BAB II TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 2.1 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) merupakan salah satu instrumen kebijakan yang dipakai sebagai alat untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. seluruh pengeluaran daerah itu. Pendapatan daerah itu bisa berupa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Otonomi daerah merupakan peluang dan sekaligus juga sebagai tantangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Pertumbuhan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pengertian Kemandirian Keuangan Daerah. Sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 32 tahun

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA. kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi. mendasari otonomi daerah adalah sebagai berikut:

Hubungan Keuangan antara Pemerintah Daerah-Pusat. Marlan Hutahaean

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan perundangundangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Mamesah dalam Halim (2007), keuangan daerah daoat diartikan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. melancarkan jalannya roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah

AKUNTANSI INVESTASI STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN BERBASIS AKRUAL PERNYATAAN NO. 06 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN PERNYATAAN NO. 06 AKUNTANSI INVESTASI

Daerah (PAD), khususnya penerimaan pajak-pajak daerah (Saragih,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN PERNYATAAN NO.

GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH BAB - III Kinerja Keuangan Masa Lalu

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

LANDASAN TEORI Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 21 tahun 2011 tentang

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut M. Suparmoko (2001: 18) otonomi daerah adalah kewenangan daerah

AKUNTANSI INVESTASI I. PENDAHULUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pengertian Pendapatan Asli Daerah berdasarkan Undang-undang Nomor

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS Sumber Penerimaan Daerah dalam Pelaksanaan Desentralisasi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia dibagi atas daerah-daerah Provinsi dan daerah-daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. "dengan pemerintahan sendiri" sedangkan "daerah" adalah suatu "wilayah"

LAMPIRAN X PERATURAN BUPATI POLEWALI MANDAR NOMOR : 29 TAHUN 2014 TANGGAL : 27 OKTOBER 2014 KEBIJAKAN AKUNTANSI NOMOR 09 AKUNTANSI INVESTASI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah (PAD) dibandingkan dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimensi dasar yaitu umur panjang dan sehat, pengetahuan, dan kehidupan yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP), pengertian belanja modal

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN, DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. dikelola dengan baik dan benar untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI BULUKUMBA PROVINSI SULAWESI SELATAN

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan

Analisis Kemampuan Keuangan Daerah Kabupaten Aceh Timur

CAPAIAN KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH TAHUN

BAB I PENDAHULUAN. otonomi daerah merupakan wujud reformasi yang mengharapkan suatu tata kelola

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III KEBIJAKAN UMUM DAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS. Menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah

Keuangan Kabupaten Karanganyar

BAB I PENDAHULUAN. pendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Karena itu, belanja daerah dikenal sebagai

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

BAB II LANDASAN TEORI. Menurut Halim (2004 : 67) : Pendapatan Asli Daerah merupakan semua

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pada bab ini akan dibahas lebih mendalam mengenai teori-teori dan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. Daerah, dapat disimpulkan bahwa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki hak,

AKUNTANSI INVESTASI

ANALISIS PERBANDINGAN KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH BOJONEGORO DAN JOMBANG TAHUN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berkaitan dengan variabel yang digunakan. Selain itu akan dikemukakan hasil

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Tap MPR Nomor XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaran Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang

ketentuan perundang-undangan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. roda pemerintahan. Oleh karena itu tiap-tiap daerah harus mengupayakan agar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.

I. PENDAHULUAN. Di era Otonomi Daerah sasaran dan tujuan pembangunan salah satu diantaranya

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Bab ini akan menguraikan pengertian PAD, DAU, DAK dan Belanja Modal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pengelolaan pemerintah daerah, baik ditingkat propinsi maupun tingkat

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Belanja Pemeliharaan

BAB III GAMBARAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH SERTA KERANGKA PENDANAAN

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat, melalui pengeluaran-pengeluaran rutin dan pembangunan yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 33 TAHUN 2004 TENTANG PERIMBANGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan pelayanan publik, mengoptimalkan potensi pendapatan daerah

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. APBN/APBD. Menurut Erlina dan Rasdianto (2013) Belanja Modal adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan. Oleh karena itu, daerah harus mampu menggali potensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran menurut Yuwono (2005:27) adalah rencana terinci yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pemerataan yang sebaik mungkin. Untuk mencapai hakekat dan arah dari

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Keuangan Daerah. Penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut:

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Pustaka Dalam landasan teori, akan dibahas lebih jauh mengenai Kemandirian Keuangan, Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, dan Investasi. Menjabarkan teori yang melandasi penelitian ini dan beberapa penelitian terdahulu yang telah diperluas dengan referensi atau keterangan tambahan yang dikumpulkan selama pelaksanaan penelitian. 2.1.1 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mengamanatkan bahwa Daerah memiliki kewenangan dalam mengelola daerahnya sendiri secara mandiri dan bertanggung jawab terhadap kepentingan masyarakatnya. Menurut Halim (2007:232) Kemandirian keuangan daerah ditunjukkan oleh besar kecilnya pendapatan asli daerah dibandingkan dengan pendapatan daerah yang berasal dari sumber yang lain, misalnya bantuan pemerintah pusat ataupun dari pinjaman. Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah terhadap sumber dana eksternal. Semakin tinggi rasio kemandirian mengandung arti bahwa tingkat ketergantungan daerah terhadap bantuan pihak eksternal (terutama pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah, dan demikian pula sebaliknya.

Rasio kemandirian juga menggambarkan tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi tingkat rasio kemandirian, semakin tinggi partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang merupakan komponen PAD akan menggambarkan tingkat kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi. Kotarba dan Kolomycew (2014) menyatakan The financial independence of local governments units in an important element of the decentralization of public administration and an effective system of the delivery of public task. Bahwa kemandirian keuangan pada pemerintah daerah merupakan elemen penting dari desentralisasi administrasi publik dan merupakan sistem yang efektif didalam melaksanakan tugas publik. Tindakan kemandirian yang dilakukan oleh pemerintah daerah dapat terlihat dari kemampuan yang besar oleh pemerintah daerah itu sendiri untuk mengendalikan atau mengelola pendapatan asli daerahnya. Secara konseptual, pola hubungan antara pemerintah pusat dan daerah harus dilakukan sesuai dengan kemandirian keuangan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan, walaupun pengukuran kemampuan keuangan daerah ini akan menimbulkan perbedaan. Paul Harsey dan Kenneth Blanchard memperkenalkan Hubungan Situasional dalam pelaksanaan otonomi daerah, antara lain : 1. Pola Hubungan Instruktif, peran pemerintah pusat lebih dominan dari pada kemandirian pemerintah daerah (Daerah yang tidak mampu melaksanakan otonomi daerah).

2. Pola Hubungan Konsultif, campur tangan pemerintah pusat sudah mulai berkurang, karena daerah dianggap sedikit lebih mampu melaksanakan otonom. 3. Pola Hubungan Partisipatif, peranan pemerintah pusat semakin berkurang, mengingat daerah yang bersangkutan tingkat kemandiriannya mendekati mampu melaksanakan urusan otonomi. 4. Pola Hubungan Delegatif, campur tangan pemerintah pusat sudah tidak ada karena daerah telah benar-benar mampu dan mandiri dalam melaksanakan urusan otonomi daerah. Tabel 2.1 Tolak Ukur Kemampuan Daerah No Kemampuan Keuangan Rasio Kemandirian (%) Pola Hubungan Daerah 1 Rendah Sekali 0 25 Instruktif 2 Rendah >25 50 Konsultatif 3 Sedang >50 75 Partisipatif 4 Tinggi >75 100 Delegatif Sumber: Mahsun, 2006 Bertolak dari teori tersebut karena adanya potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia yang berbeda, akan terjadi pula perbedaan pola hubungan dan tingkat kemandirian antar daerah. Sebagai pedoman dalam melihat pola hubungan dengan kemandiran daerah (dari sisi keuangan) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut : Pendapatan Asli Daerah Rasio Kemandirian : X 100% Bantuan Pemerintah Pusat/Provinsi + Pinjaman Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pengelompokan Kemampuan Keuangan Daerah, penganggaran dan pertanggungjawaban penggunaan belanja penunjang operasional pimpinan dewan perwakilan rakyat daerah serta tata cara pengembalian tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional disebutkan dalam pasal 5 ayat (2)

mengenai pengelompokan kemampuan keuangan daerah untuk kabupaten/kota, diatur sebagai berikut: a. Di atas Rp 400.000.000.000,00 (empat ratus miliyar rupiah) dikelompokkan pada kemampuan keuangan daerah tinggi; b. Antara Rp 200.000.000.000,00 (dua ratus miliyar rupiah) sampai dengan Rp 400.000.000.000,00 (empat ratus miliyar rupiah) dikelompokkan pada kemampuan keuangan daerah sedang, dan; c. Di bawah Rp 200.000.000.000,00 (dua ratus miliyar rupiah) dikelompokkan pada kemampuan keuangan daerah rendah. 2.1.2 Pendapatan Asli Daerah Menurut Undang-Undang Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah Nomor 33 Tahun 2004 bab 1 pasal 1, Pendapatan Asli Daerah (PAD) adalah pendapatan yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi Daerah sebagai perwujudan Desentralisasi. Menurut Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 bab 5 pasal 6 tentang pendapatan asli daerah bahwa sumber Pendapatan Asli Daerah terdiri dari : 1. Pajak daerah, 2. Retribusi daerah, 3. Hasil pengelolaan kekayaan milik daerah yang dipisahkan, 4. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang sah.

2.1.2.1 Pajak Daerah Pajak Daerah merupakan salah satu elemen PAD yang memberikan kontribusi terhadap penerimaan PAD. Pajak adalah pembayaran yang dilakukan oleh wajib pajak dan digunakan oleh pemerintah untuk kepentingan semua warga Negara. (Edogbanya dan Mr. Ja afaru, 2013) Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 bab II pasal 2 tentang pajak daerah dan retribusi daerah, ditetapkan 16 jenis pajak daerah, yaitu 5 jenis pajak provinsi dan 11 jenis pajak kabupaten/kota. (1) Jenis pajak provinsi terdiri atas : a. Pajak Kendaraan Bermotor; b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; d. Pajak air Permukaan; dan e. Pajak Rokok. (2) Jenis pajak kabupaten/kota terdiri atas : a. Pajak Hotel; b. Pajak Resroran; c. Pajak Hiburan; d. Pajak Reklame; e. Pajak Penerangan Jalan; f. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; g. Pajak Parkir; h. Pajak Air Tanah; i. Pajak Sarang Burung Walet; j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan k. Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan.

2.1.2.2 Retribusi Daerah Menurut Mardiasmo (2006:24), Retribusi Daerah merupakan pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pembayaran izin. Retribusi Daerah merupakan pungutan yang telah secara sah menjadi pungutan daerah sebagai pembayaran pemakaian atau karena memperoleh jasa pekerjaan, usaha atau milik pemerintah daerah bersangkutan. Berdasarkan Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Bab VI pasal 108 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, objek retribusi daerah dirinci menjadi : 1. Retribusi Jasa Umum; 2. Retribusi Jasa Usaha; dan 3. Retribusi Perijinan Tertentu. 2.1.2.3 Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan Hasil Pengelolaan Kekayaan Milik Daerah yang Dipisahkan merupakan penerimaan daerah yang berasal dari pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Jenis pendapatan ini berdasarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 tanggal 23 mei 2011 dirinci menjadi : 1. Bagian Laba atas Penyertaan Modal pada Perusahaan Milik Daerah/BUMD; 2. Bagian Laba atas Penyertaan Modal pada Perusahaan Milik Negara/BUMN; dan 3. Bagian Laba atas Penyertaan Modal pada Perusahaan Patungan/Milik Swasta.

2.1.2.4 Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah Halim (2004:69) menyatakan bahwa Pendapatan asli daerah yang sah merupakan penerimaan daerah yang berasal dari lain-lain milik pemerintah daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah diterangkan tentang Lain-lain Pendapatan Asli Daerah yang Sah sebagaimana dimaksud pada pasal 1 ayat 1 huruf d meliputi : 1. Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang Tidak Dipisahkan; 2. Jasa Giro; 3. Pendapatan Bunga; 4. Keuntungan Selisih Nilai Tukar Rupiah Terhadap Mata Uang Asing; dan 5. Komisi, Potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. 2.1.3 Dana Alokasi Umum Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah Bab I Pasal 1 ayat 21, Dana Alokasi Umum selanjutnya disebut DAU adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar-daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi. Adapun cara menghitung DAU menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 Bab VI pasal 27 adalah sebagai berikut:

1. DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% dari penerimaan dalam negeri yang ditetapkan dalam APBN. 2. DAU untuk daerah propinsi dan untuk Kabupaten/Kota ditetapkan masing-masing 10% dan 90% dari DAU sebagaimana ditetapkan diatas. 3. DAU untuk suatu Kabupaten/Kota tertentu ditetapkan berdasarkan perkalian jumlah DAU untuk Kabupaten/Kota yang ditetapkan APBN dengan porsi Kabupaten/Kota yang bersangkutan. 4. Porsi Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud di atas merupakan proporsi bobot Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia. Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah bahwa kebutuhan DAU oleh suatu daerah (Provinsi, Kabupaten, dan Kota) ditentukan dengan menggunakan pendekatan Fiscal Gap, dimana kebutuhan DAU suatu daerah ditentukan atas kebutuhan daerah dengan potensi daerah. DAU digunakan untuk menutup celah yang terjadi karena kebutuhan daerah melebihi dari potensi penerimaan daerah yang ada. Menurut Darise (2009:39): DAU suatu daerah ditentukan atas besar kecilnya suatu celah fiskal (fiscal gap) suatu daerah, yang merupakan selisih antara kebutuhan daerah (fiscal need) dan potensi daerah (fiscal capacity). Alokasi DAU bagi daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskalnya kecil akan memperoleh alokasi DAU yang relative kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi DAU yang relatif besar. 2.1.4 Dana Alokasi Khusus Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan antara pemerintah pusat dan daerah bab I pasal 1, Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK, adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan untuk

membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Dana alokasi khusus (DAK) merupakan salah satu mekanisme transfer keuangan Pemerintah Pusat ke daerah yang bertujuan antara lain untuk meningkatkan penyediaan sarana dan prasarana fisik daerah sesuai prioritas nasional serta mengurangi kesenjangan laju pertumbuhan antar daerah dan pelayanan antar bidang. DAK memainkan peran penting dalam dinamika pembangunan sarana dan prasarana pelayanan dasar di daerah karena sesuai dengan prinsip desentralisasi tanggung jawab dan akuntabilitas bagi penyediaan pelayanan dasar masyarakat telah dialihkan kepada pemerintah daerah. Menurut Dirjen Perimbangan Keuangan mekanisme pengalokasian DAK adalah sebagai berikut : 1. Kriteria Pengalokasian DAK a. Kriteria Umum, dirumuskan berdasarkan kemampuan keuangan daerah yang tercermin dari penerimaan umum APBD setelah dikurangi belanja PNSD b. Kriteria Khusus, dirumuskan berdasarkan peraturan perundangundangan yang mengatur penyelenggaraan otonomi khusus dan karakteristik daerah c. Kriteria Teknis, yang disusun berdasarkan indikator-indikator yang dapat menggambarkan kondisi sarana dan prasarana, serta pencapaian teknis pelaksanaan kegiatan DAK di daerah. 2. Penghitungan alokasi DAK dilakukan melalui dua tahapan, yaitu: a. Penentuan daerah tertentu yang menerima DAK; b. Penentuan besaran alokasi DAK masing-masingdaerah. 3. Penentuan Daerah Tertentu harus memenuhi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis.

4. Besaran alokasi DAK masing-masing daerah ditentukan dengan perhitungan indeks berdasarkan kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. 5. Alokasi DAK per daerah ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan. 2.1.5 Dana Bagi Hasil Menurut Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan antara pemerintah pusat dan daerah bab I pasal 1, Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. misalnya Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) dan Dana Bagi Hasil Bukan Pajak (DBHBP). Dana bagi hasil dibagi berdasarkan persentase tertentu bagi pemerintah pusat dari eksploitasi sumber daya alamseperti minyak dan gas, pertambangan dan kehutanan dibagi dalam porsi yang bervariasi antara pemerintah pusat, provinsu, kabupaten dan kota. Menurut Peraturan Menteri Dalam Negeri, Penerimaan yang dibagi hasilkan terdiri atas : 1. Dana Bagi Hasil Pajak : a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) b. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) c. PPh Orang Pribadi 2. Bagi Hasil Bukan Pajak : a. Sektor Kehutanan b. Sektor Pertambangan Umum c. Sektor Minyak Bumi dan Gas Alam d.sektor Perikanan

2.1.6 Investasi Menurut Erlina,dkk (2015:223) : investasi merupakan instrumen yang dapat digunakan oleh pemerintah daerah untuk memanfaatkan surplus anggaran untuk memperoleh pendapatan dalam jangka panjang dan memanfaatkan dana yang belum digunakan untuk investasi jangka pendek dalam rangka manajemen kas. Modul Pelatihan Standar Akuntansi Pemerintahan yang diterbitkan Komite Standar Akuntansi Pemerintahan (2009) menjelaskan bahwa dalam rangka akuntansi dan pelaporan asset investasi pemerintah, investasi secara garis besar diklasifikasikan menjadi dua, yaitu investasi jangka pendek dan investasi jangka panjang. Investasi jangka pendek merupakan kelompok asset lancar, sedangkan investasi jangka panjang masuk pada kelompok asset nonlancar. Investasi jangka pendek adalah investasi yang dapat segera dicairkan dan dimaksudkan untuk dimiliki selama 12 bulan atau kurang. Investasi jangka panjang adalah investasi yang dimaksudkan untuk dimiliki lebih dari 12 bulan. 1. Investasi Jangka Pendek Menurut PSAP no 6 Paragraf 10: Investasi jangka pendek harus memenuh karakteristik, seperti dapat diperjualbelikan/dicairkan; investasi tersebut dijukan dalam rangka manajemen kas, artinya pemerintah dapat menjual investasi tersebut apabila timbul kebutuhan kas; dan berersiko rendah. PASP no 6 Paragraf 12 menjelaskan bahwa investasi yang dapat digolongkan sebagai investasi jangka pendek, antara lain meliputi: a) Deposito berjangka waktu tiga sampai dua belas bulan dan /atau yang dapat diperpanjang secara otomatis (revolving deposits).

b) Pembelian Surat Utang Negara (SUN) pemerintah jangka pendek oleh pemerintah pusat maupun daerah dan pembelian Setifikat Bank Indonesia (SBI). 2. Investasi Jangka Panjang PSAP No 6 Paragraf 13-19 secara gambalang menjelaskan mengenai investasi jangka panjang. Investasi jangka panjang dibagi menurut sifat penanaman investasinya, yaitu permanen dan non permanen. 1) Investasi Permanen Investasi permanen adalah investasi yang tidak dimaksudkan untuk diperjualbelikan, tetapi untuk mendapatkan dividend an/atau pengaruh yang signifikan dalam jangka panjang dan/atau menjaga hubungan kelembagaan. Investasi permanen dapat berupa: a) Penyertaan modal pemerintah pada perusahaan Negara/daerah, badan internasional dan badan lainnya yang bukan milik Negara. Penyetaa modal dapat berupa surat berharga (saham pada suatu perseroan terbatas dan non surat berharga yang kepemilikan modal dalam bentuk saham pada perusahaan yang bukan perseroan. b) Investasi lainnya yang dimiliki pemerintah untuk menghasilkan pendapatan atau meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Investasi ini merupakan bentuk investasi yang tidak bisa dimasukkan ke kelompok penyertaan modal, surat obligasi jangka panjang yang dibeli oleh pemerintah, dan penanaman modal dalam proyek pembangunan yang dapat dialihkan kepada pihak ketiga,

misalnya investasi dalam properti yang tidak tercakup dalam pernyataan ini. 2) Investasi nonpermanen Investasi nonpermanen adalah investasi jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki secara tidak berkelanjutan. Antara lain dapat berupa: a) Pembelian obligasi atau surat utang jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki sampai dengan waktu jatuh temponya oleh pemerintah. b) Penanaman modal dalam proyek pembangunan yang dapat dialihkan kepada pihak ketiga. c) Dana yang disisihkan pemerintah dalam pelayanan masyarakat seperti bantuan modal kerja secara bergulir kepada kelompok masyarakat. d) Investasi nonpermanent lainnya, yang sifatnya tidak dimaksudkan untuk dimiliki pemerintah secara berkelanjutan, seperti pernyataan modal yang dimaksudkan untuk penyehatan/penyelamatan perekonomian. Menurut PSAP No.6 Paragraf 39-40 dapat disimpulkan bahwa hasil investasi yang diperoleh dari investasi jangka pendek, antara lain berupa bunga deposito, bunga obligasi dan dividen tunai, diakui pada saat diperoleh dan dicatat sebagai pendapatan.

2.1.7 Tinjauan Penelitian Terdahulu Hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, Investasi, dan Kemandirian Keuangan adalah sebagai berikut: 1. Lugina Penelitian yang dilakukan oleh Lugina (2012) yang berjudul Pengaruh Penerimaan Daerah terhadap Kemandirian Daerah. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah verifikatif dan kuantitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya pendapatan asli daerah yang berpengaruh pada kemandirian keuangan daerah. Sedangkan transfer pemerintah pusat dan investasi tidak berpengarruh terhadap kemandirian keuangan daerah. 2. Marizka Penelitian yang dilakukan oleh Marizka (2013) yang berjudul Pengaruh Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum, dan Dana Alokasi Khusus Terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Pada Kabupaten dan Kota di Sumatera Barat Tahun (2006-2011). Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linier berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa PAD berpengaruh signifikan positif terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah, DBH dan DAU tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah, dan

DAK berpengaruh signifikan negatif terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah. 3. Siagian Penelitian yang dilakukan oleh Siagian (2014) yang berjudul Pengaruh Rasio Efektifitas Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linier berganda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pendapatan asli daerah dan Dana Bagi Hasil secara parsial tidak berpengaruh terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah, Dana Alokasi Umum dan Dana Alokasi Khusus secara parsial berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah, dan PAD, DAU, DAK, DBH secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel dependen yaitu tingkat kemandirian keuangan daerah Tabel 2.2 Kajian Penelitian Terdahulu No Peneliti Variabel penelitian Hasil Penelitian 1 Lugina (2012) 2 Marizka (2013) Independen: 1. Transfer Pusat 2. Penapatan Asli Daerah Investasi Dependen: 3.Kemandirian Keuangan Independen: 1. Pendapatan Asli Daerah Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa hanya pendapatan asli daerah yang berpengaruh pada kemandirian keuangan daerah. Sedangkan transfer pemerintah pusat dan investasi tidak berpengarruh terhadap kemandirian keuangan daerah. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa:

3 Siagian ( 2014) 2. Dana Bagi Hasil 3. Dana Alokasi Umum 4. Dana Alokasi Khusus Dependen: 1.Kemandirian Keuangan Independen: 1. Pendapatan Asli Daerah 2. Dana Alokasi Umum 3. Dana Alokasi Khusus 4. Dana Bagi Hasil Dependen: 1.Kemandirian Keuangan 1.PAD berpengaruh signifikan positif terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah 2.DBH tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah 3.DAU tidak berpengaruh signifikan terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah 4.DAK berpengaruh signifikan negatif terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: 1.PAD secara parsial tidak berpengaruh terhadap Kemandirian Keuangan Daerah 2.DAU secara parsial berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah 3.DAK secara parsial berpengaruh signifikan terhadap kemandirian keuangan daerah. 4.DBH secara parsial tidak berpengaruh terhadap kemandirian keuangan daerah 5.PAD, DAU, DAK, DBH secara simultan berpengaruh positif dan signifikan terhadap kemandirian keuangan daerah. 2.2 Kerangka Konseptual dan Perumusan Hipotesis 2.2.1 Kerangka Konseptual Menurut Erlina (2011) menyatakan bahwa, kerangka teoritis adalah suatu model yang menerangkan bagaimana hubungan suatu teori dengan faktor-faktor penting yang telah diketahui dalam suatu masalah tertentu.

Dalam penelitian ini variabel independen adalah Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil, dan Investasi, variabel dependen adalah kemandirian keuangan. Gambar 2.2 Kerangka konseptual penelitian Pendapatan Asli Daerah (X1) Dana Alokasi Umum (X2) Dana Alokasi Khusus (X3) H1 H2 Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Dana Bagi Hasil (X4) Investasi (Z) 2.2.2 Perumusan Hipotesis 1. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Hasil penelitian Marizka (2013) menjelaskan bahwa PAD berpengaruh signifikan positif terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah pada pemerintah kabupaten/kota di provinsi sumatera barat. Berdasarkan penjelasan tersebut, peneliti menduga jika suatu daerah mempunyai PAD yang relatif besar maka akan meningkatkan penerimaan daerah dan menurunkan ketergantungan daerah pada pemerintah pusat. Dengan berkurangnya tingkat

ketergantungan daerah pada pemerintah pusat maka daerah tersebut bisa dikatakan mandiri. 2. Pengaruh Dana Alokasi Umum Terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Dana Alokasi umum juga akan berpengaruh terhadap kemandirian keuangan daerah. DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendanai kebutuhan daerah. Penelitian sebelumnya menunjukan bahwa apabila DAU yang diterima oleh suatu daerah lebih besar dibandingkan dengan PAD yang dihasilkan daerah tersebut maka hal tersebut berarti tingkat kemandirian keuangan daerah tersebut masih belum dapat dikatakan mandiri sebab dalam membiayai kegiatan fiskalnya, daerah tersebut masih bergantung pada DAU dari pemerintah pusat. 3. Pengaruh Dana Alokasi Khusus Terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Hasil penelitian Marizka (2013) menjelaskan bahwa DAK berpengaruh signifikan negatif terhadap tingkat kemandirian keuangan daerah pada pemerintah kabupaten/kota di provinsi sumatera barat. Artinya jika DAK yang dialokasikan pemerintah pusat relatif besar maka daerah tersebut dikatakan kurang mandiri karena daerah tersebut masih mengandalkan dana dari pemerintah pusat sebagai penerimaan utamanya. Sebaliknya, jika DAK yang dialokasikan pemerintah pusat kecil maka daerah tersebut dapat dikatakan mandiri.

4. Pengaruh Dana Bagi Hasil Terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dibagi hasilkan kepada daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Semakin besar dana persentase yang dibagihasilkan kepada daerah maka semakin besar kontribusi yang diberikan DBH terhadap penerimaan daerah, sebaliknya semakin kecil persentase dana yang dibagi hasilkan kepada daerah maka semakin kecil kontribusi yang diberikan DBH terhadap penerimaan daerah. Jika suatu daerah mempunyai DBH yang relatif besar maka akan meningkatkan penerimaan daerah dan menurunkan ketergantungan daerah pada pemerintah pusat. Dengan berkurangnya ketergantungan daerah pada pemerintah pusat maka daerah tersebut bisa dikatakan mandiri. 5. Pengaruh Investasi Terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah Dalam konsep ICOR (Incremetal Capital Output Ratio) yang dikembangkan Harrod Domar sebagaimana dikutip Suseno (1990: 27) dikemukakan adanya hubungan antara peningkatan stok kapital (investasi) dan kemampuan masyarakat untuk menghasilkan output. Semakin tinggi peningkatan stok kapital semakin tinggi pula output yang dapat dihasilkan. pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Selain itu output yang semakin luas dinikmati pasar akan menyebabkan penerimaan daerah yang diperoleh dari pajak penjualan, pajak penghasilan serta pajak pertambahan nilai barang dan

jasa semakin meningkat. Pendapatan tersebut digunakan untuk membiayai pembangunan sarana prasarana umum dan melaksanakan pelayanan kepada masyarakat. Kemampuan daerah untuk melakukan pendanaan atas kebutuhan daerah itu sendiri menunjukkan kemandirian daerah yang menjadi indikator untuk mengukur tingkat keberhasilan otonomi daerah. 2.2 Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian oleh karena jawaban yang diberikan masih berdasar pada teori yang relevan belum didasarkan pada fakta fakta empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data (Sugiyono, 2003 : 51). Berdasarkan kerangka konseptual diatas, penulis merumuskan hipotesis sebagai berikut: H1 : Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, dan Dana Bagi Hasil berpengaruh signifikan secara parsial dan simultan terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah. H2 : Investasi memoderasi hubungan Pendapatan Asli Daerah, Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil terhadap Tingkat Kemandirian Keuangan Daerah secara parsial.