BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. terjadinya anemia. Defisiensi mikronutrien (besi, folat, vitamin B12 dan vitamin

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Defisiensi besi merupakan gangguan nutrisi yang secara umum. terjadi di seluruh dunia dan mengenai lebih kurang 25% dari seluruh

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang. Anemia juga masih

B A B I PENDAHULUAN. pembangunan dalam segala bidang. Pertumbuhan ekonomi yang baik,

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. negara berkembang yang tidak hanya mempengaruhi segi kesehatan masyarakat

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Hepcidin merupakan hormon regulator kadar zat besi dalam tubuh,

BAB I PENDAHULUAN. persenyawaan heme yang terkemas rapi didalam selubung suatu protein

ABSTRAK. Latar belakang dan tujuan penelitian: Anemia defisiensi besi (ADB) sering bersamaan dengan anemia penyakit kronis (APK) dan keduanya

BAB 1 PENDAHULUAN. masa kehamilan. Anemia fisiologis merupakan istilah yang sering. walaupun massa eritrosit sendiri meningkat sekitar 25%, ini tetap

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. satu kegawatdaruratan paling umum di bidang bedah. Di Indonesia, penyakit. kesembilan pada tahun 2009 (Marisa, dkk., 2012).

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan gagalnya pertumbuhan,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Universitas Sumatera Utara

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat adalah Angka Kematian Bayi (AKB). Menurut data World

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kejang demam merupakan salah satu kejadian bangkitan kejang yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

membutuhkan zat-zat gizi lebih besar jumlahnya (Tolentino & Friedman 2007). Remaja putri pada usia tahun, secara normal akan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. gizi mikro. Defisiensi besi sering ditemukan bersamaan dengan obesitas.

BAB I PENDAHULUAN. berbagai negara, dan masih menjadi masalah kesehatan utama di. dibandingkan dengan laki-laki muda karena wanita sering mengalami

BAB I PENDAHULUAN. merupakan masalah gizi yang paling tinggi kejadiannya di dunia sekitar 500 juta

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia memiliki Angka Kematian Ibu (AKI) yang. tertinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN

1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang Penelitian. Anemia defisiensi besi (ADB) masih menjadi. permasalahan kesehatan saat ini dan merupakan jenis

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan zat gizi dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik, perkembangan kecerdasan, menurunnya produktifitas kerja dan

BAB I PENDAHULUAN. masih menjadi masalah kesehatan global bagi masyarakat dunia. Angka kejadian

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. tinggi, menurut World Health Organization (WHO) (2013), prevalensi anemia

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Milenium Development Goals (MDG) terutama tujuan keempat dan kelima terkait

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Penyakit ginjal kronik merupakan masalah kesehatan di seluruh dunia. Di

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Anemia mempengaruhi secara global 1,62 miliar penduduk dunia,

BAB I PENDAHULUAN. mengandung badan inklusi di darah tepi menyebabkan anemia pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Anemia merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mencapai Indonesia Sehat dilakukan. pembangunan di bidang kesehatan yang bertujuan untuk meningkatkan

BAB 1 : PENDAHULUAN. masalah kesehatan masyarakat ( Public Health Problem) adalah anemia gizi.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ibu hamil merupakan penentu generasi mendatang, selama periode kehamilan ibu hamil membutuhkan asupan gizi yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. kesehatan masyarakat baik di Indonesia maupun di dunia. Masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. Gizi merupakan salah satu penentu kualitas sumber daya. manusia. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Indonesia. Pertama, kurang energi dan protein yang. kondisinya biasa disebut gizi kurang atau gizi buruk.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organization (WHO) ditingkat dunia AKB berkisar sekitar 37 per 1000

BAB I PENDAHULUAN. sehingga masuk dalam daftar Global Burden of Disease 2004 oleh World

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan masalah yang sering terjadi di Indonesia. Anemia

BAB 1 PENDAHULUAN. partus lama karena inertia uteri, perdarahan post partum karena atonia. uteri, syok, infeksi (baik intrapartum atau post partum).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan kesehatan diarahkan untuk meningkatkan kesadaran,

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. bervariasi berdasarkan usia, sebagian besar disebabkan oleh defisiensi besi,

BAB I PENDAHULUAN. pertumbuhan fisiknya dan perkembangan kecerdasannya juga terhambat.

BAB 1 : PENDAHULUAN. SDKI tahun 2007 yaitu 228 kematian per kelahiran hidup. (1)

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Kehamilan merupakan suatu keadaan fisiologis yang diharapkan setiap pasangan

BAB I PENDAHULUAN. sampai usia lanjut (Depkes RI, 2001). mineral. Menurut Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi VI 1998

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan dikarenakan untuk memenuhi kebutuhan nutrisi janin yang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, DAN HIPOTESIS

BAB I PENDAHULUAN. membandingkan keberhasilan pembangunan SDM antarnegara. perkembangan biasanya dimulai dari sejak bayi. Kesehatan bayi yang

BAB I PENDAHULUAN. terhadap kualitas SDM yang dapat mempengaruhi peningkatan angka kematian. sekolah dan produktivitas adalah anemia defisiensi besi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kekurangan gizi akan menyebabkan kegagalan pertumbuhan fisik dan. perkembangan kecerdasan, menurunkan produktivitas kerja, dan

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi medis dimana kadar hemoglobin kurang dari

BAB I PENDAHULUAN. Meningkatnya kesadaran masyarakatakan hidup sehat. menyebabkan jumlah usia lanjut menjadi semakin banyak, tak terkecuali di

BAB I PENDAHULUAN (6; 1) (11)

BAB 1 PENDAHULUAN. anemia pada masa kehamilan. (Tarwoto dan Wasnidar, 2007)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi dengue adalah penyakit yang disebabkan oleh virus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. bentuk variabel tertentu atau perwujudan dari nutritute dalam bentuk. variabel tertentu ( Istiany, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. 2012, angka kematian ibu di Indonesia masih sangat tinggi yaitu 359 per

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah tahap umur yang datang setelah masa kanak-kanak. perilaku, kesehatan serta kepribadian remaja dalam masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. utama morbiditas dan mortalitas ibu dan janin. The World Health

BAB I PENDAHULUAN. generasi sebelumnya di negara ini. Masa remaja adalah masa peralihan usia

BAB I PENDAHULUAN. 2001). Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. usia subur. Perdarahan menstruasi adalah pemicu paling umum. kekurangan zat besi yang dialami wanita.meski keluarnya darah saat

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. morbiditas dan mortalitas. Di negara-negara barat, kanker merupakan penyebab

BAB I PENDAHULUAN. Anemia merupakan suatu kondisi konsentrasi hemoglobin kurang dari

BAB 1 PENDAHULUAN. Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan parasit Plasmodium yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan prevalensi tertinggi dialami negara berkembang termasuk Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. kematian maternal (maternal mortality). Menurut World Health

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anemia pada ibu hamil merupakan salah satu masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. generasi penerus bangsa. Upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia

BAB I PENDAHULUAN. sejak konsepsi dan berakhir sampai permulaan persalinan (Manuabaet al., 2012).

BAB I PENDAHULUAN. berlangsung dengan baik, bayi tumbuh sehat sesuai yang diharapkan dan

BAB I PENDAHULUAN. DM yaitu DM tipe-1 dan DM tipe-2. Diabetes tipe-1 terutama disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. persentase populasi ADB di Indonesia sekitar %. Prevalensi ADB di

BAB I PENDAHULUAN. spermatozoa dan ovum kemudian dilanjutkan dengan nidasi atau implantasi.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan suatu keadaan klinis

BAB 1 : PENDAHULUAN. kesehatan masyarakat. Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) tahun 2010 menyebutkan

BAB I PENDAHULUAN. Anemia adalah suatu kondisi ketika kadar hemoglobin (Hb) dalam darah lebih rendah dari batas normal kelompok orang yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Sehubungan dengan besarnya jumlah penderita kehilangan darah akibat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kanker ovarium merupakan keganasan yang paling. mematikan di bidang ginekologi. Setiap tahunnya 200.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Anemia pada kehamilan masih merupakan masalah utama di dunia hingga saat

BAB I PENDAHULUAN. Kasus anemia merupakan salah satu masalah gizi yang masih sering

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Transfusi darah adalah salah satu praktek klinis yang umum dilakukan pada

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Remaja adalah tahapan umur yang datang setelah masa anak anak

BAB I PENDAHULUAN. dan Afrika. Menurut World Health Organization (dalam Briawan, 2013), anemia

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. cadangan besi kosong yang pada akhirnya mengakibatkan pembentukan

BAB 1 PENDAHULUAN. Mikrositer hipokrom adalah gambaran morfologi sel darah merah

B A B PENDAHULUAN. terutama di daerah tropik dan subtropik. Insiden infeksi VD yang meliputi

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan kesehatan merupakan bagian integral dari pembangunan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anemia merupakan masalah kesehatan dunia yang dapat terjadi pada seluruh tahap kehidupan, mulai dari bayi, balita, remaja putri, wanita usia subur dan ibu hamil. Ibu hamil dan balita adalah kelompok dengan risiko tinggi terjadinya anemia. Defisiensi mikronutrien (besi, folat, vitamin B12 dan vitamin A), infeksi dan infestasi (tbc, malaria, kecacingan) serta penyakit kelainan darah (thalassemia) adalah beberapa penyebab anemia yang sering ditemukan. Anemia membawa akibat berupa meningkatnya risiko kesakitan dan kematian, gangguan perkembangan kognitif dan fisik pada anak-anak serta penurunan produktivitas kerja pada orang dewasa (WHO, 2008; Umbreit, 2005). Anemia adalah indikator buruknya status kesehatan terutama yang berkaitan dengan gizi. World Health Organization (WHO, 2001) telah menetapkan bila angka prevalensi anemia masih lebih dari 40% maka anemia masih merupakan masalah kesehatan di masyarakat tersebut. Prevalensi anemia secara global adalah 24,8%, anak-anak usia pra sekolah prevalensinya tertinggi yaitu 47,4%. Angka prevalensinya pada ibu hamil 41,8%, yang tidak jauh berbeda dengan angka prevalensi di Asia yang mencapai 41,6%. Prevalensi anemia ibu hamil di Asia Tenggara sendiri mencapai 48,2% (WHO, 2008). Defisiensi besi adalah kontributor terbesar penyebab anemia. Defisiensi besi ditandai dengan tidak terpenuhinya besi dalam memenuhi kebutuhan jaringan 1

2 (darah, otak dan otot) untuk menjalankan fungsinya (WHO, 2007). Faktor risiko anemia defisiensi besi antara lain intake besi yang kurang, penurunan absorbsi besi dari diit serta peningkatan kebutuhan besi yang berkaitan dengan pertumbuhan atau perdarahan. Sebagian besar penderita defisiensi besi akan berkembang menjadi anemia. Defisiensi besi berat dan berlangsung lama akan menyebabkan penurunan simpanan besi yang berakibat produksi hemoglobin yang inadekuat serta anemia (WHO, 2008; USPSTF, 2006; Umbreit, 2005). Defisiensi besi pada anak-anak akan berakibat terhambatnya pertumbuhan fisik dan mental, sedangkan pada dewasa kondisi defisiensi besi akan berakibat menurunnya kemampuan fisik dan produktivitas kerja. Berbagai usaha telah dilakukan untuk mencegah defisiensi besi dan anemia defisiensi besi namun kondisi di lapangan masih belum nampak adanya perubahan (WHO, 2007). Wanita usia subur membutuhkan lebih banyak besi dibanding laki-laki. Perdarahan menstruasi yang banyak ( 80 ml/bulan) serta kehamilan menyebabkan tingginya kebutuhan besi (USPSTF, 2006). Peningkatan volume plasma, peningkatan massa eritrosit, pertumbuhan janin dan penambahan jaringan maternal menyebabkan peningkatan kebutuhan besi selama kehamilan mencapai tiga kali lipat (Umbreit, 2005). Sebagian besar ibu hamil berisiko mengalami defisiensi besi seiring dengan bertambahnya usia kehamilan. Berbagai pengaruh buruk akibat defisiensi besi pada kehamilan menyebabkan penting untuk menilai status besi selama kehamilan. Ibu hamil dengan anemia berisiko tinggi mengalami berbagai komplikasi yang berakibat pada ibunya maupun janinnya. Angka kesakitan dan

3 kematian akan meningkat seiring dengan tingkat keparahan anemia. Anemia defisiensi besi (ADB) yang terjadi pada trimester pertama berkaitan dengan risiko kelahiran preterm dua kali lebih tinggi bila dibandingkan dengan ADB yang terjadi pada trimester kedua atau ketiga (USPSTF, 2006). Parameter hematologi dan biokimiawi telah diterapkan dalam diagnosis, monitoring maupun prediksi pada pasien defisiensi besi. Feritin telah ditetapkan oleh WHO sebagai indikator terbaik pada kondisi deplesi simpanan besi (WHO, 2007). Kadar feritin yang rendah menggambarkan turunnya simpanan besi yang menunjukkan suatu kondisi yang mengarah pada defisiensi besi (WHO, 2001). Feritin juga merupakan protein fase akut yang berarti konsentrasinya akan meningkat pada saat inflamasi, sehingga penggunaannya memerlukan pertimbangan (WHO, 2007). Pengukuran kadar C reactive protein secara bersamaan dengan pemeriksaan feritin disarankan untuk mengeksklusi adanya inflamasi (Baker dan Greer, 2010). Kadar feritin <15 µg/l diinterpretasikan sebagai defisiensi besi pada wanita dewasa (WHO, 2001). Kadar feritin telah digunakan sebagai dasar dalam pemberian suplemen besi pada ibu hamil (Milman, 2011). Hepcidin adalah hormon peptida dengan berat molekul yang kecil dan berperan sebagai regulator utama homeostasis besi sistemik dan mediator pertahanan host pada infeksi dan inflamasi. Homeostasis besi dalam tubuh dipengaruhi oleh penggunaan besi, absorbsi, dan simpanan besi seluler maupun sistemik (Tussing-Humphreys et al., 2012).

4 Hepcidin mengatur absorbsi besi dari diit di usus, makrofag dan hepatosit serta sinsitiotrofoblas melalui interaksinya dengan feroportin (Nemeth et al., 2006). Feroportin adalah eksporter besi seluler. Ikatan antara hepcidin dengan feroportin mengakibatkan internalisasi dan degradasi feroportin sehingga besi tidak dapat dibawa dari sel ke dalam sirkulasi (De Domenico et al., 2007) (Gambar 1). Hepcidin diinhibisi oleh kondisi hipoksia, anemia defisiensi besi dan peningkatan eritropoesis, sedangkan aktivasinya dipengaruhi oleh adanya inflamasi dan overload besi (Camaschella et al., 2008). Hepcidin dapat ditemukan dalam urin, plasma dan serum (Tussing-Humphreys et al., 2012). Pemberian terapi besi pada defisiensi besi dapat menyebabkan meningkatnya kadar hepcidin seiring dengan meningkatnya simpanan besi (Kroot, 2011). Gambar 1. Interaksi hepcidin dengan feritin Sumber: Fleming & Bacon, 2005

5 Bukti terhadap peran penting hepcidin diperoleh dari model tikus dan manusia. Inaktivasi pada gen yang mengkode hepcidin akan akan berakibat overload besi berat pada tikus), sementara tikus dengan ekspresi gen hepcidin berlebihan mengalami anemia defisiensi besi berat (Nicolas et al., 2002). Pada pasien dengan juvenile hemochromatosis terjadi inaktivasi gen hepcidin, sedangkan bila ekspresi gen hepcidin berlebihan akan berakibat anemia yang menggambarkan adanya hambatan eritropoesis (Roetto et al., 2003). Iron refractory iron deficiency anemia (IRIDA) suatu anemia yang diturunkan akibat mutasi gen trans-membrane serin protease 6 (TMSRSS6) ditandai tidak menurunnya sintesis hepcidin pada kondisi defisiensi besi. Pemberian terapi preparat besi pasien ini tidak menyebabkan terkoreksinya anemia sehingga harus menerima terapi besi parenteral (De Falco et al., 2013). Penelitian Young et al tahun 2009 mendapatkan angka keberhasilan yang tinggi terhadap terapi besi per oral pada pasien dengan defisiensi besi yang disertai rendahnya kadar hepcidin serum. Pada pasien dengan hemokromatosis herediter terjadi kelebihan besi yang tidak diikuti dengan meningkatnya sintesis hepcidin. Penumpukan besi di organ merupakan akibat kelebihan besi yang tidak tertangani dapat berlanjut menjadi kegagalan fungsi organ. Mutasi gen regulator positif seperti HFE, TRF-2 dan HAMP merupakan penyebab terjadinya kondisi tersebut (Van Dijk et al. 2009). Penelitian mengenai hepcidin dan hubungannya dengan feritin pada berbagai populasi dengan defisiensi besi masih memberikan hasil yang bervariasi pada besarnya nilai korelasi maupun kemaknaannya secara statistik. Diperlukan

6 penelitian untuk mengetahui hubungan antara hepcidin dengan feritin pada populasi ibu hamil yang berisiko tinggi terjadi defisiensi besi. Diharapkan hepcidin dapat digunakan untuk pertimbangan klinisi dalam penatalaksanaan defisiensi besi. B. Perumusan Masalah Berdasarkan fakta-fakta tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1. Anemia akibat defisiensi besi masih menjadi masalah dunia. Ibu hamil merupakan kelompok dengan prevalensi anemia yang tinggi. 2. Ibu hamil merupakan salah satu kelompok yang berisiko tinggi mengalami anemia defisiensi besi karena meningkatnya volume plasma, meningkatnya massa eritrosit, memenuhi kebutuhan besi untuk pertumbuhan janin dan penambahan jaringan maternal. 3. Feritin telah menjadi penanda defisiensi besi pada populasi yang ekspresinya juga dipengaruhi oleh kondisi selain defisiensi besi. 4. Hepcidin adalah hormon regulator homeostasis besi dan penelitian yang berkaitan dengan aplikasi klinisnya telah dilakukan, namun penelitian hubungan hepcidin dengan feritin pada populasi ibu hamil di Indonesia khususnya di Yogyakarta hingga saat ini masih belum ada, sehingga perlu dilakukan penelitian yang berkaitan hubungan hepcidin dengan feritin pada populasi ibu hamil.

7 C. Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat korelasi kadar hepcidin serum dengan kadar feritin serum pada populasi ibu hamil? D. Keaslian Penelitian Dallalio et al. (2003) di Amerika Serikat melakukan penelitian kadar hepcidin serum menggunakan metode Western blot pada 55 sampel yang masuk dalam penelitian feritin dan 37 sampel pasien anemia yang menjalani pemeriksaan sumsum tulang kemudian menganalisis korelasinya dengan feritin. Pada kelompok penelitian feritin didapatkan korelasi positif yang signifikan antara kadar hepcidin serum dan feritin dengan r = 0,53, p < 0,01. Pada kelompok penelitian anemia juga didapatkan korelasi positif yang signifikan antara hepcidin serum dan feritin (r = 0,52, p < 0,01). Schulze et al. (2008) melakukan penelitian kadar hepcidin urin dan feritin pada 190 orang ibu hamil di Bangladesh. Hepcidin urin diperiksa menggunakan surface-enhanced laser desorption/ionization time-of-flight mass spectrometry (SELDI TOF-MS). Korelasi yang signifikan antara log hepcidin urin dengan log feritin (r = 0,33, p < 0,001). Tussing-Humphreys et al. (2009) di Amerika Serikat melakukan penelitian hepcidin serum pada wanita premenopause dengan obese. Masing-masing 20 wanita obese dan non obese yang dimatching berdasar hemoglobin. Hepcidin serum diperiksa menggunakan metode ELISA. Kadar hepcidin pada kelompok obese lebih tinggi signifikan dibanding kelompok non obese. Hepcidin serum berkorelasi positif dengan feritin (r = 0,82, p < 0,0001) pada kelompok obese,

8 sedangkan ada kelompok non obese kadar hepcidin serum berkorelasi dengan feritin dengan r = 0,81 dan p < 0,0001. Lasocki et al. (2010) di Perancis melakukan penelitian untuk menentukan kadar hepcidin serum yang optimal dalam identifikasi defisiensi besi dan menilai akurasi diagnostiknya. Empat puluh delapan pasien kritis dengan anemia yang dirawat di ICU menjadi subyek dalam penelitian ini. Pemeriksaan kadar hepcidin serum menggunakan metode ELISA. Hasil yang didapat adalah 86% subyek dikategorikan inflamasi, 4% defisiensi besi, 4% normal, 6% defisiensi besi/inflamasi. Pada kelompok dengan defisiensi besi, hampir semua kadar hepcidin serumnya tidak terdeteksi, sedangkan pada kelompok defisiensi besi/inflamasi kadar hepcidin serumnya rendah. Analisis AUC-ROC pada cut off 129,5 µg/l sensitivitasnya 50% dan spesifitasnya 85% (Lasocki et al., 2010). Galesloot et al. (2011) di Belanda meneliti kadar hepcidin serum pada populasi sehat. Sampel diperoleh dari 2998 partisipan meliputi 48% adalah lakilaki dengan rentang 29 81 tahun, sedangkan sisanya partisipan wanita rentang umurnya 25 80 tahun. Metode pemeriksaan hepcidin serum yang digunakan adalah ELISA. Kadar hepcidin serum pada laki-laki relatif konstan, namun pada wanita cenderung meningkat seiring peningkatan umur. Kadar hepcidin serum berhubungan dengan kadar feritin baik pada laki-laki (r = 0,806) maupun pada wanita (r = 0,853). Van Santen et al. (2011) meneliti penggunaan hepcidin untuk memberi nilai tambah dalam diagnosis anemia defisiensi besi pada pasien rheumatoid arthritis

9 (RA) dengan anemia dan inflamasi di Belanda. Sampel diperoleh dari 106 pasien rawat jalan dengan RA yang terdiri dari 40 pasien mengalami anemia dan 66 pasien tidak anemia. Empat puluh pasien anemia terdiri dari 10 dengan anemia defisiensi besi (ADB), 9 anemia defisiensi besi dan anemia penyakit kronis (ADB/APK), 8 anemia penyakit kronis (APK) dan 13 anemia penyakit lain. Hepcidin serum dan urin diukur dengan kombinasi metode weak cation exchange chromatography dan time of flight mass spectrometry. Perbedaan median kadar hepcidin serum yang signifikan pada kelompok ADB dengan APK (p = 0,001), begitu pula pada kelompok ADB/APK dengan APK (p = 0,009). Perbedaan yang signifikan kadar hepcidin pada kelompok tidak anemia dengan kelompok ADB (p < 0,001) maupun ADB/APK (p = 0,001). Kadar hepcidin serum kelompok APK tidak berbeda dengan kelompok tidak anemia (p = 0,2). Perbedaan yang signifikan pada kadar hepcidin urin hanya diperoleh pada kelompok ADB dengan APK (p = 0,008). Korelasi positif kuat didapatkan antara kadar hepcidin serum dengan kadar hepcidin urin (r = 0,84, p < 0,001). Korelasi positif didapatkan pada kadar hepcidin serum dengan kadar feritin (r = 0,79) begitu juga pada feritin dengan kadar hepcidin urin (r = 0,71) (Van Santen et al., 2011). Area under curve (AUC) hepcidin serum pada kelompok ADB/APK dan kelompok APK adalah 0,88 (p = 0,009, SE = 0,12) pada cut off optimal 2,4 nmol/l. Kadar hepcidin serum yang lebih rendah dari nilai cut off tersebut dapat membedakan kelompok ADB/APK dengan APK dengan sensitivitas 89% dan

10 spesifisitas 88%. Pada saat digunakan dalam deteksi defisiensi besi maka AUC hepcidin serum adalah 0,92 (p < 0,001, SE = 0,05) (Van Santen et al., 2011). Parischa et al. (2011) di Australia meneliti hepcidin serum sebagai marker diagnosis defisiensi besi dengan menggunakan 261 sampel donor wanita. Metode pemeriksaan hepcidin serum menggunakan ELISA. Didapatkan 22,6% donor mengalami defisiensi besi berdasar kadar ferritin < 15 ng/ml. Pada kelompok defisiensi besi rerata kadar hepcidin serum lebih rendah dibanding yang tidak defisiensi besi. Hasil regresi linier didapatkan korelasi log hepcidin dengan log feritin dengan r = 0,66, p < 0,001. Area under curve (AUC) hepcidin 0,86 bila menggunakan kadar feritin serum < 15 ng/ml dan CRP < 5 mg/l. Bila menggunakan baku emas kadar feritin serum < 10 ng/ml didapatkan AUC 0,86 dan cut off dengan Youden index optimal (0,68) adalah 17,9 ng/ml, sensitivitas 86,7% serta spesifisitas 80,5%. Pada cut off hepcidin 8 ng/ml maka diperoleh sensitivitas 46,7% dan spesifisitas 94,4%. Apabila baku emas yang digunakan adalah kadar feritin < 30 ng/ml maka AUC hepcidin serum mencapai 0,82 dengan cut off pada Youden index optimal (0,53) adalah 28,8 ng/ml dan sensitivitas 72,1% serta spesifisitas 78,4%, namun bila cut off hepcidin serum yang digunakan < 8 ng/ml maka sensitivitasnya menjadi 22,1% dan spesifisitasnya 100% (Parischa et al., 2011). Albendary et al. (2011) di Saudi Arabia membandingkan kadar hepcidin serum dan feritin serum pada 50 ibu hamil anemia terdiagnosis gestational DM (GDM), 30 ibu hamil dengan anemia, 20 ibu hamil sehat yang disesuaikan umur kehamilannya 24-40 minggu dan 30 wanita sehat yang tidak hamil tanpa DM

11 maupun kelainan hormonal lainnya sebagai kontrol. Hepcidin serum diukur menggunakan metode ELISA. Rerata kadar hepcidin serum ibu hamil lebih tinggi dibandingkan wanita sehat yang tidak hamil, begitupula rerata kadar hepcidin serum ibu hamil anemia dengan GDM dibanding ibu hamil anemia saja. Pada kelompok ibu hamil anemia dengan GDM didapatkan hasil korelasi hepcidin serum dengan feritin (r = 0,481, p = 0,001). Choi et al. (2012) di Korea Selatan mengevaluasi penggunaan kadar hepcidin serum dalam diagnosis defisiensi besi pada anak-anak. Lima puluh sembilan anak dengan rentang umur 5 bulan sampai 17 tahun menjadi subyek dalam penelitian ini. Pasien dikelompokkan menjadi 3 berdasarkan kadar Hb dan feritin, yaitu grup 1 (anemia defisiensi besi, n = 17), grup 2 (defisiensi besi tanpa anemia, n = 18), dan grup 3 (kontrol dengan status besi normal, n = 24). Hepcidin serum diukur menggunakan metode ELISA. Hasilnya didapatkan perbedaan rerata kadar hepcidin serum yang signifikan pada ketiga kelompok (p < 0,0001) dan kadar hepcidin serum kelompok 1 dan 2 lebih rendah signifikan dibanding kelompok 3. Area under curve hepcidin serum pada kelompok 1 adalah 0,908, sedang untuk kelompok 2 adalah 0,852. Pada cut off hepcidin serum 6,895 ng/ml diperoleh sensitivitas 79,2% dan spesifisitas 82,8% untuk kelompok 2. Pada kelompok 1 bila digunakan cut off hepcidin serum 2,735 ng/ml maka didapatkan sensitivitas 88,1% dan spesifisitas 88,2%. Korelasi positif didapatkan antara log hepcidin dengan log feritin, r = 0,666, p < 0.0001. (Choi et al., 2012)

12 Sedlackova et al. (2013) meneliti hubungan kadar hepcidin serum dengan kadar feritin serum di Cekoslowakia pada populasi pasien hemodialisa. Seratus enam puluh empat pasien dan 40 orang kontrol sehat dilibatkan dalam penelitian ini. Hepcidin serum diukur menggunakan metode ELISA. Kadar feritin dan hepcidin serum pada kelompok pasien lebih tinggi dan bermakna signifikan secara statistik dibandingkan kelompok kontrol (p < 0,0001 dan p = 0,0003). Korelasi positif didapatkan antara hepcidin serum dengan feritin (r = 0,13, p = 0,02). Penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya karena mengambil populasi ibu hamil sehat yang berdomisili di Yogyakarta. Sampel yang digunakan adalah serum dengan metode pemeriksaan ELISA. E. Tujuan Penelitian Menentukan korelasi antara kadar hepcidin serum dengan feritin pada ibu hamil. F. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian diharapkan dapat menentukan hubungan antara kadar hepcidin serum dengan kadar feritin pada populasi ibu hamil dalam kaitannya dengan kejadian gangguan homeostasis besi yang berisiko menjadi defisiensi besi bahkan sampai anemia defisiensi besi. Manfaat bagi klinisi adalah memberikan tambahan informasi dalam pengelolaan defisiensi besi pada populasi ibu hamil sehingga dapat menekan mortalitas dan morbiditas ibu hamil yang disebabkan oleh defisiensi besi. Bagi masyarakat diharapkan dapat memberikan pengetahuan pentingnya hepcidin dan parameter laboratoris lainnya yang merupakan penanda dini

13 terjadinya gangguan homeostasis besi dan risiko yang ditimbulkan pada ibu hamil. Manfaat bagi peneliti dapat memberikan bukti ilmiah mengenai peran hepcidin pada terjadinya gangguan homeostasis besi pada ibu hamil.