I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

I. PENDAHULUAN. transparan dan dapat dipertanggungjawabkan. Kemampuan ini tentunya sangat

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

I. PENDAHULUAN. Pemerintah mempunyai peranan yang sangat penting dalam. dalam kegiatan seperti pemeliharaan pertahanan dan keamanan, keadilan,

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

BAB I PENDAHULUAN. buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan

BAB I PENDAHULUAN. merugikan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. masalah yang serius dan penegakannya tidak mudah.

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

I. PENDAHULUAN. pembangunan nasional. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu ditingkatkan usahausaha. yang mampu mengayomi masyarakat Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan pengguna jalan raya berkeinginan untuk segera sampai. terlambat, saling serobot atau yang lain. 1

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. yang dilarang atau diharuskan dan diancam dengan pidana oleh undang-undang,

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 1967, merek merupakan karya intelektual yang memiliki peranan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban adalah kewajiban terhadap segala sesuatunya, fungsi

kearah yang tidak baik atau buruk. Apabila arah perubahan bukan ke arah yang tidak

I. PENDAHULUAN. Asas legalitas dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP memiliki tujuan dalam menegakkan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian:

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

II. TINJAUAN PUSTAKA

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

I. PENDAHULUAN. Penyelenggara pemerintahan mempunyai peran penting dalam tatanan (konstelasi)

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

Pertanggungjawaban adalah sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan hukum dan penegakkan hukum yang sah. pembuatan aturan atau ketentuan dalam bentuk perundang-undangan.

I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Korupsi merupakan tindakan yang dapat menimbulkan kerugian bagi keuangan

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang merusak moral

I. PENDAHULUAN. pembangunan pada keseluruhan bidang tersebut. Pelaksanaan kegiatan

V. PENUTUP. polri studi putusan No: 283/pid.B./2011/PN.MGL. Pertanggungjawaban atas

I. PENDAHULUAN. Kejahatan yang berlangsung ditengah-tengah masyarakat semakin hari kian. sehingga berakibat semakin melunturnya nilai-nilai kehidupan.

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

I. PENDAHULUAN. dasar pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi

II. TINJAUAN PUSTAKA. Sistem pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana positif saat ini

I. PENDAHULUAN. Sejarah korupsi di Indonesia terjadi sejak zaman Hindia Belanda, pada masa

BAB IV. Pasal 46 UU No.23 tahun 1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Singkatnya korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk. semakin melemahkan citra pemerintah di mata masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DI LUAR PENGADILAN TERHADAP DUGAAN KEJAHATAN PASAL 359 KUHP DALAM PERKARA LALU LINTAS

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

I. PENDAHULUAN. ekonomi tinggi, serta hutan ikutan seperti getah, rotan, madu, buah-buahan. Selain

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

I. PENDAHULUAN. Menurut ketentuan Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA DAN PENADAHAN. dasar dari dapat dipidananya seseorang adalah kesalahan, yang berarti seseorang

I. PENDAHULUAN. tampak lebih nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

II. TINJAUAN PUSTAKA. kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu

BAB III PIDANA DAN PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Sanksi Pidana Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dimuat

I. PENDAHULUAN. adalah usaha pemerintah dalam memberantas praktik tindak pidana korupsi.

I.PENDAHULUAN. Pembaharuan dan pembangunan sistem hukum nasional, termasuk dibidang hukum pidana,

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

I. TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas

I. PENDAHULUAN. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan:

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

Kasus Korupsi PD PAL

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

I. PENDAHULUAN. alat transportasi yang diperlukan untuk pemenuhan kebutuhan, dari berbagai

I. PENDAHULUAN. untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. PENDAHULUAN. Dalam Undang-Undang 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, pengertian hutan adalah suatu

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

I. PENDAHULUAN. mengisi kemerdekaan dengan berpedoman pada tujuan bangsa yakni menciptakan

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

Sudah Bayar, Terdakwa Korupsi Minta Bebas

I. PENDAHULUAN. karna hukum sudah ada dalam urusan manusia sebelum lahir dan masih ada

I. PENDAHULUAN. Pembangunan nasional adalah tujuan pemerintah Indonesia yang dilaksanakan

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari berbagai kalangan, bukan saja dalam skala nasional, tetapi juga regional bahkan global, hal ini disebabkan karena pada kenyataannya korupsi semakin marak, seperti kasus korupsi yang terjadi di Jakarta, yaitu kasus korupsi di Kementerian Sosial yang terungkap di penghujung tahun 2009 dan kasus korupsi lainnya, seperti kasus korupsi wisma atlet dan sebagainya. Apalagi bila korupsi dikaitkan dengan dana-dana pembangunan, atau proyek pengadaan barang, tindakan korupsi bisa terjadi sewaktu-waktu, baik korupsi itu dilakukan secara tersendiri atau perorangan maupun yang dilakukan oleh suatu koorporasi atau perusahaan berbadan hukum ataupun yang bukan bebadan hukum (http://www.docstoc.com/docs/12723298/korupsi-di-indonesia, diakses Selasa, 15 November 2011, pukul 21:30:15 wib). Di lain pihak tindak pidana korupsi merupakan salah satu aspek kriminalitas yang berhadapan dengan individu, bangsa dan negara yang dapat merugikan perekonomian ataupun keuangan negara, oleh karena itu diperlukan penerapan dan penegakan hukum secara tegas, lugas, dan tepat berdasarkan kepada nilai keadilan dan kebenanaran hukum yang berlaku untuk menangani kasus korupsi

2 yang sedang terjadi di Indonesia. Hal ini sangat berperan dalam mewujudkan ketertiban, kepastian hukum dan kedamain dalam masyarakat. Dengan penarapan dan penegakkan hukum tersebut maka tindak pidana korupsi yang terjadi dapat diperoleh pertanggungjawaban pidana dari pelaku tindak pidana korupsi melalui suatu putusan hakim. Menurut Barda Nawawi Arief, menyatakan bahwa penjelasan undang-undang korupsi bahwa pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula mencakup perbuatan yang tercela yang menurut perasaan keadilan masyarakat harus dituntut dan dipidana. Ini perbuatan melawan hukum tertuju pada perbuatan yang tercela yang juga berupa penyalahgunaan wewenang dan kedudukan (Barda Nawawi Arief, 2008: 45). Penanggulangan korupsi hanya dilakukan dengan penegakan hukum dengan wujud pidana yang berat. Dalam penjatuhan pidana yang berat terkandung penanggulangan yang bersifat preventif dan represif. Upaya preventif ditujukan untuk menanggulangi dan mencegah faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana korupsi. Sehingga dengan penerapan upaya tersebut dapat meningkatkan law enforcement dan berani bersikap tegas dengan menjerat para koruptor dengan pidana yang tinggi. Terhadap perkara-perkara tindak pidana korupsi seringkali dalam pertimbangan hukumnya yang sampai pada putusan untuk memperoleh pertanggungjawaban pidana, seorang hakim memberikan suatu pertimbangan untuk memberikan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana. Sehingga melalui pertimbangan hakim dalam putusan yang dijatuhkannya terhadap pelaku tindak

3 pidana dalam meminta pertanggungjawaban pelaku tindak pidana, penilaian masyarakat terhadap supremasi hukum khususnya tindak pidana korupsi menjadi lemah bahkan masyarakat juga tidak mempercayai sistem hukum yang berlaku. Hal tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, kendala dan permasalahan yang mendasari pertimbangan hakim menjatuhkan putusan untuk memperoleh pertanggungjawaban pidana dalam praktek peradilan. Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 dijelaskan bahwa salah satu unsur dari tindak pidana korupsi adalah merugikan keuangan ataupun perekonomian negara. Selain itu dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 unsur lain yang terdapat dalam pasal tersebut adalah penyalahgunaan kekuasaan ataupun wewenang. Seperti dalam kasus tindak pidana korupsi yang dilakukan secara perbarengan yang berlanjut, yang mana korupsi tersebut terjadi di Kementerian Sosial yang berada di ibu kota kita, yaitu Jakarta. Terdakwa Bachtiar Chamsyah yang pernah menjabat sebagai Menteri Sosial dari tahun 2004 hingga 2009, menyalahgunakan wewenang dan kedudukannya sebagai Menteri Sosial. Terdakwa melakukan korupsi, berawal dari dana anggaran 2004 untuk pengadaan 6000 unit mesin jahit untuk program pengentasan kemiskinan, dan di tahun 2006, terdakwa Bachtiar Chamsyah kembali melakukan korupsi atas pengadaan sapi import, dana yang dikorupsi terdakwa merupakan anggaran untuk kesejahteraan sosial bagi masyarakat yang kurang mampu. Tindakan yang dilakukan oleh terdakwa Bachtiar Chamsyah tersebut adalah suatu perbuatan yang sangat merugikan perekonomian dan keuangan negara sebesar Rp 33,7 Milyar. Terdakwa Bachtiar Chamsyah selaku pejabat Menteri Sosial pada waktu periodenya yang seharusnya

4 mengayomi masyarakat dan memajukan kesejakteraan sosial masyarakat yang kurang mampu sesuai dengan jabatannya sebagai Menteri Sosial, menyalahgunakan kedudukan dan wewenangnya dengan melakukan korupsi terhadap dana anggaran untuk kepentingan masyarakat dan kalangan umum yang dalam perekonomiannya kurang mampu (http://kasus-mantan-mensos.kompas- Indonesia.com/hmtl, diakses Jumat, 7 Oktober 2011 pukul 14:03:40). Tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh terdakwa tersebut melalui KPK dan Jaksa Penuntut Umum diproses dan diajukan ke pengadilan dengan tuntutan telah melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan ataupun perekonomian negara sebesar 33,7 M. Selama proses perkara tersebut berjalan Jaksa Penuntut umum menuntut terdakwa dengan dakwaan Pasal 2 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah menjadi Udang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke- 1 dengan pidana penjara atau kurungan selama 3 tahun dan membayar denda sebesar Rp 100 juta subsider tiga bulan kurungan. Jaksa Penuntut Umum memberikan pasal tersebut karena terdakwa Bachtiar Chamsyah terbukti telah melakukan penyalahgunaan kewenangan, memperkaya orang lain, dan penerimaan hadiah oleh penyelenggara negara dan terbukti turut serta dalam korupsi yang dilakukan oleh terdakwa dan rekan-rekannya. Pada proses persidangan akhir dari kasus korupsi di Pengadilan Tipikor dengan nomor putusan 31/Pid.B/TPK/2010/PN. JKT. PST, setelah mendengarkan saksi-

5 saksi dan pembelaan terdakwa melalui penasehat hukumnya dan didasari oleh pertimbangan majelis hakim pengadilan negeri tindak pidana korupsi Jakarta Pusat, maka ditetapkan putusan terhadap pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana korupsi atas nama Bachtiar Chamsyah yaitu dengan pidana penjara selama 20 bulan (1 (satu) tahun 8 (delapan) bulan) dengan pidana denda sebesar Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tidak di bayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan kurungan (http://kasus-mantan-mensos.citra-indonesia.com/hmtl, diakses Jumat, 7 Oktober 2011 pukul 14:38:30). Melihat dan mencermati putusan yang dijatuhkan terhadap pertanggungjawaban pelaku tindak pidana korupsi tersebut, penulis mempunyai kesan dan anggapan bahwa putusan begitu ringan dan oleh karena itu maka penulis tertarik untuk melakukan sebuah studi kasus terhadap putusan tersebut untuk meneliti pertanggungjawaban pidana dan dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan putusan Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN. JKT PST. Karena dengan melihat akibat perbuatan yang ditimbulkan oleh perbuatan tindak pidana korupsi sangat merugikan keuangan dan perekonomian negara, menghambat dan mengancam pembangunan untuk kesejahteraan masyarakat, bahkan dapat berakibat mengurangi partisipasi masyarakat dalam tugas pembangunan dan menurunkan kepercayaan masyarakat pada jajaran aparatur pemerintahan. Putusan Majelis Hakim terhadap pertanggungjawaban pidana terdakwa yang tersebut diatas dirasakan kurang memenuhi rasa keadilan. Akan tetapi dalam menetapkan putusan terhadap pertanggungjawaban pidana yang diberikan kepada

6 terdakwa Bachtiar Chamsyah, hakim telah melakukan kewajibannya yang berpedoman pada Pasal 28 ayat (1) dan ayat (2) Undang -Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan: (1).Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. (2).Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan yang jahat dari tertuduh. Terhadap pasal tersebut jelas bahwa hakim dalam menjatuhkan putusan untuk pertanggungjawaban pidana seorang terdakwa harus melihat kondisi riil yang ada dalam pandangan sosial masyarakat dan legalitas hukum serta harus peka terhadap perasaan hukum dan keadilan. Hal inilah yang menjadi latar belakang penulis membuat judul Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Perbarengan (cocursus) Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN JKT PST). B. Permasalahan Agar masalah yang akan diteliti oleh penulis mempunyai penafsiran yang jelas, maka perlu dirumuskan secara sistimatis kedalam suatu rumusan masalah, dengan dapat dipecahkan secara sistimatis dan dapat memberikan gambaran yang jelas. Maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pertanggungjawaban pidana pelaku dalam putusan tindak pidana korupsi Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN JKT PST?

7 2. Bagaimana dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana korupsi Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN JKT PST? 3. Mengapa Hakim memberikan putusan ringan terhadap tindak pidana korupsi dalam perkara korupsi dalam putusan Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN JKT PST? C. Ruang Lingkup Penelitian 1. Ruang Lingkup Bidang Ilmu Penelitian ini termasuk dalam ruang lingkup bidang hukum Pidana, khususnya hukum pidana khusus. 2. Ruang Lingkup Kajian Ruang lingkup pembahasan materi skripsi ini dibatasi oleh penelitian pada analisis yuridis terhadap pertanggunjawaban pidana dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pada tindak pidana korupsi Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN JKT PST D. Tujuan dan Kegunaan Penulisan 1. Tujuan Penelitian Sudah dapat dipastikan bahwa setiap usaha maupun kegiatan mempunyai tujuan yang hendak dicapai, karena tujuan akan dapat memberikan manfaat dan penyelesaian dari penelitian yang akan dilaksanakan. Adapun tujuan yang hendak dicapai adalah:

8 1. Mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku dalam tindak pidana korupsi terhadap putusan Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN JKT PST. 2. Mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN JKT PST. 2. Kegunaan Penelitian Adapun kegunaan dari penelitian ini yaitu: 1. Secara teoritis penelitian ini berguna sebagai pengembangan daya pikir dan nalar yang sesuai dengan displin ilmu pengetahuan yang dimiliki. 2. Secara praktis penelitian ini berguna sebagai acuan atau referensi bagi pendidikan dan penelitian hukum lanjutan, serta memperluas wawasan cakrawala berfikir bagi penulis dalam menganalisis suatu permasalahan. E. Kerangka Teoretis dan Konseptual 1. Kerangka Teoretis Kerangka teori adalah konsep-konsep yang sebenar-benarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk penelitian (Soejono Soekanto, 1986: 23) Relevansi sebagai permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini adalah mengenai pertanggungjawaban pidana dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan. Istilah pertanggungjawaban pidana dalam bahasa Indonesia hanya ada satu, yaitu pertanggungjawaban. Sedangkan didalam bahasa Belanda ada 3 kata yang sinonim menurut Pompe, aansprakelijk, verantwoordelijk dan

9 toerekenbaar. Orangnya yang aansprakelijk atau verantwoordelijk, sedangkan toerekenbaar bukanlah orangnya, tetapi perbuatan yang dipertanggungjawabkan kepada orang (Andi Hamzah, 2010: 139). Dalam KUHP masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat 1 yang berbunyi : Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana. Orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau dia tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun melakukan perbuatan pidana, tidak selalu dia dapat dipidana (Moeljatno, 2009: 167). Kesalahan dalam arti yang seluas-luasnya, dapat disamakan dengan pengertian pertanggungjawaban dalam hukum pidana. Didalamnya terkandung makna dapat dicelanya si pembuat atas perbuatannya. Jadi apabila dikatakan bahwa orang itu bersalah melakukan sesuatu tindak pidana, maka itu berarti bahwa ia dapat dicela atas perbuatannya. Untuk dapat dicela atas perbuatannya, seseorang itu harus memenuhi unsur-unsur kesalahan sebagai berikut: a. Adanya kemampuan bertanggungjawab pada si pembuat. Artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal. b. Adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesengajaan ( dolus) atau kealpaan ( culpa). Ini disebut bentuk-bentuk kessalahan. c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf (Tri Andrisman, 2009: 95).

10 Seorang aparat penegak hukum tidak dapat sewenang-wenang dalam menjatuhkan pidana pada setiap pelaku tindak pidana. Perlu ada dasar pertimbangan oleh hakim dalam segala putusannya. Apabila hakim menjatuhkan putusan pemidanaan, hakim telah yakin berdasarkan alat-alat bukti yang sah serta fakta-fakta di persidangan bahwa terdakwa melakukan perbuatan sebagaimana dalam surat dakwaan (Lihat Pasal 183 KUHAP). Selain itu, dalam penjatuhan pidana, jika terdakwa tidak dilakukan penahanan, dapat diperintahkan oleh hakim supaya terdakwa tersebut ditahan, apabila tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih, atau apabila tindak pidana itu termasuk yang diatur dalam ketentuan Pasal 21 ayat (4) huruf b KUHAP dan terdapat cukup alasan untuk itu. Dalam hal terdakwa dilakukan suatu penahanan, pengadilan dapat menetapkan terdakwa tersebut tetap berada dalam tahanan atau membebaskannya, apabila terdapat cukup alasan untuk itu (Lihat Pasal 193 ayat (2) KUHAP). Lamanya pidana, pembentuk undang-undang memberi kebebasan kepada hakim untuk menentukan antara pidana minimum sampai maksimum terhadap pasal yang terbukti dalam persidangan, walaupun pembentuk undang-undang memberi kebebasan menentukan batas maksimum dan minimum lama pidana yang harus dijalani terdakwa, bukan berarti hakim bisa seenaknya menjatuhkan pidana tanpa dasar pertimbangan yang lengkap.

11 Penjatuhan pidana tersebut harus cukup dipertimbangkan dan putusan hakim yang kurang pertimbangan dapat dibatalkan oleh Mahkamah Agung RI. Adanya kesalahan terdakwa dibuktikan dengan minimal dua alat bukti dan hakim yakin akan kesalahan terdakwa berdasarkan alat bukti yang ada dan dengan adanya dua alat bukti dan keyakinan hakim, berarti pula syarat untuk menjatuhkan pidana telah terpenuhi (Lihat Pasal 183 KUHAP). Pengadilan menjatuhkan putusan yang mengandung pemidanaan, hakim harus mempertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Hal ini memang sudah ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan putusan pemidanaan memuat keadaan yang memberatkan dan yang meringankan terdakwa. 2. Konseptual Kerangka konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah. (Soejono Soekanto, 1986: 32). Agar dapat memberikan penjelasan yang mudah untuk dipahami, maka akan dijabarkan beberapa pengertian mengenai istilah yang berkaitan dengan judul penulisan skripsi ini: a. Pertanggungjawaban pidana adalah keadaan seseorang wajib menanggung segala sesuatu yang ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat ( liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu

12 tindak pidana atau akibat perbuatannya dapat dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan seagainya (Tolib Setiady, 2010: 146). b. Pelaku delik ( auctor delicti/pleger) adalah orang yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh undang- undang. (Prof. Dr. jur. Andi Hamzah, 2008:95) c. Tindak Pidana korupsi adalah tindak pidana yang berhubungan dengan perbuatan penyuapan dan manipulasi serta perbuatan-perbuatan lain yang merugikan atau dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara. (Evi Hartanti, S.H., 2008:8) d. Putusan pengadilan adalah pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka yang dapat berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini (Pasal 1 ayat (11) KUHAP). F. SISTEMATIKA PENULISAN Guna memudahkan pemahaman terhadap skripsi ini secara keseluruhan, maka disajikan sistematika penulisan sebagai berikut: I. PENDAHULUAN Merupakan bab pendahuluan yang berisi latar belakang penulisan skripsi, permasalahan dan ruang lingkup penulisan skripsi, tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan. II. TINJAUAN PUSTAKA

13 Merupakan bab tinjauan pustaka sebagai pengantar dalam memahami pengertian umum tentang pokok-pokok bahasan yang merupakan tinjauan yang bersifat teoritis, yang nantinya akan dipergunakan sebagai bahan studi perbandingan, teori dan praktek. III. METODE PENELITIAN Merupakan bab yang berisi uraian metode yang digunakan dalam skripsi ini yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data serta analisis data. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Merupakan bab yang menjelaskan secara lebih terperinci tentang Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Dalam Tindak Pidana Korupsi (Studi Putusan Nomor 31/Pid.B/TPK/2010/PN. JKT PST). V. PENUTUP Merupakan bab yang berisi tentang kesimpulan dari hasil penelitian dan saran atas dasar hasil penelitian.