PENANDAAN TERITORI DAN INVASINYA TERHADAP RUANG PUBLIK

dokumen-dokumen yang mirip
BAB V PENUTUP. maupun kewajiban mereka didalam Pasar Beringharjo. Sikap ini meliputi sikap

GENDER DALAM TERITORI

TERITORI RUANG PUBLIK PERKOTAAN STUDI KASUS KOTA SEMARANG, SURAKARTA DAN YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Ruang publik sebagai sarana umum menjadi kebutuhan yang cukup vital

RUANG : VOLUME DENGAN BATAS-BATAS TERTENTU KARAKTER RUANG TERBUKA TERTUTUP SEMI TERBUKA SEMI TERTUTUP

BAB III TINJAUAN KHUSUS

BAB 5 HASIL RANCANGAN

Ruang Personal Pemustaka di Ruang Baca Perpustakaan Umum Kota Malang

BAB VI HASIL PERANCANGAN. terdapat pada konsep perancangan Bab V yaitu, sesuai dengan tema Behaviour

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

Konsep Desain Partisi Dengan Sistem Modular Untuk Hunian Dengan Lahan Terbatas Di Surabaya

Fasilitas Komersial (Area Makan Lantai 1) (2)

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

DESAIN RUANG PERPUSTAKAAN Oleh : Wanda Listiani, S.Sos 1 dan Novalinda, ST 2

BAB I PENDAHULUAN. dimana arsitektur itu berada (Rapoport, 1969). Rapoport membagi arsitektur menjadi

BAB 5 KONSEP PERANCANGAN. adalah High-Tech Of Wood. Konsep High-Tech Of Wood ini memiliki pengertian

Teritori Ruang Dagang Bazar di Tangerang Selatan

BAB 5 KONSEP PERANCANGAN. merupakan salah satu pendekatan dalam perancangan arsitektur yang

Evaluasi Penataan Ruang Kawasan Pengrajin Keramik Berwawasan Lingkungan Perilaku di Kelurahan Dinoyo, Kota Malang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

Gambar 5. 1 Citra ruang 1 Gambar 5. 2 Citra ruang 2 2. Lounge Lounge merupakan salah satu area dimana pengunjung dapat bersantai dan bersosialisasi de

BAB V HASIL RANCANGAN

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN

GEDUNG PAMERAN SENI RUPA

Penerapan Konsep Defensible Space Pada Hunian Vertikal

BAB VI KESIMPULAN 6.1. Kesimpulan Karakteristik penghuni yang mempengaruhi penataan interior rumah susun

KONSEP RANCANGAN. Latar Belakang. Konteks. Tema Rancangan Surabaya Youth Center

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Setiap material bangunan mempunyai siklus hidup, dimulai dari

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Perancangan

BAGIAN 4 DISKRIPSI HASIL RANCANGAN

I. PENDAHULUAN. lalu lintas, dan lain sebagainya (Soekanto, 2007: 101). undang-undang yang berlaku secara sah, sedangkan pelaksananya adalah

Himpunan Peraturan Daerah Kabupaten Purbalingga Tahun

DESAIN INTERIOR I PERANCANGAN RUANG PENJUALAN D W I R E T N O S A., M. S N

STUDI SISTEM TERITORIAL DI PASAR BERINGHARJO. AlifaMiftyFala Drs. Ismael Setiawan, M.M

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN

SEKOLAH TINGGI SENI TEATER JAKARTA

Penjelasan Skema : Konsep Citra yang diangkat merupakan representasi dari filosofi kehidupan suku Asmat yang berpusat pada 3 hal yaitu : Asmat sebagai

BAB I PENDAHULUAN. sehingga permasalahan yang sering muncul dalam suatu perusahaan atau

- BAB III - TINJAUAN KHUSUS

Asrama Mahasiswa Institut Teknologi Indonesia

PENGARUH LINGKUNGAN BUATAN PADA PERILAKU MANUSIA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1 Universitas Indonesia Klaim terhadap ruang..., Maya Sita, FT UI, 2010

BAB I PENDAHULUAN. kompleks yang perlu mendapatkan perhatian semua orang. Salah satu masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Studio gambar adalah merupakan salah satu sarana ilmu pendidikan yang

BAB IV HASIL PENELITIAN

Pusat Penjualan Mobil Hybrid Toyota di Surabaya

BAB V KONSEP PERANCANGAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Pusat Perawatan Hewan Peliharaan

BAB I PENDAHULUAN. mempengaruhi bertambah banyaknya kebutuhan akan sarana dan prasarana

KOMPARASI SIGN SYSTEM OUTDOOR DAN INDOOR PADA KAWASAN INDONESIA CONVENTION EXHIBITON, BSD

manusia dengan sesamanya ataupun dengan lingkungan fisiknya. Di sisi lain,

BAB II TRUTHS. bukunya yang berjudul Experiencing Architecture, mengatakan bahwa arsitektur

BAB V KONSEP PERANCANGAN

Proses Terbentuknya Teritori PKL di Makassar

2. Bagaimana Kami Menggunakan Informasi Anda

KAJIAN AREA PARKIR SEPEDA MOTOR PLAZA SIMPANGLIMA SEMARANG DITINJUA DARI PERILAKU PENGUNJUNG

BAB V KONSEP PERANCANGAN

PAPER PSIKOLOGI DAN PERILAKU ARSITEKTUR

BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN

PERANCANGAN INTERIOR GEDUNG PASCASARJANA UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Di era globalisasi saat ini yang diiringi dengan pertumbuhan ekonomi, memaksa

Teritorialitas Masyarakat Perumahan Menengah ke Bawah

KAJIAN PERILAKU DAN TERITORI PADA SELASAR BIOSKOP EMPIRE XXI YOGYAKARTA

UTS SPA 5 RAGUAN

Di sisi lain ada pula café yang mengizinkan hewan peliharaan makan bersama pemiliknya namun pemilik hewan diminta untuk makan di luar area

BAB V KONSEP PERANCANGAN. Ponorogo adalah berupa kombinasi bentuk pada Tari Reyog dan karakter tokoh

Identifikasi Ragam Aktivitas Outdoor : Karakteristik Pedestrian Mall di Jalan Dalem Kaum, Bandung

BAB III TINJAUAN KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dengan satu hal. Maka dari itu pada perancangan ini menerapkan konsep pelangi

BAB V KONSEP DASAR. Konsep dasar yang digunakan dalam perancangan Kepanjen Educaion. Prinsip-prinsip tema Arsitektur Perilaku

JURNAL SAINS DAN SENI ITS Vol. 5, No.2, (2016) ( X Print) F-133

ELEMEN ESTETIS. Topeng Cepot pada Dinding. Ukiran pada partisi

BAB V SIMPULAN DAN SARAN

KARAKTERISTIK TERITORIALITAS RUANG PADA PERMUKIMAN PADAT DI PERKOTAAN

ASPEK-ASPEK ARSITEKTUR BENTUK DAN RUANG.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. 5.1.Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui

BAB V KAJIAN TEORI. Pengembangan Batik adalah arsitektur neo vernakular. Ide dalam. penggunaan tema arsitektur neo vernakular diawali dari adanya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BENGKAYANG NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN PASAR DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BENGKAYANG,

Terdapat 3 (tiga) metode dalam memarkir kendaraan, diantaranya adalah:

BAB V. Konsep Perancangan

Jenis Etalase Toko Menurut Sistem Penataan

BAB I PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TULUNGAGUNG NOMOR TAHUN 2012 TENTANG

Desain Interior Little Bee Baby Spa di Surabaya dengan TEMA Lebah

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA FAKULTAS PSIKOLOGI BANDUNG. Kata Pengantar

BAB I PENDAHULUAN. makhluk sosial. Sebagai makhluk individu ia memiliki sifat dan ciri-ciri yang

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG


BAB III TINJAUAN WISATAWAN ELITE

I. PENDAHULUAN. menghantarkan siswa atau peserta didik agar mampu menghadapi perubahan

BAB III TINJAUAN KHUSUS PEMBANGUNAN INTERIOR MALL DAN HOTEL THE EDGE BANDUNG CIMAHI BANDUNG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. heran karena seirama dengan kemajuan dalam berbagai kehidupan, pertambahan

BAB V KONSEP PERANCANGAN

K U E S I O N E R PENGARUH MOTIVASI DAN DISIPLIN KERJA TERHADAP KINERJA GURU SMU SINT LOUIS SEMARANG

Transkripsi:

KARYA TULIS ILMIAH PENANDAAN TERITORI DAN INVASINYA TERHADAP RUANG PUBLIK (Study Kasus Mall Pasar Baru dan Istana Plaza Bandung) TODDY HENDRAWAN YUPARDHI S.Sn, M.Ds DOSEN TETAP PROGRAM STUDI DESAIN INTERIOR FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT SENI INDONESIA DENPASAR 2015 1

A. Pendahuluan Manusia dalam melakukan berbagai kegiatan dan interaksinya memerlukan ruang secara fisik. Berbagai bentuk interaksi yang terjadi diwadahi pada ruang fisik yang masing-masing memiliki status kepemilikan yang bervariasi. Kepemilikan akan ruang tersebut dikenal dengan istilah teritori. Teritori sendiri menurut Halim secara definitif adalah ruang yang dikuasai atau dikendalikan oleh individu atau kelompok dalam memuaskan motif atau kebutuhan dan ditandai dengan konkrit atau simbolik serta dipertahankan (Halim, 2005:254). Ketika sebuah ruang telah dimiliki dan diatur oleh sekelompok individu, pada saat itu pula sebuah teritori telah terbentuk. Dan sebagai mana hak atas suatu kepemilikan, teritori biasanya akan dipertahankan dari berbagai bentuk invasi dari luar. Konsep teritorialitas sendiri sebenarnya dimiliki oleh manusia dan binatang. Namun pada pelaksanaannya ada beberapa perbedaan mendasar yang membedakan teritorial menurut manusia dan hewan. Pernyataan Laurens yang menyebutkan bahwa tingkah laku teritorialitas manusia lebih berintikan masalah privasi, fungsi sosial dan komunikasi sedangkan fungsi teritorialitas pada binatang adalah untuk mempertahankan diri, dorongan untuk mempertahankan hidup dan mempertahankan jenis (Laurens, 2004:125). Jadi bagi manusia, teritorialitas yang mereka miliki lebih kepada kebutuhan akan kenyamanan privasi. Teritorialitas sendiri adalah bagaimana perilaku dan pemikiran yang ditampilkan individu atau kelompok berdasarkan atas kepemilikan ruang (Halim, 2005: 256), yang bisa berupa penandaan non verbal atau simbolisme, ataupun kehadiran langsung secara fisik pada wilayah teritori yang dimiliki. Teritori tidak selalu dapat dipahami dengan baik oleh setiap orang. Banyak hal yang berkaitan dengan invasi terhadap sebuah teritori yang terjadi dikarenakan ketidakpahaman individu akan bentuk sebuah teritorialitas yang digunakan oleh pihak pemilik sebuah teritori. Hal tersebut jelas memberikan suatu ketidaknyamanan bagi pemilik teritori dimana privasi yang ingin dibangun menjadi terganggu karena adanya invasi dari luar. Dan ada kalanya sebuah teritorial dipertahankan dengan kontak fisik. Namun hal ini seharusnya tidak perlu terjadi apabila adanya batasan tentang teritori yang jelas, dipahami bersama dan stabil dimana batasan teritori yang jelas mampu menciptakan stabilitas dan mengurangi perseteruan kelompok. Tulisan ini sendiri akan lebih menyoroti perbandingan antara bagaimana sebuah teritori yang secara ketat ditaati sehingga menimbulkan kenyamanan dan bagaimana sebuah 2

teritori yang berusaha untuk meng-invasi teritori lain (dalam hal ini teritori ruang publik) sehingga menimbulkan ketidaknyamanan. Objek yang diangkat dalam hal ini adalah teritorial pada kios-kios di Mall Pasar Baru Bandung, dan dibandingkan dengan outletotlet di Mall Istana Plaza Bandung. Dari tulisan berdasarkan pengamatan ini, diharapkan untuk dapat dipahami bagaimana teritorialitas dalam aplikasinya menyimpan berbagai kemungkinan dalam wujud aplikasi dan juga bagaimana kenyamanan dan kestabilan terbentuk ketika teritori saling dihormati dan dijaga dengan baik. B. Pembahasan Menurut Altman (dalam Hidjaz, 2011: 85), ada tiga teritori yang digunakan manusia berdasarkan pada derajat privasi, afiliasi, dan kemungkinan pencapaiannya yaitu: 1. Teritori primer: tempat-tempat yang sangat pribadi dan hanya bisa dimasuki oleh orang-orang yang sudah sangat akrab atau yang telah mendapat izin khusus 2. Teritori sekunder: tempat-tempat yang dimiiliki bersama oleh sejumlah orang yang sudah cukup saling mengenal, dengan kendali yang tidak sepenting teritori primer, dan kadang berganti pemakai, atau berbagi penggunaan dengan orang asing. 3. Teritori Publik: tempat-tempat terbuka yang memang diperuntukkan bagi umum, dimana setiap orang diperkenankan untuk masuk dan berada di tempat tersebut. Masing-masing teritori memiliki tatanan khusus yang memang menunjukkan bagaimana individu seharusnya memahami kondisi dan kepemilikan yang berlaku pada ruang tersebut. Berbagai bentuk penandaan teritori digunakan untuk menghindari ambiguitas status dalam sebuah ruang. Kehadiran fisik merupakan hal yang paling kuat untuk menandakan suatu wilayah adalah teritorinya. Penandaan lain berupa bahasa nonverbal atau simbolisme menjadi yang paling sering digunakan untuk menyikapi mobilitas manusia yang tidak selalu berada di wilayah teritorinya. Objek pengamatan tulisan ini adalah teritori kios-kios yang ada pada Mall Pasar Baru Bandung Jl. Otista, dan Mall Istana Plaza yang terletak di jl. H.O.S. Cokroaminoto Bandung. Pada objek yang di amati, teritori kios-kios yang ada di Mall Pasar Baru 3

maupun Istana Plaza masing-masing memiliki tanda batas teritori yang jelas dengan teritori ruang publik yaitu selasar. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat di gambar 1 dan 2. Gambar 1. Penanda teritori Pasar Baru Gambar 2. Penanda teritori Istana Plaza Jika melihat gambar di atas, pada gambar 1 terlihat bahwa ada garis hitam (pada tanda panah merah) di lantai yang menjadi penanda batas antara teritori kios dengan teritori publik yaitu selasar di Mall Pasar Baru. Sedangkan pada gambar 2 juga terdapat garis hitam pada lantai dan pilar hitam yang menjadi pembatas teritori outlet dengan selasar pada Mall Istana Plaza. Jadi sebenarnya kedua mall ini memiliki aturan penandaan teritori yang jelas dimana tanda pada lantai dan kolom dinding menjadi bahasa non-verbal yang menunjukkan batas sebuah teritori dengan ruang publik. Laurens dalam bukunya menyebutkan bahwa kecenderungan agresivitas teritorialitas pada manusia lebih besar dari binatang. Kecenderungan ini menjadi semakin besar apabila tidak terdapat batas-batas teritori yang jelas. Sebaliknya apabila batas teritori itu jelas dan ada kesepakatan bersama maka kemungkinan konflik itu kecil (Laurens, 2004: 134). Melihat pernyataan di atas, dengan adanya penandaan yang jelas, seharusnya setiap individu mampu memahami batas kepemilikan teritori masing-masing dan menghormati teritori yang lain dan termasuk teritori publik. Namun berdasarkan pengamatan yang terjadi di lapangan, ada beberapa penyimpangan terhadap batas teritori yang didorong oleh kepentingan pribadi pemilik kios dengan memperluas batas teritorinya dan menggunakan teritori pihak lain (dalam hal ini teritori publik). 4

Namun kembali Laurens menyatakan bahwa apabila seseorang atau sekelompok orang mendapat peluang untuk memakai sebagian area publik untuk kepentingannya dan hanya secara tidak langsung, akan terbentuk semacam kesepakatan umum bahwa penggunaan itu dibenarkan secara temporer ataupun permanen (Laurens, 2004: 140). Hal ini terlihat jelas pada beberapa bagian Mall Pasar Baru Bandung dimana terjadi perluasan teritori oleh pemilik kios yang menggunakan ruang publik (selasar) untuk menempatkan barang dagangan mereka. Gambar 3. Perluasan teritori oleh pemilik kios Pada gambar 3 nampak bahwa garis penanda pada lantai sudah bukan menjadi patokan utama bagi wilayah teritori pemilik kios. Kepentingan ekonomis lebih menjadi pertimbangan utama sehingga perluasan teritori ke arah ruang publik menjadi perlu. Gambar 4. Invasi terhadap teritori publik 5

Dari gambar 4 nampak jelas bahwa perluasan teritori tersebut menjadikan space selasar menjadi berkurang dan kenyamanan pejalan kaki menjadi terganggu. Dan perluasan tersebut tidak hanya terjadi pada bagian lantai selasar, namun juga beberapa kios mulai menempatkan barang dagangannya hingga di plafond depan kios. Secara disadari maupun tidak, ini menandakan memang sudah terjadi invasi ruang publik dengan klaim teritori dari pihak pemilik kios berupa penempatan tanda berupa barang dagangan di ruang yang semestinya bukan lagi menjadi teritorinya. Gambar 5. Penanda teritori di plafond Jika melihat beberapa gambar di atas, dapat dilihat bagaimana sebuah tanda yang sudah jelas digunakan sebagai batas teritori dengan ruang publik dengan mudah dilanggar untuk sebuah kepentingan personal. Namun tidak ada reaksi berlebih dari publik untuk mempertahankan ruang publik mereka dimana tampaknya sudah terjadi kesepakatan pembenaran akan tindakan tersebut. Halim pun menyatakan bahwa 6

seringkali karena orang yang memiliki hak yang minimal atas teritori publik, respon mereka terhadap invasi biasanya langsung saja mundur atau tidak berbuat apa-apa (Halim, 2005: 277). Berbeda halnya jika dibandingkan dengan apa yang terjadi di Mall Istana Plaza, dimana aturan mengenai teritori sangat ketat untuk dilaksanakan. Terlihat dari bagaimana suatu tanda pembatas dengan sangat tertib dipatuhi sehingga jelas nampak bagian teritori outlet dan bagian ruang selasar publik. Gambar 6. Ketaatan pada tanda teritori Dari gambar 6, dapat dilihat bahwa terjadi kepatuhan yang tinggi terhadap tanda di lantai yang merupakan pola pembatas teritori bagi pemilik outlet. Tidak nampak adanya usaha untuk mendobrak batas teritori yang telah ditentukan. Bahkan penggunaan bahan kaca sebagai dinding depan ruangan outlet lebih mempertegas batas teritori, walaupun tidak bersifat menutup pandangan (view blocking). Kesan rapi, eksklusif dan lega menjadi lebih terasa dan tingkat kenyamanan pun menjadi lebih tinggi. Sesama pemilik outlet pun sama-sama menyadari pentingnya batas teritorialitas dimana dengan adanya batas yang jelas, pengunjung menjadi tahu tujuan mereka dengan benar. Teritorialitas dari pemilik outlet pun menjadi beragam dan memberi petunjuk termudah akan wilayah teritori mereka. Yang paling jelas memang dengan memasang papan nama, namun ada juga dengan cara membedakan warna furniture, membedakan pola lantai dan sebagainya. 7

Gambar 7. Pengaplikasian teritorialitas di Mall Istana Plaza Gambar-gambar di atas menunjukkan bagaimana sebuah teritorialitas dibangun dengan jelas untuk menunjukan pentingnya sebuah pengakuan akan teritori. Upaya pembedaan warna furniture kafe A dan kafe B menunjukkan sejauh mana kepemilikan wilayah yang berlaku bagi masing-masing kafe. Pembatasan yang jelas juga terlihat dari bagaimana sebuah pola lantai diciptakan berbeda satu dengan lainnya untuk memberi tanda awal maupun akhir dari sebuah ruang teritori. Kepatuhan akan batas dan penanda teritori memberikan pemahaman bahwa dalam kondisi ini tidak akan ada suatu tindakan invasi dari satu pihak terhadap pihak lain yang berpeluang membuat kenyamanan berkurang. Permasalahan teritorial memang sebuah permasalahan yang sangat penting terkait dengan bagaimana seorang arsitek maupun perancang interior merancang sebuah 8

bangunan atau ruang. Sesuai dengan apa yang dinyatakan Halim bahwa para arsitek dan perancang teritorial harus memperhatikan kejelasan status teritori yang dihasilkan olehnya. Jangan sampai ada teritori bermakna ganda dalam desain yang diciptakannya karena akan menimbulkan permasalahan yang cukup pelik pada akhirnya (Halim, 2005: 287). C. Kesimpulan 1. Teritori yang komunikatif adalah teritori yang memiliki batas yang jelas dimana batas tersebut dapat dipahami oleh semua pihak sehingga tidak terjadi invasi terhadap teritori pihak lain. 2. Invasi terhadap sebuah teritori dapat dikarenakan ambiguitas dari status teritori tersebut ataupun adanya ketidaksamaan pemahaman antara satu teritori dengan teritori yang lain. 3. Teritori publik memang menjadi teritori yang paling rentan untuk mendapat invasi dikarenakan sifat kepemilikannya yang plural, memperbolehkan siapapun untuk berada disana. 4. Keteraturan dan kenyamanan akan lebih bisa dirasakan apabila manusia mendapatkan privasi yang tinggi dari teritori yang dibangunnya, pemilihan tanda non-verbal yang kuat sebagai penanda teritori akan memudahkan manusia dalam menunjukkan kepemilikannya pada sebuah ruang. Daftar Pustaka Halim, Dedy. (2005). Psikologi Arsitektur, Pengantar Kajian Lintas Disiplin. Jakarta: Gramedia Hidjaz, Taufan. (2011). Interaksi Psiko-sosial di Ruang Interior. Bandung: Itenas Laurens, J Marcella. (2004). Arsitektur dan Perilaku Manusia. Jakarta: PT Grasindo 9

ABSTRAK Kepemilikan akan ruang tersebut dikenal dengan istilah teritori. Ketika sebuah ruang telah dimiliki dan diatur oleh sekelompok individu, pada saat itu pula sebuah teritori telah terbentuk. Dan sebagai mana hak atas suatu kepemilikan, teritori biasanya akan dipertahankan dari berbagai bentuk invasi dari luar. Hal ini menarik untuk dibahas tentang bagaimana upaya penandaan teritori dilakukan di tempat publik. Objek yang diangkat dalam hal ini adalah teritorial pada kios-kios di Mall Pasar Baru Bandung, dan dibandingkan dengan outlet-otlet di Mall Istana Plaza Bandung. Pembahasan dengan metode kualitatif dan pemaparan secara deskriptif. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pelanggaran teritori banyak terjadi karena kurang komunikatifnya penandaan teritori, ambiguitas status teritori, kepemilikan plural serta pemilihan tanda non-verbal yang tidak kuat Key words: Teritori, invasi, penandaan, ruang 10