KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. (21%) dari luas total global yang tersebar hampir di seluruh pulau-pulau

DEPARTEMEN KEHUTANAN DIREKTORAT JENDERAL REHABILITASI LAHAN DAN PERHUTANAN SOSIAL PEDOMAN INVENTARISASI DAN IDENTIFIKASI LAHAN KRITIS MANGROVE

BAB I PENDAHULUAN. Kerusakan hutan mangrove di Indonesia, kini semakin merata ke berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

TINJUAN PUSTAKA. Hutan mangrove dikenal juga dengan istilah tidal forest, coastal

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem dengan fungsi yang unik dalam lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. atas pulau, dengan garis pantai sepanjang km. Luas laut Indonesia

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI MEDAN 2010

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN CILACAP

BAB I PENDAHULUAN. wilayah perbatasan antara daratan dan laut, oleh karena itu wilayah ini

SUMBERDAYA ALAM WILAYAH PESISIR

BAB I. PENDAHULUAN. pulau-nya dan memiliki garis pantai sepanjang km, yang merupakan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. ekologis yaitu untuk melakukan pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan gabungan dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di

TINJAUAN PUSTAKA. lainnya yang berbahasa Melayu sering disebut dengan hutan bakau. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan Negara kepulauan dengan garis pantai sepanjang

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang .

PENDAHULUAN. pengelolaan kawasan pesisir dan lautan. Namun semakin hari semakin kritis

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. A. Mangrove. kemudian menjadi pelindung daratan dan gelombang laut yang besar. Sungai

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. dipengaruhi pasang surut air laut. Tumbuhan mangrove memiliki kemampuan

PENDAHULUAN. garis pantai sepanjang kilometer dan pulau. Wilayah pesisir

BAB I PENDAHULUAN. dalam persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat

BAB I PENDAHULUAN. tertentu dan luasan yang terbatas, 2) Peranan ekologis dari ekosistem hutan

Mangrove menurut Macnae (1968) merupakan perpaduan

PENDAHULUAN. lahan pertambakan secara besar-besaran, dan areal yang paling banyak dikonversi

BAB I PENDAHULUAN. baik bagi pesisir/daratan maupun lautan. Selain berfungsi secara ekologis,

BAB III KERANGKA BERPIKIR DAN KONSEP PENELITIAN. Mangrove merupakan ekosistem peralihan, antara ekosistem darat dengan

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

1. PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara di dunia dalam bentuk negara

PROVINSI SULAWESI SELATAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN MAROS NOMOR 3 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN, PENGELOLAAN DAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE

PENDAHULUAN BAB I Latar Belakang

Teknologi penanaman jenis mangrove dan tumbuhan pantai pada tapak khusus

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. batas pasang surut air disebut tumbuhan mangrove.

BAB I PENDAHULUAN. Potensi wilayah pesisir dan laut Indonesia dipandang dari segi. pembangunan adalah sebagai berikut ; pertama, sumberdaya yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

BAB I PENDAHULUAN. saling berkolerasi secara timbal balik. Di dalam suatu ekosistem pesisir terjadi

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

KAJIAN SUMBERDAYA EKOSISTEM MANGROVE UNTUK PENGELOLAAN EKOWISATA DI ESTUARI PERANCAK, JEMBRANA, BALI MURI MUHAERIN

BAB I PENDAHULUAN. yang mempunyai fungsi produksi, perlindungan dan pelestarian alam. Luas hutan

I. PENDAHULUAN. lainnya. Keunikan tersebut terlihat dari keanekaragaman flora yaitu: (Avicennia,

PENDAHULUAN. Sumberdaya perikanan laut di berbagai bagian dunia sudah menunjukan

BAB I PENDAHULUAN. tempat dengan tempat lainnya. Sebagian warga setempat. kesejahteraan masyarakat sekitar saja tetapi juga meningkatkan perekonomian

BAB I PENDAHULUAN. fauna yang hidup di habitat darat dan air laut, antara batas air pasang dan surut.

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan

Hutan Mangrove Segara Anakan Wisata Bahari Penyelamat Bumi

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa ini memberikan tanggung jawab yang besar bagi warga Indonesia untuk

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BULUNGAN,

VIII. KEBIJAKAN PENGELOLAAN HUTAN MANGROVE BERKELANJUTAN Analisis Kebijakan Pengelolaan Hutan Mangrove

I. PENDAHULUAN. Hutan mangrove merupakan ekosistem hutan yang terdapat di daerah pantai dan

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

BAB I PENDAHULUAN. dalam penggunaan sumberdaya alam. Salah satu sumberdaya alam yang tidak terlepas

VI. SIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak dapat pulih (seperti minyak bumi dan gas serta mineral atau bahan

1. Pengantar A. Latar Belakang

KAJIAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE DI TELUK YOUTEFA KOTA JAYAPURA ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. tumbuhan yang hidup di lingkungan yang khas seperti daerah pesisir.

VALIDASI LUAS LAHAN DAN PROFIL TAMBAK DI KABUPATEN BERAU

BAB I PENDAHULUAN. Hutan mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi

MODEL IMPLENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN MANGROVE DALAM ASPEK KAMANAN WILAYAH PESISIR PANTAI KEPULAUAN BATAM DAN BINTAN.

Oleh. Firmansyah Gusasi

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari

I. PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. dari ciri-ciri tumbuhan yang hidup di darat dan di laut (Mulyadi dan Fitriani,

KERUSAKAN MANGROVE SERTA KORELASINYA TERHADAP TINGKAT INTRUSI AIR LAUT (STUDI KASUS DI DESA PANTAI BAHAGIA KECAMATAN MUARA GEMBONG KABUPATEN BEKASI)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Hutan mangrove adalah kelompok jenis tumbuhan yang tumbuh di

BAB 1 PENDAHULUAN. memiliki pulau dengan garis pantai sepanjang ± km dan luas

PENDAHULUAN. dan juga nursery ground. Mangrove juga berfungsi sebagai tempat penampung

TINJAUAN PUSTAKA. A. Perencanaan Lanskap. berasal dari kata land dan scape yang artinya pada suatu lanskap terdapat

BAB I PENDAHULUAN. kerusakan sehingga perlu dijaga kelestariannya. Hutan mangrove adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang

Avicenia sp. ( Api-Api ) Rhizophora sp( Bakau ) Nypa sp. ( Nipah ) Bruguiera sp. ( Lacang ) Sonneratia sp. ( Pedada )

PROPOSAL PENELITIAN PENYIAPAN PENYUSUNAN BAKU KERUSAKAN MANGROVE KEPULAUAN KARIMUNJAWA

SYLVOFISHERY (MINA HUTAN) : PENDEKATAN PEMANFAATAN HUTAN MANGROVE SECARA LESTARI ABSTRAK

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. perikanan. Usaha di bidang pertanian Indonesia bervariasi dalam corak dan. serta ada yang berskala kecil(said dan lutan, 2001).

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Ekosistem Mangrove

BAB 1 PENDAHULUAN. Indonesia memiliki mangrove terluas di dunia (Silvus et al, 1987; Primack et al,

I. PENDAHULUAN. dibentuk oleh berbagai komponen biotik dan abiotik, komponen-komponen ini saling

BAB I PENDAHULUAN. karena merupakan daerah pertemuan antara ekosistem darat, ekosistem laut dan

BAB I PENDAHULUAN. terluas di dunia sekitar ha (Ditjen INTAG, 1993). Luas hutan mangrove

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ari Luqman, 2013

PENDAHULUAN. terluas di dunia. Hutan mangrove umumnya terdapat di seluruh pantai Indonesia

ANALISIS VEGETASI EKOSISTEM HUTAN MANGROVE KPH BANYUMAS BARAT

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENGELOLAAN EKOSISTEM MANGROVE UNTUK EKOWISATA DI KECAMATAN KUTA RAJA KOTA BANDA ACEH Syifa Saputra1, Sugianto2, Djufri3 1 ABSTRAK

Transkripsi:

1123 Kerapatan hutan mangrove sebagai dasar rehabilitasi... (Mudian Paena) KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT ABSTRAK Mudian Paena, Hasnawi, dan Akhmad Mustafa Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129 Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail: mudianpaena@yahoo.com Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam daerah pantai yang mempunyai arti penting berupa fungsi produksi, perlindungan, dan pelestarian alam, merupakan suatu ekosistem yang sangat unik yaitu sebagai penyeimbang antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan. Dibalik manfaat mangrove yang demikian banyaknya, pengrusakan mangrove juga terus berlangsung oleh berbagai alasan, sehingga upaya rehabilitasi saat sekarang sangat penting untuk dilakukan tentunya dengan dukungan informasi mengenai sebaran dan kerapatannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerapatan dan luas sebaran hutan mangrove di Kabupaten Mamuju serta kemungkinan restocking kepiting bakau. Metode penelitian adalah pemanfaatan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis serta survai lapangan. Bahan yang digunakan adalah citra ALOS akuisisi tahun 2009, peta digital rupabumi Indonesia wilayah Kabupaten Mamuju serta peralatan survai lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Mamuju berkisar 1.000 1.300 pohon/ha dengan rata-rata 1.100 pohon/ha, jumlah permudaan 450 500 pohon/ha, serta luas hutan mangrove di Kabupaten Mamuju mencapai 1.573,04 ha. Dengan luasan tersebut dapat dilakukan restocking sebanyak 1.000 ekor/ha ukuran crablet-30. KATA KUNCI: kerapatan hutan mangrove, restocking kepiting bakau, Kabupaten Mamuju PENDAHULUAN Keberadaan hutan mangrove sangat menentukan dan menunjang tingkat perkembangan sosial dan perekonomian masyarakat pantai. Hutan mangrove merupakan sumber berbagai produksi hasil hutan yang bernilai ekonomis seperti kayu, sumber pangan, bahan kosmetik, bahan pewarna dan penyamakan kulit, serta sumber pakan ternak.dan lebah. Di samping itu, hutan mangrove sangat diperlukan bagi berbagai jenis ikan dan udang, yang diharapkan dapat mendukung peningkatan hasil tangkapan ikan dan budidaya tambak yang diusahakan oleh para nelayan dan pembudidaya. Hutan mangrove mempunyai peranan sangat penting bagi perlindungan wilayah dari abrasi pantai, pencegah intrusi air laut serta berfungsi sebagai penyangga terhadap sedimentasi yang datang dari wilayah daratan ke lautan. Keanekaragaman jenis flora dan fauna serta keunikan ekosistem mangrove dapat dilestarikan dan dikembangkan sebagai potensi untuk hutan wisata atau bahkan Taman Nasional. Hutan mangrove merupakan ekosistem pantai di daerah tropis, terdiri dari beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut berlumpur. Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, tercatat sebanyak 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 21 jenis paku-pakuan. Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Pada hutan mangrove terdapat salah satu tumbuhan sejati/dominan yang termasuk kedalam 4 famili Rhizophoraceae yaitu Rhizophora (Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus) (Bengen, 2000). Kondisi hutan mangrove sampai saat ini mengalami tekanan-tekanan akibat pemanfaatan dan pengelolaan yang kurang memperhatikan aspek kelestarian. Tuntutan pembangunan yang lebih menekankan pada tujuan ekonomi dengan mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik, seperti konversi hutan mangrove untuk pembangunan kota-kota pantai (pemukiman), perluasan tambak dan lahan pertanian serta adanya penebangan yang tidak terkendali, telah terbukti bahwa penggunaan lahan tersebut tidak sesuai dengan peruntukannya dan melampaui daya dukungnya, sehingga terjadi kerusakan ekosistem mangrove dan degradasi lingkungan pantai. Kondisi seperti ini diperberat lagi

Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 1124 dengan terjadinya pencemaran air sungai/air laut dan eksploitasi sumberdaya laut yang tidak ramah lingkungan. Indikasi adanya ancaman terhadap terjadinya degradasi hutan mangrove masih berlangsung pada hampir semua wilayah pantai. Secara umum hal ini disebabkan oleh adanya peraturan perundangan serta penegakan hukum yang juga masih kurang tegas. Di samping itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi dan perlindungan hutan mangrove belum tumbuh sebagai akibat dari kurangnya intensitas penyuluhan dan peningkatan kapasitas serta kapabilitas kelembagaan. Keberadaan mangrove secara ekologis mempengaruhi keseimbangan ekosistem kawasan pesisir dan mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi. Fungsi ekologis tersebut antara lain: (a) perangkap lumpur yang memperluas daratan, (b) pelindung pantai dari hempasan badai, gelombang, dan abrasi, dan (c) penahan interusi air laut (Dewanti et al., 1990). Selain itu kajian yang pernah dilakukan menunjukan bahwa keong bakau dapat dimanfaatkan sebagai biofilter terhadap mutu air limbah budidaya tambak udang intensif (Hamsiah et al., 2002). Secara ekonomis, mangrove juga berfungsi: (a) tempat hidup yang cocok bagi berbagai jenis ikan, udang maupun kepiting, (b) potensial untuk dikembangkan menjadi lahan pertambakan, pertanian, dan penggaraman, (c) dapat dikembangkan sebagai daerah wisata (eco-tourism) (Dewanti et al., 1990). Ekosistem mangrove merupakan salah satu sumberdaya pesisir yang terus mengalami tekanan pemanfaatan oleh berbagai kepentingan, sehingga tidak mengherankan bila tingkat degradasinya cukup tinggi akibat pola pemanfaatannya yang cenderung mengesampingkan aspek kelestarian. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yani et al. (2004) di kawasan Segara Anakan menunjukkan bahwa telah terjadi tekanan luas mangrove melalui pengambilan liar kayu bakar oleh masyarakat Kampung Laut di bagian selatannya, di bagian timur terdesak oleh pertumbuhan Kota Cilacap sebagai kota industri dan pelabuhan samudera, bagian barat dan utara terdesak oleh lajunya pertambahan penduduk dan areal pertanian serta aliran-aliran sungai yang membawa lumpur. Konversi lahan mangrove untuk kegiatan-kegiatan produksi (pertambakan, industri, permukiman, dan lain-lain) memberikan bukti semakin mempercepat penyusutan luas hutan mangrove. Pada tahun 1982 luas mangrove di Indonesia menurut Departemen Kehutanan sekitar 4,25 juta ha dan pada tahun 1996 luas hutan mangrove menurun menjadi 3,53 juta ha. Dengan demikian dalam kurun waktu 14 tahun Indonesia telah kehilangan hutan mangrove sekitar 700 ribu ha dan terjadi hampir di seluruh kepulauan Indonesia. Sedangkan menurut laporan dari PHPA pada tahun 1987 luas hutan mangrove tinggal sekitar 3,24 juta ha. (Khazali et al., 2002). Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan, dalam kurun tahun 1982 1996 telah terjadi laju kerusakan hutan mangrove sebesar 50 ribu ha per tahun. Jika diasumsikan kondisi pengelolaan dan pemanfaatan mangrove tahun 1996 2009 sama dengan tahun 1982 1996, maka luas mangrove tahun 2006 menjadi 2,59 juta ha. Penyusutan luas mangrove merupakan hal umum yang terjadi di seluruh wilayah pesisir Indonesia termasuk yang berada di Kabupaten Mamuju, hal ini tentunya akan mengurangi nilai produktivitasnya. Beberapa kasus yang dapat menjadi indikator adalah adalah berkurangnya kepiting bakau di daerah hutan mangrove. Untuk meningkatkan populasi kepiting bakau di hutan mangrove maka restocking bibit kepiting bakau menjadi sangat penting untuk dilakukan di hutan mangrove Kabupaten Mamuju. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerapatan dan luas sebaran hutan mangrove di Kabupaten Mamuju serta kemungkinan restocking kepiting bakau. BAHAN DAN METODE Metode penelitian adalah pemanfaatan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis serta survei lapangan. Bahan yang digunakan adalah citra ALOS akuisisi tahun 2009, peta digital Rupabumi Indonesia wilayah Kabupaten Mamuju serta peralatan survai lainnya HASIL DAN BAHASAN Luas mangrove adalah 1,573.04 ha, kehadiran vegetasi mangrove lebih spesies mangrove yang dominan adalah Sonneratia alba, Avicenia marina serta Rhyzophora stylosa, namun secara umum juga ditemukan Nypa sp., Lumnitzera sp. dan Bruguierra sp. dengan rata-rata lingkar batang 32,33 cm,

1125 Kerapatan hutan mangrove sebagai dasar rehabilitasi... (Mudian Paena) tinggi pohon 4,79 m dan kanopi 3,71 m, kadar garam berkisar antara 27 31 mg/l, kondisi tanah bertekstur lempung berdebu, berpasir, liat berdebu, kondisi air perairan cerah dengan ph 7,0. Tinggi gelombang berkisar antara 5,0 75 cm, sedangkan tipe pasang campuran condong keharian ganda. Sebaran hutan mangrove sangat bervariasi berdasarkan kecamatan pesisir yang ada di Kabupaten Mamuju (Tabel 1). Dari luas mangrove yang ada di Kabupaten Mamuju teridentifikasi jumlah pohon mangrove per hektar mencapai 1.000 1.300 pohon, rata-rata 1.100 pohon per hektar, dengan jumlah permudaan 450 500 pohon per hektar. Tidak sepanjang pesisir pantai Kabupaten Mamuju ditumbuhi oleh mangrove, namun demikian lebar jalur hijau mangrove secara umum di Kabupaten Mamuju mencapai 18,3% 30,5% atau rata-rata 24,42%. Data ini menunjukkan bahwa pesisir Kabupaten Mamuju perlu mempertimbangkan kaidah konservasi. Dengan luas hutan mangrove 1.573,04 ha, dapat ditebar kepiting bakau sebanyak 157.304 ekor crablet-30 atau sebanyak 1.000 ekor/ha. Tabel 1. Distribusi luas hutan magrove per kecamatan di Kabupaten Mamuju tahun 2009 No. Kecamatan Mangrove (ha) 1 Karossa 438.03 2 Topoyo 212.19 3 Budong-budong 154.32 4 Pangale 80.61 5 Sampaga - 6 Papalang 17.66 7 Kalukku 96.24 8 Mamuju 322.42 9 Simboro & Kepulauan 71.41 10 Tapalang Barat 177.85 11 Tapalang 2.31 Jumlah 1,573.04 Mengingat kawasan mangrove yang terdapat di daerah pasang surut sepanjang pantai atau muara sungai tersebut sangat rentan terhadap kerusakan serta mengingat pentingnya keberadaan kawasan tersebut untuk kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pantai, maka agar dapat diperoleh fungsi dan manfaatnya secara maksimal dan berkelanjutan, sumberdaya alam tersebut perlu ditata dan dikelola sesuai dengan sifat dan karateristiknya dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Salah satu upaya untuk menata dan mengelola kawasan mangrove tersebut adalah dalam bentuk rehabilitasi hutan mangrove. Untuk melakukan rehabilitasi hutan mangrove dengan baik sesuai kaidah konservasi hutan mangorove dan berbasis masyarakat, ketersediaan data/informasi yang akurat tentang kondisi aktual hutan-hutan mangrove dan kondisi sosial, ekonomi masyarakat yang berdomisili di sekitar wilayah kawasan mangrove. KESIMPULAN Luas hutan mangrove di Kabupaten Mamuju pada tahun 2009 mencapai 1.573,04 ha dengan jumlah pohon 1.100 per hektar. Dengan luas dan kerapatan tersebut dapat ditebar kepiting bakau sebanyak 1.000 ekor per hektar dengan total 157.304 ekor dalam ukuran crablet-30. DAFTAR ACUAN Bengen, D.G. 2000. Pedoman teknis pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor, 5 hlm. Dewanti, R., Maulan, T., Budhiman, S., Zainuddin, F., & Munyati. 1990. Kondisi Hutan Mangrove di Kalimantan Timur, Sumatera, Jawa, Bali dan Maluku. Majalah Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Jakarta, 1 hlm.

Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 1126 Tabel 2. Pemasalahan dan Usulan Pengembangan Mangrove di Kabupaten Mamuju Tahun 2009 Permasalahan Perda pengelolaan mangrove belum tersedia. Penyebab Kerusakan Pengembangan tambak yang intensif. Alternatif Usulan Pengembangan Pembuatan daerah perlindungan mangrove (DPL Mangrove). Intensitas pengembangan wilayah pesisir sangat tinggi. Pemahaman fungsi mangrove sebagian masyarakat masih rendah. Pemanfaatan mangrove yang tidak diikuti dengan perencanaan yang terpadu Pembuatan pelabuhan dan irigasi dan fasilitas pantai lainnya. Pengembangan pemukiman. Pengambilan untuk kayu bakar. Pembukaan lahan untuk jalan. Zonasi daerah pengembangan tambak, pemukiman dan industri. Kelompok pengawasan yang berbasis masyarakat. Pengadaan kebun bibit. Pemberian tanggung jawab kepada masing-masing pemilik tambak. Penanaman mangrove sesuai dengan daya dukung musim. Gambar 1. Peta sebaran hutan mangrove di Kabupaten Mamuju tahun 2009

1127 Kerapatan hutan mangrove sebagai dasar rehabilitasi... (Mudian Paena) Hamsiah et al. 2002. Peranan keong bakau, (Telescopium telescopium L.), sebagai biofilter dalam pengelolaan limbah budidaya tambak udang intensif. J. Akua. Indonesia, I(2): 57. Khazali, M., Bengen, D.G., & Nikijuluw, V.P.H. 2002. Kajian partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove (Studi kasus di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat). J. Pes. dan Laut (Indonesian J. of Coastal and Marine Resources), IV(3): 30. Yani, E., Widyastuti, A., & Lestari, W. 2004. Zonasi vegetasi mangrove di Kawasan Segara Anakan Cilacap. J. Biosfer XXI, hlm. 45.