BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini dunia pertambangan di Indonesia mengalami

dokumen-dokumen yang mirip
BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Pelaksanaan perlindungan kawasan hutan melalui pengawasan alat

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA Nomor : P. 53/Menhut-II/2009 TENTANG PEMASUKAN DAN PENGGUNAAN ALAT UNTUK KEGIATAN IZIN USAHA

RUANG LINGKUP PERLINDUNGAN HUTAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Hutan dan Penguasaan Hasil Hutan. olehberbagai jenis tumbuh-tumbuhan, di antaranya tumbuhan yanh lebat dan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 5 TAHUN 2008 TENTANG

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 26 TAHUN 2005 TENTANG PEDOMAN PEMANFAATAN HUTAN HAK MENTERI KEHUTANAN,

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.26/Menhut-II/2005

- 3 - MEMUTUSKAN: : KEPUTUSAN MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL TENTANG PENETAPAN WILAYAH PERTAMBANGAN PULAU JAWA DAN BALI.

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. sekarang tanpa harus merugikan generasi yang akan datang. longsor dan banjir. Namun kekurangan air juga dapat menimbulkan masalah

ATTN: PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 19 TAHUN 2003 TENTANG USAHA PERTAMBANGAN BAHAN TAMBANG GALIAN GOLONGAN C DI KABUPATEN MURUNG RAYA

BAB I PENDAHULUAN. hewan tumbuan dan organisme lain namun juga mencangkup komponen abiotik

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. bergerak di bidang industri pertambangan batubara dan mineral, dengan

Pertambangan adalah salah satu jenis kegiatan yang melakukan ekstraksi mineral dan bahan tambang lainnya dari dalam bumi.

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6886/Kpts-II/2002 TENTANG

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : 6886/Kpts-II/2002 TENTANG

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR : 19 TAHUN 2006 TENTANG : PENGELOLAAN PASIR BESI GUBERNUR JAWA BARAT

BUPATI KAUR PROVINSI BENGKULU PERATURAN DAERAH KABUPATEN KAUR NOMOR 02 TAHUN 2014 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN RAKYAT

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia dianugerahi oleh Tuhan Yang Maha Esa kekayaan sumber daya

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

UNDANG-UNDANG NOMOR 41 TAHUN 1999 TENTANG KEHUTANAN [LN 1999/167, TLN 3888]

PERATURAN DAERAH KOTA BIMA NOMOR 7 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BIMA,

PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1999 TENTANG PENGUSAHAAN HUTAN DAN PEMUNGUTAN HASIL HUTAN PADA HUTAN PRODUKSI

PERATURAN BUPATI TANAH LAUT NOMOR 33 TAHUN 2013 TENTANG RENCANA PENJUALAN DAN/ATAU RENCANA PENGIRIMAN HASIL TAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat melimpah. Salah satu kekayaan alam yang dimiliki Indonesia

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. bumi, air, dan kekayaan yang terkandung di dalamnya di kuasai oleh negara

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Negara Indonesia merupakan salah satu negara di dunia yang

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BURU NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

2 Ruang Wilayah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota menetapkan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota yang menjadi pedoman dalam pemanfaa

2017, No Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara (Lembaran Negara Repub

BAB I PENDAHULUAN. Menurut Undang-undang No.41 Tahun 1999 hutan memiliki fungsi

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR SK.159/MENHUT-II/2004 TAHUN 2004 TENTANG RESTORASI EKOSISTEM DI KAWASAN HUTAN PRODUKSI

PERATURAN GUBERNUR JAWA BARAT NOMOR 31 TAHUN 2011 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL LOGAM BESI GUBERNUR JAWA BARAT

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 68 TAHUN 1998 TENTANG KAWASAN SUAKA ALAM DAN KAWASAN PELESTARIAN ALAM PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI SAMBAS PERATURAN DAERAH KABUPATEN SAMBAS NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN RAKYAT DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

B. BIDANG PEMANFAATAN

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 108 TAHUN 2015 TENTANG

Hariadi Kartodihardjo (Sumber: UU 23/2014) Adapun urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Daerah Provinsi adalah:

I. PENDAHULUAN. terkandung dalam Pasal 33 ayat (3) Undang -Undang Dasar 1945 yang

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN Nomor : P.64/Menhut-II/2006 TENTANG

Pengertian. Istilah bahasa inggris ; Mining law.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang mempunyai potensi pertambangan

PEMERINTAH KABUPATEN MURUNG RAYA

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber daya

BUPATI KULON PROGO PERATURAN BUPATI KULON PROGO NOMOR : 4 TAHUN 2006 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH BUPATI KULON PROGO,

BERITA NEGARA. KEMENTERIAN ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL. Izin Khusus. Pertambangan. Mineral Batu Bara. Tata Cara.

KEPUTUSAN BERSAMA MENTERI PERTAMBANGAN DAN ENERGI DAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR 1101 K/702/M.PE/1991 DAN 436/KPTS-II/1991 TENTANG

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 4 TAHUN 2010 TENTANG

BUPATI PASER PROVINSI KALIMANTAN TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. konservasi, lindung dan produksi. 2

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P. 14/Menhut-II/2013 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN MURUNG RAYA NOMOR 13 TAHUN 2004 TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang diamandemen ke-4, Bab

LEMBARAN DAERAH KOTA JAMBI

REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN KEHUTANAN

PERATURAN MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR : P.47/MENHUT-II/2013

BAB I PENDAHULUAN BAB I PENDAHULUAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 7 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN AIR TANAH

TAMBANG DI KAWASAN HUTAN LINDUNG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

FAKULTAS HUKUM, UNIVERSITAS SRIWIJAYA

BAB I PENDAHULUAN. pertambangan antara lain, Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang

SALINAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA IZIN PEMANFAATAN HASIL HUTAN PADA TANAH MILIK DAN KEBUN RAKYAT

KEPUTUSAN GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR NOMOR: 09 TAHUN 2002 T E N T A N G IZIN KHUSUS PENEBANGAN JENIS KAYU ULIN GUBERNUR KALIMANTAN TIMUR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU TIMUR NOMOR 32 TAHUN 2007 TENTANG

BUPATI JOMBANG PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN JOMBANG NOMOR 9 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PELESTARIAN TUMBUHAN DAN SATWA

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK.229/VI-BPHA/2006

2015, No Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 112, Tambahan Lemba

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN BUPATI PENAJAM PASER UTARA NOMOR 33 TAHUN 2014 TENTANG

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KATINGAN NOMOR : 19 TAHUN 2007 TENTANG RETRIBUSI IZIN PERTAMBANGAN BAHAN GALIAN GOLONGAN C

MENTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL REPUBLIK INDONESIA KEPUTUSAN MEMTERI ENERGI DAN SUMBER DAYA MINERAL NOMOR : 1451 K/10/MEM/2000 TENTANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI LAHAN PASCA TAMBANG BATUBARA DI KALIMANTAN SELATAN

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANJAR NOMOR 9 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

MENTERI KEHUTANAN REPUBLIK INDONESIA. PERATURAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : P.12/Menhut-II/2004 TENTANG

KEPUTUSAN DIREKTUR JENDERAL BINA PRODUKSI KEHUTANAN Nomor : SK.275/VI-BPHA/2007 TENTANG

PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN IV

~ 1 ~ BUPATI KAYONG UTARA PERATURAN BUPATI KAYONG UTARA NOMOR 12 TAHUN 2013 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KEPUTUSAN MENTERI KEHUTANAN NOMOR : 82/KPTS-II/2001 TENTANG

PP 62/1998, PENYERAHAN SEBAGIAN URUSAN PEMERINTAHAN DI BIDANG KEHUTANAN KEPADA DAERAH *35837 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA (PP)

GUBERNUR PROVINSI PAPUA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 22 TAHUN 2010 TENTANG WILAYAH PERTAMBANGAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 62 TAHUN 2010 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2009 TENTANG PERTAMBANGAN MINERAL DAN BATUBARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2010 TENTANG REKLAMASI DAN PASCATAMBANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

TENTANG HUTAN DESA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI KEHUTANAN,

PERATURAN DAERAH KOTA TARAKAN NOMOR 12 TAHUN 2004 TENTANG PERLINDUNGAN HUTAN DAN HASIL HUTAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA TARAKAN,

- 3 - BAB I KETENTUAN UMUM

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA NOMOR 2 TAHUN 2009 TENTANG

Transkripsi:

14 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dewasa ini dunia pertambangan di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup krusial, khususnya dalam kaitannya dengan peraturan perundang undangan yang berlaku. Pemerintah Indonesia pada awal tahun 2009 akhirnya mengesahkan Undang Undang Pertambangan baru yang dikenal sebagai Undang Undang RI Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara yang kemudian dikenal dengan sebutan UU MINERBA untuk menggantikan Undang Undang RI Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pertambangan. Namun peraturan pelaksana dari Undang - Undang Nomor 11 Tahun 1967 tetap dinyatakan berlaku selama tidak bertentangan dengan Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang baru tersebut. Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara adalah : kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta paska tambang.

15 Di Indonesia, wilayah pertambangan menurut UU No.4 Tahun 2009 adalah wilayah yang memiliki potensi mineral dan/atau batubara dan tidak terikat dengan batasan administrasi pemerintahan yang merupakan bagian dari tata ruang nasional. Dalam UU No.11 Tahun 1967 lebih memberikan kejelasan wilayah pertambangan, yaitu dapat dilakukan di seluruh kepulauan Indonesia, tanah di bawah perairan Indonesia dan paparan benua (continental shelf) kepulauan Indonesia, maka salah satu yang termasuk dalam wilayah tersebut adalah di dalam kawasan hutan. Hal ini dipertegas dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.43/ Menhut-II/ 2008 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan yang menyebutkan penggunaan kawasan hutan sebagai daerah untuk kepentingan pembangunan di luar kepentingan kehutanan dimana salah satunya adalah usaha pertambangan. Dasar hukum kegiatan usaha pertambangan yang berada dalam kawasan Pinjam Pakai Kawasan Hutan telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), yang kemudian diperjelas dalam Pasal 17 PerMenhut ini, yaitu : (1) Kawasan hutan yang dapat diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan yaitu hanya kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung. (2) Pada kawasan hutan lindung dilarang melakukan penambangan dengan pola pertambangan terbuka. (3) Penambangan terbuka di hutan lindung hanya berlaku bagi 13 (tiga belas) izin sebagaimana ditetapkan dalam Keputusan Presiden Nomor 41 Tahun 2004 sesuai dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2004. (4) Ketentuan dan tata cara pinjam pakai kawasan hutan untuk penambangan terbuka di hutan lindung sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berlaku sebagaimana di atur dalam Peraturan ini.

16 Sedangkan untuk permohonan Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk pertambangan diatur dalam Pasal 9 ayat (4) huruf h yang menyatakan bahwa : Untuk kegiatan pertambangan yang diterbitkan oleh Gubernur atau Bupati sesuai kewenangannya, diperlukan pertimbangan dari Direktur Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi, Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral. Pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang berada dalam kawasan Pinjam Pakai Kawasan Hutan ini, juga mengacu pada Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan jo Undang Undang Nomor 19 Tahun 2004, sebagai Undang Undang yang mengatur tentang kawasan hutan dan juga yang merupakan Undang Undang induk dari Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.43/ Menhut-II/ 2008 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan Kegiatan usaha tambang ini ditujukan untuk memperoleh hasil tambang yang bernilai, baik secara ekonomi tinggi untuk diperjualbelikan atau efisien sebagai bahan bakar. Dalam UU No.4 Tahun 2009, tidak disebutkan jenis hasil tambang secara detail. UU ini hanya menjelaskan tentang mineral dan batu bara saja. Sedangkan UU No.11 tahun 1967 menyebutkan bahan galian digolongkan dalam 3 jenis, yaitu golongan bahan galian strategis ( golongan A ), bahan galian golongan vital ( golongan B ), dan bahan galian golongan yang tidak termasuk A dan B ( golongan C ).

17 Hasil tambang dalam kegiatan usaha pertambangan di Kawasan Pinjam Pakai Kawasan Hutan, diatur dalam UU Kehutanan yaitu dalam penjelasan Pasal 4 ayat (1): Yang dimaksud dengan "kekayaan alam yang terkandung di dalamnya" adalah semua benda hasil hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13. Hasil hutan tersebut dapat berupa: a. hasil nabati beserta turunannya seperti kayu, bambu, rotan, rumput-rumputan, jamur-jamur, tanaman obat, getah-getahan, dan lain-lain, serta bagian dari tumbuh-tumbuhan atau yang dihasilkan oleh tumbuhtumbuhan di dalam hutan; b. hasil hewani beserta turunannya seperti satwa liar dan hasil penangkarannya, satwa buru, satwa elok, dan lain-lain hewan, serta bagian-bagiannya atau yang dihasilkannya; c. benda-benda nonhayati yang secara ekologis merupakan satu kesatuan ekosistem dengan benda-benda hayati penyusun hutan, antara lain berupa sumber air, udara bersih, dan lain-lain yang tidak termasuk benda-benda tambang; d. jasa yang diperoleh dari hutan antara lain berupa jasa wisata, jasa keindahan dan keunikan, jasa perburuan, dan lain-lain; e. hasil produksi yang langsung diperoleh dari hasil pengolahan bahan-bahan mentah yang berasal dari hutan, yang merupakan produksi primer antara lain berupa kayu bulat, kayu gergajian, kayu lapis, dan pulp. Benda-benda tambang yang berada di hutan juga dikuasai oleh negara, tetapi tidak diatur dalam undang-undang ini, namun pemanfaatannya mengikuti peraturan yang berlaku dengan tetap memperhatikan undang-undang ini. Menurut penjelasan Pasal 4 ayat (1) ini, maka pemanfaatan benda benda tambang dalam kegiatan usaha pertambangan juga mengacu pada UU Kehutanan ini.

18 Dalam pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan, untuk memperoleh hasil tambang yang optimal diperlukan penggunaan alat berat. Penggunaan alat berat ini difungsikan untuk menggali hasil tambang yang berada di dalam tanah. Dalam UU No.4 Tahun 2009 maupun UU No.11 tahun 1967 tidak diatur tentang alat berat yang akan dipergunakan dalam kegiatan usaha pertambangan tersebut. Namun penggunaan alat berat dalam dunia kehutanan diatur dalam Pasal 50 ayat (3) huruf j UU Kehutanan yang menjelaskan bahwa : Setiap orang dilarang membawa alat-alat berat dan atau alat-alat lainnya yang lazim atau patut diduga akan digunakan untuk mengangkut hasil hutan di dalam kawasan hutan, tanpa izin pejabat yang berwenang. Alat berat yang umum digunakan dalam kegiatan kehutanan antara lain 1 : 1. Traktor berfungsi sebagai alat penggerak (prime mover) bagi alat berat, misalnya untuk menarik, mendorong, serta sebagai tempat dudukan alat lainnya. 2. Bulldozer adalah traktor dengan dozer attachment, yang berfungsi untuk menggusur material. 3. Scraper berfungsi untuk menggali dan mengangkut material. 4. Grader berfungsi untuk keperluan perataan permukaan, dalam rangka membentuk permukaan secara mekanis. 5. Compactor berfungsi untuk memampatkan permukaan tanah. 1 Haryanto Yoso Wigroho dan Hendra Suryadharma, 1993, Alat Alat Berat, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta.

19 6. Truk berfungsi khusus sebagai alat angkut karena kemampuannya, misalnya dapat bergerak cepat, kapasitas, dan biaya operasinya relative murah. Sedangkan alat berat yang umum digunakan dalam kegiatan pertambangan serupa dengan alat berat yang umum digunakan dalam kegiatan kehutanan, namun masih ditambah dengan alat gali antara lain 2 : 1. Excavator berfungsi sebagai prime mover dari alat gali yang memiliki bagian atas yang dapat berputar, bagian bawah untuk berpindah tempat, dan bagian tambahan (attachment). 2. Power shovel berfungsi untuk menggali tanah tanpa bantuan alat berat lain dan sekaligus memuatkan ke dalam truk atau alat angkut lainnya. 3. Dragline berfungsi untuk menggali tanah dan sekaligus memuatkan ke dalam truk atau alat angkut lainnya. Dragline biasa digunakan di daerah yang basah dan berlumpur. 4. Clamshell berfungsi seperti dragline, namun digunakan terutama untuk mengerjakan bahan bahan lepas, seperti pasir, kerikil, dan lainnya. 5. Backhoe berfungsi untuk menggali material yang berada dibawah permukaan, khususnya yang berada di bawah tempat kedudukan alatnya. 6. Loader berfungsi memuat material hasil galian ke alat angkut. 2 Haryanto Yoso Wigroho dan Hendra Suryadharma, 1993, Pemindahan Tanah Mekanis, Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta

20 Perbedaan penggunaan alat berat dalam dunia pertambangan dan dunia kehutanan ini seharusnya menjadi pertimbangan dalam pemberian izin pertambangan di kawasan hutan. Dalam kenyataannya pengurusan perizinan alat berat pertambangan yang akan digunakan dalam pertambangan di dalam kawasan pinjam pakai kawasan hutan diberlakukan pengurusan perizinan alat berat pertambangan seperti layaknya pertambangan di kawasan non hutan, dimana pihak yang berwenang adalah Departemen Pertambangan dan Energi. Padahal penggunaan alat berat pertambangan memiliki dampak yang berbeda dibandingkan penggunaan alat berat untuk kegiatan kehutanan terhadap perubahan lingkungan sekitar, dalam hal ini dampak yang diakibatkan bagi lingkungan hutan jika dilakukan penambangan di kawasan hutan. Jika penggunaan alat berat untuk kegiatan kehutanan penggunaannya terbatas di permukaan tanah, maka alat berat untuk kegiatan pertambangan penggunaannya sampai pada kedalaman tanah. Hal ini menyebabkan dampak yang ditimbulkan dari alat berat pertambanganpun jauh lebih besar dibandingkan dengan alat berat kehutanan. Pihak yang berwenang dalam pemberian izin alat berat pertambangan adalah Departemen Pertambangan dan Energi, sedangkan pihak yang berwenang memberikan izin alat berat dalam kegiatan kehutanan adalah Departemen Kehutanan. Pemisahan ini didasari pada wilayah kerja dari kewenangan tiap departemen. Namun jika hendak dilakukan penambangan di kawasan hutan, maka hanya mengurus pengajuan izin pinjam pakai kawasan hutan untuk penambangan kepada Departemen Kehutanan tanpa harus

21 mengurus izin alat berat penambangan yang akan dipakai. Hal ini menimbulkan pertanyaan kaitannya dengan perlindungan kawasan hutan, dimana pengertian dari Perlindungan hutan adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya -daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut diatas, terdapat adanya rumusan masalah yaitu : Bagaimana perlindungan kawasan hutan melalui pengawasan alat berat pertambangan yang berada dalam kawasan Pinjam Pakai Kawasan Hutan di Kabupaten Murung Raya Propinsi Kalimantan Tengah? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan penelitian Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui bagaimana perlindungan kawasan hutan melalui pengawasan alat berat pertambangan yang berada dalam kawasan Pinjam Pakai Kawasan Hutan di Kabupaten Murung Raya Propinsi Kalimantan Tengah 2. Manfaat penelitian

22 a. diharapkan dapat memberikan sumbangsih terhadap perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum khususnya hukum pertambangan dan Kehutanan. b. diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan bagi masyarakat mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan berkaitan dengan pelaksanaan pertambangan dengan alat - alat berat dalam kawasan pinjam pakai kawasan hutan. c. bagi pemerintah dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi pemerintah daerah khususnya Kantor Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Murung Raya tentang pengawasan alat berat pertambangan yang melalui kawasan pinjam pakai kawasan hutan. D. Keaslian Penelitian Dengan ini penulis menyatakan bahwa sejauh pengamatan penulis terhadap literature yang ada dan telah dibaca, penulis belum pernah menemukan literature dengan judul dan permasalahan yang sama seperti yang ditulis oleh penulis. E. Batasan Konsep 1. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan, pengertian Perlindungan hutan menurut Pasal 1 angka 1 adalah usaha untuk mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan, yang disebabkan oleh

23 perbuatan manusia, ternak, kebakaran, daya -daya alam, hama dan penyakit, serta mempertahankan dan menjaga hak-hak negara, masyarakat dan perorangan atas hutan, kawasan hutan, hasil hutan, investasi serta perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. 2. Usaha Pertambangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 6 Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara adalah kegiatan dalam rangka pengusahaan mineral atau batubara yang meliputi tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta paska tambang. 3. Pengertian kawasan hutan menurut Pasal 1 angka 3 UU Kehutanan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. 4. Pengertian Pinjam Pakai Kawasan Hutan telah diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), kemudian dalam Pasal 17 ayat (1) PerMenhut No.P.43/ Menhut-II/ 2008, yaitu kawasan hutan yang dapat diberikan izin pinjam pakai kawasan hutan yaitu hanya kawasan hutan produksi dan kawasan hutan lindung.

24 5. Penggunaan alat berat pertambangan dalam kawasan pinjam pakai kawasan hutan diterapkan sistem perizinan layaknya pertambangan di kawasan non hutan, dimana pihak yang berwenang memberikan izin alat berat bagi kegiatan pertambangan adalah Departemen Pertambangan dan Energi. Dampak dari penggunaan alat berat pertambangan tersebut di kawasan hutan menimbulkan perubahan kondisi hutan yang signifikan dibandingkan penggunaan alat berat kehutanan, dimana izin alat berat kehutanan dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan berdasarkan Pasal 50 ayat (3) huruf j UU Kehutanan. 6. Pengertian pengawasan adalah suatu bentuk kegiatan yang bertujuan untuk mencegah sedini mungkin terjadinya penyimpangan, penyelewengan, hambatan, kesalahan, dan kegagalan dalam pencapaian tujuan dan pelaksanaan organisasi 3 F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris, yaitu jenis penelitian hukum yang berfokus pada perilaku masyarakat hukum, dan penelitian ini memerlukan data primer sebagai data utama di samping data sekunder. 3 Soejamto,Ir., Beberapa Pengertian Pengawasan, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1986

25 2. Sumber Data a. Primer Yaitu data yang diperoleh secara langsung dari nara sumber tentang objek yang diteliti mengenai pengawasan alat alat berat pertambangan yang berada dalam kawasan pinjam pakai kawasan hutan. b. Sekunder 1) Bahan hukum primer yang meliputi peraturan perundang-undangan. Adapun peraturan-peraturan yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu : a) Undang-Undang Dasar 1945 b) Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara c) Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pertambangan d) Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun

26 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) e) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan f) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.43/ Menhut-II/ 2008 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan 2) Bahan hukum sekunder yang meliputi pendapat hukum, buku, hasil penelitian, majalah, surat kabar, dan data yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti. G. Metode Pengumpulan Data 1. Wawancara yaitu kegiatan tanya jawab secara langsung dengan nara sumber untuk memperoleh data yang diperlukan untuk menjawab permasalahan dalam penulisan permasalahan hukum ini. 2. Studi Pustaka Yaitu mempelajari literature, peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu : a) Undang-Undang Dasar 1945 b) Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu bara

27 c) Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2001 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 Tentang Pelaksanaan Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 Tentang Ketentuan Ketentuan Pokok Pertambangan d) Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 19 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3888) e) Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2004 Tentang Perlindungan Hutan f) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.43/ Menhut-II/ 2008 Tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. H. Lokasi Penelitian Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi penelitian di Kabupaten Murung Raya Propinsi Kalimantan Tengah. I. Nara Sumber Nara sumber dalam penelitian ini adalah : 1. Kepala Kantor Dinas Pertambangan dan Energi Puruk Cahu 2. Kepala Kantor Dinas Kehutanan Puruk Cahu

28 J. Metode Analisis Data Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode analisis kualitatif, yaitu suatu analisis yang dilakukan dengan memahami atau merangkai data yang telah dikumpulkan secara sistematis sehingga diperoleh gambaran mengenai objek atau masalah yang telah diteliti. Metode berpikir yang digunakan adalah cara berpikir deduktif yaitu suatu cara berpikir dari pertanyaan-pertanyaan yang umum selanjutnya disimpulkan ke hal yang khusus dengan menggunakan metode rasio dan penalaran 4 4 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Pres, Jakarta, 1990, hlm. 250