Lex Privatum, Vol. III/No. 2/Apr-Jun/2015

dokumen-dokumen yang mirip
Lex Privatum Vol. V/No. 5/Jul/2017. AKIBAT HUKUM PERCERAIAN BAGI PNS BERDASARKAN PP NOMOR 10 TAHUN 1983 jo PP NOMOR 45 TAHUN Oleh : Sakir 2

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI AKIBAT PERKAWINAN CAMPURAN DITINJAU DARI HUKUM POSITIF INDONESIA 1 Oleh: Laurensius Mamahit 2

BAB I PENDAHULUAN. Manusia selalu ingin bergaul (zoon politicon) 1 bersama manusia lainya

BAB 1 PENDAHULUAN. sejak jaman dahulu hingga saat ini. Karena perkawinan merupakan suatu

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 1 TAHUN 1974 (1/1974) Tanggal: 2 JANUARI 1974 (JAKARTA)

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan yang ada di negara kita menganut asas monogami. Seorang pria

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan kebutuhan kodrat manusia, setiap manusia

TINJAUAN HUKUM TERHADAP HAK DAN KEWAJIBAN ANAK DAN ORANG TUA DILIHAT DARI UNDANG UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM

BAB I PENDAHULUAN. dapat hidup sendiri tanpa bantuan orang lain. Oleh karena itu, dalam hidupnya

BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang

BAB I PENDAHULUAN. seorang diri. Manusia yang merupakan mahluk sosial diciptakan oleh Tuhan

FUNGSI PERJANJIAN KAWIN TERHADAP PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1974, TLN No.3019, Pasal.1.

BAB I. Persada, 1993), hal Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, cet.17, (Jakarta:Raja Grafindo

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Permasalahan

2002), hlm Ibid. hlm Komariah, Hukum Perdata (Malang; UPT Penerbitan Universitas Muhammadiyah Malang,

PERSPEKTIF YURIDIS DAN SOSIOLOGIS TENTANG PERKAWINAN ANTAR PEMELUK AGAMA DI KABUPATEN WONOGIRI T A R S I

BAB I PENDAHULUAN. kelaminnya (laki-laki dan perempuan), secara alamiah mempunyai daya tarikmenarik

BAB I PENDAHULUAN. Untuk menjaga kedudukan manusia sebagai makhluk yang terhormat maka diberikan

BAB 1 PENDAHULUAN. 1960), hal Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, Cet. 5, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986), hal. 48.

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dalam hidupnya akan mengalami berbagai peristiwa hukum.

Lex et Societatis, Vol. III/No. 9/Okt/2015

TINJAUAN YURIDIS DAMPAK PERKAWINAN BAWAH TANGAN BAGI PEREMPUAN OLEH RIKA LESTARI, SH., M.HUM 1. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Perceraian pasangan..., Rita M M Simanungkalit, FH UI, 2008.

Oleh : TIM DOSEN SPAI


BAB I PENDAHULUAN. Perkawinan merupakan salah satu sunnatullah yang berlaku untuk semua

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang. Masyarakat Indonesia tergolong heterogen dalam segala aspeknya. Dalam

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHAESA. Presiden Republik Indonesia

BAB II KONSEP PERKAWINAN MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN sembarangan. Islam tidak melarangnya, membunuh atau mematikan nafsu

Lex Administratum, Vol. III/No. 6/Ags/2015

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA. Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Perkawinan

BAB I. Pendahuluan. Perkawinan beda agama adalah suatu perkawinan yang dilakukan oleh

TINJAUAN TEORITIS ASAS MONOGAMI TIDAK MUTLAK DALAM PERKAWINAN. Dahlan Hasyim *

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. mahluk Allah SWT, tanpa perkawinan manusia tidak akan melanjutkan sejarah

BAB I PENDAHULUAN. etnis,suku, agama dan golongan. Sebagai salah satu negara terbesar di dunia,

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

ALTERNATIF HUKUM PERKAWINAN HOMOSEKSUAL

BAB II PERKAWINAN DAN PUTUSNYA PERKAWINAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PERDATA DAN UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

FH UNIVERSITAS BRAWIJAYA

BAB I PENDAHULUAN. (hidup berkelompok) yang biasa kita kenal dengan istilah zoon politicon. 1

BAB I PENDAHULUAN. sakral, karena itu pernikahan tidak dapat dipisahkan dengan nilai-nilai ajaran agama 2. Oleh

BAB I PENDAHULUAN. hidup seluruh umat manusia, sejak zaman dahulu hingga kini. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. istri dengan tujuan untuk membentuk keluarga ( Rumah Tangga ) yang bahagia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Menurut Pasal 1 Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang

Undang-undang Republik Indonesia. Nomor 1 Tahun Tentang. Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. dan lain sebagainya. Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan manusia perkawinan merupakan salah satu hal. yang penting terutama dalam pergaulan hidup masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Aristoteles, seorang filsuf yunani yang terkemuka pernah berkata bahwa

BAB III IMPLIKASI HAK KEWARISAN ATAS PENGAKUAN ANAK LUAR

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 Tentang perkawinan BAB I DASAR PERKAWINAN. Pasal 1. Pasal 2

KEKUATAN MENGIKATNYA SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK DI PENGADILAN NEGERI SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama

BAB I PENDAHULUAN. merupakan hak asasi bagi setiap orang, oleh karena itu bagi suatu Negara dan

BAB I PENDAHULUAN. senantiasa hidup bersama dengan orang lain. Naluri untuk hidup bersama

PROSES PELAKSANAAN PERKAWINAN ANGGOTA TNI-AD DAN PERMASALAHANNYA (Studi di Wilayah KOREM 074 Warastratama)

BAB I PENDAHULUAN. seorang pria dan seorang wanita yang dikaruniai sebuah naluri. Naluri

PILIHLAH JAWABAN YANG BENAR!

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB 1 PENDAHULUAN. menyangkut urusan keluarga dan urusan masyarakat. 1. tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-tuhanan Yang Maha Esa.

PENGATURAN PERKAWINAN SEAGAMA DAN HAK KONSTITUSI WNI Oleh: Nita Ariyulinda Naskah diterima : 19 September 2014; disetujui : 3 Oktober 2014

TINJAUAN MENGENAI ASPEK HUKUM PEMBAGIAN HARTA WARISAN MENURUT KUHPERDATA (Studi Kasus Di Pengadilan Negeri Jepara)

BAB I PENDAHULUAN. Sebuah perkawinan yang dimulai dengan adanya rasa saling cinta dan kasih sayang

BAB II PENGESAHAN ANAK LUAR KAWIN DARI PASANGAN SUAMI ISTRI YANG BERBEDA KEWARGANEGARAAN BERDASARKAN PARTICULARS OF MARRIAGE

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA Abdul Kholiq ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. bidang perkawinan bagi seluruh masyarakat Indonesia. Dengan adanya unifikasi

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 1989, dan telah diubah dengan Undang-undang No. 3 Tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. Maha Esa agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. 2 Perkawinan

BAB I PENDAHULUAN. agar kehidupan di alam dunia berkembang biak. Perkawinan merupakan salah

BAB I PENDAHULUAN. dan perilaku hidup serta perwujudannya yang khas pada suatu masyarakat. Hal itu

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. keluarga yang bahagia dan kekal sesuai dengan undang-undang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR : 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

ASPEK YURIDIS HARTA BERSAMA DALAM PERKAWINAN POLIGAMI MENURUT UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN NURFIANTI / D

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974, melakukan perkawinan adalah untuk menjalankan kehidupannya dan

BAB I PENDAHULUAN. Seiring dengan berkembangnya jumlah penduduk, kebutuhan akan tanah terus

BAB I PENDAHULUAN. yang ditakdirkan untuk saling berpasangan dan saling membutuhkan 1. Hal

BAB I PENDAHULUAN. Manusia diciptakan Tuhan Yang Maha Esa secara berpasangpasangan. yaitu laki-laki dan perempuan. Sebagai makhluk sosial, manusia

BAB I PENDAHULUAN. perbedaan aturan terhadap suatu perkawinan.

KEDUDUKAN ANAK DAN HARTA DALAM PERKAWINAN SIRI DITINJAU DARI UU NOMOR 1 TAHUN 1974

BAB I PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian sehingga

BAB I PENDAHULUAN. Manusia didalam perjalanannya di dunia mengalami tiga peristiwa

PENTINGNYA PENCATATAN PERKAWINAN MENURUT UNDANG- UNDANG NO.1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN

BAB I PENDAHULUAN. menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat

BAB I PENDAHULUAN. perbuatan yang bernilai ibadah adalah perkawinan. Shahihah, dari Anas bin Malik RA, Ia berkata bahwa Rasulullah SAW

BAB 1 PENDAHULUAN. kebijakan dan saling menyantuni, keadaan seperti ini lazim disebut sakinah.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG P E R K A W I N A N DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

Lex Crimen Vol. VI/No. 5/Jul/2017

AKIBAT HUKUM TERHADAP PERJANJIAN PERKAWINAN YANG DIBUAT SETELAH PERKAWINAN BERLANGSUNG

The Enactment of Marriage Agreement Post Constitutional Court Verdict

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman adat istiadat dalam pelaksanaan perkawinan. Di negara. serta dibudayakan dalam pelaksanaan perkawinan maupun upacara

BAB I PENDAHULUAN. menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku (Pasal 2 Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhan Yang Maha Esa. 5 Dalam perspektif

RAHMAD HENDRA FAKULTAS HUKUM UNRI

BAB I PENDAHULUAN. kehidupannya agar berjalan tertib dan lancar, selain itu untuk menyelesaikan

BAB I PENDAHULUAN. (machstaat). Dengan demikian, berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 negara

AKIBAT HUKUM PERCERAIAN TERHADAP HARTA. BERSAMA di PENGADILAN AGAMA BALIKPAPAN SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orang tua.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 1974 TENTANG PERKAWINAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Transkripsi:

ANALISIS YURIDIS HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTERI DALAM PERKAWINAN MENURUT HUKUM POSITIF INDONESIA 1 Oleh : Ardika Lontoh 2 ABSTRAK Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana makna perkawinan menurut hukum agama dan bagaimana hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan menurut Hukum positif Indonesia. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, maka dapat disimpulkan: 1. Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan anjuran agama masing-masing. Jadi perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua mempelai beserta keluarga kerabatnya. Hukum agama telah menetapkan kedudukan manusia dengan ia man dan taqwa, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan. 2. Hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan menurut Hukum positif Indonesia antara lain, adalah : Hak dan kewajiban antara suami-istri adalah hak dan kewajiban yang timbul karena adanya perkawinan antara mereka. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Kata kunci: Hak dan kewajiban, suami isteri, perkawinan PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan hukum di Indonesia tidak lepas dari perkembangan masyarakat yang sedang membangun. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan hukum nasional yang berlaku bagi setiap warga Negara Indonesia. Ini merupakan hasil legislatif yang pertama yang memberikan gambaran yang nyata tentang 1 Artikel Skripsi. 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Universitas Sam Ratualangi. NIM. 110711189 kebenaran dasar asasi kejiwaan dan kebudayaan Bhinneka Tunggal Ika. Di dalamnya telah menampung unsur-unsur dan ketentuan hukum agama dan kepercayaan. Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum, olehnya maka semua bentuk peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia harus bersumber dan bersendikan pada Pancasila. Demikian pula dengan Undang- Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat (1) menyatakan: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya. Dalam kaitan di atas, pembinaan hukum oleh pemerintah menempatkan kebijaksanaan sebagaimana dituangkan dalam Garis Besar Haluan Negara dilakukan dengan jalan: a. Meningkatkan dan menyempurnakan pembinaan hukum nasional yang antara lain mengadakan pembaharuan, kodifikasi dan unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat. b. Menertibkan fungsi-fungsi lembaga-lembaga hukum menurut proporsinva masing-masing. c. Peningkatan kemampuan dan kewibawaan penegakan hukum. Oleh sebab itu di dalam derap lajunya pembangunan, maka pembangunan di bidang hukum terus digalakkan dan ditingkatkan, baik oleh pemerintah maupun rakyat sebagai subyek hukum. Untuk pembinaan hukum antara lain adalah hukum waris, agar supaya kemungkinankemungkinan untuk terjadinya perselisihan antara anggota masyarakat di dalam masalah warisan dapat di atasi. Khususnya dalam pembaharuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang sekarang berlaku di Indonesia, kita tahu bersama bahwa sistem hukum tidak merupakan kesatuan hukum, melainkan mempunyai sifat yang beraneka ragam atau pluralistis artinya terhadap semua golongan etnis tunduk pada hukum sendiri. Bagi golongan rakyat Eropa berlaku hukum pada BW (Burgerlijk Wethoek), untuk golongan rakyat Bumi Putera berlaku hukum adat sendiri sedangkan bagi golongan rakyat timur dibagi dalam Asing Tionghoa dan Timur Asia bukan Tionghoa. Khususnya golongan Timur Asia Tionghoa diberlakukan 121

beberapa sebagian BW sedang lebihnya berlaku hukum adat. Keadaan sistem hukum demikian masih berlangsung sampai saat ini. Padahal dalam bentuk kenegaraan sekarang ini, tidak sesuai perundang-undangan kolonial tersebut. Bangsa Indonesia sebagai negara yang telah merdeka dan berdaulat penuh, maka semestinya menjadi perhatian yang sungguh ialah membentuk dan mewujudkan hukum yang bercorak Indonesia atau kepribadian nasional. Untuk mewujudkan hal ini perlu diciptakan sistem hukum nasional yang berorientasi dan berkiblat pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dengan kehadiran Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka kedudukan suami-istri lebih diperhatikan terutama dalam hak dan kewajiban yang seimbang. Kalau seorang perempuan dan seorang lakilaki berkata sepakat untuk melakukan perkawinan satu sama lain ini berarti mereka saling berjanji akan taat pada peraturanperaturan hukum yang berlaku mengenai kewajiban dan hak-hak masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung, dan mengenai kedudukannya dalam masyarakat dari anak-anak keturunannya. Juga dalam menghentikan perkawinan, suami dan istri tidak leluasa penuh untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk penghentian itu, melainkan terikat juga pada peraturan hukum perihal itu. 3 Dengan demikian, dalam perkawinan harus ada persamaan cita-cita yang tinggi yang diilhami oleh keyakinan batin sebagai dasar susila. Unsur-unsur agama yang penuh dengan nilainilai rohani dan kejiwaan banyak berguna bagi landasan pendirian serta tujuan hidup mereka. 4 B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah makna perkawinan menurut hukum agama? 2. Bagaimanakah Hak dan Kewajiban suami istri dalam perkawinan menurut Hukum positif Indonesia? C. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang merupakan salah satu jenis penelitian yang dikenal umum dalam kajian ilmu hukum. Penelitian hukum normatif, yang merupakan penelitian utama dalam penelitian ini, adalah penelitian hukum kepustakaan. 5 PEMBAHASAN A. Perkawinan Menurut Hukum Agama Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan anjuran agama masing-masing. Jadi perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua mempelai beserta keluarga kerabatnya. Hukum agama telah menetapkan kedudukan manusia dengan ia man dan taqwa, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan. Oleh karenanya pada dasarnya setiap agama tidak dapat membenarkan perkawinan yang berlangsung tidak seagama. Berikut ini pengertian perkawinan menurut agama-agama yang diakui di Indonesia: 1. Menurut Hukum Perkawinan Agama Budha (HPAB) Keputusan Sangka Agung tanggal I Januari 1977 Pasal I dikatakan Perkawinan adalah suatu ikatan lahir batin antara seorang pria sebagai suami dan seorang wanita sebagai istri yang berlandaskan Cinta Kasih (Metta), Kasih sayang (karana) dan Rasa Sepenanggungan (Mudita) dengan tujuan untuk membentuk satu keluarga (ramah tangga) bahagia yang diberkahi oleh Sanghyang Adi Budha/Tuhan Yang Maha Esa, para Buddha dan para Bodhi-satwa- Mahasatwa. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut Hukum Perkawinan Agama Budha Indonesia (Pasal 2 HPAB). 3 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, Bandung, 1974, hal 8. 4 Napoleon Hill, Pedoman Dalam Perkawinan, Indah Jaya, Bandung, 1982, hal 19. 5 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT RajaGrafindo Persada, 1995, hlm 13. 122

Menurut ajaran agama Budha Indonesia menerangkan bahwa sebagai umat Budha tidak boleh membuat sakit hati orang lain, maka pada prinsipnya Hukum Perkawinan menurut agama Budha Indonesia berasaskan monogami dan tidak mengenal perceraian. Tetapi karena sifat jasmani manusia lebih menonjol maka toleransi yang besar dari agama Budha Indonesia diadakannya lembaga perceraian. 2. Menurut Agama Hindu Agama Hindu memandang perkawinan sebagai sesuatu yang suci. Perkawinan (wiwaha) adalah termasuk samskara (sakramen) dan termasuk salah satu dari sekian banyak sakramen sejak proses kelahiran (gharbadana) sampai proses kematian (antyasti). Perkawinan diartikan sebagai yajna, orang yang tidak kawin adalah orang yang tanpa yajna. Perkawinan umat Hindu itu bersifat religius dan mengikat, hak ini dihubungkan dengan adanya kewajiban bagi seseorang untuk mempunyai keturunan laki-laki agar anak tersebut dapat menyelamatkan orang tuanya dari neraka Put. Jadi perkawinan hukumnya wajib menurut agama Hindu. Hukum agama Hindu menganut asas monogami yang membolehkan poligami Bagi yang mampu social ekonominya seperti golongan Waisha, Ksatria, dan Brahmana boleh berpoligami sampai empat istri, tetapi bagi golongan Sudra yang lemah sosial ekonominya cukup beristri seorang saja. 3. Menurut Agama Islam Pengertian Perkawinan menurut agama Islam adalah, perikatan antara Wah perempuan (calon istri) dengan calon suami perempuan bukan perikatan antara seorang pria dan seorang wanita saja sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 1 Undangundang No. 1 Tahun 1974 atau menurut Hukum Kristen. Kata -wali berarti bukan saja bapak tetapi termasuk juga datuk, saudara-saudara pria, anak-anak pria, saudara-saudara bapak yang pria (paman), anak-anak pria dari paman, kesemuanya menurut garis keturunan pria (patrilinial) yang beragama Islam. Hal tersebut menunjukkan bahwa ikatan perkawinan dalam Islam berarti pula perikatan kekerabatan bukan perikatan perseorangan. Adapun tujuan perkawinan menurut hukum Islam adalah untuk menegakkan agama, untuk mendapatkan keturunan, untuk mencegah maksiyat (terjadinya perzinahan atau pelacuran) dan untuk membina rumah tangga yang bahagia dan teratur. 4. Menurut Agama Kristen Pengertian perkawinan menuntut ajaran agama Kristen, perkawinan merupakan suatu persekutuan hidup dan percaya total, eksklusif dan kontinyu antara seorang pria dan seorang wanita yang dikuduskan dan diberkati oleh Kristus Yesus. Perkawinan sebagai soal agama, karenanya perkawinan harus mengikuti hukum agama, hukum Tuhan, agar perkawinan tersebut sesuai dengan kehendak Tuhan yang menciptakan perkawinan itu. 5. Menurut Agama Katolik Pengertian Perkawinan menurut agama Katolik adalah suatu perjanjian perkawinan dengan mana pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup, dan sifat kodratinya terarah kepada kesejahteraan suami istri serta pada kelahiran dan pendidikan anak; oleh Kristus Tuhan perkawinan antara orang-orang yang dibaptis diangkat ke martabat sakramen. Yang menjadi tujuan perkawinan menurut ajaran agama Katolik adalah untuk melahirkan anak dan mendidik anak serta saling tolong menolong antara suami istri. Dari rumusan tersebut maka nampaklah bahwa perkawinan katolik bersifat monogami, kekal dan sakramenta1. 6 Dengan mengemukakan pengertian perkawinan menurut agama di atas maka dengan adanya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 telah menempatkan kedudukan agama sebagai dasar pembentukan keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal bagi bangsa Indonesia. Hal mana juga berarti bahwa suatu perkawinan yang dikehendaki perundangan nasional bukan saja merupakan perikatan keperdataan tetapi juga perikatan keagamaan, dan sekaligus juga menampung asas-asas 6 Rusdi Malik, Peranan Agama Dalam Hukum Perkawinan di Indonesia, Universitas Trisakti. Jakarta, 2000, hal. 11. 123

perkawinan menurut hukum adat yang menghendaki bahwa perkawinan sebagai perikatan kekeluargaan dan perikatan kekerabatan. B. Hak Dan Kewajiban Suami Istri Akibat Perkawinan Campuran Ditinjau Dari Hukum Positif Indonesia Sebelum dikeluarkannya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan di Indonesia telah ada 3 (tiga) produk Legislatif mengenai atau berhubungan dengan perkawinan campuran. Ketiga ketentuan-ketentuan perundang-undangan itu adalah sebagai berikut : 1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek). 2. Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (HOCI) S.1933.Nomor 74. 3. Peraturan Perkawinan Campuran(Regeling og gemengde Huwelijke S.1898 Nomor 158). Ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam ketiga produk Legislatif itu setelah dikeluarkannya Undang-Undang Perkawinan sebagaimana diketahui antara lain yang merupakan prinsip umum dalam perundangundangan yang setingkat derajatnya yang ditetapkan kemudian, menghapuskan ketentuan-ketentuan yang berlawanan dalam perundang-undangan sederajat yang mendahluinya. Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengertian istilah perkawinan Campuran dapat dilihat pada pasal 57, yaitu : yang dimaksud dengan Perkawinan Campuran dalam Undang-undang ini ialah Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia. Penafsiran pasal ini bahwa perkawinan campuran yang dimaksud ialah apabila salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan pihak yang lain berkewarganegaraan Indonesia. Ketentuan-ketentuan lain yang berhubungan dengan perkawinan campuran dapat dijabarkan sebagai berikut : Pasal 58 : Bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku. Pasal 59 1. Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusannya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata. 2. Perkawinan Campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undangundang Perkawinan ini. Pasal ini mensyaratkan bahwa bila perkawinan campuran dilangsungkan di Indonesia maka aturan dan syarat-syarat yang diberlakukan adalah hukum positif Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, dengan ketentuan lain yang melekat seperti hak-hak dan kewajiban suami istri, harta benda dalam perkawinan, hak dan kewajiban orang tua dan anak serta hak mewaris. Pasal 60 1. Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masingmasing telah dipenuhi. 2. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut dalam ayat 1 telah dipenuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat-syarat telah dipenuhi. 3. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara serta tidak boleh dimintakan banding lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. 4. Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan maka keputusan itu menjadi pengganti keterangan yang tersebut ayat 3. 124

5. Surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan. Pasal 61 1. Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang. 2. Barang siapa melangsungkan perkawinan campuran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan yang disebut dalam pasal 60 ayat 4 Undang-undang ini dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan. 3. Pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan sedangkan ia mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan. Pasal 62. Dalam perkawinan campuran kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat 1 Undang-undang ini. Menurut pandangan Hukum Islam, tidak ada istilah pengertian perkawinan Campuran, yang ada adalah pengertian beda agama. Menurut Hukum Islam adalah tidak sah perkawinan beda agama sebagaimana disebut dalam Al- Quran surah Baqarah ayat 221. Demikian juga Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jaya tanggal 30 September 1986 tentang Perkawinan Antar Agama berdasarkan pendapat dalam sidang pleno tanggal 2 Agustus 1986 yang menganjurkan, dilarang perkawinan antara wanita muslim dengan laki-laki musyrik dan laki-laki muslim dilarang kawin dengan wanita yang bukan beragama Islam (larangan mutlak). Lihat juga Keputusan Seminar perkawinan antar agama di Universitas Katolik Atmajaya tanggal 21 Maret 1987, yang pada prinsipnya gereja melarang perkawinan campur antar agama. 7 Dalam Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991) dengan tegas menyebutkan dalam pasal 40 dan pasal 44, yang menyebutkan bahwa, Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu : seorang wanita yang tidak beragama Islam, dan seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang yang tidak beragama Islam. 8 Dengan demikian, pada prinsipnya pandangan Hukum Islam bahwa beda agama dilarang untuk melangsungkan perkawinan. Hal serupa diatur oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dalam pelaksanaannya perkawinan antar agama tidak diatur, karena perkawinan tersebut tidak dibenarkan ajaran agama, yaitu ada halangan terjadinya perkawinan bagi calon suami, calon istri perbedaan agama, hal ini sesuai dengan yang dikehendaki pasal 2 ayat 1 dan pasal 8 huruf f Undang-undang Perkawinan. Pasal 2 ayat 1 Undang-undang Perkawinan menyatakan: Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Pasal 2 Undang-undang Perkawinan terang menunjuk paling pertama kepada hukum masing-masing agama dan kepercayaannya bagi masing-masing pemeluknya, sedangkan menurut penjelasan pasal 2 itu, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945. Hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan Campuran tidak diatur, baik menurut Hukum perkawinan Islam, Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 maupun dalam Kompilasi Hukum Islam (Inpres Nomor 1 Tahun 1991), yang dalam hal ini semua hak dan kewajiban suami isteri dalam perkawinan biasa dan campuran adalah sama. Untuk Undangundang Nomor 1 Tahun 1974 diatur dalam Bab VI, pasal 30 sampai dengan pasal 34, sedangkan menurut ketentuan Kompilasi Hukum Islam diatur dalam Bab XII, pasal 77 sampai dengan pasal 84. Dengan demikian, semua hak dan kewajiban suami isteri baik dalam perkawinan biasa dan perkawinan campuran adalah sama dan harus sesuai dengan aturan perundang-undangan yang berlaku yaitu pasal 30 sampai dengan pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. 7 Ibid, hal 195. 8 Lihat Kompilasi Hukum Islam, hal 191,192. 125

Menurut pasal 2 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangundangan yang berlaku, sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 pasal 2 mengatur, pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 1974 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-undangan mengenai pencatatan perkawinan. Seperti telah dikemukakan diatas bahwa yang dimaksud dengan perkawinan Campuran dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak kewarganegaraan yang melakukan dari suami/istrinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraannya menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-undang Kewarganegaraan Republik Indonesia (pasal 3 ayat 2 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974). Apabila seorang mempelai beragama Islam yang berkewarganegaraan Indonesia hendak melangsungkan perkawinan Campuran diperlukan surat keterangan dari Pegawai Pencatat Nikah di daerah tempat tinggalnya sebagaimana dimaksud pasal 64 Undangundang perkawinan. Surat keterangan yang dimaksud pasal 60 ayat 2 Undang-undang Perkawinan diperlukan juga bagi calon mempelai yang beragama Islam yang hendak melangsungkan perkawinan tidak menurut agama Islam. 9 Apabila Pegawai Pencatat Nikah atau P3NTR tidak memberikan keterangan kepada calon mempelai sebagaimana dimaksud pasal 16 PMA Nomor 3 Tahun 1975, yang bersangkutan dapat mengajukan keberatannya kepada Pengadilan Agama di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan Agama memeriksa perkara penolakan itu dengan cara singkat(court geding) untuk memberikan ketetapan ada atau tidak adanya penolakan tersebut. Apabila ternyata penolakan ini tidak beralasan, maka Pengadilan Agama memberikan keputusan sebagai pengganti keterangan tersebut (pasal 19, pasal 16 dan pasal 18 PMA Nomor 3 Tahun 1975). 10 PENUTUP A. Kesimpulan 1. Pada umumnya menurut hukum agama perkawinan adalah perbuatan yang suci (sakramen, samskara), yaitu suatu perikatan antara dua pihak dalam memenuhi perintah dan anjuran Tuhan Yang Maha Esa, agar kehidupan berkeluarga dan berkerabat tetangga berjalan dengan baik sesuai dengan anjuran agama masing-masing. Jadi perkawinan dilihat dari segi keagamaan adalah suatu perikatan jasmani dan rohani yang membawa akibat hukum terhadap agama yang dianut kedua mempelai beserta keluarga kerabatnya. Hukum agama telah menetapkan kedudukan manusia dengan ia man dan taqwa, apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang tidak seharusnya dilakukan. Oleh karenanya pada dasarnya setiap agama tidak dapat membenarkan perkawinan yang berlangsung tidak seagama. 2. Hak dan Kewajiban suami istri dalam perkawinan menurut Hukum positif Indonesia antara lain, adalah : Hak dan kewajiban antara suami-istri adalah hak dan kewajiban yang timbul karena adanya perkawinan antara mereka. Hak dan kewajiban suami istri diatur dalam pasal 30 sampai dengan pasal 36 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974. B. Saran Hak dan kedudukan suami isteri adalah seimbang. Segala sesuatu, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat dapat dirundingkan dan diputuskan oleh suami isteri dan masing-masing pihak baik suami maupun isteri sudah memahami hak dan kewajiban agar segala 9 Op-cit, hal 199. 10 Ibid, hal 199. 126

persoalan dalam keluarga dapat diatasi secara baik manakala kedua belah pihak sudah mengerti arti hak dan kewajiban. DAFTAR PUSTAKA Djuhaendah Hasan, Hukum Keluarga, CV Armico, Bandung, 1988. Hadikusuma Hilman, Hukum Perkawinan Indonesia, CV. Mandar Maju, Bandung, 2003. Hill Napoleon, Pedoman Dalam Perkawinan, Indah Jaya, Bandung, 1982. Ramulyo Idris Mohd, Hukum Perkawinan Islam, Bumi Aksara,Jakarta, 2002. Sarumpaet R.I, Pedoman Berumahtangga, Indonesia Publishing House, Bandung, 1993. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983. Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 1991. Soekanto S dan Mamudji S, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, PT RajaGrafindo Persada, 1995. Tjitrosudibio, R, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Terjemahan Burgelijk Wetboek, Pradnya Paramita. Thalib Sayuti, Hukum Kekeluargaan Indonesia, UI Press, Jakarta,1986. Vollmar, Hukum Keluarga Menurut KUH Perdata, Tarsito, Bandung, 1990. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Lembaran Negara 1974 Nomor 1 Tanggal 2 Januari 1974. Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 Kompilasi Hukum Islam. Peraturan Menteri Agama Nomor 3 Tahun 1975. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. 127