BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Penelitian yang Relevan Sebelumnya Sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian yang membahas masalah analisis gaya bahasa pengarang dalam novel Derap-Derap Tasbih Karya Hadi S. Khuli belum pernah dilakukan. Penelitian yang sama mengenai gaya pengarang pernah dilakukan oleh Yuriko Mohammad tahun 2007 namun berbeda objek materialnya. Skripsinya berjudul Analisis Gaya Pengarang dalam Novel Merajut Pelangi Duka Karya Mira Karmila. Penelitian yang relevan sebelumnya juga pernah dilakukan oleh Husein dalam skripsinya Gaya Bahasa dalam Novel Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck Karya Hamka. Pendekatan yang digunakan keduanya adalah stilistika. Walaupun demikian, penelitian ini lebih difokuskan pada kajian gaya bahasa yang digunakan oleh Hamka dalam novelnya. Penelitian yang relevan lainnya juga ialah penelitian Siti Maimunah, mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dalam skripsinya Pesan Dakwah dalam Novel Derap-Derap Tasbih Karya Hadi S. Khuli. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan subjek penelitiannya novel Derap-Derap Tasbih dan objek penelitiannya ialah pesan dakwah dalam novel. Berdasarkan uraian di atas, jelas terdapat perbedaan antara penelitianpenelitian yang pernah dilakukan sebelumnya dengan penelitian ini. Jika penelitian Yuriko Mohammad mengenai Gaya Pengarang dalam Novel Merajut Pelangi Duka Karya Mira Karmila, maka penelitian ini berjudul Gaya Bahasa Pengarang dalam Novel Derap-Derap Tasbih Karya Hadi S. Khuli. Penelitian ini
jelas berbeda karena berbeda objek materialnya walaupun sama-sama menggunakan pendekatan stilistika. Selanjutnya penelitian yang dilakukan oleh Husein lebih mengkhususkan kajian pada penggunaan gaya bahasa dalam novel, sedangkan pada penelitian ini kajiannya pada analisis gaya bahasa pengarang dalam novel yang meliputi bentuk diksi dan struktur kalimat. Terakhir, ialah penelitian Siti Maimunah dengan judul Pesan Dakwah dalam Novel Derap- Derap Tasbih Karya Hadi S. Khuli. Meskipun objek materialnya sama, namun objek kajiannya berbeda. Ia mengambil pesan dakwah sebagai objek kajiannya sedangkan penelitian ini mengenai analisis gaya bahasa pengarang. 2.2 Gaya Bahasa 2.2.1 Hakikat Gaya Bahasa Dalam mengisahkan tokoh-tokoh atau menyampaikan ceritanya, seorang pengarang memanfaatkan bahasa sebagai media. Bahasa yang digunakan oleh pengarang dalam novel telah diolah sedemikian rupa sehingga menimbulkan efek estetis dalam karyanya. Pengarang memiliki gaya bahasa yang membedakannya dengan gaya pengarang lain. Menurut Endraswara (2008:71) gaya adalah segala sesuatu yang menyimpang dari pemakaian biasa. Penyimpangan tersebut bertujuan untuk keindahan. Keindahan itu banyak muncul dalam karya sastra, karena sastra memang sarat dengan unsur estetik. Unsur estetik ini digunakan pengarang dan menimbulkan manipulasi bahasa sehingga mampu membungkus rapi gagasan yang akan disampaikan oleh pengarang.
Menurut Keraf (2002:113) gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk menulis pada lempengan lilin. Keahlian menggunakan alat ini akan mempengaruhi jelas tidaknya tulisan pada lempengan tadi. Kelak pada waktu penekanan dititikberatkan pada keahlian menulis indah, maka style lalu berubah menjadi kemampuan dan keahlian untuk menulis atau mempergunakan kata-kata secara indah. Karena perkembangan itu, gaya bahasa atau style menjadi masalah atau bagian dari diksi atau pilihan kata yang mempersoalkan cocok tidaknya pemakaian kata, frasa atau klausa tertentu untuk menghadapi situasi tertentu. Oleh sebab itu, persoalan gaya bahasa meliputi semua hirarki kebahasaan: pilihan kata secara individual, frasa, klausa, dan kalimat, bahkan mencakup pula sebuah wacana secara keseluruhan. Malahan nada tersirat di balik sebuah wacana termasuk pula persoalan gaya bahasa. Jadi, jangkauan gaya bahasa sebenarnya sangat luas, tidak hanya mencakup unsur-unsur kalimat yang mengandung corakcorak tertentu, seperti yang umum terdapat dalam retorika-retorika klasik. Walaupun kata style berasal dari bahasa Latin, orang Yunani sudah mengembangkan sendiri teori-teori mengenai style itu. Ada dua aliran yang terkenal, yaitu: a) Aliran Platonik: menganggap style sebagai kualitas suatu ungkapan; menurut mereka ada ungkapan yang memiliki style, ada juga yang tidak memiliki style b) Aliran Aristoteles: menganggap bahwa gaya adalah suatu kualitas yang inheren, yang ada dalam tiap ungkapan.
Dengan demikian, aliran Plato mengatakan bahwa ada karya yang memiliki gaya dan ada karya yang sama sekali tidak memiliki gaya. Sebaliknya, aliran Aristoteles mengatakan bahwa semua karya memiliki gaya, tetapi ada karya yang memiliki gaya yang tinggi ada yang rendah, ada karya yang memiliki gaya yang kuat ada yang lemah, ada yang memiliki gaya yang baik ada yang memiliki gaya yang jelek. Bila kita melihat gaya secara umum, kita dapat mengatakan bahwa gaya adalah cara mengungkapkan diri sendiri, entah melalui bahasa, tingkah laku, berpakaian dan sebagainya. Jadi, gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis (pemakai bahasa). Gaya bahasa merujuk kepada cara mengungkapkan pikiran melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian penulis atau pengguna bahasa. Pemakaian dengan cara yang khas tersebut ditandai oleh adanya penyimpangan dari pemakaian bahasa lumrah. Hal ini sesuai dengan pendapat Wren dan Martin (dalam Siswantoro, 2010:206) yang mengatakan gaya bahasa merupakan penyimpangan dari bentuk ungkapan biasa atau penyimpangan dari jalan pikiran umum dalam upaya memperoleh efek pengungkapan yang lebih intens. Pendapat di atas, senada dengan Sudaryat (2009: 92) bahwa gaya bahasa atau majas adalah bahasa berkias yang disusun untuk meningkatkan efek dan asosiasi tertentu. Selain itu, Sayuti (2000:173) mengemukakan bahwa gaya merupakan cara pengungkapan seorang yang khas bagi seorang pengarang. Sedangkan Envist (dalam Endraswara, 2008:72) berpendapat bahwa ada enam
pengertian gaya bahasa yaitu a), bungkus yang membungkus inti pemikiran atau pernyataan yang telah ada sebelumnya, b) pilihan di antara beragam pernyataan yang mungkin, c) sekumpulan ciri kolektif, d) penyimpangan norma atau kaidah, e) sekumpulan ciri pribadi, dan f) hubungan antara satuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas daripada sebuah kalimat. Dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa hakikat gaya bahasa adalah ciri bahasa setiap pengarang dalam karyanya yang menyimpang dari kaidah yang sebenarnya dan menimbulkan efek estetis. Bahasa yang digunakan oleh setiap pengarang sebenarnya sama, hanya kreasi yang diberikan oleh setiap pengarang terhadap bahasa itulah yang menyebabkan perbedaan antara setiap pengarang. Melalui gaya bahasa kita mampu melihat ciri khas pengarang dan membedakannya dengan pengarang lainnya.. 2.2.2 Jenis-Jenis Gaya Bahasa Gaya bahasa dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut pandang. Oleh sebab itu, sulit diperoleh kata sepakat mengenai suatu pembagian yang bersifat menyeluruh dan dapat diterima oleh semua pihak. Namun, pembahasan tentang penggunaan gaya bahasa dalam sebuah karya sastra sudah bukan hal yang asing lagi. Menurut Luxemburg dkk (1987: 59) gaya bahasa dapat dibagi dalam tiga bidang yaitu (1) pilihan kata, (2) pola kalimat dan bentuk sintaksis, dan (3) bentuk semantik.
Menurut Keraf (2002: 115) bahwa p andangan-pandangan atau pendapatpendapat tentang gaya bahasa sejauh ini sekurang-kurangnya dapat dibedakan, pertama, dilihat dari segi nonbahasa, dan kedua dilihat dari segi bahasanya sendiri. Untuk melihat gaya secara luas, maka pembagian berdasarkan masalah nonbahasa tetap diperlukan. Tetapi untuk memberi kemampuan dan keterampilan, maka uraian mengenai gaya dilihat dari aspek kebahasaan akan lebih diperlukan. 2.2.2.1 Segi Nonbahasa Pada dasarnya gaya dapat dibagi atas tujuh pokok sebagai berikut: 1) Berdasarkan pengarang: gaya yang disebut sesuai dengan nama pengarang dikenal berdasarkan ciri pengenal yang digunakan pengarang atau penulis dalam karangannya. Pengarang yang kuat dapat mempengaruhi orang-orang sejamannya, atau pengikut-pengikutnya, sehingga dapat membentuk sebuah aliran. 2) Berdasarkan masa: gaya bahasa yang didasarkan pada masa dikenal karena ciri-ciri tertentu yang berlangsung dalam suatu kurun waktu tertentu. Misalnya ada gaya lama, gaya klasik, gaya sastra modern. 3) Berdasarkan medium: yang dimaksud dengan medium adalah bahasa dalam arti alat komunikasi. Tiap bahasa, karena struktur dan situasi sosial pemakainya, dapat memiliki corak tersendiri. 4) Berdasarkan subyek: subyek yang menjadi pokok pembicaraan dalam sebuah karangan dapat mempengaruhi pula gaya bahasa sebuah karangan.
5) Berdasarkan tempat: gaya ini mendapat namanya dari lokasi geografis, karena ciri-ciri kedaerahan mempengaruhi ungkapan atau ekspresi bahasanya. 6) Berdasarkan hadirin: seperti halnya dengan subyek, maka hadirin atau jenis pembaca juga mempengaruhi gaya yang dipergunakan seorang pengarang. Ada gaya populer atau gaya demagog yang cocok untuk rakyat banyak.ada gaya sopan yang cocok untuk lingkungan istana atau lingkungan yang terhormat. 7) Berdasarkan tujuan: gaya berdasarkan tujuan memperoleh namanya dari maksud yang ingin disampaikan oleh pengarang, dimana pengarang inginmencurahkan gejolak emotifnya. Ada gaya sentimentil, gaya sarkastik, gaya diplomatik, gaya agung dan ada gaya humor. 2.2.2.2 Segi Bahasa Dilihat dari sudut bahasa atau unsur-unsur bahasa yang digunakan, maka gaya bahasa dapat dibedakan berdasarkan titik tolak unsur bahasa yang dipergunakan, yaitu: 1) Gaya bahasa berdasarkan pilihan kata (diksi) 2) Gaya bahasa berdasarkan nada yang terkandung dalam wacana 3) Gaya bahasa berdasarkan struktur kalimat 4) Gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna Berdasarkan keempat jenis gaya bahasa di atas, maka jenis gaya bahasa yang digunakan dalam penelitian ini dibatasi pada dua jenis, yakni gaya bahasa
berdasarkan pilihan kata (diksi) dan struktur kalimat. Hal ini disesuaikan dengan permasalahan penelitian. 1) Gaya Bahasa Berdasarkan Pilihan Kata (Diksi) Berdasarkan pilihan kata (diksi), gaya bahasa mempersoalkan kata mana yang paling tepat dan sesuai untuk posisi-posisi tertentu dalam kalimat, serta tepat tidaknya penggunaan kata-kata dilihat dari lapisan pemakaian bahasa dalam masyarakat. Dengan kata lain, gaya bahasa ini mempersoalkan ketepatan dan kesesuaian dalam menghadapi situasi-situasi tertentu. Diksi memiliki fungsi dan peranan yang sangat penting. Diksi pada dasarnya adalah hasil dari upaya memilih kata tertentu untuk dipakai dalam kalimat, alinea, atau wacana. Menurut Finoza (2009:130) d iksi mengandung pengertian upaya atau kemampuan membedakan secara tepat kata-kata yang memiliki nuansa makna serumpun. Diksi dalam kaitannya dengan gaya dalam sastra oleh Nurgiantoro (2009:290) disebut dengan istilah unsur leksikal yang mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang. Mengingat bahwa karya sastra disusun dengan kata-kata, penyampaian dan penerimaan pesan dilakukan dan ditafsirkan lewat kata-kata, maka pemilihan kata-kata tersebut tentulah melewati pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk memperoleh efek ketepatan (estetis). Secara sederhana, masalah ketepata n itu dapat dipertimbangkan dari segi bentuk dan makna, yaitu apakah diksi mampu mendukung tujuan estetis karya yang bersangkutan, mampu mengkomunikasikan
makna, dan mampu mengungkapkan gagasan seperti yang dimaksudkan oleh pengarang. Nurgiantoro (2009:2 91) memberikan petunjuk tentang analisis leksikal sebuah karya fiksi. Menurutnya analisis leksikal dapat dilakukan berdasarkan tinjauan secara umum dan jenis kata, yang keduanya bersifat saling melengkapi. Sebagai tinjauan secara umum, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut. (1) Kata yang digunakan sederhana atau kompleks? (2) Kata dan ungkapan formal atau kolokial, artinya kata-kata baku, bentuk dan makna ataukah kata-kata seperti dalam percakapan sehari-hari yang nonformal, termasuk penggunaan dialek? (3) Kata dan ungkapan dalam bahasa karya yang bersangkutan atau dari bahasa lain, misalnya dalam karya fiksi di Indonesia apakah mempergunakan kata dan ungkapan bahasa Indonesia atau dari bahasa lain, misalnya Jawa dan asing? (4) Bagaimanakah arah makna kata yang dituju, apakah bersifat referensial ataukah asosiatif, denotasi atau konotasi? Identifikasi berikutnya adalah berdasarkan jenis kata. Pertanyaanpertanyaan yang diajukan antara lain sebagai berikut. (1) Apakah jenis kata yang dipergunakan itu? dan kemudian diikuti pertanyaanpertanyaan berikutnya yang sesuai dengan jenis kata yang bersangkutan. (2) Kata benda, sederhana ataukah kompleks, abstrak ataukah konkret? Jika abstrak menyaran pada makna apa, kejadian, persepsi, proses, kualitas moral,
ataukah sosial? Jika konkret menunjuk pada apa, misalnya benda, makhluk ataukah manusia? (3) Kata kerja, sederhana ataukah kompleks, transitif ataukah intransitif, makna menyaran pada pernyataan, tindakan atau peristiwa? (4) Kata sifat, untuk menjelaskan apa, misalnya sesuatu yang bersifat fisik, psikis, visual, auditif, referensial, emotif, ataukah evaluatif? (5) Kata bilangan, tentu ataukah tak tentu, dan untuk menjelaskan apa? (6) Kata tugas, apa wujudnya, misalnya: dan, atau, lalu, kemudian, pada, tentang, dan sering dikelompokkan ke dalam konjungsi dan preposisi. Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Nurgiantoro, yang meliputi diksi kata kompleks, kolokial, bahasa daerah, dan arah mana yang dituju (konotasi dan asosiatif). 2) Gaya Bahasa berdasarkan Struktur Kalimat Novel, merupakan sebuah totalitas, suatu kemenyeluruhan yang bersifat artistik. Sebagai sebuah totalitas, novel mempunyai bagian-bagian, unsur-unsur yang saling berkaitan satu dengan yang lain secara erat dan saling menggantungkan. Totalitas yang dimaksudkan ialah kata, bahasa. Untuk membentuk totalitas itu, pengarang tidak cukup hanya mengandalkan kecakapannya dalam penggunan diksi, melainkan ia harus mampu merangkaikan kata-kata tersebut menjadi sebuah kalimat. Menurut Keraf (2002: 124) s truktur sebuah kalimat dapat dijadikan landasan untuk menciptakan gaya bahasa. Yang dimaksud dengan struktur kalimat
di sini adalah bagaimana tempat sebuah unsur kalimat yang dipentingkan dalam kalimat tersebut. Ada kalimat yang bersifat periodik, bila bagian terpenting atau gagasan yang mendapat penekanan ditempatkan pada akhir kalimat. Ada klimat yang bersifat kendur, yaitu bila bagian kalimat yang mendapat penekanan ditempatkan pada awal kalimat. Dan ketiga adalah kalimat berimbang, yaitu kalimat yang mengandung dua bagian kalimat atau lebih yang kedudukannya sama tinggi atau sederajat. (1) Klimaks Gaya bahasa klimaks diturunkan dari kalimat yang bersifat periodik. Klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung urutan-urutan pikiran yang setipa kali semakin meningkat kepentingannya dari gagasan-gagasan sebelumnya. Klimaks disebut juga gradasi. (2) Antiklimaks Antiklimaks dihasilkan oleh kalimat yang berstruktur mengendur. Antiklimaks sebagai gaya bahasa merupakan suatu acuan yang gagasangagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-turut ke gagasan yang kurang penting. Antiklimaks sering kurang efektif karena gagasan yang penting ditempatkan pada awal kalimat sehingga pembaca atau pendengar tidak lagi memberi perhatian pada bagian-bagian berikutnya dalam kalimat itu. (3) Paralelisme Paralelisme adalah semacam gaya bahasa yang berusaha mencapai kesejajaran dalam pemakaian kata-kata atau frasa-frasa yang menduduki fungsi yang sama dalam bentuk gramatikal yang sama. Kesejajaran tersebut dapat pula
berbentuk anak kalimat yang bergantung pada sebuah induk kalimat yang sama. Gaya ini lahir dari struktur kalimat yang berimbang. - Tidak pernah dikemukakan, usahakan dirasakan: (4) Antitesis Antitesis adalah sebuah gaya bahasa yang mengandung gagasan-gagasan yang bertentangan, dengan mempergunakan kata-kata atau kelompok kata yang berlawanan. Gaya ini timbul dari kalimat berimbang. Perhatikan contoh berikut: - Mereka sudah kehilangan banyak dari harta bendanya, tetapi mereka juga telah banyak memperoleh keuntungan daripadanya. (5) Repetisi Repetisi adalah perulangan bunyi, suku kata, kata atau bagian kalimat yang dianggap penting untuk memberi tekanan dalam sebuah konteks yang sesuai. Dalam bagian ini, hanya akan dibicarakan repetisi yang berbentuk kata, frasa, klausa dan kalimat. Karena nilainya dianggap tinggi, maka dalam penulisan karya sastra timbullah bermacam-macam variasi repetisi. Repetisi, seperti halnya dengan paralelisme dan antitesis, lahir dari kalimat yang berimbang. Misalnya: - Atau maukah kau pergi bersama serangga-serangga tanah, pergi bersama kecoak-kecoak, pergi bersama mereka yang menyusupi tanah, menyusupi alam? Karena nilainya dalam karya sastra dianggap tinggi, maka para pengarang menciptakan bermacam-macam repetisi yang pada prinsipnya didasarkan pada tempat kata yang diulang dalam baris, klausa, atau kalimat. Yang penting di antaranya adalah:
1) Epizeuksis: repetisi bersifat langsung, artinya kata yang dipentingkan diulang beberapa kali berturut-turut. Misalnya: kita harus bekerja, bekerja, sekali lagi bekerja untuk mengejar semua ketinggalan kita. 2) Tautotes: repetisi atas sebuah kata berulang-ulang dalam sebuah konstruksi. Misalnya: kau menuding aku, aku menuding kau, kau dan aku menjadi seteru. 3) Anafora: adalah repetisi yang berwujud perulangan kata pertama pada tiap baris atau kalimat berikutnya, misalnya: 4) Epistrofa: adalah repetisi yang berwujud perulangan kata atau frasa pada kahir baris atau kalimat berurutan. Misalnya: - Bumi yang kau diami, laut yang kau layari adalah puisi. 5) Simploke: simploke adalah repetisi pada awal dan akhir beberapa baris atau kalimat berturut-turut. Misalnya: 6) Mesodiplosis: adalah repetisi di tengah baris-baris atau beberapa kalimat berurutan. Misalnya: 7) Epanalepsis: pengulangan yang berwujud kata terakhir dari baris, klausa, atau kalimat, mengulang kata pertama. Misalnya - Dalam laut ada tiram, dalam tiram ada mutiara Dalam mutiara: ah tak ada apa Dalam baju ada aku, dalam aku ada hati Dalam hati: ah tak apa jua yang ada Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa struktur kalimat merupakan salah satu bidang kajian yang sangat perlu mendapat perhatian. Ini
dikarenakan kalimat merupakan primadona dalam kajian bahasa (Finoza, 2009:149). Pengarang baru dapat menyampaikan maksudnya dengan perantaraan kalimat. Oleh karena dalam karya sastra pengarang mempunyai kebebasan penuh dalam mengkreasikan bahasa, adanya berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan, termasuk penyimpangan struktur kalimat, merupakan hal yang wajar dan sering terjadi. Menurut Luxemburg (1987:62) konstruksi kalimat menjadi mencolok dari segi stilistika apabila bangunnya menyimpang dari susunan yang normal. Penyimpangan struktur kalimat itu sendiri dapat bermacam-macam wujudnya, berupa pembalikkan, pengulangan, penghilangan unsur tertentu, dan lain-lain yang kesemuanya tentu dimaksudkan untuk mendapatkan efek estetis di samping juga untuk menekankan pesan tertentu. Selain itu, Nurgiantoro (2009:294) menyatakan bahwa kegiatan menganalisis kalimat di samping berdasarkan bentuk-bentuk penyimpangan di atas, juga dapat dilakukan terhadap hal-hal atau dengan cara berikut. 1) Kompleksitas kalimat: sederhana ataukah kompleks struktur kalimat yang digunakan, bagaimana keadaannya secara keseluruhannya? Berapakah ratarata jumlah kata per kalimat? Bagaimanakah variasi penampilan struktur kalimat yang sederhana dan komplek itu? dalam struktur yang kompleks, sifat hubungan apakah yang menonjol, koordinatif atau subordinatif? 2) Jenis kalimat: jenis kalimat apa sajakah yang dipergunakan: kalimat deklaratif, kalimat imperatif, kalimat interogatif, kalimat minor? Jenis kalimat manakah yang menonjol, apa fungsinya? Pembedaan jenis kalimat ini dapat juga
ditinjau secara lain, misalnya pasif, nominal verbal, langsung tak langsung, dan sebagainya. 3) Jenis klausa dan frase, klausa dan frase apa sajakah yang menonjol, sederhana ataukah kompleks? Jenis klausa dan frase yang ada pastilah banyak sekali, maka dapat membatasi diri dengan mengambil sejumlah di antaranya yang memang terlihat dominan. Di samping itu, klausa itu sendiri dapat dipandang sebagai salah satu bentuk frase, yaitu frase predikatif. Untuk frase misalnya, dibatasi pada frase adverbial, adjektival, koordinatif, nominal dan verbal. Selain itu, juga perlu dipertanyakan hal-hal berikut: dominannya penggunaan bentuk struktur kalimat tertentu seperti di atas apakah mempunyai efek tertentu bagi karya yang bersangkutan. Baik efek yang bersifat estetis maupun dalam hal penyampaian pesan? Apakah pemilihan bentuk struktur itu juga kosakata dan ungkapan di atas tepat dan sebagainya. Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka struktur kalimat yang akan dikaji dalam penelitian ini menggunakan teori yang dikemukakan oleh Keraf dan Luxemburg, meliputi repetisi, penghilangan, dan pembalikan. 2.1 Pendekatan Stilistika Seperti yang sudah disebutkan pada pembahasan sebelumnya, dalam menyampaikan ceritanya, pengarang memanfaatkan bahasa sebagai medianya, bahasa yang digunakan sudah diolah, dikreasikan sedemikian rupa sehingga menjadi satu totalitas yang indah dan mencapai aspek estetis. Menarik atau tidaknya sebuah karya sastra tergantung dari penggunaan bahasa oleh
pengarangnya. Secara umum, ilmu yang membahas tentang penggunaan gaya bahasa dalam karya sastra disebut stilistika. Secara etimologi stylistics berhubungan dengan kata style, artinya gaya, sedangkan stylistics dapat diterjemahkan sebagai ilmu tentang gaya. Menurut Kutha Ratna (2009:3) stilistika (stylistic) adalah ilmu tentang gaya, sedangkan stil (style) secara umum adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat dicapai secara maksimal. Menurut Kridalaksana (dalam pradopo, 2005:1) Stilistika adalah 1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra, ilmu interdisipliner antara linguistik dan kesusastraan, 2) penerangan lingustik pada penelitian gaya bahasa. Menurut Sudjiman (1993:3 ) stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi dengan arti memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek apa yang ditimbulkan oleh penggunaannya itu. Sedangkan menurut (Endraswara, 2008:72). Stilistika adalah ilmu pemanfaatan bahasa dalam karya sastra. Dari beberapa pengertian di atas, intinya adalah stilistika adalah ilmu yang mengkaji wacana sastra dengan orientasi linguistik. Stilistika meneliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra, ciri-ciri yang membedakan atau yang mempertentangkannya dengan nonsastra, meneliti tata bahasa dan meneliti fungsi estetik suatu bahasa. Gaya bahasa yang digunakan pengarang mungkin disengaja dan mungkin pula timbul serta merta ketika pengarang mengungkapkan idenya. Gaya bahasa merupakan efek keindahan dalam sastra yang dipengaruhi juga oleh nurani. Melalui gaya bahasa itu pengarang akan menuangkan ekspresinya. Betapa pun
rasa jengkel dan senangnya, jika dibungkus dalam gaya bahasa akan semakin indah. Berarti gaya bahasa adalah pembungkus ide yang menghaluskan teks sastra. Hal ini sejalan dengan pendapat Suroso (2009:42) bahwa sastra merupakan sebuah bangunan bahasa yang mewujudkan dunianya sendiri, maka untuk dapat memahami dunia sastra harus menganalisis penggunaan bahasa dan gaya bahasanya. Tujuan stilistika kesastraan menurut Nurgiantoro (2009:280) misalnya dapat dilakukan dengan mengajukan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti mengapa pengarang dalam mengekspresikan dirinya justru memilih cara yang khusus? atau apakah pemilihan bentuk-bentuk bahasa tertentu dapat menimbulkan efek estetis? Apakah fungsi penggunaan bentuk-bentuk tertentu itu mendukung tujuan estetis? Dan sebagainya. Modal dasar kajian stilistika ialah pemahaman atas bahasa, peneliti harus memahami tentang perbedaan antara bahasa sehari-hari dan bahasa sastra, jika ini tidak dipahami maka akan keliru memahami stilistika sastra (Endraswara, 2008:75). Hal ini senada dengan Wellek dan Waren (1989:221) bahwa stilistika tidak dapat diterapkan dengan baik tanpa dasar linguistik yang kuat, karena salah satu perhatian utamanya adalah kontras sistem bahasa karya sastra dengan penggunaan bahasa pada zamannya. Tanpa pengetahuan untuk menentukan mana bahasa sehari-hari, mana bahasa yang bukan sastra, stilistika tidak lebih dari sekadar impresionisme belaka.