bersamaan dengan tuntutan pidana pokok melainkan UUPTPK hanya memberikan kewenangan kepada hakim untuk memutuskan perampasan terhadap barang-barang terkait dengan dugaan tindak pidana korupsi. Dasar hukumnya adalah ketentuan Pasal 38 ayat (5) UU No.31 Tahun 1999 ditegaskan sebagai berikut: Dalam hal terdakwa meninggal dunia sebelum putusan dijatuhkan dan terdapat bukti yang cukup kuat bahwa yang bersangkutan telah melakukan tindak pidana korupsi, maka hakim atas tuntutan penuntut umum menetapkan perampasan barang-barang yang telah disita. Khusus untuk gugatan perdata dapat dilihat ketentuan Pasal 38C UU No.20 Tahun 2001 selengkapnya berbunyi: Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik 79 Efi Laila Kholis, Pembayaran Uang Pengganti Dalam Perkara Korupsi, (Jakarta: Solusi Publishing, 2010), hal. 43-52.

terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 38C UU No.20 Tahun 2001 ini dipahami bahwa gugatan perdata baru dapat dilakukan setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, namun diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan. Uraian di atas, sedikit meletakkan pemikiran terhadap hukum perdata menurut civil forfeture. Sebagaimana telah dijelaskan terdahulu bahwa jika digunakan model civil forfeiture maka hukum pidana dan hukum perdata dapat dilakukan secara bersamaan, tidak perlu harus ditunggu lama setelah jalur hukum pidana digunakan terlebih dahulu. Inilah perspektif UUPTPK dalam kaitannya dengan instrumen civil forfeiture. 80 Eka Iskandar, mengatakan penggunaan hukum perdata dalam mengajukan gugatan perdata untuk merampas aset tindak pidana korupsi telah diatur dalam Pasal 38 C UU No.20 Tahun 2001. Pengaturan itu menurut Eka Iskandar, 80 Ario Wandatama dan Detania Sukarja, Implementasi Instrumen Civil Forfeiture di Indonesia untuk mendukung Stolen Asset Recovery (StAR) Initiative, Makalah dalam Seminar Pengkajian Hukum Nasinal, 2007, hal. 20. Sekilas mirip dengan gugatan perdata yang ada dalam UUPTPK, namun keduanya memiliki perbedaan. Upaya perdata dalam UUPTPK menggunakan aturan perdata biasa dimana proses persidangannya masih tunduk pada hukum perdata formil atau materiil biasa. Civil forfeiture menggunakan aturan perdata yang berbeda, seperti pembalikan beban pembuktian. Civil forfeiture tidak berkaitan dengan pelaku tindak pidana dan memperlakukan sebuah aset sebagai pihak yang berperkara. Perbedaan tersebut menghasilkan dampak yang berbeda.

belum menampilkan karakter spesifik (layaknya civil forfeiture versi UNCAC 2003) dalam kaitannya dengan 3 (tiga) kondisi tertentu tindak pidana korupsi, yaitu: 81 a. Dalam hal tidak terbukti secara pidana; b. Tersangka dan terdakwanya meninggal dunia sebelum ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap; c. Karena kerugian negara yang belum disita baru diketahui kemudian setelah adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Perspektif UUPTPK perampasan aset dapat dilakukan melalui dua instrumen hukum, yaitu instrumen hukum pidana dan hukum perdata. Hukum pidana dilakukan oleh penyidik dengan menyita harta benda milik pelaku dan selanjutnya oleh penuntut umum menuntut agar aset itu dirampas melalui putusan hakim. Sedangkan instrumen perdata dilakukan oleh JPN mewakili negara yang dirugikan terhadap pelaku tindak pidana korupsi atau ahli warisnya apabila terpidana meninggal dunia. Penggunaan instrumen perdata dalam perspektif UUPTPK, menimbulkan konsekuensi hukum yang sepenuhnya tunduk kepada ketentuan hukum perdata (BW) yang berlaku, baik materil maupun formil. Undang-undang korupsi yang lama yaitu UU No.3 Tahun 1971, tidak menyatakan digunakannya instrumen perdata untuk mengembalikan kerugian keuangan negara, tetapi dalam praktik instrumen perdata ini digunakan oleh Jaksa, berkaitan dengan adanya hukuman tambahan yaitu pembayaran uang pengganti 81 Eka Iskandar, Prinsip Pengembalian Keuangan Negara Akibat Tindak Pidana Korupsi Melalui Gugatan Perdata, konsultan hukum, meraih gelar Doktor dari Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair), tanggal 13 Agustus 2008, hal. 3.

terhadap terpidana vide Pasal 34C Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971. 82 Dalam hal ini JPN melakukan gugatan perdata terhadap terpidana, agar membayar uang pengganti sebagaimana ditetapkan oleh Hakim pidana yang memutus perkara korupsi yang bersangkutan. Undang-undang korupsi yang berlaku saat ini (UUPTPK) dengan tegas menyatakan penggunaan instrumen perdata, sebagaimana pada Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, UU No.31 Tahun 1999 dan Pasal 38 C UU No.20 Tahun 2001. 83 Permasalahan yang dimunculkan dari pengaturan yang berhubungan dengan 82 Pasal 34 C, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 (UU Korupsi Lama) baerbunyi, Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi. 83 UUPTPK: Pasal 32 UU No. 31 Tahun 1999ditegaskan: (1) Dalam hal penyidik menemukan dan berpendapat bahwa satu atau lebih unsur tindak pidana korupsi tidak terdapat cukup bukti, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara untuk dilakukan gugatan perdata atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk mengajukan gugatan. (2) Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Pasal 33 UU No. 31 Tahun 1999ditegaskan: Dalam hak tersangka meninggal dunia pada saat dilakukan penyidikan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penyidik segera menyerahkan berkas perkara hasil penyidikan tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. Pasal 34 UU No. 31 Tahun 1999 ditegaskan: Dalam hal terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, maka penuntut umum segera menyerahkan salinan berkas berita acara sidang tersebut kepada Jaksa Pengacara Negara atau diserahkan kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli warisnya. Pasal 38C UU No.20 Tahun 2001 ditegaskan: Apabila setelah putusan pengadilan telah memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 B ayat (2), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya.

penggunaan hukum perdata tersirat di dalam UUPTPK menurut Eka Iskandar sebagai berikut: 84 a. Apabila penyidik menangani kasus yang secara nyata telah ada kerugian keuangan negara, tetapi tidak terdapat cukup bukti untuk membuktikan unsurunsur pidana korupsi, maka penyidik menghentikan penyidikan yang dilakukan. Dalam hal ini penyidik menyerahkan berkas perkara hasil penyidikannya kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas tersangka yang telah merugikan keuangan negara tersebut (Pasal 32 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999); b. Hakim dapat menjatuhkan putusan bebas dalam perkara korupsi, meskipun secara nyata telah ada kerugian negara, karena unsur-unsur pidana korupsi tidak terpenuhi. Dalam hal ini penuntut umum menyerahkan putusan Hakim kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap bekas terdakwa yang telah merugikan keuangan negara (Pasal 32 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999); c. Dalam penyidikan perkara korupsi ada kemungkinan tersangka meninggal dunia, sedangkan secara nyata telah ada kerugian keuangan negara. Penyidikan terpaksa dihentikan dan penyidik menyerahkan berkas hasil penyidikannya kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan, untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris tersangka (Pasal 33 UU No.31 Tahun 1999); d. Bila terdakwa meninggal dunia pada saat dilakukan pemeriksaan di sidang pengadilan, sedangkan secara nyata telah ada keuangan negara, maka penuntut umum menyerahkan salinan berkas berita acara sidang kepada JPN atau kepada instansi yang dirugikan untuk dilakukan gugatan perdata terhadap ahli waris terdakwa (Pasal 34 UU No.31 Tahun 1999); e. Ada kemungkinan setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, diketahui masih terdapat harta benda milik terpidana korupsi yang belum dikenakan perampasan, (sedangkan di sidang pengadilan terdakwa tidak dapat membuktikan harta benda tersebut diperoleh bukan karena korupsi), maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana dan atau ahli warisnya (Pasal 38C UU No.20 Tahun 2001). Dalam kasus ini instansi yang dirugikan dapat memberi kuasa kepada JPN atau kuasa hukumnya untuk mewakilinya. Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa upaya perampasan aset dengan menggunakan hukum perdata, sepenuhnya tunduk pada disiplin hukum perdata 84 Eka Iskandar., Op. cit., hal. 34.

materil maupun formil, meskipun berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Berbeda dengan proses pidana yang menggunakan sistem pembuktian materil, maka proses perdata menganut sistem pembuktian formil yang dalam prakteknya bisa lebih sulit dari pada pembuktikan materil. B. Kaitan Perampasan Aset Terhadap Pembuktian Terbalik Sebagaimana Diatur Dalam KAK 2003 Pembuktian terbalik atau disebut juga dengan istilah pembalikan beban pembuktian 85 telah diatur dalam Konvensi Anti Korupsi 2003 (KAK 2003) 86 khususnya terdapat dalam ketentuan Pasal 31 ayat (8) dan Pasal 53 huruf (b) KAK 2003. Ketentuan pembuktian terbalik dalam Pasal 31 ayat (8) ditujukan terhadap pembekuan, perampasan, dan penyitaan dari pelaku tindak pidana korupsi yang ditegaskan sebagai berikut: States Parties may consider the possibility of requiring that an offender demonstrate the lawful origin of such alleged proceeds of crime or other property liable to confiscation, to the extent that such a requirement is consistent with the fundamental principles of their domestic law and with the nature of judicial and other proceedings. 87 85 Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Anti Korupsi 2003, Op. cit., hal. 12. 86 Konvensi PBB Anti Korupsi 2003 atau lazim disebut sebagai Konvensi Anti Korupsi 2003 (KAK 2003) diratifikasi Indonesia dengan UU No.7 Tahun 2006 terdiri dari VIII Bab yaitu Bab I Ketentuan-ketentuan umum; Bab II Tindakan-tindakan pencegahan; Bab III Kriminalisasi dan Penegakan Hukum; Bab IV Kerjasama internasional; Bab V Pengembalian asset; Bab VI Bantuan teknis, Pelatihan dan Pengumpulan, Peraturan dan Analisis informasi; Bab VII Mekanisme untuk pelaksanaan; Bab VIII Pasal-pasal penutup. 87 Artinya: Negara Pihak dapat mempertimbangkan kemungkinan membutuhkan bahwa pelaku menunjukkan asal usul yang sah hasil dugaan tindak pidana atau properti lainnya dikenakan penyitaan, sejauh persyaratan tersebut konsisten dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasionalnya dan sifat proses peradilan lainnya.

Ketentuan di atas menentukan negara-negara peserta konvensi dapat mempertimbangkan kemungkinan untuk mewajibkan seorang pelanggar menerangkan tentang sumber yang sah atas hasil-hasil yang diduga berasal dari tindak pidana atau kekayaan lainnya yang dapat dikenakan penyitaan, sejauh syarat tersebut konsisten dengan prinsip-prinsip dasar hukum nasional, dan konsisten pula dengan sifat dari proses yudisial dan proses peradilan lainnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 31 ayat (8) KAK 2003 di atas, maka pembuktian terbalik diperkenankan melalui jalur keperdataan telah dipergunakan di beberapa negara seperti di Italia, Irlandia, Amerika Serikat dan sebagainya. Selain ketentuan Pasal 31 ayat (8) KAK 2003, pembuktian terbalik juga diatur dalam ketentuan Pasal 53 huruf b yang secara tegas menentukan, bahwa: Take such measures as may be necessary to permit its courts to order those who have committed offences established in accordance with this Convention to pay compensation or damages to another State Party that has been harmed by such offences. 88 Ketentuan Pasal 53 huruf b KAK 2003 di atas menegaskan kepada negaranegara peserta konvensi untuk mengambil tindakan-tindakan yang mungkin diperlukan dalam hal mengizinkan pengadilan-pengadilan memerintahkan orangorang yang telah melakukan kejahatan-kejahatan yang ditetapkan berdasarkan KAK 88 Artinya: Mengambil tindakan yang dianggap perlu untuk mengizinkan pengadilan untuk memerintahkan mereka yang telah melakukan tindak pidana yang ditetapkan sesuai dengan Konvensi ini untuk membayar kompensasi atau ganti rugi ke Negara Pihak yang telah dirugikan oleh tindak pidana tersebut.

2003 untuk membayar kompensasi atau ganti rugi kepada negara peserta yang lain yang telah dirugikan oleh kejahatan-kejahatan. Prinsip yang terkandung dalam ketentuan Pasal 53 huruf b KAK 2003 terhadap pengembalian aset secara langsung dengan memberikan izin kepada pengadilan Negara setempat memerintahkan kepada pelaku tindak pidana korupsi untuk membayar kompensasi atau ganti rugi kepada Negara lain yang dirugikan akibat dari tindak pidana korupsi. Hakikat dari ketentuan pembuktian terbalik dicermati lebih intens menurut Lilik Mulyadi, menimbulkan permasalahan krusial yakni bagaimana mungkin akan diterapkan pembayaran sejumlah kompensasi atau ganti rugi kepada Negara lain akibat dari tindak pidana korupsi jika pelaku tidak mengakui melakukan perbuatan korupsi yang ditujukan kepadanya. 89 Eksistensi strategi pengembalian aset secara eksplisit telah diatur dalam mukadimah (preambule) KAK 2003 pada Paragraf 8 yang menentukan, bahwa: Determined to prevent, detect and deter in a more effective manner international transfers of illicitly acquired assets and to strengthen international cooperation in asset recovery. Yakni bertekad untuk mencegah, melacak dan menghalangi dengan cara yang lebih efektif transfer-transfer internasional atas aset-aset yang diperoleh secara tidak sah, dan untuk memperkuat kerjasama internasional dalam pengembalian aset. Ketentuan tersebut di atas apabila dianalisis ternyata berkaitan dengan landasan filosofis dalam mukadimah, Paragraf 3 KAK 2003 mengenai keterkaitan 89 Ibid., hal. 2.

antara perbuatan korupsi dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Ketentuan Paragraf 3 KAK 2003 secara eksplisit menentukan bahwa: Concerned further about cases of corruption that involve vast quantities of assets, which may constitute a substantial proportion of the resources of States, and that threaten the political stability and sustainable development of those States. Yakni prihatin atas keseriusan masalah-masalah dan ancaman-ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, yang melemahkan lembaga-lembaga dan nilai-nilai demokrasi, nilai-nilai etika dan keadilan serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum. Ketentuan di atas apabila diperhatikan secara lebih seksama maka pada KAK 2003 pembuktian terbalik sebenarnya dapat dipergunakan melalui 2 (dua) jalur yaitu jalur kepidanaan (criminal procedure) maupun jalur keperdataan (civil procedure) khususnya terhadap sumber harta kekayaan yang didapat oleh pelaku tindak pidana korupsi. Hakikat dan dimensi gabungan criminal procedure dan civil procedure telah banyak diterapkan beberapa negara. 90 Pembuktian terbalik melalui jalur kepidanaan (criminal procedure), mewajibkan seorang pelanggar menerangkan sumber yang sah dari tindak pidana korupsi. Sedangkan pembuktian terbalik melalui jalur keperdataan (civil procedure), menyangkut perampasan aset atau kekayaan lainnya yang dapat dikenakan penyitaan. Pemakaian jalur kepidanaan dan keperdataan secara bersama-sama terhadap 90 Nihal Jayawickrama, Jeremy Pope, dan Oliver Stolpe, Legal Provisions to Facilitate the Gathering of Evidence in Corruption Cases: Easing the Burden of Proof, Jurnal Forum on Crime and Society, Vol. 2, No. 1, Desember 2002, hal. 24-25.

kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi dengan melalui mekanisme pembuktian terbalik pada hakikatnya tetap diperkenankan dan telah ada pula justifikasi teori yang mendukungnya. 91 KAK 2003 dalam pengembalian aset hasil korupsi melalui prosedural pembekuan, perampasan dan penyitaan dari pelaku tindak pidana korupsi sebagaimana ketentuan Pasal 31 ayat (8) maupun ketentuan Pasal 53 huruf b KAK 2003 telah dapat dipergunakan teori pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan (balanced probability principles) dari Nihal Jayawickrama, Jeremy Pope, dan Oliver Stolpe, yaitu adanya keseimbangan teori probabilitas berimbang yang diturunkan (lowest balanced probability principles) dalam hal kepemilikan harta kekayaan yang merupakan aset hasil korupsi akan tetapi tetap mempertahankan teori tersebut dalam posisi yang sangat tinggi (highest balanced probability principles) dalam hal perampasan kemerdekaan seseorang tersangka. 92 Dimensi ini dalam praktiknya untuk pembalikan beban pembuktian melalui mekanisme keperdataan (civil procedure) telah dilakukan di Italia, Irlandia dan Amerika Serikat sedangkan pembuktian terbalik melalui mekanisme kepidanaan (criminal procedure) telah dilaksanakan oleh Negara Singapura berdasarkan Section 4 Singapore Confiscation of Benefits Act serta Negara Hong Kong berdasarkan Section 12 A Hong Kong Prevention Bribery Ordinance. Selanjutnya, penggunaan 91 Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Anti Korupsi 2003, Op. cit., hal. 3. 92 Nihal Jayawickrama, Jeremy Pope, dan Oliver Stolpe, Op. cit., hal. 1.

kedua teori balanced probability tersebut dalam Pasal 31 ayat (8) KAK 2003 khususnya dalam kalimat, may, yang bersifat non mandatory obligation serta kalimat, demonstrate maupun kalimat, consistent with the prinsiples of...domestic law, yang menunjukkan bahwa ketentuan pasal tersebut relatif tetap mempertimbangkan International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR) 93 yang menegaskan hak-hak sipil seseorang yang seharusnya dilindungi secara penuh. 93 Hikmahanto Juwana, Konsekuensi Ratifikasi ICCPR, Kompas, Tanggal 8 Juni 2005, hal. 11. Lihat juga: http://www.unisosdem.org/ekopol_detail.php?aid=5160&coid=4&caid=33, diakses tanggal 13 Mei 2011. Salah satu instrumen internasional di bidang Hak Asasi Manusia (HAM) yang penting adalah International Convenant on Civil and Political Rights (ICCPR). Indonesia sudah meratifikasi ICCPR melalui UU No.12 Tahun 2005. Sebagian substansi ICCPR sebenarnya telah diadopsi dalam Pasal 28 UUD 1945 yang telah diamandemen dan peraturan perundang-undangan Indonesia yang terkait masalah HAM, diantaranya KUHAP dan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Tentunya ratifikasi tersebut dapat membawa harapan penghargaan HAM di Indonesia semakin meningkat. Namun, sekadar meratifikasi ICCPR tidak dengan sendirinya membuat penghargaan HAM di Indonesia menjadi lebih baik dari sebelumnya. Banyak tantangan yang akan dihadapi. ICCPR merupakan perjanjian internasional yang teksnya dihasilkan oleh PBB tahun 1966. ICCPR mulai berlaku tahun 1976 setelah 35 negara meratifikasinya. Perlu dicatat, ICCPR hanya berlaku bagi negara-negara yang telah meratifikasi. Substansi yang diatur dalam ICCPR intinya adalah penghormatan atas HAM yang mewajibkan kepada negara peserta untuk mentransformasikan ke dalam hukum nasional. Penghormatan terhadap HAM yang diatur dalam ICCPR mulai dari hak hidup hingga masalah larangan perbudakan. Dalam ICCPR juga diatur larangan penangkapan secara sepihak dan syarat yang harus dipenuhi bila seseorang diambil kemerdekaannya, bahkan larangan pemenjaraan yang didasarkan pada hubungan kontraktual. Negara peserta juga wajib menjamin agar setiap orang bebas bergerak dan dilarang melakukan tindakan deportasi secara sewenang-wenang. Bagi orang yang dituduh melakukan tindak pidana diatur secara rinci syarat-syaratnya. Negara juga harus menjamin kebebasan individu untuk memiliki kepercayaan dan agama. Demikian juga harus dijamin kebebasan untuk berpendapat dan berserikat. ICCPR juga mengatur masalah perkawinan dan mendirikan keluarga. Bahkan juga diatur tentang perlindungan terhadap anak. Selain substansi, ICCPR mengatur tentang pembentukan sebuah komite yang disebut sebagai Human Rights Committee. Komite HAM mempunyai tugas untuk menerima laporan pelaksanaan dari ICCPR dari negara-negara yang telah meratifikasi. ICCPR juga diikuti sebuah protokol yang bersifat fakultatif (Optional Protocol to the Covenant on Civil and Political Rights). Berdasarkan protokol ini, Komite HAM diberi kewenangan untuk menyelidiki dan memutus keluhan dari individu atas pelanggaran HAM di negara peserta. Harus diakui pada masa-masa Indonesia diperintah secara kurang demokratis, ratifikasi ICCPR merupakan hal penting dalam rangka mendorong dan memaksa penyelenggara negara untuk menghargai HAM dan meminimalkan pelanggaran. Namun, di era Indonesia yang lebih demokratis, kurangnya penghormatan HAM bukan karena ketidakmauan (unwilling), tetapi lebih karena ketidakmampuan (inability). Ketidakmampuan mengindikasikan adanya jurang antara apa yang diatur dan apa yang terjadi di tingkat masyarakat. Ketidakmampuan terjadi karena tidak memadainya infrastruktur pendukung agar ketentuan dalam kovenan ataupun peraturan perundang-undangan bisa dicerminkan keberlakuannya di masyarakat.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka jelaslah sudah ketentuan Pasal 31 ayat (8) dan Pasal 53 huruf b KAK 2003 telah mempunyai justifikasi teoritis untuk menerapkan pembalikan beban pembuktian khususnya ditujukan terhadap pembekuan, perampasan dan penyitaan terhadap aset harta kekayaan dari pelaku maupun pengembalian aset tindak pidana korupsi secara langsung. KAK 2003 telah diratifikasi Negara Indonesia melalui UU Nomor 7 Tahun 2006. Oleh karena itu, perumusan norma tersebut dapat diterima baik dari perspektif HAM, tidak bertentangan dengan ketentuan hukum acara pidana baik pada tataran teoretik maupun praktik, serta sesuai dengan konvensi internasional. Adanya ratifikasi terhadap KAK 2003 melalui UU Nomor 7 Tahun 2006 membawa dampak kepada kebijakan legislasi terhadap Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sehingga pengaturan pembuktian terbalik harus disesuaikan dan diselaraskan dengan dimensi, karakteristik maupun strategi (grand strategy) pemberantasan korupsi dalam KAK 2003 tersebut. C. Kaitan Pengaturan Pembuktian Terbalik Antara KAK 2003 dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dan UU No.8 Tahun 2010 Pembuktian terbalik atau pembalikan beban pembuktian adalah pembuktian yang memperbolehkan si terdakwa untuk membuktikan bahwa dirinya tidak

melakukan tindak pidana sebagaimana yang didakwakan kepadanya. 94 Pembuktian terbalik yang dibebankan kepada terdakwa, ada dua yaitu pembuktian bersifat murni dan bersifat terbatas dan berimbang. 95 Pembuktian terbalik bersifat terbatas dan berimbang adalah terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa dirinya tidak melakukan tindak pidana yang didakwakan terhadapnya dan penuntut umum tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Katakata bersifat terbatas dimaksudkan bahwa apabila terdakwa secara yakin dapat membuktikan bahwa dakwaan yang ditujukan kepadanya tidak terbukti atau tidak benar, hal ini bukan berarti terdakwa tidak melakukan tindak pidana sesuai dengan apa yang didakwakan oleh JPU. Sebab JPU, masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. 96 Dikaji dari aspek undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia terhadap pembuktian terbalik sampai dengan sebelum tahun 1960 tidak mengatur pembalikan pembuktian terbalik tersebut dalam peraturan perundangundangan korupsi disebabkan perspektif korupsi sebagai delik biasa sehingga penanganan tindak pidana korupsi cukup dilakukan secara konvensional dan tidak memerlukan perangkat hukum yang luar biasa (extra ordinary measures). 97 94 Edy Siong, Rekaman Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Rezim Anti Pencucian Uang, Tesis, (Medan: Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010), hal. 21. 95 Lilik Mulyadi, Pembalikan Beban Pembuktian Dalam Tindak Pidana Korupsi, Op. cit., hal. 103. 96 Martiman Prodjohamidjojo., Penerapan Pembuktian Terbalik Dalam Delik Korupsi (UU No. 31 Tahun 1999), (Jakarta: C.V. Mandar Maju, 2001), hal.108. 97 Marwan Effendy., Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Op. cit., hal. 2.

Pembuktian terbalik juga terdapat dalam UU Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 1960 ditentukan, Setiap tersangka wajib memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda isteri/suami dan anak dan harta benda sesuatu badan hukum yang diurusnya, apabila diminta oleh Jaksa. Substansi Pasal 5 ayat (1) ini mewajibkan tersangka memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya apabila diminta oleh Jaksa. Konsekuensinya, tanpa ada permintaan dari Jaksa maka tersangka tidak mempunyai kesempatan untuk memberi keterangan tentang seluruh harta bendanya. Politik hukum 98 Indonesia mengenai pembuktian terbalik diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Ketentuan Pasal 37 berbunyi sebagai berikut: 1) Terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi; 2) Dalam hal terdakwa dapat membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi, maka pembuktian tersebut dipergunakan oleh pengadilan sebagai dasar untuk menyatakan bahwa dakwaan tidak terbukti. Penjelasan otentik Pasal 37 tersebut menentukan, dalam ayat (1) sebagai konsekuensi berimbang atas penerapan pembuktian terbalik terhadap terdakwa. Terdakwa tetap memerlukan perlindungan hukum yang berimbang atas pelanggaran hak-hak yang mendasar yang berkaitan dengan asas praduga tidak bersalah 98 Padmo Wahjono, Menyelisik Proses Terbentuknya Perundang-undangan, Majalah Forum Keadilan, Nomor 29, April 1991, hal. 65. Lihat juga: Teuku Mohommad Radhie, Pembaharuan dan Politik Hukum dalam Rangka Pembangunan Nasional, Jurnal Prisma, Nomor 6 Tahun II, Desember 1973, hal. 4. Lihat juga: Soedarto, Perkembangan Ilmu Hukum dan Politik Hukum, Majalah Hukum dan Keadilan, Nomor 5 Tahun VII, Januari-Februari 1979, hal. 15-17.

(presumption of innocence) dan menyalahkan diri sendiri (non self incrimination). Ayat (2) tidak menganut sistim pembuktian secara negatif menurut undang-undang (negatief wettelijk). 99 Beberapa ketentuan dalam UU Nomor 31 Tahun 1999 masih terdapat kelemahannya dan selanjutnya telah dilakukan perbaikan-perbaikan dengan UU Nomor 20 Tahun 2001. Perbaikan tersebut terdapat dalam ketentuan Pasal 12B, Pasal 37, Pasal 37A dan Pasal 38B UU Nomor 20 Tahun 2001. Pengaturan pembuktian terbalik yang diatur dalam ketentuan Pasal 12B, Pasal 37, Pasal 37A dan Pasal 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001, menurut Lilik Mulyadi, maka pengaturan pembuktian terbalik secara baik telah diketahui oleh para teoretisi maupun para praktisi dalam praktik peradilan. 100 Ketentuan Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 merupakan pembuktian terbalik terhadap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima gratifikasi terhadap delik suap. Pembuktian terbalik sebagimana diatur dalam ketentuan Pasal 37 UU Nomor 20 Tahun 2001. Politik hukum kebijakan 99 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Edisi Kedia, (Jakarta: Sinar Grafika, 1985), hal. 278. Lihat juga: Edy Siong, Rekaman Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Perspektif Rezim Anti Pencucian, Tesis, Uang Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2010, hal. 2. Pembuktian menurut KUHAP, menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatief wettelijk stelsel) yaitu sistem pembuktian yang merupakan keseimbangan antara sistem keyakinan hakim (conviction in time) dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif (berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan di dalam undang-undang). Kedua sistem ini saling bertolak belakang secara ekstrim. Dimana kedua sistem ini dikenal dengan sistem pembuktian secara negatif dengan memadukan antara keyakinan hakim dengan undang-undang secara positif. 100 Lilik Mulyadi, Asas Pembalikan Beban Pembuktian Terhadap Tindak Pidana Korupsi Dalam Sistem Hukum Pidana Indonesia Pasca Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa Anti Korupsi 2003, Op. cit., hal. 22-23.

legislasi mengenai pembuktian terbalik juga diatur dalam ketentuan Pasal 38B ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2001 yang berbunyi, bahwa: Setiap orang yang didakwa melakukan salah satu tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 13, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Pasal 5 sampai dengan Pasal 12 Undang-undang ini, wajib membuktikan sebaliknya terhadap harta benda miliknya yang belum didakwakan, tetapi juga diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Ketentuan Pasal 38B ayat (1) UU Nomor 20 Tahun 2001 ini pada hakikatnya merupakan pembuktian terbalik yang dikhususkan pada perampasan harta benda yang diduga keras berasal dari tindak pidana korupsi. Terdapat pengecualian bahwa perampasan harta dimaksud tidak berlaku bagi ketentuan Pasal 12B ayat (1) huruf a UU Nomor 20 Tahun 2001, melainkan terhadap pelaku yang didakwa melakukan tindak pidana pokok. Pembuktian terbalik sebagaimana dalam ketentuan UU Nomor 20 Tahun 2001 dapat dideskripsikan dikenal terhadap kesalahan orang yang diduga keras melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana ketentuan Pasal 12B dan Pasal 37 UU 20 Tahun 2001. Kemudian terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku yang diduga keras merupakan hasil tindak pidana korupsi diatur dalam ketentuan Pasal 37A dan Pasal 38B ayat (2) UU Nomor 20 Tahun 2001. 101 Tegasnya, politik hukum kebijakan legislasi terhadap delik korupsi ditujukan terhadap kesalahan pelaku maupun terhadap harta benda pelaku yang diduga berasal dari korupsi. Dianalisis secara cermat, politik hukum Indonesia mengenai kebijakan legislasi tentang pembuktian terbalik khususnya terhadap ketentuan Pasal 12B UU 101 Ibid.

Nomor 20 Tahun 2001 mengundang poblematis atau bahkan dapat dikatakan sebagai kesalahan kebijakan legislasi dalam melakukan perumusan norma pembuktian terbalik pada tindak pidana suap menerima gratifikasi dikaji dari perspektif ilmu pengetahuan hukum pidana. Aspek ini dapat ditelusuri pada kebijakan legislasi dari pembentuk undangundang ketika membahas tentang UU Nomor 20 Tahun 2001 yang mana ditegaskan ketentuan sebagaimana tersebut di atas merupakan asas pembuktian terbalik. Begitu pula halnya terhadap ketentuan Pasal 37, Pasal 37A, dan Pasal 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Kebijakan legislasi Indonesia dengan jelas menentukan delik korupsi dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 menganut pembuktian terbalik. Praktik pembalikan beban pembuktian di Hong Kong (Putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong antara Attorney General Of Hong Kong v Hui Kin Hong dan Putusan Pengadilan Tinggi Hong Kong antara Attorney General Of Hong Kong v Lee Kwang Kut) dan India (Putusan Mahkamah Agung India antara State of Madras v A. Vaidnyanatha Iyer dan Putusan Mahkamah Agung India antara State of West Bengal v The Attorney General for India (AIR 1963 SC 255) dilakukan terhadap asal usul kepemilikan harta pelaku dengan mempergunakan teori pembuktian terbalik keseimbangan kemungkinan (balanced probability principles) sehingga

implementasinya tetap menjunjung tinggi HAM dan ketentuan hukum acara pidana. 102 Berdasarkan uraian tersebut di atas, dalam peraturan tindak pidana korupsi di Indonesia khususnya ketentuan Pasal 12B, Pasal 37, Pasal 37A dan Pasal 38B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001 terdapat ketidakjelasan dan ketidakharmonisan perumusan norma pembuktian terbalik. Ketentuan Pasal 12B dari perspektif perumusan unsur delik dicantumkan secara lengkap dan jelas (materiele feit) dalam satu pasal sehingga membawa implikasi yuridis Jaksa Penuntut Umum imperatif membuktikan perumusan delik tersebut dan konsekuensi dari pasal tersebut salah susun, karena seluruh bagian inti delik disebut sehingga yang tersisa untuk dibuktikan sebaliknya malah tidak ada. Ketentuan Pasal 37 seyogiayanya bukanlah pembuktian terbalik karena dicantumkan ataukah tidak norma pasal tersebut tidak akan berpengaruh bagi terdakwa untuk melakukan pembelaan terhadap dakwaan menurut sistem accusatoir yang dianut Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Ketentuan Pasal 38B hanya ditujukan terhadap pembuktian terbalik untuk harta benda yang belum didakwakan dan hanya dapat dijatuhkan terhadap tindak pidana pokok sebagaimana dalam Pasal 37A ayat 102 Ibid., hal. 24. Lihat juga: http://www.hukumnews.com/opini/39-opini/144-pembuktianterbalik.html, diakses tanggal 17 Mei 2011. Teori balanced probability principles menempatkan hak asasi pelaku tindak pidana korupsi dalam kedudukan (level) paling tinggi mempergunakan teori probabilitas berimbang yang sangat tinggi (highest balanced probability principles) dengan sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif atau beyond reasonable doubt. Kemudian secara bersamaan di satu sisi khusus terhadap kepemilikan harta kekayaan pelaku tindak pidana korupsi diterapkan asas pembuktian terbalik melalui teori probabilitas berimbang yang diturunkan (lowest balanced probability principles) sehingga kedudukannya lebih rendah dibandingkan dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) karena harta kekayaan orang ditempatkan pada level paling rendah ketika pelaku tersebut dalam kedudukan belum kaya.