1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Bahasa seseorang dapat mencerminkan pikirannya. Semakin terampil seseorang berbahasa, semakin cerah dan jelas pula jalan pikirannya. Keterampilan berbahasa hanya dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktek dan banyak latihan. Melatih keterampilan berbahasa berarti pula melatih keterampilan berpikir. Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang dipergunakan berkomunikasi secara tidak langsung, tidak secara tatap muka dengan orang lain. Dalam kegiatan menulis ini, maka sang penulis haruslah terampil memanfaatkan grafologi, struktur bahasa, dan kosa kata. Keterampilan menulis ini tidak akan datang secara otomatis, melainkan harus melalui latihan dan praktek yang banyak dan teratur. Menulis sesungguhnya berkaitan dengan mengungkapkan gagasan. Aktivitas tersebut tidaklah berbeda dengan berbicara. Hanya bentuk dan cara mengungkapkannya relatif berbeda meskipun memiliki substansi pesan yang sama. Menulis adalah suatu bentuk mengekspresikan diri. Seperti halnya berbicara, menulis sesungguhnya mengungkapkan maksud tujuan tertentu dan berdasarkan struktur bahasa tertentu (Suwarna, 2 Mei 2002). Berdasarkan penjelasan tersebut, menulis pada dasarnya adalah suatu 1
2 kegiatan mengolah dan mempertimbangkan kaidah-kaidah kebahasaan serta bagaimana menyiasati tematik yang diungkapkan melalui bahasa tulis. Banyak topik yang bisa diungkapkan melalui tulisan. Begitupun banyak bentuk yang bisa dituangkan dalam tulisan. Artinya bentuk-bentuk tulisan seperti: cerpen, puisi, essai, opini, dan lain-lain dapat dipilih sebagai salah satu bentuk pengucapan. Dalam kehidupan modern ini, keterampilan menulis sangat dibutuhkan. Kiranya tidaklah terlalu berlebihan bila kita katakan bahwa keterampilan menulis merupakan suatu ciri dari orang yang terpelajar atau bangsa yang terpelajar. Morsey (1976 : 122) menjelaskan bahwa menulis dipergunakan oleh orang terpelajar untuk mencatat, meyakinkan, melaporkan/memberitahukan, dan mempengaruhi. Maksud serta tujuan seperti itu hanya dapat dicapai dengan baik oleh orang-orang yang dapat menyusun pikirannya dan mengutarakannya dengan jelas, kejelasan itu tergantung pada pikiran, organisasi, pemakaian kata-kata, dan struktur kalimat. Meskipun telah disadari bahwa keterampilan menulis mutlak diperlukan dalam kehidupan modern, namun pada kenyataannya, pengajaran menulis di sekolah-sekolah masih jauh dari harapan. Pelajaran membaca dan menulis yang dulu merupakan pelajaran dan latihan pokok kini kurang mendapatkan perhatian, baik dari para siswa maupun para guru. Pelajaran mengarang sebagai salah satu aspek dalam pengajaran
3 bahasa Indonesia kurang ditangani secara sungguh-sungguh. Akibatnya, kemampuan berbahasa Indonesia para siswa kurang memadai (Pelly, 2000 : 16). Rendahnya mutu kemampuan menulis siswa disebabkan oleh kenyataan bahwa pengajaran menulis atau mengarang masih dianaktirikan (Badudu, 1985 : 35). Kenyataan tersebut dipertegas pula oleh Taufik Ismail dalam berbagai forum, bahwa bangsa kita menderita sakit rabun membaca dan lumpuh menulis. Sindiran kritis tersebut tentunya dialamatkan pada kegagalan pembinaan bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Pengajaran bahasa dan sastra Indonesia yang selama ini dilaksanakan melalui sistem persekolahan belum mampu memenuhi harapan sebagian besar masyarakat. Dalam hubungannya dengan masalah tersebut, sejumlah hal yang sering kita identifikasi dalam pembelajaran menulis atau mengarang yaitu penyampaian materi teoritis yang diberikan secara berlebihan. Akibatnya, kemampuan berbahasa (menulis) siswa kurang produktif. Hal ini diperparah oleh adanya anggapan yang mengedepankan bahwa metode ceramah di depan kelas merupakan metode terbaik. Pembelajaran keterampilan menulis dewasa ini masih dilakukan secara tradisional dengan menekankan pada hasil tulisan siswa, bukan pada proses yang seharusnya dilakukan. Pendekatan tradisional dalam pembelajaran menulis hanya ditekankan pada hasil berupa tulisan yang telah jadi, tidak yang dikerjakan siswa ketika menulis. Para siswa langsung berpraktik menulis tanpa belajar bagaimana caranya menulis. Guru biasanya
4 menyediakan beberapa macam judul/topik karangan dan meminta siswa untuk memilih salah satunya. Para siswa kemudian diminta untuk secara langsung menulis. Setelah selesai, hasil kerja siswa dikumpulkan, dikoreksi, dan dinilai oleh guru. Kegiatan-kegiatan ini terus-menerus terjadi yang mengakibatkan para siswa merasa jenuh dan kurang menyenangi pembelajaran menulis. Mereka akhirnya berpendapat bahwa kegiatan pembelajaran menulis merupakan suatu beban yang memberatkan. Akhirnya keterampilan menulis para siswa sangat rendah. Pada hakikatnya tujuan pembelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah adalah untuk mengembangkan keterampilan berbahasa siswa, baik secara lisan maupun tertulis, serta menumbuhkan kemampuan apresiasi dan ekspresi sastra. Hal senada pun diungkapkan oleh Sayuti (2003 : 1) bahwa pengajaran bahasa Indonesia bertujuan untuk mengembangkan kemampuan menggunakan bahasa Indonesia dalam segala fungsi, yaitu sebagai sarana komunikasi, sarana berfikir/bernalar, sarana persatuan, dan sarana kebudayaan. Pelaksanaan pengajaran bahasa dan sastra Indonesia dinyatakan bermakna apabila tujuan tersebut tercapai, yakni berkembangnya keterampilan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis, serta tumbuhnya apresiasi dan ekspresi sastra dengan baik di kalangan siswa. Tentunya apa yang dijelaskan di atas mengenai tujuan pembelajaran sastra memiliki persamaan dengan apa yang dikatakan oleh
5 Rusyana (1992 : 2) bahwa tujuan pengajaran sastra di sekolah yaitu untuk memperoleh pengalaman apresiasi sastra dan pengalaman ekspresi sastra. Sehubungan dengan tujuan yang ingin dicapai, berikut kenyataan yang dihadapi pengajaran bahasa dan sastra Indonesia, orientasi metodelogis yang selama ini dipakai ternyata kurang bermakna, harus disesuaikan. Pendekatan pengajaran yang dipergunakan hendaknya pendekatan yang mampu menciptakan situasi yang berpotensi mengeliminasi kerisauan para siswa. Selain permasalahan kebiasaan menulis dan penerapan pendekatan yang kurang efektif, permasalahan yang perlu mendapat perhatian dalam pembelajaran sastra adalah mengenai penilaian kemampuan hasil belajar siswa. Selain penilaian kemampuan mengapresiasi, penilaian berekspresi sastra (menulis atau mengarang) harus mendapat perhatian. Penilaian hasil belajar mengajar bahasa dan sastra Indonesia di semua jenjang pendidikan, bentuk soal yang disodorkan hampir sebagian besar adalah tes objektif. Ini berarti penekanan hasil belajar mengajar lebih kepada aspek pengetahuan dibandingkan dengan aspek keterampilan (salah satu aspek keterampilan, yaitu kemampuan ekspresi sastra). Bentuk tes objektif tidak menyentuh aspek ekspresi sama sekali, sedangkan selain kemampuan apresiasi, kemampuan ekspresi sastra merupakan sasaran utama pengajaran sastra di sekolah.
6 Bertolak dari masalah kegiatan belajar mengajar bahasa dan sastra Indonesia, khususnya kemampuan ekspresi sastra (menulis cerpen), penulis akan meneliti sebuah pendekatan yang digunakan dalam pembelajaran menulis cerpen, dan menerapkannya ke dalam bentuk karya ilmiah (tesis) dengan judul Keefektifan Pendekatan Kontekstual dalam Pembelajaran Menulis Cerpen di SMU (Penelitan Eksperimen di Kelas III SMA Negeri 19 Bandung Tahun Ajaran 2005-2006). 1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, bahwa salah satu faktor ketidakberhasilan pengajaran sastra di sekolah adalah kurang bermaknanya pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran sastra, khususnya pembelajaran menulis cerpen. Penulis sebagai calon pengajar bahasa dan sastra Indonesia, berhasrat mencoba mengadakan penelitian dengan menerapkan pendekatan kontekstual dalam pembelajaran menulis cerpen. Sesuai dengan pembatasan masalah yang dikemukakan di atas, penulis merumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut. 1) Apakah pembelajaran menulis cerpen di SMA Negeri 19 Bandung dengan menggunakan pendekatan kontekstual cukup efektif?
7 2) Apakah pendekatan kontekstual yang diterapkan di SMA Negeri 19 Bandung dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam menulis cerpen? 1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian Tujuan akan menentukan langkah kegiatan yang harus ditempuh dalam suatu kegiatan. Untuk itulah segala kegiatan akan terarah jika terlebih dahulu ditentukan tujuannya. Bertitik tolak dari pernyataan di atas, penulis menetapkan tujuan yang hendak dicapai yaitu untuk mendeskripsikan; 1) keefektifan pendekatan kontekstual dalam meningkatkan kemampuan menulis cerpen siswa kelas III SMA Negeri 19 Bandung; 2) peningkatan kemampuan menulis cerpen siswa kelas III SMA Negeri 19 Bandung melalui pendekatan kontekstual. 1.3.2 Manfaat Penelitian Penelitian yang penulis lakukan diharapkan dapat memberikan manfaat bagi peneliti, pengajar, siswa, dan sekolah. Manfaat tersebut antara lain bagi: 1) Peneliti a. Beroleh pengetahuan dan penguasaan teori menulis, khususnya menulis cerpen.
8 b. Dapat mencobakan pendekatan kontekstual untuk meningkatkan kemampuan menulis cerpen. c. Beroleh pengalaman dan gambaran nyata berhasil atau tidak penerapan pendekatan tersebut. 2) Pengajar a. Mengenal pendekatan kontekstual lebih jauh, sehingga dapat diterapkan dalam pembelajaran di kelas sehari-hari. b. Dijadikan bahan referensi mengajar di kelas. 3) Siswa a. Beroleh pengalaman apresiasi, ekspresi, dan praktek menulis yang baik dalam menulis cerpen. b. Dapat dijadikan tolah ukur kemampuan mereka dalam menulis cerpen. c. Membantu siswa meningkatkan keterampilan menulis cerpen. d. Dapat belajar ke arah yang lebih kreatif dalam suasana yang kondusif. 4) Sekolah a. Hasil penelitian ini diharapkan memberi sumbangan yang bermanfaat khususnya bagi sekolah, terutama dalam rangka perbaikan pembelajaran dan meningkatkan mutu pendidikan.
9 1.4 Anggapan Dasar Dalam penelitian ini, anggapan dasar terbagi menjadi dua yaitu anggapan dasar mengenai cerpen dan anggapan dasar mengenai pendekatan kontekstual. Anggapan dasar tentang cerpen yang dijadikan titik tolak penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Cerpen adalah cerita atau narasi fiksi yang relatif pendek hanya mengandung satu peristiwa untuk satu aspek bagi pembacanya. 2. Cerpen ditulis dalam suasana yang intens yang menuntut pengungkapan jiwa dan kepekaan perasaan terhadap realitas sosial yang ada di masyarakat. 3. Dengan menggunakan bahasa sastra, cerpen dapat mengungkapkan realitas nyata dalam realitas fiksi yang tidak dapat diungkapkan dengan wujud tulisan jurnalisme atau pun tulisan non fiksi lainnya. 4. Kemampuan mengapresiasi dan berekspresi sastra merupakan sasaran utama pengajaran sastra di sekolah menengah. Sedangkan seperangkat anggapan dasar tentang pendekatan kontekstual adalah sebagai berikut: 1. Pendekatan pengajaran yang dipergunakan hendaknya pendekatan yang mampu menciptakan situasi yang berpotensi mengeliminasi kerisauan para siswa.
10 2. Anak belajar lebih baik melalui kegiatan mengalami sendiri dalam lingkungan yang alamiah. 3. Strategi belajar lebih diutamakan dalam pendekatan kontekstual. 4. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta atau konsep yang siap diterima, tetapi sesuatu yang harus dikonstruksi sendiri oleh siswa. 5. Tugas guru mengatur strategi belajar, membantu menghubungkan pengetahuan lama dan baru, dan memfasilitasi belajar. 1.5 Hipotesis Penelitian Berangkat dari rumusan masalah yang telah penulis rumuskan, maka hipotesis dari penelitian ini adalah: 1. Pendekatan kontekstual efektif dalam meningkatkan kemampuan menulis cerpen siswa kelas III IPA 3 di SMA Negeri 19 Bandung. 1.6 Definisi Opersional Penulis membuat atau merumuskan batasan kata-kata yang dianggap perlu dijabarkan, agar paparan penelitian yang penulis sajikan tidak terlalu banyak penafsiran. 1. Keefektifan yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu efektif dan efisiensinya suatu tindakan atau usaha sehingga memberikan pengaruh atau akibat dari tindakan atau usaha tersebut.
11 2. Pendektan kontekstual adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka seharihari, dengan melibatkan tujuh komponen pembelajaran efektif, yaitu: konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian sebenarnya. 3. Cerpen adalah cerita atau narasi fiksi yang relatif pendek hanya mengandung satu peristiwa untuk satu aspek bagi pembacanya.