BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi menurut Chaplin dalam suatu Kamus Psikologi. organisme mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tita Andriani, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak

BAB I PENDAHULUAN. lingkungan luar. Perubahan-perubahan tersebut menjadi tantangan besar bagi

BAB I PENDAHULUAN. minat, sikap, perilaku, maupun dalam hal emosi. Tingkat perubahan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan fase yang disebut Hall sebagai fase storm and stress

BAB I PENDAHULUAN. pengalaman remaja dalam berhubungan dengan orang lain. Dasar dari konsep diri

BAB I PENDAHULUAN. Masa anak-anak identik dengan penerimaan berbagai pengetahuan dari

Definisi keluarga broken home menurut Gerungan (2009:199) adalah:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Riesa Rismawati Siddik, 2014 Kontribusi pola asuh orangtua terhadap pembentukan konsep diri remaja

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbicara tentang siswa sangat menarik karena siswa berada dalam kategori

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa yang banyak menarik perhatian karena sifatsifat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Masa remaja merupakan masa yang penuh konflik, karena masa ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Manusia sepanjang rentang kehidupannya memiliki tahap-tahap

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terutama karena berada dibawah tekanan sosial dan menghadapi kondisi baru.

BAB I PENDAHULUAN. mengalami perkembangan baik fisik dan psikis dari waktu ke waktu, sebab

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Diah Rosmayanti, 2014

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan maka

`BAB I PENDAHULUAN. mengalami kebingungan atau kekacauan (confusion). Suasana kebingunan ini

BAB I PENDAHULUAN. hendaknya memiliki kemampuan untuk memberi kesan yang baik tentang

BAB I PENDAHULUAN. Salah satunya adalah krisis multidimensi yang diderita oleh siswa sebagai sumber

BAB I PENDAHULUAN. Manusia senantiasa membutuhkan kehadiran orang lain untuk berinteraksi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. teratur, dan berencana yang berfungsi untuk mengubah atau mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN. Sepanjang masa hidupnya, manusia mengalami perkembangan dari sikap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menyenangkan dan muncul dalam bermacam-macam bentuk dan tingkat kesulitan,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. perilaku yang diinginkan. Pendidikan mempunyai peranan yang sangat penting

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesuksesan yang dicapai seseorang tidak hanya berdasarkan kecerdasan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Siswa SMA pada umumnya berusia 16 sampai 19 tahun dan merupakan

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Siti Syabibah Nurul Amalina, 2013

BAB I PENDAHULUAN. sengaja, teratur dan berencana dengan maksud mengubah atau. perubahan-perubahan dalam diri seseorang. Untuk mengetahui sampai

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. remaja (Hurlock, 2003). Di dalam masa remaja juga terdapat tahapan perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. Kesuksesan adalah kata yang senantiasa diinginkan oleh semua orang.

BAB I PENDAHULUAN. pertengahan tahun (Monks, dkk., dalam Desmita, 2008 : 190) kerap

BAB I PENDAHULUAN. dalam Friz Oktaliza, 2015). Menurut WHO (World Health Organization), remaja adalah penduduk dalam rentang usia tahun, menurut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. prestasi belajarnya. Namun dalam upaya meraih prestasi belajar yang. memuaskan dibutuhkan suatu proses dalam belajar.

PENGARUH BIMBINGAN KELOMPOK DENGAN TEKNIK MODELING UNTUK MENGURANGI PERILAKU AGRESIF PADA SISWA KELAS VIII SMP NEGERI 3 WERU TAHUN PELAJARAN 2017/2018

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian Langgeng Wening Puji, 2016

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan hubungan yang harmonis dengan orang-orang yang ada disekitarnya.

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan kunci keberhasilan dan kesuksesan seseorang

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan sendirinya. Mereka membutuhkan orang tua dan lingkungan yang kondusif

DAFTAR ISI. KATA PENGANTAR... ii. DAFTAR DIAGRAM... ix. DAFTAR LAMPIRAN... x BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah...

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan sengaja, teratur dan berencana

BAB I PENDAHULUAN. individu untuk menuju kedewasaan atau kematangan adalah masa remaja

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian No.Daftar : 056/S/PPB/2012 Desi nur hidayati,2013

BAB I PENDAHULUAN. kemampuan untuk mengerti dan mengendalikan emosi (Susilo, 2008). rasional berfungsi utama pada jenis Homo sapiens, makhluk mamalia

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sintia Dewi,2013

BAB I PENDAHULUAN. tersebut terbentang dari masa bayi, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga masa

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan emosi manusia terjadi semenjak manusia itu berada. dalam kandungan hingga akhir masa hidupnya. Hal ini sejalan dengan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Vivit Puspita Dewi, 2014

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan suatu periode yang disebut sebagai masa strum and drang,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

EMOSI NEGATIF SISWA KELAS XI SMAN 1 SUNGAI LIMAU

BAB I PENDAHULUAN. cenderung bereaksi dan bertindak dibawah reaksi yang berbeda-beda, dan tindakantindakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Permasalahan. latin adolensence, diungkapkan oleh Santrock (2003) bahwa adolansence

BAB I PENDAHULUAN. dapat meraih hasil belajar yang relatif tinggi (Goleman, 2006).

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Lina Nurlaelasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN. resiko (secara psikologis), over energy dan sebagainya. Hal tersebut dapat dilihat

PERKEMBANGAN KOGNITIF (INTELEKTUAL) (PIAGET) Tahap operasional formal (operasi = kegiatan- kegiatan mental tentang berbagai gagasan) Dapat berpikir lo

HUBUNGAN ANTARA PARTISIPASI KEIKUTSERTAAN DALAM EKSTRAKURIKULER BOLA BASKET DENGAN TINGKAT KECERDASAN EMOSIONAL

BAB I PENDAHULUAN. Di era yang semakin modern seperti ini di dunia pendidikan setiap

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. berbagai macam hal yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Dalam proses belajar

BAB I PENDAHULUAN. manusia yang mandiri. Begitu pentingnya pendidikan bagi diri sendiri, dan teknologi agar bangsa semakin maju dan berkembang.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Devi Eryanti, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Pengasuhan anak, dilakukan orang tua dengan menggunakan pola asuh

BAB II LANDASAN TEORITIK

BAB 1 PENDAHULUAN. karena remaja tidak terlepas dari sorotan masyarakat baik dari sikap, tingkah laku, pergaulan

BAB I PENDAHULUAN. Deasy Yunika Khairun, Layanan Bimbingan Karir dalam Peningkatan Kematangan Eksplorasi Karir Siswa

BAB I PENDAHULUAN. awal yaitu berkisar antara tahun. Santrock (2005) (dalam

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ratih Pertiwi, 2013

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. bagi remaja itu sendiri maupun bagi orang-orang yang berada di sekitarnya.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Di era sekarang perceraian seolah-olah menjadi. langsung oleh Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah

BAB I PENDAHULUAN. Proses belajar merupakan hal yang sangat penting dalam perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan adalah suatu usaha atau kegiatan yang dijalankan dengan

PROFIL KECERDASAN EMOSIONAL PESERTA DIDIK DI SMAN 3 PARIAMAN

HUBUNGAN ANTARA KEMAMPUAN PENGELOLAAN EMOSI DENGAN PERILAKU AGRESIF SISWA KELAS X UPTD SMAN 1 MOJO KEDIRI TAHUN PELAJARAN 2014/2015

2016 IMPLEMENTASI NILAI-NILAI KEDISIPLINAN SISWA DALAM MEMATUHI NORMA TATA TERTIB SEKOLAH

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. mencapai kedewasaan sesuai dengan norma-norma yang ada dalam

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan salah satu aspek yang penting bagi kehidupan

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN. UMY berdasarkan nilai kecerdasan emosional Nilai Kecerdasan Emosional

BAB I PENDAHULUAN. Sistem Pendidikan Nasional melalui Undang-undang Republik Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kecemasan dapat dialami oleh para siswa, terutama jika dalam

BAB I PENDAHULUAN. Masa sekarang masyarakat dihadapkan pada masalah-masalah kehidupan

PENDAHULUAN. dengan apa yang ia alami dan diterima pada masa kanak-kanak, juga. perkembangan yang berkesinambungan, memungkinkan individu

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Giska Nabila Archita,2013

BAB I PENDAHULUAN. Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas

HUBUNGAN ANTARA SELF-EFFICACY DENGAN PENYESUAIAN DIRI PADA SISWA AKSELERASI. Widanti Mahendrani 1) 2)

BAB 1 PENDAHULUAN. terjadi perbaikan perilaku emosional. Kematangan emosi merupakan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada dasarnya dalam rentang kehidupannya setiap individu akan melalui tahapan perkembangan mulai dari masa bayi, masa kanak-kanak, masa anak, masa remaja, dan masa tua. Masing-masing tahapan perkembangan memiliki ciri atau karakteristik tersendiri. Salah satu tahapan yang akan dijalani individu yaitu masa remaja. Pada masa remaja, individu sering mengalami permasalahan karena masa remaja adalah masa peralihan yang ditempuh seseorang dari masa kanak-kanak menuju masa dewasa. Kebingungan yang dialami remaja sebagai akibat dari masa peralihan dapat menimbulkan perilaku negatif seperti perilaku seperti sikap pesimis, rasa cemas yang berlebihan, dan penilaian negatif terhadap diri sendiri dan orang lain. Berbagai perilaku negatif tersebut dapat berdampak kurang baik bagi perkembangan diri individu tersebut dan juga dalam interaksi atau berhubungan dengan orang lain. Perilaku-perilaku negatif remaja yang terjadi sering kali disebabkan karena emosi remaja yang sedang memuncak. Masa remaja merupakan masa yang penuh perubahan, tidak hanya menyangkut aspek fisik melainkan juga aspek psikososial dan juga emosi. Remaja akan mengalami kegoncangan emosi yang kuat disebabkan oleh tekanan dan ketegangan dalam mencapai kematangannya. Syamsu Yusuf (2009: 13) yang mengungkapkan: masa remaja merupakan puncak emosionalitas. Pada usia remaja awal, perkembangan emosinya menunjukan sifat yang sensitif dan reaktif (kritis) yang sangat kuat terhadap berbagai peristiwa atau situasi sosial; emosinya sering bersifat negatif dan temperamental (mudah tersinggung/marah, atau mudah sedih/murung). Dengan kecerdasan emosional, seseorang dapat menempatkan emosinya pada porsi yang tepat, memilah kepuasan dan mengatur suasana hati sehingga dapat memahami perasannya dan dapat membina hubungan baik dengan orang 1

2 lain. Salovey dan Mayer (Goleman 2005: 513) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan sendiri dan orang lain serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Goleman (1999: 332) menyatakan orang tua yang cenderung lebih efektif dalam mengembangkan kecerdasan emosional anak yaitu orang tua yang memberikan kehangatan kepada anak, menjalin komunikasi yang baik dengan anak, menyempatkan waktu yang cukup banyak untuk bersama anak setiap hari, dan tidak memutuskan komunikasi dengan anak. Kecerdasan emosional berkembang melalui interaksi individu dengan lingkungannya. Simmons & Simmons (Susilawati, 2008: 25-36) menyatakan ada beberapa hal yang mempengaruhi berkembangnya kecerdasan emosional, salah satunya adalah faktor nurture, yang diperoleh dari lingkungan terutama orang tua. Hasil penelitian Puspita (2011: 150) menunjukkan pola asuh memiliki hubungan yang signifikan dengan kecerdasan emosional pada siswa kelas XII SMA PGII 1 Bandung. Penelitian menghasilkan korelasi atau hubungan antara persepsi remaja tentang pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional memiliki hubungan antara kedua variabel berada pada kategori rendah. Koefisien korelasi dari hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan yang positif antara pola asuh orang tua dengan kecerdasan emosional. Hasil penelitian menunjukkan semakin remaja mempersepsi pola asuh yang diterapkan orang tua otoriter maka semakin tinggi pula kecerdasan emosional remaja. Salah satu aspek penting dalam hubungan orang tua dan anak adalah gaya pengasuhan yang diterapkan oleh orang tua (Desmita, 2006: 144). Oleh karenanya, selama masa prasekolah hubungan anak dengan orang tua atau pengasuhnya merupakan dasar bagi perkembangan emosional dan sosial anak. Kalimat di atas menunjukan peran orang tua merupakan dasar yang paling pokok dalam perkembangan kecerdasan emosional anak. Keluarga merupakan sumber pendidikan yang pertama dan utama bagi anak, karena segala pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia pertamatama diperoleh dari orang tua dan anggota keluarga sendiri. Goleman (2000: 268)

3 mengemukakan keluarga merupakan sekolah pertama kita untuk mempelajari emosi. Keluarga merupakan lingkungan primer bagi anak dan menjadi tempat hubungan antar manusia yang paling awal dan paling intensif. Anak akan mengenal norma-norma dan nilai-nilai dalam keluarga sebelum mengenal lingkungan lain yang lebih luas. Goleman (1999: 332) mengatakan: ketika keluarga mendapat tekanan ekonomi, yang menyebabkan kedua orang tua harus menjalani jam-jam kerja yang panjang, meninggalkan anak di rumah dengan mainan atau di asuh oleh televisi, ketika lebih banyak bayi ditinggalkan di tempat penitipan anak yang sangat buruk pengelolaannya, akan sama saja dengan menyia-nyiakan anak. Tekanan atau permasalahan yang dialami keluarga menyebabkan kurangnya komunikasi antara orang tua dengan anak. Dengan tidak adanya komunikasi antara orang tua dengan anak dikhawatirkan anak kurang dapat mengembangkan idenya, bersikap murung, dan tidak dapat mengendalikan emosinya. Keluarga yang tidak lagi berfungsi dengan baik untuk meletakkan landasan yang kuat bagi kehidupan menimbulkan kurangnya kemampuan dalam kecerdasan emosional anak. Dengan demikian, sangat penting bagi orang tua melakukan pencegahan dan perbaikan yang terarah dengan baik agar dapat menjaga anak untuk tetap berada pada jalur yang baik. Pentingnya kecerdasan emosional dalam membantu kesuksesan kehidupan yang akan datang dan juga untuk membantu mengurangi kenakalan remaja adalah dengan meningkatkan kecerdasan emosional remaja, sebagaimana yang diungkapkan Stein & Book (Susilawati, 2008: 23) bahwa untuk mencegah munculnya perilaku buruk pada remaja bisa dengan meningkatkan kecerdasan emosional remaja tersebut. Keberhasilan proses penyesuaian individu dalam interaksi di masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor, salah satunya adalah keterampilan pengelolaaan emosinya. Keterampilan hidup termasuk keterampilan pengelolaan emosi, dapat ditingkatkan di sepanjang rentang kehidupan individu (Rahayu, 2009: 1). Proses pembelajaran keterampilan-keterampilan hidup dapat dilakukan di lingkungan manapun, salah satunya di lingkungan sekolah. Ketidakmampuan siswa dalam

4 mengelola emosi dapat dilihat dari berbagai fenomena yang terjadi di kalangan siswa. Beberapa contohnya yaitu terjadinya tawuran antara siswa SMA 6 dengan siswa SMA 70 Bulungan, Jakarta Selatan pada tanggal 24 September 2012 yang diawali dengan serangan yang dilakukan oleh beberapa orang siswa SMA 70 (Tempo.com, 25 September 2012). Selain itu juga adanya tawuran pelajar antara siswa SMA Yayasan Karya 66 dengan siswa SMK Kartika Zeni, Jakarta selatan yang menewaskan seorang siswa SMA Yayasan Karya 66 (Kompas.com, 26 September 2012). Hasil penelitian Ratnaningrum (2010: 72) menggambarkan tingkat kecerdasan emosional 200 siswa kelas XI SMA Pasundan 1 Bandung tahun ajaran 2008/2009 bahwa 53 siswa (26.5 %) berada pada kategori rendah, 95 siswa (47.5 %) berada pada kategori sedang, dan 52 siswa (26 %) berada pada kategori tinggi. Hasil penelitian Rochmawati (2010: 64) menggambarkan tingkat kecerdasan emosional 127 siswa kelas XI SMA Negeri 15 Bandung tahun ajaran 2009/2010 bahwa sebanyak 6.21 % sangat belum mampu, 14.85 % belum mampu, 23.91 % kurang mampu, 37.98 % mampu, dan 17.05 % sangat mampu. Hasil penelitian menunjukkan masih ada siswa yang belum optimal dalam setiap aspek dan indikator kecerdasan emosional. Oleh karena itu, diharapkan adanya suatu layanan bimbingan dan konseling yang dapat menjadi salah satu intervensi yang cocok dalam meningkatkan kecerdasan emosional siswa. Selain itu, berdasarkan hasil wawancara terhadap guru bimbingan dan konseling SMAN 14 Bandung, ada salah seorang siswa yang menendang mobil temannya hingga mobil temannya sedikit rusak. Siswa merasa cemburu dan menendang mobil temannya karena telah mengajak pacarnya untuk jalan-jalan dengannya. Akhirnya siswa tersebut kesal dan tidak dapat mengendalikan emosinya hingga langsung menendang mobil temannya. Dari kejadian yang terjadi pada siswa, dapat dikatakan di usianya yang penuh dengan badai dan topan, remaja melakukan kenakalan-kenakalan yang bisa merugikan dirinya dan orang lain. Pertengkaran atau konflik antarsiswa tidak dapat dibiarkan begitu saja tanpa adanya pengarahan atau bimbingan bagi siswa yang sedang dalam masa remaja.

5 Fakta-fakta tersebut memperlihatkan kecerdasan intelektual bukan satusatunya hal yang menentukan keberhasilan seseorang dalam berinteraksi dan membina hubungan dengan orang lain. Sebagaimana yang diungkapkan Goleman (2000: 44) bahwa IQ menyumbang kira-kira 20 persen bagi faktor-faktor yang menentukan sukses dalam hidup, maka 80 persennya diisi oleh kekuatan-kekuatan lain. Salah satu kekuatan-kekuatan lain itu merupakan kecerdasan emosional. Beranjak dari pentingnya pencapaian kecerdasan emosional remaja seperti yang telah dikemukakan di atas, sudah seharusnya dilakukan tindakan baik berupa preventif maupun kuratif untuk menindaklanjutinya. Jika tidak ada upaya untuk meningkatkan kecerdasan emosional siswa, dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi perkembangan siswa. Dasar penyelenggaraan bimbingan dan konseling di sekolah adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebut konseli, agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial dan moral-spiritual) (Depdiknas, 2008: 192). Berdasarkan 11 kompetensi kemandirian peserta didik Dirjen Dikti Kementerian Pendidikan Nasional (Depdiknas, 2008: 254), dijelaskan bahwa peserta didik perlu memiliki kemampuan dalam hal mempelajari cara-cara menghindari konflik dengan orang lain, bersikap toleran terhadap ragam ekspresi perasaan sendiri dan orang lain, dan mengekspresikan perasaan dalam cara-cara yang bebas, terbuka dan tidak menimbulkan konflik. Berdasarkan apa yang telah dikemukakan sebelumnya, pola asuh orang tua memiliki pengaruh terhadap perkembangan kecerdasan emosional anak. Oleh karenanya peneliti tertarik untuk mengambil topik penelitian Profil Kecerdasan Emosional Siswa Berdasarkan Pola Asuh Orang Tua. Gambaran mengenai kecerdasan emosional siswa berdasarkan pola asuh orang tua dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam menentukan arah layanan bimbingan dan konseling di sekolah.

6 B. Identifikasi dan Perumusan Masalah Kecerdasan emosional merupakan kemampuan yang saling melengkapi dengan kecerdasan akademik (academic intelligence), yaitu kemampuan kognitif murni individu. Namun demikian kecerdasan emosional tidak kalah penting dari kecerdasan akademik dalam menentukan kesuksesan bagi kehidupan individu. Goleman (2005: 512) menyatakan banyak orang yang cerdas, dalam arti terpelajar, tetapi tidak mempunyai kecerdasan emosi, ternyata bekerja menjadi bawahan orang ber-iq lebih rendah tetapi lebih unggul dalam keterampilan kecerdasan emosi. Rendahnya kecerdasan emosional siswa dapat memicu pertengkaran siswa dengan temannya. Ketidakmampuan siswa dalam mengelola emosinya menyebabkan siswa tidak mampu membina hubungan baik dengan teman dan orang lain. Nurnaningsih (2011: 2) mengungkapkan: di sekolah yaitu banyak siswa yang tidak dapat mengontrol emosinya atau bersikap agresif, seperti kasar terhadap orang lain, sering bertengkar atau memiliki konflik dengan teman, bergaul dengan anak-anak bermasalah, membandel di rumah dan di sekolah, sering mengolok-olok dan bertemperamen tinggi. Anak mendapat perlakuan dari orang tua ketika berada di lingkungan keluarga. Perlakuan orang tua di rumah merupakan manifestasi dari bagaimana pola asuh yang diterapkan orang tua kepada anak-anaknya di lingkungan rumah. Salah satu dimensi kecerdasan emosional yaitu kemampuan membina hubungan dengan baik. Siswa yang memiliki kecerdasan emosional akan lebih mampu dalam membina hubungan baik dengan orang lain, khusunya dengan teman di kelasnya. Dengan demikian, agar siswa dapat membina hubungan baik dengan orang lain, siswa perlu memiliki kecerdasan emosinal dalam dirinya. Akan tetapi, yang terjadi dalam kehidupan remaja banyak yang tidak sesuai dengan harapan. Dalam mencapai kecerdasan emosional, remaja sering kali mengalami hambatanhambatan yang disebabkan oleh dirinya sendiri maupun lingkungannya. Oleh karena itu, perlakuan orang tua yang ditujukan kepada anak merupakan hal yang penting dalam mempengaruhi perkembangan kecerdasan emosional siswa.

7 Pertanyaan umum sebagai arahan perumusan masalah dalam penelitian yaitu: bagaimanakah gambaran umum kecerdasan emosional siswa kelas XI SMAN 14 Bandung Tahun Ajaran 2012/2013 berdasarkan pola asuh orang tua? Dari pertanyaan umum, diturunkan menjadi empat pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Seperti apa gambaran umum kecerdasan emosional yang dimiliki oleh siswa kelas XI SMA Negeri 14 Bandung Tahun Ajaran 2012/2013? 2. Seperti apa gambaran umum pola asuh orang tua siswa kelas XI SMA Negeri 14 Bandung Tahun Ajaran 2012/2013? 3. Seperti apa gambaran umum kecerdasan emosional siswa kelas XI SMA Negeri 14 Bandung Tahun Ajaran 2012/2013 berdasarkan pola asuh orang tua? 4. Adakah perbedaan antara kecerdasan emosional siswa kelas XI SMA Negeri 14 Bandung Tahun Ajaran 2012/2013 yang memiliki pola asuh orang tua authoritative, authoritarian, permissive indulgent, dan permissive indifferent? 5. Bagaimana implikasi bimbingan dan konseling terhadap perbedaan kecerdasan emosional siswa berdasarkan pola asuh orang tuanya? C. Tujuan Penelitian Secara umum tujuan penelitian adalah memperoleh gambaran umum kecerdasan emosional siswa berdasarkan pola asuh orang tuanya. Secara khusus tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh data empiris tentang: 1. Gambaran umum kecerdasan emosional yang dimiliki oleh siswa kelas XI SMA Negeri 14 Bandung Tahun Ajaran 2012/2013. 2. Gambaran umum pola asuh orang tua siswa kelas XI SMA Negeri 14 Bandung Tahun Ajaran 2012/2013. 3. Gambaran umum kecerdasan emosional siswa kelas XI SMA Negeri 14 Bandung Tahun Ajaran 2012/2013 berdasarkan pola asuh orang tua.

8 4. Perbedaan antara kecerdasan emosional siswa kelas XI SMA Negeri 14 Bandung Tahun Ajaran 2012/2013 yang memiliki pola asuh orang tua authoritative, authoritarian, permissive indulgent, dan permissive indifferent. 5. Implikasi bimbingan dan konseling terhadap perbedaan kecerdasan emosional siswa berdasarkan pola asuh orang tuanya. D. Metode Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kuantitatif yaitu pendekatan yang menggunakan analisis statistik atau angka-angka untuk mengetahui tingkat kecerdasan emosional siswa kelas XI SMA Negeri 14 Bandung Tahun Ajaran 2012/2013. Metode penelitian adalah metode deskriptif yang ditujukan untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang suatu permasalahan yang sedang terjadi dengan cara mengolah, menganalisis, menafsirkan dan menyimpukan data hasil penelitian yaitu data kecerdasan emosional siswa dan pola asuh orang tua. Penelitian ini bertujuan untuk menggambarkan kecerdasan emosional siswa kelas XI SMA Negeri 14 Bandung Tahun Ajaran 2012/2013 berdasarkan pola asuh orang tua. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan instrumen berupa angket yang mengungkap kecerdasan emosional siswa dan pola asuh orang tua. E. Manfaat Penelitian 1. Secara teoretis Penelitian profil kecerdasan emosional berasarkan pola asuh orang tua dapat memperkaya hasil penelitian yang telah ada. 2. Secara Praktis Dengan adanya penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat kepada berbagai pihak, diantaranya: a. Bagi Guru Bimbingan dan Konseling, memberikan informasi bagi guru BK mengenai gambaran kecerdasan emosional siswa berdasarkan pola asuh orang tua sehingga dapat dijadikan pedoman sebagai bahan

9 pertimbangan dalam memberikan layanan bimbingan dan konseling pada siswa, khususnya dalam meningkatkan kecerdasan emosional siswa. b. Bagi peneliti selanjutnya, penelitian profil kecerdasan emosional siswa berdasarkan pola asuh orang tua dapat memberikan gambaran mengenai rangkaian penelitian yang dilakukan dan berguna untuk membuat layanan selanjutnya yang dapat diuji coba. Penelitian juga berguna untuk menjadi referensi bagi penelitian selanjutnya yang ingin melakukan penelitian sekaitan dengan kecerdasan emosional siswa dan pola asuh orang tua. F. Struktur Organisasi Skripsi Bab I berisikan Pendahuluan yang terdiri atas: latar belakang penelitian, identifikasi dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian, manfaat penelitian, dan struktur organisasi skripsi. Bab II merupakan Kajian Pustaka. Kajian pustaka mencakup konsep dasar kecerdasan emosional dan pola asuh orang tua. Bab III merupakan Metode Penelitian. Bab III ini berisi penjabaran yang rinci mengenai metode penelitian termasuk komponen berikut: lokasi dan populasi/sampel penelitian, desain penelitian, definisi operasional yang dirumuskan untuk setiap variabelnya, instrumen penelitian, proses pengembangan instrumen, teknik pengumpulan data serta analisis data. Bab IV adalah Hasil Penelitian dan Pembahasan. Bab hasil penelitian dan pembahasan terdiri dari dua hal utama, yakni: (a) pengolahan atau analisis data untuk menghasilkan temuan berkaitan dengan penelitian; (b) pembahasan dan analisis hasil temuan. Bab V meliputi Kesimpulan dan Saran. Bab kesimpulan dan saran menyajikan penafsiran dan pemaknaan terhadap hasil analisis temuan penelitian.