1123 Kerapatan hutan mangrove sebagai dasar rehabilitasi... (Mudian Paena) KERAPATAN HUTAN MANGROVE SEBAGAI DASAR REHABILITASI DAN RESTOCKING KEPITING BAKAU DI KABUPATEN MAMUJU PROVINSI SULAWESI BARAT ABSTRAK Mudian Paena, Hasnawi, dan Akhmad Mustafa Balai Riset Perikanan Budidaya Air Payau Jl. Makmur Dg. Sitakka No. 129 Maros 90512, Sulawesi Selatan E-mail: mudianpaena@yahoo.com Hutan mangrove merupakan salah satu sumberdaya alam daerah pantai yang mempunyai arti penting berupa fungsi produksi, perlindungan, dan pelestarian alam, merupakan suatu ekosistem yang sangat unik yaitu sebagai penyeimbang antara ekosistem daratan dengan ekosistem lautan. Dibalik manfaat mangrove yang demikian banyaknya, pengrusakan mangrove juga terus berlangsung oleh berbagai alasan, sehingga upaya rehabilitasi saat sekarang sangat penting untuk dilakukan tentunya dengan dukungan informasi mengenai sebaran dan kerapatannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerapatan dan luas sebaran hutan mangrove di Kabupaten Mamuju serta kemungkinan restocking kepiting bakau. Metode penelitian adalah pemanfaatan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis serta survai lapangan. Bahan yang digunakan adalah citra ALOS akuisisi tahun 2009, peta digital rupabumi Indonesia wilayah Kabupaten Mamuju serta peralatan survai lainnya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kerapatan mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Mamuju berkisar 1.000 1.300 pohon/ha dengan rata-rata 1.100 pohon/ha, jumlah permudaan 450 500 pohon/ha, serta luas hutan mangrove di Kabupaten Mamuju mencapai 1.573,04 ha. Dengan luasan tersebut dapat dilakukan restocking sebanyak 1.000 ekor/ha ukuran crablet-30. KATA KUNCI: kerapatan hutan mangrove, restocking kepiting bakau, Kabupaten Mamuju PENDAHULUAN Keberadaan hutan mangrove sangat menentukan dan menunjang tingkat perkembangan sosial dan perekonomian masyarakat pantai. Hutan mangrove merupakan sumber berbagai produksi hasil hutan yang bernilai ekonomis seperti kayu, sumber pangan, bahan kosmetik, bahan pewarna dan penyamakan kulit, serta sumber pakan ternak.dan lebah. Di samping itu, hutan mangrove sangat diperlukan bagi berbagai jenis ikan dan udang, yang diharapkan dapat mendukung peningkatan hasil tangkapan ikan dan budidaya tambak yang diusahakan oleh para nelayan dan pembudidaya. Hutan mangrove mempunyai peranan sangat penting bagi perlindungan wilayah dari abrasi pantai, pencegah intrusi air laut serta berfungsi sebagai penyangga terhadap sedimentasi yang datang dari wilayah daratan ke lautan. Keanekaragaman jenis flora dan fauna serta keunikan ekosistem mangrove dapat dilestarikan dan dikembangkan sebagai potensi untuk hutan wisata atau bahkan Taman Nasional. Hutan mangrove merupakan ekosistem pantai di daerah tropis, terdiri dari beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah pasang surut berlumpur. Vegetasi hutan mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi, tercatat sebanyak 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit, dan 21 jenis paku-pakuan. Namun demikian hanya terdapat kurang lebih 47 jenis tumbuhan yang spesifik hutan mangrove. Pada hutan mangrove terdapat salah satu tumbuhan sejati/dominan yang termasuk kedalam 4 famili Rhizophoraceae yaitu Rhizophora (Bruguiera, dan Ceriops), Sonneratiaceae (Sonneratia), Avicenniaceae (Avicennia), dan Meliaceae (Xylocarpus) (Bengen, 2000). Kondisi hutan mangrove sampai saat ini mengalami tekanan-tekanan akibat pemanfaatan dan pengelolaan yang kurang memperhatikan aspek kelestarian. Tuntutan pembangunan yang lebih menekankan pada tujuan ekonomi dengan mengutamakan pembangunan infrastruktur fisik, seperti konversi hutan mangrove untuk pembangunan kota-kota pantai (pemukiman), perluasan tambak dan lahan pertanian serta adanya penebangan yang tidak terkendali, telah terbukti bahwa penggunaan lahan tersebut tidak sesuai dengan peruntukannya dan melampaui daya dukungnya, sehingga terjadi kerusakan ekosistem mangrove dan degradasi lingkungan pantai. Kondisi seperti ini diperberat lagi
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 1124 dengan terjadinya pencemaran air sungai/air laut dan eksploitasi sumberdaya laut yang tidak ramah lingkungan. Indikasi adanya ancaman terhadap terjadinya degradasi hutan mangrove masih berlangsung pada hampir semua wilayah pantai. Secara umum hal ini disebabkan oleh adanya peraturan perundangan serta penegakan hukum yang juga masih kurang tegas. Di samping itu, kesadaran masyarakat akan pentingnya konservasi dan perlindungan hutan mangrove belum tumbuh sebagai akibat dari kurangnya intensitas penyuluhan dan peningkatan kapasitas serta kapabilitas kelembagaan. Keberadaan mangrove secara ekologis mempengaruhi keseimbangan ekosistem kawasan pesisir dan mempunyai nilai ekonomis yang sangat tinggi. Fungsi ekologis tersebut antara lain: (a) perangkap lumpur yang memperluas daratan, (b) pelindung pantai dari hempasan badai, gelombang, dan abrasi, dan (c) penahan interusi air laut (Dewanti et al., 1990). Selain itu kajian yang pernah dilakukan menunjukan bahwa keong bakau dapat dimanfaatkan sebagai biofilter terhadap mutu air limbah budidaya tambak udang intensif (Hamsiah et al., 2002). Secara ekonomis, mangrove juga berfungsi: (a) tempat hidup yang cocok bagi berbagai jenis ikan, udang maupun kepiting, (b) potensial untuk dikembangkan menjadi lahan pertambakan, pertanian, dan penggaraman, (c) dapat dikembangkan sebagai daerah wisata (eco-tourism) (Dewanti et al., 1990). Ekosistem mangrove merupakan salah satu sumberdaya pesisir yang terus mengalami tekanan pemanfaatan oleh berbagai kepentingan, sehingga tidak mengherankan bila tingkat degradasinya cukup tinggi akibat pola pemanfaatannya yang cenderung mengesampingkan aspek kelestarian. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yani et al. (2004) di kawasan Segara Anakan menunjukkan bahwa telah terjadi tekanan luas mangrove melalui pengambilan liar kayu bakar oleh masyarakat Kampung Laut di bagian selatannya, di bagian timur terdesak oleh pertumbuhan Kota Cilacap sebagai kota industri dan pelabuhan samudera, bagian barat dan utara terdesak oleh lajunya pertambahan penduduk dan areal pertanian serta aliran-aliran sungai yang membawa lumpur. Konversi lahan mangrove untuk kegiatan-kegiatan produksi (pertambakan, industri, permukiman, dan lain-lain) memberikan bukti semakin mempercepat penyusutan luas hutan mangrove. Pada tahun 1982 luas mangrove di Indonesia menurut Departemen Kehutanan sekitar 4,25 juta ha dan pada tahun 1996 luas hutan mangrove menurun menjadi 3,53 juta ha. Dengan demikian dalam kurun waktu 14 tahun Indonesia telah kehilangan hutan mangrove sekitar 700 ribu ha dan terjadi hampir di seluruh kepulauan Indonesia. Sedangkan menurut laporan dari PHPA pada tahun 1987 luas hutan mangrove tinggal sekitar 3,24 juta ha. (Khazali et al., 2002). Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan, dalam kurun tahun 1982 1996 telah terjadi laju kerusakan hutan mangrove sebesar 50 ribu ha per tahun. Jika diasumsikan kondisi pengelolaan dan pemanfaatan mangrove tahun 1996 2009 sama dengan tahun 1982 1996, maka luas mangrove tahun 2006 menjadi 2,59 juta ha. Penyusutan luas mangrove merupakan hal umum yang terjadi di seluruh wilayah pesisir Indonesia termasuk yang berada di Kabupaten Mamuju, hal ini tentunya akan mengurangi nilai produktivitasnya. Beberapa kasus yang dapat menjadi indikator adalah adalah berkurangnya kepiting bakau di daerah hutan mangrove. Untuk meningkatkan populasi kepiting bakau di hutan mangrove maka restocking bibit kepiting bakau menjadi sangat penting untuk dilakukan di hutan mangrove Kabupaten Mamuju. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerapatan dan luas sebaran hutan mangrove di Kabupaten Mamuju serta kemungkinan restocking kepiting bakau. BAHAN DAN METODE Metode penelitian adalah pemanfaatan penginderaan jauh dan sistem informasi geografis serta survei lapangan. Bahan yang digunakan adalah citra ALOS akuisisi tahun 2009, peta digital Rupabumi Indonesia wilayah Kabupaten Mamuju serta peralatan survai lainnya HASIL DAN BAHASAN Luas mangrove adalah 1,573.04 ha, kehadiran vegetasi mangrove lebih spesies mangrove yang dominan adalah Sonneratia alba, Avicenia marina serta Rhyzophora stylosa, namun secara umum juga ditemukan Nypa sp., Lumnitzera sp. dan Bruguierra sp. dengan rata-rata lingkar batang 32,33 cm,
1125 Kerapatan hutan mangrove sebagai dasar rehabilitasi... (Mudian Paena) tinggi pohon 4,79 m dan kanopi 3,71 m, kadar garam berkisar antara 27 31 mg/l, kondisi tanah bertekstur lempung berdebu, berpasir, liat berdebu, kondisi air perairan cerah dengan ph 7,0. Tinggi gelombang berkisar antara 5,0 75 cm, sedangkan tipe pasang campuran condong keharian ganda. Sebaran hutan mangrove sangat bervariasi berdasarkan kecamatan pesisir yang ada di Kabupaten Mamuju (Tabel 1). Dari luas mangrove yang ada di Kabupaten Mamuju teridentifikasi jumlah pohon mangrove per hektar mencapai 1.000 1.300 pohon, rata-rata 1.100 pohon per hektar, dengan jumlah permudaan 450 500 pohon per hektar. Tidak sepanjang pesisir pantai Kabupaten Mamuju ditumbuhi oleh mangrove, namun demikian lebar jalur hijau mangrove secara umum di Kabupaten Mamuju mencapai 18,3% 30,5% atau rata-rata 24,42%. Data ini menunjukkan bahwa pesisir Kabupaten Mamuju perlu mempertimbangkan kaidah konservasi. Dengan luas hutan mangrove 1.573,04 ha, dapat ditebar kepiting bakau sebanyak 157.304 ekor crablet-30 atau sebanyak 1.000 ekor/ha. Tabel 1. Distribusi luas hutan magrove per kecamatan di Kabupaten Mamuju tahun 2009 No. Kecamatan Mangrove (ha) 1 Karossa 438.03 2 Topoyo 212.19 3 Budong-budong 154.32 4 Pangale 80.61 5 Sampaga - 6 Papalang 17.66 7 Kalukku 96.24 8 Mamuju 322.42 9 Simboro & Kepulauan 71.41 10 Tapalang Barat 177.85 11 Tapalang 2.31 Jumlah 1,573.04 Mengingat kawasan mangrove yang terdapat di daerah pasang surut sepanjang pantai atau muara sungai tersebut sangat rentan terhadap kerusakan serta mengingat pentingnya keberadaan kawasan tersebut untuk kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat pantai, maka agar dapat diperoleh fungsi dan manfaatnya secara maksimal dan berkelanjutan, sumberdaya alam tersebut perlu ditata dan dikelola sesuai dengan sifat dan karateristiknya dengan mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial dan ekologi. Salah satu upaya untuk menata dan mengelola kawasan mangrove tersebut adalah dalam bentuk rehabilitasi hutan mangrove. Untuk melakukan rehabilitasi hutan mangrove dengan baik sesuai kaidah konservasi hutan mangorove dan berbasis masyarakat, ketersediaan data/informasi yang akurat tentang kondisi aktual hutan-hutan mangrove dan kondisi sosial, ekonomi masyarakat yang berdomisili di sekitar wilayah kawasan mangrove. KESIMPULAN Luas hutan mangrove di Kabupaten Mamuju pada tahun 2009 mencapai 1.573,04 ha dengan jumlah pohon 1.100 per hektar. Dengan luas dan kerapatan tersebut dapat ditebar kepiting bakau sebanyak 1.000 ekor per hektar dengan total 157.304 ekor dalam ukuran crablet-30. DAFTAR ACUAN Bengen, D.G. 2000. Pedoman teknis pengenalan dan pengelolaan ekosistem mangrove. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor, 5 hlm. Dewanti, R., Maulan, T., Budhiman, S., Zainuddin, F., & Munyati. 1990. Kondisi Hutan Mangrove di Kalimantan Timur, Sumatera, Jawa, Bali dan Maluku. Majalah Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Jakarta, 1 hlm.
Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010 1126 Tabel 2. Pemasalahan dan Usulan Pengembangan Mangrove di Kabupaten Mamuju Tahun 2009 Permasalahan Perda pengelolaan mangrove belum tersedia. Penyebab Kerusakan Pengembangan tambak yang intensif. Alternatif Usulan Pengembangan Pembuatan daerah perlindungan mangrove (DPL Mangrove). Intensitas pengembangan wilayah pesisir sangat tinggi. Pemahaman fungsi mangrove sebagian masyarakat masih rendah. Pemanfaatan mangrove yang tidak diikuti dengan perencanaan yang terpadu Pembuatan pelabuhan dan irigasi dan fasilitas pantai lainnya. Pengembangan pemukiman. Pengambilan untuk kayu bakar. Pembukaan lahan untuk jalan. Zonasi daerah pengembangan tambak, pemukiman dan industri. Kelompok pengawasan yang berbasis masyarakat. Pengadaan kebun bibit. Pemberian tanggung jawab kepada masing-masing pemilik tambak. Penanaman mangrove sesuai dengan daya dukung musim. Gambar 1. Peta sebaran hutan mangrove di Kabupaten Mamuju tahun 2009
1127 Kerapatan hutan mangrove sebagai dasar rehabilitasi... (Mudian Paena) Hamsiah et al. 2002. Peranan keong bakau, (Telescopium telescopium L.), sebagai biofilter dalam pengelolaan limbah budidaya tambak udang intensif. J. Akua. Indonesia, I(2): 57. Khazali, M., Bengen, D.G., & Nikijuluw, V.P.H. 2002. Kajian partisipasi masyarakat dalam pengelolaan mangrove (Studi kasus di Desa Karangsong, Kecamatan Indramayu, Kabupaten Indramayu Provinsi Jawa Barat). J. Pes. dan Laut (Indonesian J. of Coastal and Marine Resources), IV(3): 30. Yani, E., Widyastuti, A., & Lestari, W. 2004. Zonasi vegetasi mangrove di Kawasan Segara Anakan Cilacap. J. Biosfer XXI, hlm. 45.