BAB I PENDAHULUAN. buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan

dokumen-dokumen yang mirip
Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, sehingga harus diberantas 1. hidup masyarakat Indonesia sejak dulu hingga saat ini.

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalankan kehidupan bermasyarakat tidak pernah lepas dengan. berbagai macam permasalahan. Kehidupan bermasyarakat akhirnya

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

BAB I PENDAHULUAN. ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan

BAB III PENUTUP. Berdasarkan analisa kasus diatas dapat disimpulkan bahwa ada. keterkaitan antara jumlah kerugian negara dengan berat ringannya pidana

BAB I PENDAHULUAN. acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pembangunan Nasional bertujuan mewujudkan masyarakat adil,

BAB I PENDAHULUAN. sebagai extraordinary crime atau kejahatan luar biasa. penerapannya dilakukan secara kumulatif.

BAB I PENDAHULUAN. dipandang sebagai extra ordinary crime karena merupakan tindak pidana yang

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia berdasarkan hukum (Rechstaat), tidak berdasarkan atas

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Indonesia merupakan negara berkembang yang dari waktu ke waktu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan salah satu negara yang masih mempertahankan

BAB I PENDAHULUAN. merugikan hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas. masalah yang serius dan penegakannya tidak mudah.

I. PENDAHULUAN. Masalah korupsi pada akhir-akhir ini semakin banyak mendapat perhatian dari

BAB I PENDAHULUAN. dapat mengatasi atau mewaspadai segala bentuk perubahan sosial atau kebudayaan.

JURNAL KETERKAITAN ANTARA JUMLAH KERUGIAN NEGARA DENGAN BERAT RINGANNYA PIDANA DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI

KADIS PENDIDIKAN MTB DAN PPTK RUGIKAN NEGARA Rp200 JUTA LEBIH.

BAB I PENDAHULUAN. manusia dalam pergaulan di tengah kehidupan masyarakat dan demi kepentingan

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

BAB I PENDAHULUAN. ditetapkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang. Undang Nomor 20 Tahun 2001 selanjutnya disebut dengan UUPTPK.

I. PENDAHULUAN. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan:

BAB I PENDAHULUAN. terkait korupsi merupakan bukti pemerintah serius untuk melakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam mewujudkan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Salah satu masalah besar yang dihadapi masyarakat pada saat ini

TINJAUAN YURIDIS TENTANG PUTUSAN PENGADILAN MENGENAI BESARNYA UANG PENGGANTI DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI SUPRIYADI / D

BAB 1 PENDAHULUAN. secara tegas bahwa negara Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat), tidak

RESUME PERMOHONAN PERKARA Nomor 003/PUU-IV/2006 Perbaikan 3 April 2006

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Hak dan kewajiban merupakan sesuatu yang melekat dan menyatu pada

BAB I PENDAHULUAN. Tercatat 673 kasus terjadi, naik dari tahun 2011, yakni 480 kasus. 1

BAB I PENDAHULUAN. kasus korupai yang terungkap dan yang masuk di KPK (Komisi. korupsi telah merebak ke segala lapisan masyarakat tanpa pandang bulu,

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara. Di Indonesia, tindak pidana ko. masyarakat dan dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Setiap bangsa mempunyai kebutuhan yang berbeda dalam hal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah Negara Indonesia adalah negara hukum, ketentuan ini tercantum

BAB I PENDAHULUAN. benar-benar telah menjadi budaya pada berbagai level masyarakat sehingga

BAB I PENDAHULUAN. yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok. Secara

BAB I PENDAHULUAN. mendukung pelaksanaan dan penerapan ketentuan hukum pidana materiil,

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

I. PENDAHULUAN. dan sejahtera tersebut, perlu secara terus-menerus ditingkatkan usaha-usaha pencegahan dan

BAB I PENDAHULUAN. dan pengembangan ilmu pengetahuan. Indonesia dan negara-negara lain pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

I. PENDAHULUAN. Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan yang merugikan keuangan negara

BAB I PENDAHULUAN. diperiksa oleh hakim mengenai kasus yang dialami oleh terdakwa. Apabila

BAB I PENDAHULUAN. (rechtsstaat), tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtsstaat). Indonesia

permasalahan bangsa Indonesia. Tindak pidana korupsi di Indonesia sudah sangat meluas dan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH. Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Sebagai

RINGKASAN PUTUSAN. LP/272/Iv/2010/Bareskrim tanggal 21 April 2010 atas

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

adalah penerapan pidana yang tidak sama terhadap tindak pidana yang

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB I PENDAHULUAN. yang baik dan yang buruk, yang akan membimbing, dan mengarahkan. jawab atas semua tindakan yang dilakukannya.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia sebagai Negara yang berdasarkan hukum rechtstaat, menganut

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. membahayakan stabilitas politik suatu negara. 1 Korupsi juga dapat diindikasikan

BAB I PENDAHULUAN. terlihat pada ujud pidana yang termuat dalam pasal pasal KUHP yaitu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Didalam proses perkara pidana terdakwa atau terpidana

I. PENDAHULUAN. untuk menguntungkan diri sendiri atau korporasi, dengan cara menyalahgunakan. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara.

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

BAB I PENDAHULUAN. suatu negara. Singkatnya korupsi adalah penyalahgunaan amanah untuk. semakin melemahkan citra pemerintah di mata masyarakat.

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

BAB IV. Pasal 46 UU No.23 tahun 1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak

BAB 1 PENDAHULUAN. tidak akan pernah sembuh. Berbagai fakta dan kenyataan yang diungkapkan oleh

Nama : ALEXANDER MARWATA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Agar hukum dapat berjalan dengan baik pelaksanaan hukum

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dirumuskan demikian:

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Belakangan ini banyak sekali ditemukan kasus-kasus tentang

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

Kajian yuridis terhadap putusan hakim dalam tindak pidana pencurian tanaman jenis anthurium (studi kasus di Pengadilan Negeri Karanganyar)

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. langsung merugikan keuangan Negara dan mengganggu terciptanya. awalnya muncul Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang

BAB I PENDAHULUAN. bermanfaat bagi pengobatan, tetapi jika dikonsumsi secara berlebihan atau tidak. rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan.

Sudah Bayar, Terdakwa Korupsi Minta Bebas

BAB I PENDAHULUAN. Dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945, telah ditegaskan bahwa

BAB I PENDAHULUAN. berlaku dalam kehidupan bermasyarakat yang berisi mengenai perintah-perintah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum, hal ini telah dinyatakan dalam

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

BAB I PENDAHULUAN. tabu untuk dilakukan bahkan tidak ada lagi rasa malu untuk

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB I PENDAHULUAN. paling dominan adalah semakin terpuruknya nilai-nilai perekonomian yang

BAB I PENDAHULUAN. mampu memimpin serta memelihara kesatuan dan persatuan bangsa dalam. dan tantangan dalam masyarakat dan kadang-kadang dijumpai

BAB I PENDAHULUAN. disebabkan pengguna jalan raya berkeinginan untuk segera sampai. terlambat, saling serobot atau yang lain. 1

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan pangan, kebutuhan listrik dan lain sebagainya. Perilaku korupsi itu

BAB I PENDAHULUAN. pengadilan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum. pemeriksaan di sidang pengadilan ada pada hakim. Kewenangan-kewenangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Keuangan negara sebagai bagian terpenting dalam pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan hukum dan penegakkan hukum yang sah. pembuatan aturan atau ketentuan dalam bentuk perundang-undangan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa,

BAB I PENDAHULUAN. A Latar Belakang Masalah. Keberadaan manusia tidak dapat dipisahkan dari hukum yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia merupakan Negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN Perkara Nomor 44/PUU-XII/2014 Alasan Pemberatan Pidana Bagi Pelaku Tindak Pidana Korupsi

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BAB I PENDAHULUAN. ketidakadilan yang dilakukan oleh hakim kepada pencari keadilan. Disparitas. hakim dalam menjatuhkan suatu putusan.

BAB I PENDAHULUAN. melakukan penyidikan tindak pidana tertentu berdasarkan undang- undang sesuai

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Korupsi merupakan salah satu tindak pidana yang mempunyai akibat buruk bagi perkembangan suatu bangsa, sebab tindak pidana korupsi bukan saja merugikan keuangan negara atau perekonomian negara namun juga menghambat pembangunan nasional. Tindak pidana korupsi bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) Undang - Undang Dasar 1945 yang berbunyi : Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Bertentangan dengan Pasal 28H ayat (1) Undang - Undang Dasar 1945 karena hak setiap orang untuk hidup sejahtera lahir dan batin tidak terpenuhi karena kebijakan negara yang diperuntukan untuk pembangunan nasional tidak optimal akibat korupsi yang dilakukan oleh kebanyakan dari kalangan pejabat yang duduk dikursi pemerintahan. Dampak akibat tidak optimalnya kebijakan untuk pembangunan nasional mempengaruhi unsur - unsur lain pada pasal tersebut seperti, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Rakyat disini mempunyai posisi hanya sebagai korban. Didalam viktimologi pengertian korban menurut Arif Gosita adalah mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang

bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. 1 Dengan demikian tindak pidana korupsi harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang - Undang Dasar 1945. Didalam ilmu kriminologi, tindak pidana korupsi merupakan salah satu dari Extra Ordinary Crime, yakni dapat dimasukkan ke dalam kategori white collar Crime yang perbuatannya selalu mengalami perubahan dalam modus operandinya dari segala sisi, sering juga disebut dengan Invicible Crime, yakni suatu bentuk kejahatan yang sulit dan rumit dalam hal pembuktiannya, baik dikarenakan modus operandinya maupun bentuk profesionalitas pelaku, seringkali mengalami kesulitan dalam hal pembuktiannya, oleh karena itu diperlukan suatu pendekatan sistem yang baik dan sesuai dalam upaya pemberantasannya. Ancaman sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi diatur dalam Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 2 dan Pasal 3, berbunyi seperti berikut : Pasal 2 ayat (1) adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan 1 G.Widiartana, 2014, Viktimologi Perspektif korban dalam penanggulangan kejahatan, cahaya atma pusaka, hlm. 26.

atau denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Pasal 2 ayat (2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Pasal 3 ayat (1) adalah setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Dari penjelasan bunyi pasal tersebut ancaman sanksi pidana dan denda sangat berat bagi pelaku tindak pidana korupsi, namun kejahatan korupsi masih tetap saja terjadi seolah - olah setiap orang yang melakukan tindak pidana korupsi tidak takut akan ancaman sanksi pidana dan denda tersebut. Banyak faktor yang mengakibatkan tindak pidana korupsi tetap terjadi meskipun secara yuridis tertulis ancaman hukuman yang didapatkan akibat melakukan tindak pidana korupsi. Sebagai contoh faktor moralitas pelaku tindak pidana korupsi, rata - rata orang yang melakukan tindak pidana korupsi adalah pejabat yang mempunyai gaji yang lebih dari cukup dengan fasilitas terpenuhi. Moralitas para pelaku tindak pidana korupsi telah terpengaruhi oleh gaya hidup modern yang cenderung ke arah hedonism,

sehingga selalu dituntut untuk selalu lebih dan merasa kurang atas apa yang telah dipunyai untuk memenuhi gaya kehidupannya tersebut. Adapula faktor aviliasi, yaitu orang terdekat mempengaruhi dirinya pelaku tindak pidana korupsi. Korupsi seakan sudah menjadi hal yang wajar di Negara Indonesia baik yang terjadi di kalangan elit politik yang berada di lingkungan pejabat maupun sampai lingkungan masyarakat umum. Orang yang baik pun ketika berada dikelilingi oleh orang - orang yang melakukan tindak pidana korupsi maka akan terpengaruh juga. Dua faktor penyebab alasan orang melakukan tindak pidana korupsi, faktor Moralitas dan faktor Aviliasi yang memungkinkan mempengaruhi seorang melakukan tindak pidana korupsi. Butuh waktu dan usaha yang panjang serta lebih ketika mengetahui fakta - fakta tersebut untuk memberantas korupsi secara penuh sampai ke akarnya. Faktor berikutnya adalah tentang penegakan atas aturan yang dipergunakan. Tindak pidana korupsi telah diatur oleh aturan hukum berupa Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, faktor inilah yang dapat dikatakan penting. Apabila aturan ditegakkan dengan benar maka aturan tersebut dapat mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Dari aturan hukum tersebut lebih cepat serta efektif jika penerapannya dilakukan sesuai dengan aturan hukum yang ada untuk memberantas tindak pidana korupsi, daripada

merubah atau mengganti semua orang yang duduk dikursi pemerintahan atau merevolusi mental setiap orang. Kenyataannya banyak hal yang menyimpang dari pelaksanaan aturan hukum tersebut sehingga aturan hukum tersebut kurang mempunyai arti dalam pemberantasan tindak pidana korupsi. Kurang optimalnya ataupun tidak ada konsistensi hukuman yang pasti terhadap orang yang melakukan tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara menjadikan dasar mengapa aturan hukum tersebut masih tetap dilanggar atau tidak optimal dalam penegakannya sehingga banyak orang melakukan tindakan korupsi. Data didalam surat kabar, Kompas, Jumat 4 September 2015 disebutkan bahwa telah terjadi kasus tindak pidana korupsi yaitu yang menyeret mantan wakil Bupati Donggala, Aly Lasamaulu tengah dilakukan kasasi ke Mahkamah Agung oleh Kejaksaan Tinggi Sulawesi Tengah (Kejati Sulteng). Putusan banding Pengadilan Tinggi Sulteng menguatkan vonis Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Palu yang memenjara Aly 18 Bulan. Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Palu, pada juni memvonis Aly atas penyalahgunaan anggaran perjalanan dinas selama menjabat wakil Bupati Donggala periode 2008-2013. Selain hukuman 18 Bulan majelis hakim juga mendenda Rp 50 juta dan membayar uang kerugian negara Rp 195 juta. Putusan tersebut jauh lebih rendah daripada tuntutan jaksa penuntut umum Kejati sulsel selama 3,5 tahun penjara, denda Rp 50 juta dan membayar uang pengganti kerugian negara Rp 700 juta. Atas dasar tersebut mereka mengajukan

banding ke Pengadilan Tinggi Sulteng. Ternyata Pengadilan Tinggi Sulteng menguatkan putusan Pengadilan tingkat pertama. Aly lassamaulu diduga melakukan korupsi sebesar 1,3 miliar Rupiah dengan rincian dana yang dikorupsinya adalah 560 juta Rupiah. Lain halnya dengan Mantan Bendahara Komisi Pemilihan Umum Kabupaten Labuhanbatu Utara (KPU Labura), Yusnidar tertunduk sedih saat menjalani sidang di Ruang Cakra VII, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan, Sumatera Utara, Rabu 19 Agustus 2015. Dia dijatuhi hukuman selama 4 tahun dan 6 bulan. Yusnidar melakukan korupsi sebesar Rp. 257 Juta Rupiah. Dalam sidang yang digelar di Ruang Cakra VII tersebut, Yusnidar juga dibebani membayar denda sebesar Rp 200 juta dengan subsider 4 bulan kurungan. Selain itu, dia juga diwajibkan membayar uang pengganti (UP) sebesar Rp 175 juta dengan subsider 2 tahun kurungan. Majelis hakim yang diketuai Dwi Dayanto menilai terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan perbuatan yang diatur dan diancam sesuai Pasal 2 juncto Pasal 18 Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Vonis tersebut lebih rendah daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) Haikal yang dibacakan sebelumnya, yakni selama 6 tahun 6 bulan penjara serta denda sebesar Rp 250 juta dengan subsider 6 bulan kurungan. Selain itu, dia juga dibebani membayar uang pengganti sebesar Rp 175 juta dengan subsider selama 3 tahun dan 3 bulan kurungan. Hal ini menunjukan bahwa secara jelas aturan

hukum yang ada tidak ada hal yang baku menjadi ukuran seberapa berat pidana yang dijatuhkan berkaitan dengan jumlah korupsi yang dilakukan. Tidak ada kepastian hukum yang ada, atas aturan yang ada. Antara korupsi dengan nominal besar dengan korupsi yang kecil, yang merugikan negara namun nominalnya lebih kecil mendapatkan hukuman yang sama dengan pelaku tindak pidana korupsi lebih besar. Apakah dalam putusan hakim juga mempertimbangkan berapa banyak jumlah korupsi yang diambil oleh koruptor, apakah semakin besar jumlah nominal atau kerugian negara yang dikorupsi apakah semakin berat hukuman yang dijatuhkan ataukah sebaliknya. Dalam hal ini apakah pertimbangan putusan berat ringannya pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi mempertimbangkan / mengkaitkan dengan jumlah kerugian negara yang dialami. Berdasarkan uraian diatas penulis ingin meneliti apakah ada keterkaitan antara kerugian negara dengan putusan hakim dengan berat ringannya pidana pada pelaku tindak pidana korupsi. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang uraian yang dimaksud, maka penulis melakukan penelitian dan menuliskannya dalam skripsi yang berjudul Keterkaitan antara Jumlah Kerugian Negara dengan Berat Ringannya Pidana dalam Tindak Pidana Korupsi. B. Rumusan Masalah Didasarkan pada judul penelitian dan latar belakang masalah di atas, perumusan masalahnya adalah:

Apakah ada keterkaitan antara jumlah kerugian negara yang dikorupsi dengan berat ringannya sanksi pidana pada Putusan Hakim dalam Tindak Pidana Korupsi? C. Tujuan Penelitian Untuk memperoleh data keterkaitan antara kerugian negara yang dikorupsi dengan berat ringannya sanksi pidana pada Putusan Hakim dalam Tindak Pidana Korupsi D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis a. Menjadi bahan referensi bagi mahasiswa fakultas hukum pada umumnya dan mahasiswa yang mengambil progam kekhususan peradilan pidana b. Hasil penelitian diharapkan memberikan manfaat terhadap pengembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum acara pidana pada umumnya dan tindak pidana khusus pada khususnya 2. Manfaat Praktis a. Penelitian ini dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti b. Hasil penelitian ini dapat dijadikan referensi dalam penjatuhan sanksi sesuai dengan aturannya dan demi tegaknya hukum Indonesia serta memberantas tindak pidana korupsi

E. Keaslian Penelitian Dengan ini penulis menyatakan bahwa Penulisan Hukum atau Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, bukan merupakan duplikasi ataupun plagiasi dari hasil karya penulis lain. Jika Penulis Hukum atau Skripsi ini terbukti merupakan duplikasi atau plagiasi dari hasil karya penulis lain, maka penulis bersedia menerima sanksi akademik atau sanksi hukum yang berlaku. yaitu : Beberapa penulis hukum yang pernah ditulis dengan tema yang sama, 1. Winda Septiani 10340103 (Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga). Meneliti tentang Analisa Putusan Hakim Dalam Kasus Korupsi (Studi Putusan Nomor 13/PIDSUS/2012/P TIPIKOR YK). Rumusan masalahnya yaitu : Bagaimanakah putusan hakim dalam perkara No 13/PISDSUS/2012/ P TIPIKOR YK ditinjau dari aspek hukum formal, aspek hukum material, aspek filosofis dan aspek penalaran hukum? Tujuan Penelitian : Untuk mengetahui putusan hakim dalam perkara no 13/PISDSUS/2012/ P TIPIKOR YK ditinjau dari aspek hukum formal, aspek hukum material, aspek filosofis dan aspek penalaran hukum.

Hasil penelitian : Putusan No.13/Pidsus/2012/P Tipikor YK telah memenuhi aspek hukum formiil sehingga putusan tersebut sah menurut hukum. Dari segi hukum materiil hakim tidak menggali lebih mendalam hukum yang diterapkan kepada terdakwa. Dari segi filosofis, hukuman yang dijatuhkan oleh majelis hakim tidak sejalan dengan latar belakang pembentukan Undang - Undang pemberantasan tindak pidana korupsi yang ingin memberikan efek jera kepada pelaku korupsi. Dari segi penalaran hukum, hakim tidak menunjukan keruntutan penalaran hukum karena di awal hakim menyakini Vorgezete Handelings, tetapi dalam putusan sama sekali tidak dilakukan aturan absorbs dalam penjatuhan pidananya. 2. Dhahriono M B11109033 ( Universitas Hassanudin Makassar). Meneliti tentang Tinjauan Yuridis Terhadap Dissenting Opinion Pada Putusan Tindak Pidana Korupsi. Rumusan Masalahnya yaitu : a. Apa manfaat Dissenting Opinion dalam putusan Hakim pada perkara tindak pidana korupsi (study putusan nomor 29.Pid.sus/2011/PN.MKS)? b. Apakah dasar pertimbangan Hakim sehingga berbeda pendapat (Dissenting Opinion) dalam putusan nomor 29.Pid.sus/2011/PN.MKS?

Tujuan Penelitian : a. Untuk mengetahui manfaat Dissenting Opinion dalam putusan Hakim pada perkara tindak pidana korupsi (study putusan nomor 29.Pid.sus/2011/PN.MKS) b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Hakim sehingga berbeda pendapat (Dissenting Opinion) dalam putusan nomor 29.Pid.sus/2011/PN.MKS Hasil Penelitian : a. Kebijakan hukum tentang Dissenting Opinion tidak berpengaruh karena tidak mengubah independensi hakim itu sendiri dan bersifat positif bagi para hakim yang tidak lagi terintervensi dalam memutuskan suatu perkara. b. Dasar dan alasan pertimbangan hakim pada perkara tersebut adalah Dissenting Opinion bersifat positif bagi peradilan khususnya dalam beracara. Karena adanya independensi kehakiman dan transparansi yang tidak berpengaruh pada hakim, dan tidak adanya intervensi lagi baik dari penuntut umum ataupun dari para penegak hukum lainnya. F. Batasan Konsep Sesuai dengan judul tentang Keterkaitan antara Jumlah Kerugian Negara dengan Berat Ringannya Pidana dalam Tindak Pidana Korupsi, batasan konsep yang dipergunakan adalah :

1. Keterkaitan menurut KBBI adalah perbuatan terkait dalam keadaan (seseorang, badan dan sebagainya) yang belum dapat mandiri 2. Kerugian Negara adalah Kekurangan uang, surat berharga, barang, yang nyata dan pasti jumlahnya sebagai akibat perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai (Pasal 1 Butir 22 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara) 3. Berat Ringannya Pidana adalah Semua unsur yang dicantumkan (diperberat dan diperingan) melainkan sekedar menyebut kualifikasi bentuk pokoknya atau pasal pokoknya yang bersifat memberatkan atau meringankan secara tegas dalam rumusan tersebut 4. Tindak Pidana Korupsi adalah Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (Pasal 2 Ayat (1) Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi)

5. Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). (Pasal 3 Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) G. Metode Penelitian 1. Jenis penelitian Berdasarkan perumusan masalah masalah dan tujuan penelitian, maka penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif, penelitian hukum normatif adalah penelitian yang mengkaji norma - norma yang mengatur tentang proses pemeriksaan dalam penyelesaian tindak pidana. Penelitian hukum normatif, dapat dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang merupakan data sekunder berupa bahan hukum baik bersifat khusus maupun bersifat umum. Dalam hal ini penelitian hukum normatif mengkaji norma - norma hukum positif yang berupa Peraturan Perundang - Undangan yang berkaitan dengan jumlah

kerugian negara dengan berat ringannya pidana dalam tindak pidana korupsi. 2. Sumber data Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian hukum normatif, oleh karena itu pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis berdasarkan pada data sekunder yang meliputi: a. Bahan hukum primer meliputi Peraturan Peraturan Undang - Undangan yang disusun secara sistematis. Bahan hukum primer terdiri dari : 1) Undang - Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 2) Undang - Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana 3) Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 4) Undang - Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara 5) Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan

6) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. b. Bahan hukum sekunder yang meliputi pendapat hukum yang didapat dari buku - buku, makalah, hasil penelitian, jurnal, internet, dokumen dan surat kabar yang berkaitan dengan materi penelitian 3. Cara Pengumpulan data Metode pengumpulan data yang digunakan oleh penulis adalah melalui studi kepustakaan dan wawancara dengan narasumber. Narasumber dari penelitian ini adalah Hakim ad Hoc dari Pengadilan Tipikor Yogyakarta yaitu Bapak Samsul Bahri, S.H 4. Metode Analisis Metode analisis yang penulis gunakan untuk penelitian hukum normatif ini adalah dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Proses penalaran yang digunakan dalam menarik kesimpulan adalah dengan menggunakan kesimpulan adalah metode berfikir deduktif. F. Sistematika Penulisan Adapun memberikan gambaran secara menyeluruh sesuai aturan dan karya ilmiah, maka penulis menyiapkan kerangka dalam penulisan hukum. Kerangka penulis hukum ini terdiri dari tiga bab, yaitu pendahuluan, pembahasan (Keterkaitan Antara Jumlah Kerugian Negara dengan Berat Ringannya Pidana Dalam Tindak pidana Korupsi)

dan penutup, ditambah daftar pustaka yang disusun dengan kerangka sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Dalam pendahuluan berisi latar belakang masalah terkhusus dalam Tindak Pidana Korupsi, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian bagi penulis, keaslian penelitian, batasan konsep dan metode penelitian. BAB II PEMBAHASAN Dalam bab ini akan membahas pertama mengenai tinjauan umum tentang jumlah kerugian Negara dalam tindak pidana korupsi yang terdiri dari Jumlah kerugian Negara, keuangan negara, pengertian tindak pidana dan pengertian korupsi. Tinjauan umum yang kedua mengenai berat ringannya putusan pidana dalam tindak pidana korupsi yang terdiri dari pengertian pemidanaan, pengertian pertanggung jawaban pidana, pengertian alat bukti menurut kuhap dan pengertian putusan hakim. Tinjauan umum yang ketiga tentang Keterkaitan antara Jumlah Kerugian Negara dengan Berat Ringannya Pidana dalam Tindak Pidana Korupsi berisi tentang wawancara narasumber, pengertian tindak pidana korupsi dalam Pasal 2 dan 3 Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

juncto Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang - Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi serta analisa mengenai putusan Hakim terhadap tindak pidana korupsi BAB III PENUTUP Bab ini berisi tentang kesimpulan dimana dalam hal ini berisi tentang jawaban terkait rumusan masalah yaitu apakah ada keterkaitan antara jumlah kerugian negara dengan berat ringannya sanksi pidana pada putusan hakim dalam tindak pidana korupsi. Bab ini berisi tentang saran - saran sebagai pelengkap, daftar pustaka dan lampiran.