TINJAUAN YURIDIS KEPEMILIKAN SATWA LIAR MENURUT UU NO.5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA. Rizki Wahyunisa BaU

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dan satwa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Menurut rilis terakhir dari

hakikatnya adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang berkelanjutan sebagai pengamalan Pancasila;

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA

BUPATI PURWOREJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN PURWOREJO NOMOR 1 TAHUN 2012 TENTANG PERBURUAN BURUNG, IKAN DAN SATWA LIAR LAINNYA

LAMPIRAN 1 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BENTUK-BENTUK DAN PERLINDUNGAN KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DI INDONESIA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA No. 68, 1997 (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699)

PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 06 TAHUN 2004

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BANJARNEGARA TAHUN 2016 NOMOR 2

PERTANGGUNGJAWABAN KORPORASI DALAM TINDAK PIDANA KEHUTANAN. Oleh: Esti Aryani 1 Tri Wahyu Widiastuti 2. Abstrak

Bentuk: UNDANG-UNDANG (UU) Oleh: PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA. Nomor: 23 TAHUN 1997 (23/1997) Tanggal: 19 SEPTEMBER 1997 (JAKARTA)

Dengan Persetujuan DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA. MEMUTUSKAN: Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP.

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA

Lex et Societatis, Vol. V/No. 7/Sep/2017

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP PENCEMARAN DAN ATAU PERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009

UNDANG-UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP [LN 2009/140, TLN 5059]

UPAYA PEMERINTAH MELESTARIKAN KEBERADAAN SATWA LANGKA YANG DILINDUNGI DARI KEPUNAHAN DI INDONESIA

BAB IV ANALISIS HUKUM MENGENAI PENJUALAN HEWAN YANG DILINDUNGI MELALUI MEDIA INTERNET DIHUBUNGKAN DENGAN

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA KORPORASI DI BIDANG LINGKUNGAN HIDUP. A. Pengertian Tindak Pidana di Bidang Lingkungan Hidup

GUBERNUR JAMBI PERATURAN DAERAH PROVINSI JAMBI NOMOR 6 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI JAMBI

BAB I PENDAHULUAN. sudah dinyatakan punah pada tahun 1996 dalam rapat Convention on

PENYELESAIAN SENGKETA LINGKUNGAN HIDUP

BAB I PENDAHULUAN. resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Penegakan Hukum merupakan suatu usaha untuk mewujudkan ide-ide kepastian

PEMERINTAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I. Pendahuluan. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang memiliki keanekaragaman

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

BAB I PENDAHULUAN. Kejahatan sebagai fenomena sosial yang terjadi di muka bumi ini mungkin

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PEMBATASAN UPAYA HUKUM KASASI DALAM PERKARA PIDANA. Muh. Priyawardhana Dj.

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 03 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

BUPATI BANGKA TENGAH

PENEGAKAN HUKUM LINGKUNGAN MENURUT UNDANG- UNDANG NOMOR 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN

BAB IV. A. Upaya yang Dilakukan Pemerintah dan Masyarakat dalam Mencegah dan. Menanggulangi Pencemaran Air Akibat Limbah Industri Rumahan sesuai

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

Pertanggungjawaban Perusahaan dalam Kasus Lingkungan Hidup. Dewi Savitri Reni (Vitri)

BAB I PENDAHULUAN. daya alam non hayati/abiotik. Sumber daya alam hayati adalah unsur-unsur hayati

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA NOMOR 5 TAHUN 2006 TENTANG HUTAN KOTA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANGKA,

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan potensi dan perannya untuk mewujudkan keamanan,

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 13 TAHUN 2010 TENTANG

WALIKOTA LANGSA PROVINSI ACEH QANUN KOTA LANGSA NOMOR 7 TAHUN 2016 TENTANG PENYELENGGARAAN HUTAN KOTA BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

BAB II PENGATURAN TERHADAP PELAKU TANPA IZIN MELAKUKAN KEGIATAN INDUSTRI KECIL

PERATURAN DAERAH KOTA BONTANG NOMOR 7 TAHUN 2003 TENTANG PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BONTANG,

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

GUBERNUR MALUKU PERATURAN DAERAH PROVINSI MALUKU NOMOR 3 TAHUN 2016 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN TELUK DI PROVINSI MALUKU

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR NOMOR 5 TAHUN 2003 TENTANG

PERATURAN DAERAH KOTA BIMA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BIMA,

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH R A N C A N G A N PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR :...TAHUN... TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN DAERAH TINGKAT II BADUNG NOMOR 8 TAHUN

I. PENDAHULUAN. hukum sebagai sarana dalam mencari kebenaran, keadilan dan kepastian hukum. Kesalahan,

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR 04 PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 04 TAHUN 2008 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR : 515 TAHUN : 2001 SERI : C PERATURAN DAERAH KABUPATEN SERANG NOMOR 13 TAHUN 2001 TENTANG PENGENDALIAN LIMBAH

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN ALOR TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA LINGKUNGAN HIDUP KAWASAN PESISIR DAN LAUT DI KABUPATEN ALOR

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 15 TAHUN 2001 TENTANG IZIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KUTAI,

2017, No Peraturan Menteri; d. bahwa dalam rangka optimalisasi penanganan barang bukti tindak pidana lingkungan hidup dan kehutanan perlu diatu

BAB II. Regulasi penerbangan yang lama yaitu Undang-Undang Nomor 15 Tahun. itu harus mendasarkan pada ketentuan Pasal 102 ayat (1) KUHAP yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Mengenal Satwa Liar dan Teknik Perlindungannya

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA Presiden Republik Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. dalam penyidikan tindak pidana kehutanan. Kewenangan adalah. kemampuan bertindak yang diberikan oleh undang-undang yang berlaku

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI MALINAU PROVINSI KALIMANTAN UTARA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Penegakan Hukum Administrasi Terhadap Analisis Mengenai Dampak Lingkungan(AMDAL) Berdasarkan Undang-Undang 32 Tahun 2009 Di Kota Jambi

BAB I PENDAHULUAN. tersebut dan untuk mencapai kebahagiaan hidup berdasarkan Pancasila, perlu

Penegakan Hukum Lingkungan Terhadap Analisis Dampak Lingkungan (AMDAL) Reklamasi Pantai di Kota Bandar Lampung. Eka Deviani.

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

I. PENDAHULUAN. pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 1 TAHUN 2007 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

BAB II LANDASAN TEORI

UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN [LN 1999/167, TLN 3888]

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI NOMOR 14 TAHUN 2001 TENTANG IZIN USAHA PEMANFAATAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Fenomena minuman keras saat ini merupakan permasalahan yang cukup

BAB I PENDAHULUAN. informasi dan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan serta teknologi.

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 4 TAHUN 2005 TENTANG IJIN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN BUKAN KAYU DI WILAYAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA

LEMBARAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 33 TAHUN 2001 SERI C NOMOR 4 PERATURAAN DAERAH KOTA PALU NOMOR 33 TAHUN 2001 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MEMUTUSKAN : BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1

LEMBARAN-NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. bisa dilakukan secara merata ke daerah-daerah, khususnya di bidang ekonomi

PERATURAN DAERAH PROVINSI GORONTALO NOMOR 05 TAHUN 2004 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI PROVINSI GORONTALO

BAB I PENDAHULUAN. keanekaragaman hayati di dunia. Indonesia dijuluki sebagai Megadiversity Country,

PRODUKSI BARANG MEWAH DIBALIK PEMBUNUHAN HEWAN Oleh : Yerrico Kasworo* Naskah Diterima: 10 Juli 2017; Disetujui: 13 Juli 2017

PENERAPAN SANKSI ADMINISTRASI TERKAIT IZIN LINGKUNGAN

UNDANG UNDANG NO. 23 TAHUN 1997 TENTANG : PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 16 TAHUN 2008 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN TABALONG TAHUN 2008 NOMOR

BAB IV. Pasal 46 UU No.23 tahun 1997 dinyatakan bila badan hukum terbukti melakukan tindak

BAB I PENDAHULUAN. sekali terjadi, bahkan berjumlah terbesar diantara jenis-jenis kejahatan terhadap

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TASIKMALAYA NOMOR : 7 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KABUPATEN TASIKMALAYA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 1997 TENTANG PENGELOLAAN LINGKUNGAN HlDUP

Transkripsi:

TINJAUAN YURIDIS KEPEMILIKAN SATWA LIAR MENURUT UU NO.5 TAHUN 1990 TENTANG KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM HAYATI DAN EKOSISTEMNYA Rizki Wahyunisa BaU Weny A. Dungga SH, MH (Dosen Pembimbing I) Lisnawaty Badu SH, MH (Dosen Pembimbing II) Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo Jl. Jend. Soedirman Kota Gorontalo. TLPN 0435 821752. FAX 0435821752 ABSTRAK Fokus bahasan dalam penulisan penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisis pengaturan tentang satwa liar yang dilindungi menurut Undang-undang no. 5 Tahun 1990 Tentang Konseervasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, serta mendeskripsikan dan menganalisis pertanggung jawaban pidana seseorang yang memiliki satwa liar yang dilindungi Undang-undang. Untuk mencapai tujuan yang dimaksud penulis menggunakan metode penelitian yuridis normatif denga menggunakan pendekatan statute approach atau pendeketan perundangundangan sebab menggunakan pendekatan lesilasi dan regulasi. Selain it juga menggunakan literature-literature yang ada sebagai penunjang dalam menyelesaikan permasalahan kepemilikan satwa liar yang dilindungi di Indonesia. Adapun hasil yang diperoleh adalah pengaturan mengenai kepemilikan satwa liar yang dilindungi telah diatur tegas dalam Pasal 21 ayat (2) Undang-undang No. 5 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Ketentuan sanksi pidana mengenai kepemilikan satwa liar yang ini diatur dalam pasal 40 ayat (2). Kata Kunci : Satwa liar, yang dilindungi 1

PENDAHULUAN Indonesia adalah Negara yang kaya akan sumber daya alamnya baik hayati maupun non hayati salah satu kekayaan alam Indonesia dapat dilihat dari banyaknya jenis tumbuhan dan satwa yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Menurut rilis terakhir dari International Union for Conservation of Nature (IUCN) pada tahun 2011 memperkirakan terdapat sebanyak 300.000 jenis satwa liar yang berhasil diidentifikasikan di Indonesia. Jumlah tersebut mencakup sekitar 17% dari total jenis satwa liar yang masih tersisa di dunia 1. Satwa yang diartikan sebagai Binatang(nomina) dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, menurut Pasal 1 ayat 5 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara. Sedangkan yang dimaksud dengan Satwa liar menurut Kamus Besar Bahas Indonesia adalah semua binatang yg hidup di darat dan di air yg masih mempunyai sifat liar, baik yg hidup bebas maupun yg dipelihara oleh manusia sedangkan dalam pasal 1 ayat 7 UU No. 5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia, selain itu juga satwa liar dapat diartikan semua binatang yang hidup di darat dan di air yang masih mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Satwa migran satwa yang berpindah tempat secara teratur dalam waktu dan ruang tertentu 2. Mengenai kepemilikan satwa liar di Indonesia, sebenarnya telah ada larangan yang jelas sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Nomor 5 1 Leo Kusuma, 2012, Indonesia kaya akan habitat Satwa Liar(online), http://leo4kusuma.blogspot.com/2012/07/indonesia-kaya-akan-habitat-satwa-liar.html#.ui_u- FJS5Y0,(30 oktober 2012) 2 Cahyadi, 2012, Definisi Satwa Liar (online), http://cahyadiblogsan.blogspot.com/2012/04/definisisatwa-liar.html (30 oktober 2012) 2

Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dimana dalam pasal 21 ayat 2 dikatakan bahwa Setiap orang dilarang untuk : a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagianbagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; e. mengambil, merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi. TINJAUAN PUSTAKA Satwa Satwa merupakan sebagian sumber daya alam yang tidak ternilai harganya, sehingga kelestariannya perlu dijaga agar tidak punah baik karena factor alam, maupun perbuatan manusia seperti perburuan, dan kepemilikan satwa yang tidak sah. Menurut Pasal 1 ayat 5 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, Satwa adalah semua jenis sumber daya alam hewani yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara. Sedangkan yang dimaksud dengan Satwa liar dalam pasal 1 ayat 7 UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya adalah semua binatang yang hidup di darat, dan atau di air, dan atau di udara yang masih mempunyai sifat-sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia, selain itu juga satwa liar 3

dapat diartikan semua binatang yang hidup di darat dan di air yang masih mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia. Polisi Kehutanan(Polhut) Sebelum membahas tentang Polisi kehutanan, terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai polisi itu sendiri. Polisi mempunyai dua arti, yaitu arti formil dan materil 3. Yang dimaksud dengan arti formil adalah mencakup penjelasan tentang organisasi dan kedudukan suatu instansi kepolisian, dan arti materil yaitu memberikan jawaban terhadap persoalan-persoalan tugas dan wewenang dalam rangka menghadapi bahaya atau gangguan keamanan dan ketertiban baik dalam rangka kewenangan kepolisian umum, melalui ketentuan-ketentuan yang diatur dalam peratuan atau undang-undang. Dengan demikian, polisi merupakan segenap organ pemerintah yang ditugaskan mengawasi, jika perlu menggunakan paksaan, supaya yang diperintah menjalankan dan tidak melakukan larangan-larangan pemerintah, termasuk dalam hal menjaga kelestarian hutan dan satwa yang terkandung didalamnya. Selain pihak penyidik kepolisian, untuk menjamin terselenggaranya perlindungan hutan, maka kepada pejabat kehutanan tertentu sesuai dengan sifat pekerjaannya diberikan wewenang kepolisian khusus yang disebut polisi kehutan. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 77 ayat (1) Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan Selain pejabat penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat pegawai Negeri Sipil tertentu yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pengurusan hutan, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Adapun dalam, pasal 1 ayat (1) Kitab Hukum Acara Pidana Kita, mengatakan bahwa Penyidik adalah pejabat polisi Negara Repoblik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertnetu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan. 3 Abdussaalam R. 1997 penegakan hukum dilapanaganoleh Polri, dnas hukumpolri Jakarta, hal 20 4

Sedangkan, menurut Pasal 1 ayat (1) Peraturan Menteri Kehutanan No.p.71/Menhut-II/2008 tentang Pakaian atribut, dan kelengkapan Seragam Polisi Kehutanan, yang dimaksud dengan Polisi Kehutanan yang selanjutnya disingkat Polhut adalah pejabat tertentu dalam lingkup intansi kehutanan pusat dan daerah yang sesuai dengan sifat pekerjaannya, menyelenggarakan dan atau melaksanakan usaha perlindungan hutan yang oleh kuasa undang-undang diberi wewenang kepolisian khusus dibidang kehutanan dan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya 4. Tugas pokok Polisi Kehutanan adalah menyiapkan, melaksanakan, mengembangkan, memantau, dan mengevaluasi serta melaporkan kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan serta pengawasan peredaran hasil hutan 5. Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana Kejahatan yang semakin meningkat dan sering terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang sangat diperhatikan, sehingga mengundang pemerintah (negara) sebagai pelayan, pelindung masyarakat untuk menanggulangi meluasnya dan bertambahnya kejahatan yang melanggar nilai-nilai maupun norma-norma yang hidup dan berlaku didalam suatu masyarakat sehingga kejahatan tersebut oleh negara dijadikan sebagai perbuatan pidana untuk tindak pidana. Hukum pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku disuatu Negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk : 1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barangsiapa melanggar larangan tersebut. 4 Pasal 1 ayat (1) Permen Kehutanan Tahun 2008 5 Pasal 4 Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan aparatur negara dan Reformasi Birokrasi No.17 Tahun 2011 tentang Jabatan Fungsional Polisi Kehutanan dan angka Kreditnya. 5

2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. 3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut. 6 METODE PENELITIAN Sifat Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum yuridis normatif, karena hendak menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi 7. Menurut Soerjono Sukanto Metode penelitian hukum normatif atau metode penelitian hukum kepustakaan adalah metode atau cara yang dipergunakan di dalam penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka yang ada 8. Dalam hal ini mengenai Kepemilikan satwa liar yang di lindungi oleh Undang-undang. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah statute approach atau pendekatan perundang-undangan sebab menggunakan pendekatan legislasi dan regulasi 9. Analisis Bahan Hukum Dalam menganalisis isu hukum yang diangkat, peneliti menggunakan teknik Interpretasi, Interpretasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah interpretasi 6 Moeljatno, asas-asas hukum pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 2008, hal 1. 7 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,Prenada Media,Jakarta, 2005, hal 35 8 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Cetakan ke 11, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009), hal. 13 14. 9 Ibid, hal 97 6

sistematis, dimana menurut P.W.C. Akkerman, interpretasi sistematis adalah interpretasi dengan melihat kepada hubungan diantara aturan dalam suatu Undang- Undang yang saling bergantung 10. Landasan pemikiran interpretasi sistematis adalah Undang-Undang merupakan suatu kesatuan dan tidak satupun ketentuan didalam Undang-Undang merupakan aturan yang berdiri sendiri 11. Dengan teknik analisis ini mempermudah peneliti dalam menjawab permasalahan yang ada, yaitu mengenai Kepemilikan satwa liar yang di lindungi. HASIL DAN PEMBAHASAN Berbicara mengenai penegakan hukum maka hal ini berkaitan dengan aparat penegak hukum dan masyarakat yang menjadi subyek hukum, keduanya tidak terpisahkan dan saling berhubungan karena dalam menegakkan hukum bukan menjadi monopoli dari aparat penegak hukum, tetapi juga masyarakat mempunyai peran yang penting dalam hal menegakkan hukum. Apalagi dalam penegakan hukum konservasi peran dari masyarakat begitu sangat penting mengingat di negara ini memiliki kekayaan alam yang luar biasa banyak dan beragam, disamping itu wilayahnya yang sangat luas sehingga diperlukan kesadaran dari masyarakat untuk menjaga dan melestarikan alam beserta isinya yang didalamnya termasuk tumbuhan dan satwa. Salah satu penyebab maraknya perburuan satwa liar adalah karena budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, di mana masyarakat kita pada umumnya senang atau bahkan sudah menjadi hobi memelihara binatang peliharaan yang terkadang binatang tersebut dilindungi keberadaaannya di alam liar. Oleh karenanya marak terjadi perdagangan satwa dilindungi yang berujung pada tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi secara illegal. 10 P.W.C. Akkerman, dalam Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,Prenada Media,Jakarta, 2005, hal 112 11 Peter Mahmud Marzuki, Op cit, hal 112. 7

Interaksi ekologis masyarakat dengan hutan terkait erat dengan kesejahteraan masyarakat. Misalnya hutan sebagai sumber kayu bakar, sumber mata air, protein hewani, nabati dan berbagai fungsi ekonomi dan manfaat langsung lainnya yang didapatkan masyarakat dari hutan. Hubungan keduanya bersifat ketergantungan, saling mempengaruhi dan mampu merubah lingkungan biofisik tersebut. Persoalan satwa liar tentunya tidak terlepas dari persoalan lingkungan, sehingga jika terjadi pelanggaran terhadapa satwa liar maka secara otomatis melanggar pula hukum lingkungan yang berlaku. Hukum lingkungan adalah sebuah bidang atau cabang hukum yang memiliki kekhasan yang oleh Drupsteen disebut sebagai bidang hukum fungsional (functioneel rechtsgebeid), yaitu didalamnya terdapat unsure-unsur hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata 12. Delik lingkungan adalah perintah dan larangan undang-undang kepada subjek hokum yang jika dilanggar, diancam dengan penjatuhan sanksi-sanksi pidana, antara lain pemenjaraan dan denda, dengan tujuan untuk melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan maupun unsure-unsur dalam lingkungan hidup seperti hutan satwa, lahan, udara, dan air serta manusia 13. Sebagai salah satu unsur lingkungan hidup, satwa merupakan bagian yang tidak terpisahkan, dimana untuk bertahan hidup dan ber regenerasi, satwa membutuhkan lingkungan hidup. Namun akhir-akhir ini keberadaan satwa terancam punah bukan karena factor lingkungan tetapi justru disebabkan oleh gangguan manusia. Untuk mengatasi hal demikian maka dibuatlah regulasi-regulasi yang mengatur tentang satwa liar yang dilindungi di Indonesia, namun dalam realitas yang ada ternyata masih banyak juga yang sengaja ataupun tidak melakukan tindakantindakan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang ada. Sehingga menarik untuk kemudian dipersoalkan mengenai pertanggung jawaban pidana bagi 12 Th. G. Drupsteen(1983), dalam Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal 207 13 Takdir Rahmadi, Hukum Lingkungan di Indonesia, PT.Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, Hal 221. 8

orang yang melakukan pelanggaran terhadap regulasi yang ada, hususnya mengenai kepemilikan satwa liar yang di lindungi. Dalam hukum lingkungan dikenal prinsip-prinsip penyelesaian sengketa lingkungan, dimana jika terjadi persoalan yang menyangkut lingkungan hidup, maka dapat diberikan sanksi berdasarkan prinsip-prinsip penyelesaian sengketa lingkungan hidup. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut : 1. Prinsip Pencemar membayar. Pencemar semata-mata merupakan seorang yang berbuat pencemaran yang seharusnya dapat dihindarinya 14. Dengan demikian pencemar harus menanggung beban atau biaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang ditimbulkannya. Prinsip pencemar membayar dalam UUPLH diatur dalam pasal 34 UUPLH yang menyatakan, bahwa setiap perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup, mewajibkan penanggung jawab usah dan/atau kegiatan untuk membayar ganti kerugian dan/atau melakukan tindakan tertentu (ayat 1). Ketentuan ini disebut mengandung prinsip pencemar memabayar karena penjelasan otentik ayat (1) menyatakan sebagai berikut: Ayat ini merupakan realisasi asas yang ada dalam hukum lingkungan hidup yang disebut Asas Pencemar Membayar, selain diharuskan membayar ganti kerugian, pencemar dan/atau perusak lingkungan hidup dapat pula dibebani oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu. 2. Prinsip Tanggung jawab Mutlak Apabila dilihat dari maksud dan isinya, prinsip tanggung jawab mutlak yang dikenal dalm UUPLH (Pasal 35) sebenarnya adalah terjemahan dari istilah Strict Liability yang artinya adalah tanggung jawab mutlak. Maksudnya, pencemar dan/atau 14 Siti Sundari Rangkuti, dalam KoesnadiHardjasoemantri, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2006, Hal 48. 9

perusak lingkungan mutlak harus bertanggung jawab tanpa perlu dibuktikan unsure kesalahannya. 3. Prinsip yang diambil dari teori Pertanggung jawaban perdata. a. Market share liability Pencemaran lingkungan Hidup bias saja disebabkan oleh banyak indostri. Dengan menggunakan prisnip ini penggugat harus mengahadirkan sejumlah industry yang menurut penggugat merugikannya. Dalam penyelesaian sengketa di Pengadilan, beban pembuktian beralih kepada pihak tergugat, dengan demikian berlaku asas pembuktian terbalik. b. Risk Contribution Seperti prinsip market share liability, prinsip ini pun sama dalam hal tujuan, yaitu untuk membantu meringankan beban penggugat. Menurut prinsip ini tergugat juga dapat menyeret pihak-pihak lain yang diduga sebagai contributor lainnya selain si tergugat sendiri 15. c. Concert Action Menurut prinsip ini, pihak-pihak yang ikut berpartisipasi menimbulkan pencemaran juga mesti bertanggung jawab. Misalnya pihak konsultan yang member nasehat untuk tidak mengoperasikan alat pembuangan limbah dapat dituntut supaya bertanggung jawab atas kerugian yang dialami oleh penggugat, bahkan pemerintah pun dapat dituntut supaya bertanggung jawab, apabila dengan adanya persetujuan atau izin yang diberikan pemerintah terhadap suatu usaha atau kegiatan tertentu, justru menimbulkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian bagi korban 16. d. Enterprise Liability 15 Achamd Santosa dalam KoesnadiHardjasoemantri, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2006, Hal. 72 16 Ibid 10

Prinsip ini adalah pengembangan lebih lanjut dari Prinsip market share liability. Prinsip ini ingin membantu penggugat yang tidak dapat menunjuk pelaku pencemaran dari sejumlah industry yang diduga telah mencemari lingkungan sedangkan disisi lain industry-industri itu telah mengikuti atau mematuhi standard an petunjuk yang ditentukan. Menurut Prinsip ini, penggugat diperkenankan melibatkan seluruh industry yang berpotensi mengakibatkan kerugian kepada penggugat serta pihakpihak yang terlibat dalam pemberian RKL dan RPL (AMDAL) dan Perizinan. Semua pihak itu bertanggung jawab secara bersama atas kerugian yang diderita oleh penggugat sesuai dengan porsinya masing-masing 17. Sanksi Pidana Ketentuan Sanksi pidana mengenai kepemilikan Satwa liar ini diatur dalam Undangundang Repoblik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya Pasal 40 ayat (2) yang mana dikatakan bahwa Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Prosedur Penanganan Tindak Pidana Apabila terjadi pelanggaran sebagaimana yang diatur diatas, maka tindakan dalam penanganan Kejahatan Tumbuhan dan Satwa Liar ditindaki dengan melakukan Penyidikan terhadap pelanggaran itu. Untuk melakukan penyidikan Selain Pejabat Penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan departemen yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya meliputi pembinaan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang 17 KoesnadiHardjasoemantri, Hukum Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2006, Hal 74 11

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, untuk melakukan penyidikan tindak pidana di bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan rumusan masalah dan hasil penelitian yang telah di jabarkan sebelumnya, maka kesimpulan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengenai Pengaturan tentang satwa liar yang di lindungi menurut Undangundang no. 5 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam Pasal 21 ayat (2) mengatur mengenai batasan dan larangan terhadap satwa liar yaitu sebagai berikut : Setiap orang dilarang untuk : a. menangkap, melukai, membunuh, menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan hidup; b. menyimpan, memiliki, memelihara, mengangkut, dan memperniagakan satwa yang dilindungi dalam keadaan mati; c. mengeluarkan satwa yang dilindungi dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; d. memperniagakan, menyimpan atau memiliki kulit, tubuh, atau bagian-bagian lain satwa yang dilindungi atau barang-barang yang dibuat dari bagian-bagian tersebut atau mengeluarkannya dari suatu tempat di Indonesia ke tempat lain di dalam atau di luar Indonesia; e. mengambil,merusak, memusnahkan, memperniagakan, menyimpan atau memiliki telur dan atau sarang satwa yang dillindungi. Namun walaupun demikian dalam Pasal 2 ayat 1 PP No 8 Tahun 1999 dan Pasal 3 PP No.8 Tahun 1999 kita memberikan kesempatan bagi orang perorangan, maupun 12

badan hukum untuk memanfaatkan Satwa liar. Akan tetapi pemanfaatan satwa liar yang dimaksud hanya dapat dilakukan terhadap satwa liar yang tidak dilindungi, sebaliknya untuk satwa liar yang dilindungi, tidak termasuk dalam kategori ini kecuali untuk kegiatan pengkajian, penelitian dan pengembangan serta penangkaran satwa. 2. Mengenai Pertanggung jawaban pidana seseorang yang memiliki satwa liar yang dilindungi undang-undang, dalam KUHP kita tidak ada aturan yang khusus mengatur tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi. Selain itu Dalam UU No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan walaupun tidak secara eksplisit mengatur tentang tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi, tetapi dalam Pasal 50 ayat (3) huruf m terdapat larangan untuk mengeluarkan, membawa, dan mengangkut tumbuh-tumbuhan dan satwa liar yang tidak dilindungi undangundang yang berasal dari kawasan hutan tanpa izin dari pejabat yang berwenang, dengan ancaman pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah). Ketentuan dari Pasal ini bukan merupakan kejahatan tetapi berupa pelanggaran. Ketentuan Sanksi pidana mengenai kepemilikan Satwa liar ini diatur dalam Pasal 40 ayat (2) yang mana dikatakan bahwa Barang siapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Sedangkan untuk setiap orang karena kelalaiannya melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan ayat (2) serta Pasal 33 ayat (3) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) Pasal 40 ayat (4) UU No. 5 tahun 1990. Saran 13

1. Untuk Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulut agar menggalakkan upaya prefentif guna menumbuhkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga kelestarian dan keberadaan satwa dilindungi di alam liar melalui penyuluhan atau memantau pasar-pasar tradisional yang mungkin menjadi tempat penjualan Satwa liar yang di lindungi. 2. Untuk Dinas Kehutanan Provinsi Gorontalo agar dapat meningkatkan kerja sama dengan pihak BKSDA Sulut dalam hal menindaki setiap pelanggaran terhadap kepemilikan satwa liar dengan memberikan sanksi yang tegas bagi para pelaku kepemilikan satwa dilindungi tak terkecuali, sehingga timbul efek jera baik bagi pelaku atau calon pelaku tindak pidana kepemilikan satwa yang dilindungi 14